Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

30. Because I...

Part ini mengandung bawang. Tarik nafas dalam, konflik utama datang.

***

Matanya tidak mau terpejam. Ingat benar mimpinya beberapa hari ini. Tentang salah satu anaknya, Hanif. Mimpi itu jelas sekali, seperti ketika tragedy Antania terjadi. Dia juga mengalami mimpi putus-putus. Tapi dia selalu mengabaikannya.

Pada mimpi itu dia mencari Hanif. Kemudian dia menemukan Hanif duduk di depan pondok dalam hutan. Tersenyum hangat padanya.

"Ma, Hanif mau pulang. Ada yang penting. Tapi aku mau pulang." Itu kalimat Hanif di mimpi dan sungguh dia terganggu sekali.

"Sayang, kenapa?" Tangan Ibrahim menyentuh pundaknya lembut. Mereka sudah berbaring bersisian di tempat tidur.

"Hanif, firasatku buruk. Ini soal Hanif." Trisa diam sejenak. "Sudah berminggu-minggu Hanif nggak menghubungi."

"Dia sibuk dengan proyek barunya, Sayang. Kamu harus mengerti."

"Tapi firasatku bilang kali ini bukan hanya itu. Ada sesuatu yang sedang terjadi."

"Apa kamu sudah telpon Arsyad?"

Kemudian dia bangkit dan duduk di pinggir tempat tidur. Meraih ponselnya di sebelah meja nakas. Jam 9 malam, harusnya Arsyad belum tidur.

"Assalamualaikum, Ma. Ada apa?" Suara Arsyad menyahut di sana.

"Wa'alaikum salam Sayang, apa kamu baik?"

"Saya baik, Ma. Ada apa? Mama cemas?"

"Hanif. Mama mimpi Hanif. Kenapa ponsel Hanif tidak diangkat dua hari ini?"

Ada jeda sejenak di sana. "Hanif sedang melaksanakan proyek penting, Ma. Jadi dia bepergian dan mungkin sinyalnya kurang bagus."

"Apa benar begitu?" Dia ingin meyakinkan dirinya sendiri.

Arsyad menghela nafas berat. "Saya akan jaga Hanif, Ma. Jangan khawatir."

"Arsyad, tolong jaga adik-adikmu. Jangan biarkan sesuatu terjadi pada mereka, termasuk Hanif. Mama khawatir sekali."

"Baik, Ma."

"Apa kamu bisa berjanji?"

"Saya janji. Sekarang Mama istirahat dulu. Sudah malam. Saya akan minta Hanif segera hubungi Mama nanti."

"Kamu juga jaga dirimu, Sayang. Selalu berhati-hati dimanapun kamu bertugas."

"Iya, Ma. Assalamualaikum."

Hubungan disudahi.

***

Mereka berada di atas atap gedung dan sedang berlari. Faya berada di depan, dengan pakaian ADS seperti biasa. Kakinya berusaha menyusul Faya lebih cepat lagi. Terus memacu dengan seluruh sisa tenaga yang dia punya. Karena paham benar macan hitam itu ada di belakang mengejar mereka.

"Fa, hati-hati." Dia berteriak memperingatkan. Paham benar mereka sudah hampir sampai ujung bangunan dan tidak ada lagi bangunan yang bisa mereka lompati. Mereka terpojok.

Kemudian tubuh Faya berbalik sempurna hingga menatapnya. Wajah gadis itu tersenyum tipis, matanya sedih sekali. Tubuhnya hanya diam kaku, jarak mereka hanya lima langkah saja.

"Fa, melangkah ke sini pelan-pelan. Kamu bisa jatuh."

Kepala Faya menggeleng perlahan. "I'm sorry."

Kemudian tubuhnya maju dan satu tangannya terulur ingin menangkap gadisnya itu. Namun, tubuh Faya sudah jatuh ke bawah sambil menatap matanya sendu.

"Faya!!" Refleks tubuhnya tegak duduk dan nafasnya memacu. Shit, mimpi.

Dua tangan sudah mengusap wajahnya. Faya ke luar kamar dan langsung duduk di sofa panjang tempat dia tidur.

"Bad dream?" Satu tangan Faya sudah mengusap punggung Hanif perlahan. Dia memberikan Hanif segelas air putih dari meja dekat mereka.

"I'm fine." Dia menepis lembut gelas itu dan langsung memeluk tubuh Faya yang masih duduk.

"Mimpi soal aku? Firasat?" tebak Faya juga balas memeluknya kuat.

"Firasat baik."

Faya tersenyum kecil. "Kamu bohong."

"Semua baik-baik aja, akan baik-baik aja."

"Apa itu mantra kamu ketika dapat firasat buruk?"

Dia menggeser duduknya dan mengangkat tubuh Faya perlahan hingga gadis itu berada di pangkuannya.

"Nggak semua firasat aku benar."

"99%-nya begitu. Itu yang aku tahu dari Reno dan Arsyad."

"Yang ini 1%-nya." Matanya menatap gadisnya itu lembut. Masih larut malam dan tadi dia memutuskan untuk menyusun rencana hingga tertidur di sofa depan kamar.

Satu tangannya sudah menyusuri bingkai wajah Faya. Wajah yang bisa terlihat dingin dan keras sekali, tapi bisa berubah menjadi lebih lembut dan cantik. Terkadang matanya memancarkan api, tapi saat ini Hanif melihat ada gerimis lembut di sana. Sedih dan syahdu. Seperti selalu siap untuk terluka dan kecewa. Seperti tidak berharap apa-apa. Untuknya, Fayadisa hanyalah wanita biasa dengan pekerjaan yang berbahaya. Dia yakin, Faya juga ingin dicintai dan bisa mencintai dia sama besarnya.

"Apa kamu takut?" tanya Hanif.

"Dengan Aryo?" Kemudian kepala Faya menggeleng perlahan. "Nggak. Apa kamu takut?" Faya bertanya kembali.

"Ya, aku takut."

Faya mendengkus kecil sambil tersenyum. "Pasti mau manis-manis, aku alergi manis-manis."

Hanif tertawa kecil. "Ketebak ya? Kalau aku mau bilang aku takut kehilangan kamu. Atau aku bisa gila kayak Mareno."

Kepala Faya mengangguk cepat. "Ketebak banget."

"Oke, kalau kita bahas rencana buat ambil buku merah itu aja gimana?" Kepalanya menggendik pada laptop kecil di atas meja dekat mereka.

"Nooo..." Faya memeluk Hanif mendekat. Gadisnya itu berbisik di dekat telinga. "Aku mau kita bahas hal-hal nggak penting aja."

Dia tertawa kali ini. "Tadi pagi kita berantem satu jam gara-gara telur ceplok, Fa. Itu kurang nggak penting apa?"

"Ya abis selera kamu aneh. Yang namanya medium well itu cuma berlaku untuk steak. Bukan telur." Faya memandang mata Hanif lekat.

"Loh, aku suka setengah matang. Kenapa jadi kamu yang repot?" balasnya.

"Tapi aku geli lihatnya. Belum lagi amisnya. Hiddiiih..."

"Jadi di tengah malam begini kita mau ribut soal telur lagi?"

"Itu prinsipil, penting." Faya tersenyum konyol.

Satu ekspresi lagi yang baru Hanif lihat ketika mereka tiba di sini. Itu membuatnya lebih tergila-gila lagi.

"Bikin mie rebus aja gimana? Aku laper karena kamu ngomongin makan."

Faya turun dari pangkuannya dan dia berdiri. Kemudian gadis itu malah naik ke sofa dan dia dengan senang hati menggendongnya di punggung.

"Aku mau begini selamanya." Hanif berjalan sambil menggendong Faya di belakang ke arah dapur.

"Aku nggak mau. Gila kali, baru mau tiga hari terus aku udah meleset nembak kaleng yang bahkan nggak gerak tadi. Kamu juga gangguin terus sih. God, Niko bisa ngamuk kalau tahu."

"I don't care. Lagian objeknya terlalu jauh dan kamu nggak pakai senapan khusus."

"I care, as much as I care about you."

Lengan Faya yang melingkar di leher makin erat memeluknya. Kemudian dia menurunkan tubuh Faya di meja dapur untuk duduk di sana.

"Oke, ruang memasak jadi lebih sempit."

"Tapi aku mau di sini, gangguin kamu masak kayak tadi kamu gangguin aku nembak."

"Kamu bisa gangguin aku seumur hidup kamu. Aku kasih ijin khusus." Tangannya kembali melingkar di pinggang Faya. Dahi mereka menempel.

Senyum Faya mengembang. Kemudian matanya sendiri menikmati senyum itu. Ya Tuhan, jika dia tidak bersikukuh menahan dirinya sendiri, mungkin saat ini Faya sudah dia angkat ke kamar dan dia kunci di sana.

"Mau masak, apa mau lihat-lihatan?" ujar Faya usil.

"Mau yang lain sebenernya."

"Yuk." Kepala Faya mengangguk cepat sambil tersenyum konyol.

Itu membuat dia tertawa. Sungguh, ini terasa sempurna.

***

Pukul enam pagi dia bangun dan menyadari bahwa Hanif sudah tidak ada lagi di sisinya. Tapi harum masakan dari luar membuat dia tersenyum kecil. Tangannya meraih sweeter abu-abu panjang milik Hanif dan mengenakan di atas kausnya, kemudian keluar kamar. Paham benar dia akan menemukan laki-lakinya di dapur.

"Pagi." Hanif tersenyum sambil menyeduh kopi.

"Aku bisa bikin kopi sendiri, serius. Lagian sudah ada teh di meja." Dia sudah berdiri di sebelah Hanif dan mengambil alih tugas itu. "Aku nggak akan kabur, Nif. Aku akan pamit sebelum pergi. Kenapa khawatir banget begitu?"

"I don't get what you mean." Hanif meletakkan dua mangkuk sarapan di meja.

"Kamu selalu menunggu aku tidur dan bangun lebih pagi daripada aku. Apa namanya kalau bukan penjagaan ketat?" Dia menghirup wangi kopi lalu menyeruputnya sedikit.

Hanif menatapnya dari meja makan. "Minum sambil duduk, jangan berdiri begitu. Sini." Tangan Hanif menepuk kursi sebelahnya yang kosong. "...atau di sini lebih baik lagi." Hanif menepuk pangkuannya.

"Wow, tawaran yang menggoda. Tapi sudah cukup manja-manjanya semalam." Dia tersenyum lebar lalu duduk di kursi meja makan.

"Jangan seharian pakai sweaterku begitu." Hanif mulai menyendok sarapan sambil menatapnya.

"Kenapa?"

"Lama-lama aku bisa kelepasan juga."

Dia tertawa. "Sweater ini anti peluru lho, buatan Mahendra."

Kali ini Hanif yang tertawa. "Mana ada." Kemudian tawa Hanif mereda, laki-laki itu terus menatapnya yang sedang makan.

"Jadi, kapan?" tanya Hanif tanpa basa-basi.

Maksud Hanif adalah kapan dia akan pergi, kembali ke misi.

"Ini sudah hari ketiga dan aku belum hubungi Aryo. Dia akan mulai mencari besok. Jadi aku harus kembali hari ini."

"Aku sudah siapkan segalanya, kita jalan siang ini?"

Dia mengangguk, kemudian meminum segelas air dan berdiri. "Sudah sarapannya?" Tubuhnya mendekati Hanif dan duduk di atas meja hadapan Hanif dengan berani.

Kepala Hanif menggeleng lalu bibirnya tersenyum, melihat polahnya. Dua tangan Hanif sudah melingkar di pinggang. "Good morning, Cantik."

Tangannya mengambil cangkir teh di sebelahnya sambil tertawa kecil mendengar Hanif memanggilnya begitu. Kemudian dia menyentuhkan bibir ke pinggiran cangkir, membuat gerakan seolah dia sedang menyesap teh dan meletakkan teh itu di meja.

"Eh, kamu mau? Aku lebih suka teh daripada kopi sebenernya." Dia menawarkan gelas yang sama dan menyodorkannya pada Hanif.

Hanif tersenyum, lalu mengambil cangkir yang sama dan menyesapnya perlahan. Kemudian Hanif meletakkan cangkir itu di meja.

"Mata kamu bagus banget. Ayah Ibrahim punya warna mata yang sama." Dua tangan dia lingkarkan ke leher Hanif. Dahinya dia letakkan di dahi laki-laki itu, menatap mata coklat terang Hanif yang berpendar bagus sekali.

"Mata kamu ada apinya, apa kamu sadar?" Hanif tersenyum kecil sambil menatapnya. "Mungkin karena itu nama kamu Faya, fire, api."

"I don't know. Aku nggak pernah sempat tanya apa arti namaku sendiri karena sibuk membela Ibu yang terus dipukuli."

Dahi Hanif mengernyit.

"Jangan, jangan mengernyit begitu. Jangan kasihani aku. Hidupku baik, Nif."

Mereka masih berada di posisi yang sama. Hanif yang duduk di kursi kayu dan dia yang duduk di atas meja kayu menghadap Hanif. Dahi mereka juga masih bersentuhan.

"I want to know more. Tell me everything," ujar Hanif lirih.

Salivanya dia loloskan perlahan. Membuka masa lalu, mengingat masa kelam itu, adalah suatu hal yang menyakitkan. Tahu, betapa dia tidak diinginkan, tidak berguna, tidak berharga, itu sesuatu yang sangat melukai dirinya. Karena itu ketika bertemu dengan Leo dan anak jalanan yang lain, dia merasa diinginkan, diterima, dilindungi.

"It won't change anything. I love you still, no matter what," ujar Hanif lagi.

Dia terkekeh miris. "Aku nggak malu dengan masa lalu aku, Nif. Karena itulah aku, yang membentuk siapa aku sekarang. Kalaupun harus memilih, biar Tuhan kasih hidup yang sama buruknya. Karena aku akan tetap hidup dengan satu atau cara lain. Bukan itu yang aku takutkan."

"Lalu apa?"

"Kamu. Aku takut, masa laluku melukai kamu."

"Try me."

"Ini bukan kisah dalam dongeng, Nif."

"I don't ask for that."

Nafasnya dia tarik panjang. Dahinya dia jauhkan dari hanif namun dua tangannya masih melingkar di bahu laki-lakinya itu. Kemudian dia menatap Hanif tepat pada pusat penglihatannya.

"My mother is a hooker. Kemudian dia jatuh cinta, sayangnya itu membuat dia nggak hati-hati jadi hamil. Atau mungkin, dia hamil dengan pelanggannya yang lain. Entah. Dan...jangan berpikir dia punya niat mulia untuk mempertahankan saya." Kepalanya menggeleng. "Nggak. Dia bilang, dia berusaha keras menyingkirkan saya. Dengan jamu, obat. Dia tidak punya uang untuk membayar dokter untuk menggugurkan kandungannya. Lalu saya lahir. Di atas segala penolakan dan sulitnya hidup."

"Nggak perlu kamu teruskan kalau kamu nggak mau." Satu tangan Hanif sudah menyentuh bingkai wajahnya.

Senyum tipisnya terkembang. "Aku sudah bilang, Nif. Aku baik-baik." Dia memberi jeda. "Apa Ibu saya berubah ketika saya lahir? Nggak. Beberapa kali saya berusaha dibuang, tapi kemudian entah bagaimana saya selalu kembali ke depan pintu kontrakan-nya. Tapi kali ketiga dia melakukan itu, seseorang yang menaruh saya kembali ke pintu rumah Ibu saya, memberikan uang. Jadi, Ibu saya mengurus saya hanya karena seseorang entah siapa memberinya uang. Saya nggak tahu berapa banyak, harusnya nggak banyak. Karena buktinya dia tetap pada pekerjaan kotornya. Mungkin dia suka, entah."

"Kemudian, laki-laki itu datang. Pacar ibu saya. Selanjutnya klise. Pemabuk itu memukuli ibu dan saya. Lalu karena saya anak seorang pelacur, maka otomatis dia berpikir bahwa saya juga pelac...'

"Stop." Kepala Hanif menggeleng keras. "You're not, you're definitely not." Tubuh Hanif sudah berdiri dan merengkuhnya mendekat.

"Selanjutnya, dia berusaha..."

"No. Stop. Kamu benar, itu melukai saya. Jangan lanjutkan." Hanif sudah memeluknya erat.

"Dia berusaha memperkosa saya, setiap malam dia akan datang. Kemudian saya..."

"Stop Fa, stop." Bibir Hanif sudah tiba di bibirnya sendiri, untuk membungkamnya.

Hanif menciumnya perlahan dan lembut sekali. Seolah ingin menghapus semua cerita kelam itu. Seolah ingin berkata 'saya ada di sini Fa, semua akan baik-baik saja.' Ya, dia mengerti semua yang mereka tidak bisa ucapkan gamblang, semua yang ada di hati karena mereka sudah saling mengerti. Setelah segalanya, setelah hampir tiga hari ini. Titik air matanya jatuh, bukan karena dia yang terluka karena masa lalu, tapi karena apa yang akan terjadi setelah ini.

Dia masih menikmati sentuhan Hanif, namun tangannya menggapai bawah meja. Pistol bius itu dia letakkan di sana. Matanya dia pejamkan. Dia tidak sanggup melihat ekspresi laki-lakinya ini. Tapi tangannya tidak menemukan apapun.

Hanif melepaskan ciumannya sesaat, kemudian menatapnya yang sudah membuka mata.

"Apa ini yang kamu cari, Komandan?"

Pistol bius itu sudah ada di tangan Hanif. Dengan cepat Hanif membongkar pistol agar tidak bisa digunakan lalu membuangnya ke lantai. Matanya masih menatap laki-laki itu sedih.

"I'm sorry." Kepalanya menggeleng untuk mengusir air mata. Hanif masih berdiri dekat dihadapannya.

"I forgive you, kita pergi bersam...."

Tubuh Hanif limbung hingga refleks tangannya berpegangan pada kursi. Dahinya mengernyit nyeri. Hanif duduk di sana sambil seperti berfikir, mungkin mengingat-ingat bagaimana bisa. Lalu mata Hanif menatap cangkir teh di meja.

Nafasnya dia hirup panjang, air matanya belum berhenti. Hanif benar, dia sudah memilih dan tidak akan mundur atas pilihannya sendiri. Sekalipun dia akan menghancurkan hati atau dirinya nanti, sekalipun jalan itu berarti mati. Tubuhnya bangkit dari meja kayu dan berdiri di hadapan Hanif yang duduk di sana. Sebentar lagi laki-laki yang dia cinta itu, akan tertidur karena teh tadi dia masukkan obat tidur dengan dosis yang disesuaikan. Obat yang dia simpan dalam mulutnya sedari tadi dan dia masukkan ketika dia berpura-pura menyesap teh. Tubuh Hanif bahkan sudah mulai lemas tapi laki-laki itu berusaha melawan sekuat tenaga. Karena tangan Hanif mencengkram lengannya, seolah ingin menahannya pergi.

"Kenapa?" tanya Hanif lirih dengan sisa kesadarannya.

Dia duduk di pangkuan Hanif, merangkulnya mendekat. Lalu berbisik di telinganya.

"Because I love you, Hanif Abraham Daud. You're the best thing ever happened to me, in my poor and pathetic life. You must live, you have to."

Air matanya tidak bisa pergi, dia mencium pipi Hanif sayang kemudian mata laki-laki itu terpejam.

***

Pemandangan pertama, adalah langit-langit pondoknya. Tubuhnya langsung duduk tegak, menyadari bahwa dia harus segera menyusul Faya. Dia meraih gelas air mineral dan minum. Kemudian menggelengkan kepala mengusir pengar dari sisa obat bius itu. Matanya menatap ke arah luar. Semoga dia belum terlambat.

'Sial Faya. Kenapa begini?'

Lalu cepat-cepat dia melangkah ke dalam kamar untuk mengambil ponsel.

"Hen." Tubuhnya terus bergerak untuk berganti pakaian.

"Ya, Bang."

"Kirim heli ke sini, lacak Faya."

Mahendra tidak menjawab.

"Hen..."

"Faya sudah kembali, Bang. Dia sedang bersama Aryo."

"Kirim heli-nya sekarang, Hen. Sekarang!!"

Dia membanting ponsel di kasur sambil mengeluarkan seluruh makian yang tertahan. Tubuhnya berjalan mondar-mandir gelisah. Berpikir dan menimbang-nimbang apa yang harus dia lakukan. Kemudian dia menatap sweater abu-abunya yang tadi pagi dikenakan oleh gadisnya itu. Refleks tangannya adalah mengambil dan menghirup wangi wanitanya.

Kenapa bisa begini, kenapa kamu keras kepala Faya? Kenapaa?!!

Lalu dia mengambil ransel cepat dan berlari ke luar, menunggu di landasan heli dekat danau.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro