Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

31. Only if You Dare

Tarik nafas lagi. Enjoy the tense.

***

Hari sudah menjelang sore ketika dia tiba di warung ibu Yanti. Pakaiannya sudah dia ganti dan senyum lelah sudah mengembang di wajah ketika dia masuk ke warung.

"Assalamualaikum, Bude." Volume suara dia kendalikan karena melihat banyaknya anak buah Herman di sana termasuk Aryo yang sedang duduk di meja pojok dan mengobrol dengan salah satu laki-laki.

Setelah mencium tangan ibu Yanti dia naik ke atas untuk meletakkan ransel dan langsung tahu Aryo mengikutinya dari belakang. Tubuhnya membalik ketika mereka sudah sampai di lantai atas.

"Mau ngapain?" tanyanya.

"Lo nggak apa-apa kan?" tanya Aryo memindai tubuhnya.

Kepalanya menggeleng. "Bapak saya yang sakit, bukan saya."

"Kenapa nggak telpon gue?" tanya Aryo kesal.

"Bajunya kecuci, jadi nomernya hilang. Saya nggak hafal karena angkanya banyak banget."

Aryo bersumpah serapah kesal. "Gue hampir susulin lo ke sana. Lo nggak bisa hilang begitu, paham?"

"Saya nggak hilang, saya pulang kampung. Kan wajar."

"Ya wajar, tapi lo nggak telpon gue saat gue minta. Lo nggak bisa..."

"Saya capek, mau mandi dan bantuin Bude. Besok saya harus kuliah dan ada ujian, tapi buku Manajemen saya nggak ketemu terakhir itu."

"Hilang." Dengkus Aryo kesal. "Gue tunggu di bawah. Cepetan turun, atau gue susulin ke kamar dan gue macem-macem, paham?" Aryo sudah berlalu ke bawah.

Kemudian dia meletakkan ransel dan bergegas ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Di dalam kamar mandi, dia menatap dirinya sendiri saat menghadap cermin.

Fayadisa Sidharta, personal code 65476. Undercover mission, level 5. Masuk ke dalam, cari buku merah, keluar dan serahkan buku merah ke Niko atau Arsyad. Lakukan dengan baik dan selamat, Fa. Ini berlaku untuk Faya dan Nafa. Kalian harus bekerja sama.

Kata-kata itu dia ulang berkali-kali saat dia menatap wajahnya sendiri di cermin. Paham benar dia harus mengembalikan fokusnya yang hilang tiga hari kemarin. Kemudian dia menghirup nafas dalam, sambil meyakinkan dirinya sendiri bahwa semua akan berjalan baik.

Setelah itu dia pergi ke kamar, mulai mengenakan pakaian khusus di balik kaus hitam dengan gambar kelinci di depannya. Juga memasang micro earphone dan memastikan benda itu tidak terlihat. Mengantungi beberapa alat Mahendra yang berukuran kecil hanya untuk berjaga-jaga, juga mengenakan jam digital usang yang biasa dia kenakan dan juga berfungsi sebagai tracker device. Dia sudah siap, untuk apapun yang terjadi malam ini.

"Halo, Biru," bisiknya.

"Hai, kelinci kecil." Suara Mahendra di sana.

"Saya akan masuk malam ini." Saat diperjalanan kembali tadi, dia sudah menghubungi Niko dan Arsyad. Jadi mereka di markas besar sudah siap.

"Paham, kami memantau di sini. Ingat titik penjemputannya. Hitam dan tim Black Command akan ada di sana menjemputmu." Hitam adalah kode Arsyad dan Black Command adalah tim khusus yang dipimpin Niko. "Pastikan kamu keluar dengan selamat, dengan atau tanpa paket."

"Baik."

"Apa kakak saya tahu?" tanya Mahendra lagi. Faya tahu maksudnya adalah Hanif.

"Itu tidak relevan. I'm out." Dia menyudahi pembicaraan dan tidak mau membuang waktu.

Warung sudah sepi dan hanya ada Aryo saja yang duduk menunggunya di bawah.

"Loh, Bude. Pelanggan yang lain kemana?"

"Kata Den Aryo, Bude suruh tutup cepat dan istirahat. Bude emang agak capek, Nduk. Lha wong biasanya ada kamu, jadi Bude memang mau istirahat hari ini."

Dia mengangguk ragu-ragu sambil berjalan menuju tempat cuci piring.

"Fa, sini." Aryo memanggilnya.

"Udah sana, ini udah mau selesai. Habis ini Bude mau mandi dan tiduran di atas. Katanya kamu besok ada ujian? Jangan lupa belajar."

"Iya, Bude," jawabnya singkat.

Kemudian tubuhnya berjalan menuju kursi dihadapan Aryo dan duduk.

"Lo nggak sakit kan? Capek?"

Dia mengangguk perlahan. "Capek sedikit."

"Bapak lo udah sembuh?"

"Udah enakan."

Aryo menatapnya dalam sambil menghembuskan asap rokok ke samping.

"Saya mau ke atas dulu, mau belajar."

"Nggak boleh, enak aja."

Dari sudut matanya dia bisa melihat ibu Yanti sudah naik ke atas.

"Saya serius."

"Buku lo ada di meja gue," ujar Aryo sambil mematikan rokoknya.

Jantungnya mulai bereaksi, paham benar ini kesempatan emas yang dia tunggu. Karena menurut keterangan Mahendra, Herman sedang berada di luar kota karena suatu urusan dan baru akan kembali 3-4 hari mendatang.

"Alhamdulillah, saya pikir bukunya beneran hilang kali ini." Dia kembangkan senyum lega yang lebar.

Aryo tersenyum tipis sambil menggeleng. "Lo itu cewek paling ceroboh. Pertama, buku ditinggalin, terus diambil eh malah ketinggalan lagi." Aryo diam sejenak seperti mengingat ciuman Nafa di pipi waktu itu.

"Jadi bisa diambil kan?"

"Ya bisa lah, orang ada di ruangan gue."

"Kenapa nggak langsung dibawain aja sekarang? Kenapa nungguin saya pulang?"

"Karena gue mau lo tanggung jawab sendiri apa-apa yang lo udah tinggalin, bukannya terima beres gitu aja. Enak banget. Lagian ada syaratnya."

"Apa?"

Tubuh Aryo berdiri dan dia berjalan mendekati Faya. Kemudian dua lengan Aryo menarik tubuhnya juga untuk berdiri. Mereka berhadapan dekat sekali. Postur Aryo lebih tinggi delapan senti darinya, jadi kepalanya hanya menatap lurus leher Aryo saja. Tangan Aryo mulai menelusuri bingkai wajah Faya. Perlahan sekali, seperti dia sedang menikmati sesuatu.

"Jadi wanita gue dan nurut kalau gue bilang apa-apa. Bisa?"

Dia menelan salivanya perlahan, ekspresinya gugup. "Buku Manajemennya, buat kamu aja. Saya nanti nabung dan beli lagi."

Aryo menghentikan tangannya tiba-tiba, lalu dia mendengkus marah.

"Gue nggak terima penolakan."

"Tapi saya nggak punya perasaan apa-apa."

Kepala Aryo miring sedikit lalu dia berbisik dekat di daun telinga Faya. "Bohong. Jangan nangis lagi ya."

"Nangis kena..."

Aryo mencium pipinya sesaat. Dia terkejut, tapi hatinya sudah lebih siap kali ini. Lagi-lagi dia mengulang seluruh kalimat yang dia ucapkan di kamar mandi dalam kepala, sambil mengabaikan emosinya yang mulai merayap di dada. Tidak cukup sebuah ciuman, Aryo juga memeluknya perlahan. Tubuhnya kaku, karena sungguh, yang ada dalam pikirannya sedari tadi adalah tugas dan misi.

***

Satu jam kemudian

Aryo mengajaknya kembali ke kantor pukul 6.45 malam. Katanya dia harus memastikan semua karyawan sudah meninggalkan kantor dulu, sebelum kembali membawa dia ke ruangannya. Sebelum masuk ke lobby, dia menatap ke atas gedung sebelah kantor Herman. Titik penjemputannya. Arsyad dan Niko sudah di sana. Masuk, cari, amankan, keluar, selesai.

"Lo kenapa?" Aryo menatapnya, mereka berjalan ke arah lift.

"Nggak apa-apa, capek aja." Dia harus lebih berhati-hati. Aryo bisa membaca ekspresinya dan curiga.

"Gue bisa minta anak buah gue jemput lo. Lo tinggal telpon dan bilang." Tubuh Aryo menggeser mendekat dan menggengam tangannya erat. Kemudian mereka masuk ke lift.

"Saya baik-baik. Jangan jadi repot."

"Tadi katanya capek. Jangan plin-plan jadi cewek." Tangan Aryo masih menggenggam erat. Kemudian lift terbuka dan laki-laki itu melepaskan genggaman tangannya.

Mereka berjalan dalam diam dengan Aryo berada di depan. Mereka langsung menuju ke ruangan Aryo. Jantung Faya mulai bereaksi. Dia harus melumpuhkan Aryo untuk masuk ke ruangan Herman. Dan Aryo Kusuma, bukan seseorang yang mudah dilumpuhkan. Dia paham benar itu. Semoga saja rencananya berhasil dan alat-alat Mahendra berfungsi dengan baik.

"Easy Fa. Kita di sini. Easy oke." Suara Mahendra di sana.

Langkah Aryo berhenti. Dia menoleh menatap Faya. "Lo dengar sesuatu nggak?"

Faya menggeleng. Kemudian salah seorang petugas keamanan berjalan dari arah kamar mandi.

"Malam, Bos. Sorry, patroli biasa." Petugas itu tersenyum pada mereka.

"Oh, elo. Kayaknya gue dengar ada yang ngomong tadi."

Shit. Aryo benar-benar lihai. Dia bahkan bisa mendengar suara Mahendra samar.

Petugas keamanan itu melangkah pergi dan mereka menuju ruangan Aryo. Laki-laki itu membuka ruangan dan mempersilahkan dia masuk.

"Cari sendiri sana."

"Kenapa nggak langsung kasih tahu aja?"

"Soalnya gue masih mau lama-lama sama lo di sini."

"Saya mau balik dan belajar."

"Ya udah cari aja," ujar Aryo sambil tersenyum usil.

Dia mengambil kesempatan itu dengan berjalan perlahan dan mencari di rak buku. Satu tangan dia masukkan ke kantung jaket kaus abu-abu yang dia kenakan. Meraba alat bius dari Mahendra. Lemparannya harus tepat, atau dia harus mendekati Aryo dan membuat Aryo lengah. Tapi bahkan suara dari micro earphone bisa terdengar oleh Aryo. Jadi ini akan benar-benar sulit.

Bahunya disentuh dari belakang. Dia bisa merasakan tubuh Aryo yang dekat dengannya. Langkahnya dia hentikan.

"Gue nggak ngerti kenapa lo nggak bisa lihat buku segede gini." Satu tangan Aryo mengulur ke rak bagian atas dan tadi dia sudah lewati.

Shit. Ini harus dilakukan sekarang juga.

Tubuhnya berbalik dan tepat saat tangannya mengulur ingin menancapkan alat bius itu, alarm meraung berbunyi hingga dia terkejut. Ekspresi wajah Aryo berubah dingin seketika. Kemudian dia meraih ponselnya untuk menghubungi seseorang.

"Penyusup, lantai berapa?" Tubuh Aryo menjauh tapi laki-laki itu menatapnya.

Alat Mahendra sudah dia genggam erat dan niatnya dia urungkan. Berhadapan langsung dengan Aryo bukan ide bagus dan kemungkinan berhasilnya kecil.

"Dua lantai di bawah, Bos. Kaca dipecah," jawab seseorang di sana setengah berteriak jadi Faya juga bisa mendengarnya.

"Gue ke sana sekarang." Ponsel Aryo tutup.

"Ada apa?" tanyanya sambil menatap Aryo.

"Lo tunggu di sini. Jangan keluar ruangan, berbahaya." Aryo sudah memberikan buku itu kemudian berlalu dari sana.

Matanya memastikan Aryo pergi. "Biru, ada apa?"

"Leo, Fa. Leo di sana. Ini bukan bagian dari rencana, Fa. Misi dibatalkan, pergi dari situ. Bahaya."

Dia sudah keluar ruangan Aryo kemudian menemukan Leo keluar dari ruangan Herman yang berada di sebelahnya. Laki-laki itu melemparkan alat pengacau sinyal ke langit-langit dan menempel di sana. Alat itu berfungsi untuk melumpuhkan CCTV di sekitar mereka.

"Lo gila!!" Refleksnya adalah berteriak.

"Bawa paketnya, kirim keluar. Gue kecoh mereka. Cepat, nggak ada waktu," ujar Leo sambil menyerahkan buku merah itu.

"Nggak ada jalan keluar lain. Lo ikut gue, cepet," bantahnya cepat pada Leo.

Mereka sudah mendengar ada suara-suara yang datang. Waktu mereka hampir habis. Leo hanya tersenyum padanya kemudian berlari menuju asal suara.

"Keluar Faya, keluar." Suara Arsyad di sana dari earphone.

Jantungnya seperti pergi, mengetahui dia harus meninggalkan Leo, sahabatnya sejak kecil yang tidak pernah sama sekali meninggalkannya. Tubuhnya melangkah pergi. Menggenggam erat paket yang mereka cari. Dia sudah tahu jalan keluar dari situ. Tangga darurat di bagian barat yang mengarah ke roof top gedung.

Nafasnya memburu karena dia tidak pernah berlari secepat saat ini. Alarm masih terus meraung, dia sudah berhasil membuka pintu roof top dengan cara menembak engselnya. Kakinya memacu menuju drone yang akan menjemput paket itu. Drone juga memberikan koper perak berisi alat untuk melarikan diri.

Dia memasukkan buku merah ke dalam koper biru. Kemudian drone membawanya pergi. Seharusnya setelah itu dia membuka koper perak yang berisi senjata besar pelontar panah baja dengan tali. Kemudian dia akan meluncur menuju atap gedung sebelahnya dengan heli yang sudah menunggu. Tapi tubuhnya berdiri, menatap Arsyad, Niko dan Hanif yang juga sudah berdiri menunggu di seberang sana. Tangannya sudah mengambil koper perak dan melemparnya jauh hingga mendarat ke tempat Arsyad, Niko dan Hanif menunggu.

"Faya, cepat kembali. Ini perintah, Komandan." Suara Arsyad setengah berteriak di sana.

"Saya sudah selesaikan misinya. Saya akan jemput Leo, Bang. "

"Faya, jangan konyol!! Kembali sekarang juga. Kita akan jemput dan selamatkan Leo nanti." Hanif sudah berteriak panik sambil menatapnya dari seberang sana.

"Selamatkan Bu Yanti. Jangan tunggu saya dan Leo. Fayadisa out."

Dia mengeluarkan earphone dari telinga lalu menghancurkannya dengan kaki. Merasa puas bahwa dia bisa menyelesaikan misi yang hampir tidak mungkin. Semoga dengan begini Herman bisa tertangkap dan semua kejahatannya berakhir. Sedari dulu, dia dan Leo tidak pernah berpisah. Jadi misi sudah selesai, laki-laki yang dia cinta hidup, kemudian dia akan menjemput Leo. Entah di dunia ini, atau di dunia lainnya.

Matanya masih menatap Hanif dari kejauhan yang sedang ditahan tubuhnya oleh Arsyad dan Niko. Laki-lakinya itu mungkin akan nekat menyusulnya ke sini. Tapi Arsyad ada di sana, Arsyad akan menjaga adik-adiknya seperti dirinya sendiri yang akan menjaga Leo saat ini. Hatinya akan baik-baik saja nanti. Hanif pun akan pulih dan bisa melangkah maju lagi. Jadi dia tersenyum kecil sambil masih menatap wajah satu-satunya laki-laki yang pernah dia cinta.

Tubuhnya berbalik dan Aryo sudah berdiri berhadapan dengannya dengan wajah terluka.

"Siapa kamu sebenarnya?" tanya Aryo dengan seluruh emosi yang dia tahan.

"Maafkan saya." Hanya itu yang bisa dia ucapkan. Dia tidak menyesal, tapi Nafa memang sudah menipu Aryo habis-habisan. Harusnya dia tidak bermain hati. Jadi paling tidak, Aryo layak mendapatkan permintaan maaf dari Nafa.

Kemudian Aryo memukulnya keras hingga dia tidak sadarkan diri.

***

Oh No.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro