29. Karma
Gue mulai memasukkan beberapa perspektifnya Arsyad, Sabiya dan Mahendra di cerita ini ya. Buat pemanasan cerita selanjutnya. Part ini, pakai perspektif Arsyad dan Sabiya, dan yang lainnya. Enjoy.
***
Hanya ada dirinya di area menembak sore itu. Karena dia sudah mengosongkan tempat ini. Semua orang memiliki caranya masing-masing untuk menyalurkan emosi atau keresahan dan kegelisahan.
Mareno adiknya, mungkin akan pergi ke klub dan berakhir di salah satu tempat tidur wanita. Sekalipun mungkin sekarang sudah tidak lagi. Mahendra, akan menenggelamkan dirinya di dalam lab dan mengutak-atik formula, atau membaca jurnal-jurnal hukum dan catatan persidangan dari kasus-kasus terkenal di seluruh dunia. Sedangkan Hanif, sudah bisa dipastikan Hanif pergi ke hutan dan menyendiri. Dia yakin saat ini Hanif pun sedang berada di salah satu hutan di luar kota. Sekalipun dia tidak tahu dimana persisnya. Jadi, ini lah salah satu caranya untuk menyalurkan segala emosi, kekhawatiran dan keresahan. Menembak atau membersihkan dan memeriksa koleksi senjatanya.
Hanif adalah adiknya yang penurut. Baik hati, selalu tertawa dan berusaha menyenangkan orang lain. Mereka lebih dekat dibandingkan Mareno dan Mahendra. Hanif juga menguasai bidang psikologi, hingga entah bagaimana adiknya itu selalu bisa menenangkannya. Dia bukan orang keji yang dengan seenak hati melarang Hanif jatuh cinta. Dia paham dan mengerti bagaimana ketika perasaan itu datang. Dulu, dia pernah mengalaminya. Sekalipun dia hanya diam dan menyimpan semua.
Tapi... 'Oh harusnya tidak ada tapi, Syad. Ini Hanif, adik kesayangan lo. Harusnya lo ikut bahagia. Karena akhirnya Hanif memiliki pengganti Daranindra dan tidak berkabung lagi. Karena akhirnya Hanif membela mati-matian apa yang dia anggap benar dan menentang lo sendiri. Akhirnya api itu ada di dalam diri Hanif. Api yang selama ini berusaha lo munculkan karena lo pingin Hanif bisa melindungi dirinya sendiri. Sekarang saat Hanif benar-benar berubah, sikap lo malah begini.'
Pikirannya yang gaduh itu membuat dia mengeluarkan semua sisa peluru dari Glock Meyer 22 miliknya. Menembak target yang sudah bolong tepat di tengah dada berkali-kali.
Kenapa juga harus Fayadisa? Kenapa bisa? Apa karena kebersamaan mereka selama ini. Misi-misi yang dia tugaskan sendiri pada mereka, atau latihan-latihan pada misi Faya terakhir. Mungkin Hanif terbawa suasana. Tapi jika itu hanya terbawa suasana, bagaimana Hanif bisa membangkang darinya?
Fayadisa wanita yang sangat kuat, mandiri, dan berani. Karena itu sekalipun Max lebih dulu datang di ADS, Fayadisa bisa menyusul kemampuan Max. Saat dia melihat mata gadis itu dulu, dia melihat bayangan dirinya di sana. Seluruh api yang ada di dalam mata Faya, adalah yang menariknya untuk membawa Faya ke ADS. Sekalipun dia harus mengakui dia tidak menemukan Faya begitu saja. Ada seseorang yang memintanya langsung untuk menjemput dan menjaga Faya. Dan dia berjanji pada orang itu dia akan memastikan Faya aman di sini.
Gadis itu sudah seperti belahan jiwa dalam artian professional untuknya. Faya sangat mengerti tanpa dia harus banyak berkata-kata. Juga dapat menangkap seluruh informasi, memproses dan menganalisa juga mengingatnya dengan cepat. Faya, adalah gadis istimewa yang seolah ditemukan takdir untuk dia jaga. Jadi dia cemas dan murka ketika Hanif ingin menarik Faya dari misi. Karena itu bisa membahayakan nyawa Faya sendiri.
Pistolnya dia sarungkan dan dia berjalan cepat menuju garasi utama. Resahnya belum mau pergi. Masih betah bercokol di kepala. Mungkin dia harus berpindah tempat dan memikirkan cara lain untuk menghilangkan semua kegelisahannya ini.
***
Apa yang disampaikan Mareno benar-benar membuat Sabiya cemas. Hanif adalah laki-laki terbaik dan kakak laki-laki yang sempurna. Saat dia melahirkan Damar dulu, Hanif yang ada bersamanya untuk menemani masa-masa sulit itu. Dia mencintai Damar, bagaimanapun cara Damar bisa ada dalam tubuhnya. Ibu adalah ibu. Tapi saat itu memang kelam sekali. Titik terendah dalam hidupnya sendiri.
Hanif akan datang setiap hari setelah pulang kerja. Bergantian dengan dia sendiri menjaga Damar ketika malam tiba. Hanif akan bermain piano jika Damar sedang sakit dan rewel. Damar akan tidur lelap seburuk apapun sakitnya ketika sudah mendengar permainan piano Hanif. Karena itu Damar memanggilnya ayah. Miris, karena Damar sendiri tidak pernah tahu siapa ayah biologisnya yang sebenarnya.
Mareno bilang Hanif jatuh cinta pada Fayadisa. Gadis kuat dengan wajah manis itu. Dia gembira, sangat gembira mengetahui hal ini. Karena dia ingin Hanif bahagia setelah segala kegagalannya dulu. Tapi, Mareno juga bercerita tentang betapa sulit posisi mereka sekarang. Tentang misi berbahaya Faya, tentang bagaimana Hanif berusaha menahan semua tapi akhirnya meledak juga, atau tentang kenyataan pertengkaran pertama Hanif dengan Arsyad, abangnya. Ketika dia dengar semua itu, dia yakin Hanif benar-benar jatuh cinta.
Sekarang dia cemas, ponsel Hanif tidak bisa dihubungi. Mama Trisa sudah mulai menanyakan Hanif padanya. Akhirnya dia harus menutupi semua kenyataan dengan cara berbohong.
Kemana kamu, Bang? Pulang. Damar juga mulai cemas dan dihantui mimpi.
Matanya menyapu kamar Hanif di safe house. Duduk termenung di pinggir kasur. Setelah beberapa saat dia merasa sesak karena rasa cemas. Kemudian dia memutuskan untuk keluar dan menuju balkon belakang. Duduk di tangga kayu sambil menatap langit malam. Harusnya, dimanapun Hanif saat ini, laki-laki itu juga memandang pada langit yang sama.
"Hanif, nggak hubungi kamu?" Arsyad berdiri di balkon sambil bersender pada salah satu tiang.
Suara Arsyad mengejutkannya. Wajahnya tetap lurus ke depan menatap hamparan rumput hijau dan barisan pohon-pohon yang mengitari taman belakang.
"Nggak. Apa kamu tahu Hanif dimana, Bang?"
"Saya bisa cari tahu dan kejar. Tapi kalian semua membela Hanif habis-habisan dengan cara meminta waktu."
"Mana yang paling buat kamu marah, Bang? Hanif yang melawan kamu? Atau Hanif yang jatuh cinta dengan salah satu tangan kanan kamu?"
"Saya nggak marah. Saya kaget, kemudian saya cemas, luar biasa cemas," jawab Arsyad.
Kemudian mereka diam. Dia masih duduk di tangga dan Arsyad masih berdiri di tempatnya. Nafasnya dia atur perlahan, selalu begini ketika dia berada bersama Arsyad. Aura Arsyad yang kuat membuat campuran rasa itu datang.
"Apa nggak ada cara lain jadi mereka bisa bareng dan tidak membahayakan misi?" tanya Sabiya.
Ada, pasti ada. Kalau saja saya mau mendengarkan adik saya. Tapi saya tidak mau mendengar kemarin itu. Jadi Hanif berlari, karena saya menyudutkan dia dan membuatnya berlari, pikir Arsyad dalam hati.
"Mereka, cuma jatuh cinta, Bang." Sabiya melanjutkan.
Arsyad terkekeh kering. "Jangan sepelekan hal itu. Lima huruf dan bisa membuat semua orang gila, semua yang benar disalahkan atau sebaliknya. Membuat batasan antara hitam dan putih jadi abu-abu. Jadi, hilangkan kata cuma di depannya." Arsyad mulai menyalakan rokok dan menatap lurus ke depan.
"Kamu selalu skeptis soal itu."
"Lima kata itu akan membuat semua nafsu keluar, membuyarkan konsentrasi, menghilangkan fokus. Variable paling berbahaya adalah hati, di antara semua variable lainnya." Asap rokok Arsyad hembus perlahan.
"Tapi itu yang buat kita berbeda dari semua mahluk lainnya kan? Hati, akal pikiran, perasaan, nafsu."
"Itu ujian, cobaan. Semua hal itu ada untuk tempa kita apakah kita bisa berpegang teguh dengan apa yang kita yakini."
Dia sudah berdiri dan menatap Arsyad yang masih bersender di tembok dan merokok. "Karena itu kita harus gunakan keduanya kan? Hati dan akal pikiran, seimbang. Karena itu kamu tolong Faya dulu, dan kamu tolong aku dulu."
"Itu Mahendra dan yang lainnya, bukan saya."
Nafasnya dia hirup perlahan. Percuma emosi dengan manusia setengah robot ini. "Ya, tapi kamu tolong Faya dan nggak bunuh Mareno waktu dia hampir memperkosa Antania. Kamu punya hati dan kamu pakai selama ini."
"Selalu ada penjelasan dibalik semua yang saya lakukan. Dan saya bisa pastikan kalau sebagian besar keputusan saya, adalah berdasarkan perhitungan, akal logika. Bukan hati. Apa itu membuatmu kecewa, Tuan Putri?" Ekspresi Arsyad datar dan dingin. Mata hitam itu menatap matanya sekilas.
"Apa ini salah satu cara menyebalkan kamu untuk melampiaskan gelisah kamu, Bang? Wow, kekanakkan sekali."
"Kamu mulai pintar bicara, seperti Mareno." Mata Arsyad lurus ke depan lagi dan tidak menatap matanya. "Pulang Biya, Hanif baik-baik saja. Sebelum saya lebih menyakiti kamu lagi karena kegelisahan saya." Rokok itu dia hembuskan lagi.
"Saya tetap di sini." Dia kemudian duduk kembali di tangga dan bungkam.
Selama beberapa saat mereka diam saja, dengan suara-suara alam yang menemani. Kemudian Arsyad berujar lagi.
"Hen, antar Tuan Putri pulang. Gue mau istirahat." Arsyad masuk ke dalam karena Mahendra baru saja tiba.
Air matanya menetes satu. Dia kesal dengan sikap Arsyad. Jika sedang gusar, Arsyad selalu seperti sengaja bersikap buruk begitu. Padahal dia selalu berusaha membuat Arsyad tidak marah. Hanya bicara baik-baik saja. Tapi Arsyad selalu punya cara untuk memutar kata-kata dan menyakiti hatinya.
Dia paham Mahendra berdiri di belakangnya. Diam. Ya, dia juga tidak mengerti kenapa Mahendra sangat diam jika sedang berada di sekelilingnya. Padahal Mahendra bisa usil pada Mareno atau Hanif. Tapi ketika bersamanya Mahendra seperti patung tanpa ekspresi. Diam, sama dinginnya dengan Arsyad. Salah, Arsyad selalu dingin. Oh, dia rindu Hanif, sangat merindukan hangat sosok itu.
Tubuhnya berdiri kemudian dia mengelap sisa air mata. "Aku bisa pulang sendiri, terimakasih."
Tangan Mahendra menahan lengannya. "Saya antar."
Kemudian laki-laki bertubuh tinggi itu berjalan mendahuluinya. Dia mengikuti Mahendra dan berlalu dari situ.
***
Brayuda menatap wanita dihadapannya, sambil tersenyum kecil. Mereka berdiri di tengah arena bertarung dalam dojonya sendiri.
"Kontrol emosi lo bagus. Gue nggak heran, lo wanita dewasa dan matang. Sudah melalui banyak hal. Let's see, apa semua pelajaran gue lo bisa tangkap dan praktekan?"
Yuda membiarkan wanita itu berlari menuju arahnya dan bergerak menyerang lebih dulu. Gerakan wanita ini cepat dan lebih terarah daripada sebelumnya. Pola gerakannya masih terbaca, atau mungkin memang karena dirinya sendiri berada pada level yang berbeda. Jadi dia bisa dengan mudah membaca gerakan wanita ini.
Kemudian mereka sibuk saling menghantam. Stamina wanita ini masih perlu dilatih lagi, karena baru dua puluh menit dia sudah terengah. Yuda paham dia tidak boleh memaksakan diri. Karena luka-luka wanita itu yang pernah dia derita.
"Saran, simpan energi. Jangan buang-buang jika memang lo tahu musuh lo nggak akan tumbang dengan 3 gerakan. Rubah pola, jangan punya pola bertarung. Itu bisa jadi titik lemah seseorang. Karena pola bisa terbaca mudah."
"Thanks. Kayaknya saya harus latihan fisik lagi."
"Nggak perlu, sudah cukup. Istirahat dulu. Jangan memaksakan diri." Yuda memberikan sebotol air mineral pada wanita itu. "Ini semua hanya untuk perlindungan diri, bukan untuk pekerjaan sehari-hari. Kecuali kalau lo orang ADS. Jadi santai aja."
"Thanks."
Ponsel Yuda berbunyi. Dia berbicara dengan nada serius dengan seseorang di seberang sana. Lalu menyudahinya.
"Kabar dari Rajata, kita jalan."
Mereka berdua sudah berlari menuju ruang ganti.
***
Sementara di bagian Jakarta yang lain.
Sudah ada beberapa orang memburunya. Yanto paham itu, juga paham kondisi saat ini sungguh memberatkan dirinya. Orang yang menyebarkan rekaman benar. Jika dia kabur, besar kemungkinan nyawanya tidak akan selamat. Partner Michelle, Herman adalah orang yang licik, pintar dan berkuasa. Jadi dengan cepat berita menyebar. Kepalanya sudah dihargai 100 juta.
Yang paling benar, dia menyerahkan diri, mengakui perbuatannya sekaligus membongkar siapa dalang dibalik semua ini. Kemudian dia akan aman di dalam penjara. Yono, belum bisa dia hubungi. Laki-laki itu menghilang. Karena dulu Yono ketakutan. Dasar pengecut.
Rencananya, dia akan menyerahkan diri besok dan menghubungi si orang misterius agar dia dilindungi hingga saat persidangan tiba. Ya, sidang pertama akan terjadi beberapa minggu lagi. Jadi, paham benar ini adalah hari terakhir dia menghirup kebebasan, karena itu dia ingin bertemu dengan nyonya cantiknya itu. Apalagi setelah menonton video tidak senonoh sang nyonya dengan beberapa laki-laki. Hasratnya langsung naik tinggi. Oh, dia tidak sabar.
Sudah bertahun-tahun dia bekerja untuk Michelle. Jadi dia paham benar seluruh system keamanan yang digunakan. Siapa yang berjaga, ruang mana yang dikunci dan tidak dikunci, atau CCTV mana yang dibiarkan mati karena dianggap tidak penting. Harusnya tidak terlalu banyak yang berubah dan nyonya sedang gusar dan marah karena berita itu. Jadi wanita cantik itu mengunci dirinya di rumah untuk menghindari pers.
Tubuhnya besar tapi gesit. Jadi dengan mudah dia masuk ke dalam rumah melalui salah satu jendela lantai dua yang sedikit tersembunyi karena langsung tersambung ke lorong menuju perpustakaan dan ruang kerja. Semalam ini semua pelayan sudah tidur. Hanya tiga penjaga yang berjaga di depan dan ketiganya sudah dia lumpuhkan tadi. Dia masuk dan mengendap menuju lantai tiga, lantai utama tempat kamar besar sang nyonya berada.
Perlahan dan cepat dia menghindari kamera CCTV. Pintu kamar akan selalu di kunci, jadi dia mengetuk pintu tiga kali.
"Letakkan anggurnya di depan pintu," suara Michelle di dalam sudah terdengar.
Seringai di wajahnya sudah muncul. Dewi fortuna ada di pihaknya, atau ini karma sang nyonya? Entah, dia tidak perduli. Pintu itu dia ketuk lagi.
"Apa kamu nggak dengar?" Suara sang Nyonya gusar sekali.
Dia bisa mendengar suara langkah kaki mendekati pintu kemudian ketika pintu itu terbuka, dia mendorongnya keras, masuk ke dalam dan merebut remote kunci dari genggaman Michelle. Tombol itu terdengar indah sekali. Satu pijitan tapi semua pintu dan jendela tertutup. Remote itu dia hancurkan dengan kaki. Satu-satunya jalan yang tersisa untuk membuka pintu adalah tombol di balik handle pintu itu sendiri. Dan dia sedang berdiri menghalangi.
"Brengsek, mau apa kamu? Keluar!!" Wajah cantik Michelle pucat pasi.
"Halo, Nyonya."
Matanya menatap tubuh Michelle liar yang dibalut lingerie hitam dengan jubah satin senada. Wanita itu panik dan ketakutan. Tubuhnya berjalan mundur kebingungan. Karena tidak ada jalan keluar lain.
"Saya, kepala keamanan anda, apa anda lupa?"
"Bajingan gila!!" teriak Michelle.
Dia tertawa. "Saya? Gila? Bukan saya yang menyuruh merusak seorang gadis, atau membunuh orang, atau berbuat tidak senonoh dengan tiga laki-laki." Tubuhnya mulai berjalan menuju mangsanya.
"Harusnya anda bilang Nyonya, jika anda kesepian dan butuh ditemani. Saya dengan senang hati melakukannya."
Michelle mulai melemparkan barang-barang yang bisa dia raih. "Saya akan bunuh kamu."
"Ya, boleh. Tapi setelah malam ini. Silahkan kejar saya lagi." Wanita itu sudah mulai menggedor jendela yang sudah tertutup sempurna dengan panel perlindungan.
"Kamar ini kedap suara, jadi ketika Nyonya dan Tuan sedang bermain dulu, kami tidak mendengar. Panel-panel jendela dan pintu itu untuk perlindungan diri. Ketika ada yang terjadi di luar. Jadi, daripada buang waktu, lebih baik menjadi anak manis yang menurut saja. Bagaimana?"
Michelle mulai meronta karena dia sudah tidak sabar dan meraih tubuh molek itu. Sungguh perlawanan wanita itu benar-benar tambah membuatnya gila. Sejak dulu dia memang gila perihal ini. Jadi, dia akan memastikan mereka menghabiskan malam yang panjang lama-lama. Sebelum shift jam 5 pagi berganti.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro