28. The Pandora Box
Yanto berdiri di ruangan sambil mendengarkan dengan seksama. Rekaman suara bosnya sendiri yang jelas benar mengatakan bahwa dia dan Yono harus dimusnahkan. Hebatnya rekaman itu tersebar ke seluruh ponsel grup keamanan Michelle Dinatra oleh seseorang melalui voice message.
Wanita gila itu memerintahkan seseorang untuk membunuhnya, menghabisinya untuk menghilangkan bukti kejahatan mereka dulu. Dia tidak heran, ini bagian dari resiko. Tapi dia harus mengakui wanita ini licik sekali. Jahat dan licik. Bersembunyi dibalik kecantikan wajah dan kesempurnaan fisiknya.
Senyum tipisnya terkembang, paham benar dia sudah menyiapkan rencana cadangan. Dulu, dia merekam semua perintah Michelle Dinatra dan menggunakan rekaman untuk mengancam Michelle hingga wanita itu mau mempekerjakannya sebagai kepala keamanan. Ya, dia masih berada dekat dengan Michelle agar bisa memantau jika hal ini akan terjadi. Siapa juga yang tidak mau bekerja dengan si cantik itu. Mungkin ini juga bagus. Karena selama ini dia sudah menahan diri untuk tidak menyentuh Nyonya-nya sendiri. Sekarang, karena Michelle sudah resmi memburunya. Maka, dia akan memburu Michelle kembali dan menikmatinya nanti.
Tangannya membalik catatan yang dia terima siang tadi. Nomor ponsel. Mungkin ini adalah orang yang bisa membantunya. Paling tidak untuk melindungi nyawa, atau mungkin menawarkan kesetiaannya. Dia mulai menghubungi.
"Halo, saya Yanto. Dengan siapa saya bicara?"
***
Publik dikejutkan dengan bocornya video tidak senonoh antara pemilik stasiun swasta ketiga terbesar di negeri ini. Dalam video, wanita berinisial MD berhubungan badan dengan seorang laki-laki asing yang masih ditelusuri identitasnya. Tapi bukan hanya satu, ada dua video lagi yang menunjukkan wanita yang sama juga melakukan hal yang sama di tempat yang berbeda dan dengan dua laki-laki lain yang berbeda. Sementara itu, MD belum bisa ditemui untuk dimintai keterangan. Polisi masih mengusut kasus ini, karena status MD adalah masih istri sah dari pengusaha tambang ternama dengan inisial HMD.
Berita pagi itu menghibur hati Mareno. Dia tersenyum puas sambil duduk menghirup kopi di safe house. Sudah saatnya semua kebusukan Michelle terbongkar. Ya, Michelle yang kesepian karena suaminya tergila-gila pada wanita lain. Wanita itu berusaha dengan segala cara untuk mendapatkan perhatian suaminya kembali. Juga memenuhi kebutuhan seksnya yang tinggi dan hobinya yang aneh. Dulu, Michelle hanya bersamanya satu kali. Setelah itu dia menjauhi Michelle karena paham wanita ini sedikit gila, berbahaya. Dalam arti sebenarnya. Dia tidak terkejut jika Michelle bisa meminta orang merusak Danika.
"Sinting isi rekamannya. Itu gue nggak ngerti motifnya apa." Mahendra juga sudah duduk di sofa.
"Nafsu, rasa kehilangan hebat, juga kebutuhan yang sangat menuntut buat dipuaskan." Dia menjawab.
"Tapi kenapa mesti direkam coba, Ren? Wanita selalu berada di posisi yang lebih bersalah perihal ini. Hukuman sosialnya lama. Apa dia nggak pikir ke sana?" tanya Mahendra lagi.
"Kalau sudah nafsu yang ngomong udah susah, Hen."
"Kayak lo dulu ya?"
"Sial. Tapi gue main pintar. Mana ada video-videoan begitu. Norak, nggak elegant."
"Tetep aja nafsu. Pantes sekarang kelabakan ditinggal Tania."
Mareno mendengkus kesal sekali sedangkan Mahendra malah tersenyum konyol.
"Sorry-sorry, bercanda gue. Lo dapet itu rekaman darimana?"
"Davina. Dia punya dendam kesumat sama Michelle. Tapi nggak berani sebar video itu. Paham duit Michelle lebih banyak. Hen, IP address lo bisa kelacak nggak tu?"
"Luar biasa menyepelekan, Bapak yang satu ini. Nggak mau jawab." Mahendra terkekeh kesal. "Jadi, pandora box sudah terbuka."
"Michelle akan makin mengamuk dan panik. Dia juga akan sibuk dengan kasusnya ini. Salah satu pelaku sudah telpon gue. Tinggal yang satunya, Yono. Gimana soal tato itu Hen?"
"Masih gue lacak. Di Indo soal tato-tato begini lebih susah lacaknya dibandingkan di luar negeri sana. Karena terkadang tempat bikin tato-nya nggak terdaftar."
Dia mengangguk setuju, nafasnya dia tarik dalam. "Gue harap, gue benar-benar berharap Tania lihat semua ini dan muncul."
"Semoga aja, Ren. Tapi paling nggak dia hidup." Mahendra mengangguk kecil. "Hanif gimana? Kalian bener-bener sinting kalau udah keracunan perasaan. Ngeri gue lihatnya."
"Gue sumpahin abis ini giliran lo."
Mahendra tertawa saja.
"Nggak akan ada yang bisa temuin Hanif kalau dia mau sembunyi, Hen. Bahkan Arsyad butuh waktu berhari-hari untuk lacak jejaknya dulu. Sekarang dia lagi berusaha melindungi ceweknya. Jadi persembunyiannya pasti sempurna."
"The Lioness begitu nggak butuh perlindungan."
"Aryo Kusuma bukan orang sembarangan. Tommy lewat. Lawan Aryo yang seimbang itu Abang kita. The great and powerful Arsyad Daud. Jadi gue nggak salahin Hanif yang panik begitu."
Kepala Mahendra mengangguk setuju. Hanya dua orang yang bisa membelokkan peluru, dua saja. Arsyad dan Aryo. Teknik penguasaan senjata mereka sempurna. Hingga menembak target jarak jauh yang bergerak cepat atau teknik menembak hingga peluru bisa berbelok mereka kuasai. Herman juga bukan tipe pemaaf. Jadi dia mengerti betapa khawatirnya Hanif.
"Sampai kapan Hanif mau sembunyi, Ren?"
"Dia sedang menyusun rencana diam-diam. Gue yakin Hanif berniat selesaikan misi Faya, jadi Faya nggak perlu teruskan misi itu lagi." Mareno menoleh pada Mahendra. "Hanif akan hubungi kita, Hen. Saat itu, gue minta tolong dua hal. Pertama, jangan bilang Arsyad. Kedua, kita bantu Hanif. Inget kata Arsyad dulu? Kita bertiga itu lebih kuat bahkan dibandingkan dia. Jadi kita bisa kalahkan Aryo."
Mahendra menghembuskan nafasnya. "Oke. Pagi-pagi omongan udah berat begini. Bikin gue laper aja."
"Gue nggak ngerti lo makaaan mulu tapi badan nggak gemuk-gemuk. Pergi kemana sih makanan lo?" Mareno berdiri untuk bersiap berangkat.
Satu tangan Mahendra menunjuk kepalanya. "Ke sini." Kemudian dia menunjuk perutnya. "Bukan ke sini. Lagian gue masih dalam masa pertumbuhan, Bang."
"Dasar gila. Gue jalan. Kita berkabar nanti."
***
"Aku kesiangan." Faya duduk di sebelah Hanif yang sedang menatap danau.
"Belum terlambat, sebentar lagi sunrise." Hanif menoleh sejenak menatap wajah Faya dari samping kemudian merangkulnya mendekat.
Mereka berdua duduk di rumput pinggir danau beralaskan karpet kecil hitam.
"Mungkin, aku yang nggak mau tidur. Karena nggak mau lewatin sedikitpun waktu sama kamu begini," ujar Hanif.
Faya tersenyum dan menyandarkan kepalanya di dada Hanif. Rasanya nyaman, tenang. Karena itu juga tidurnya pulas sekali. Tanpa mimpi apapun. Karena Hanif memeluknya hangat sepanjang malam.
"Atau, kamu nggak tidur karena takut aku kabur?" godanya sambil tersenyum.
Senyum kecil Hanif terkembang. Wajah laki-laki itu sendu sekali. "Kamu akan pergi, mungkin besok atau lusa. Itu tebakan aku. Pilihan kamu belum berubah. Aku bisa lihat jelas di sorot mata kamu."
Tubuh Faya makin mendekat. Hidungnya menghirup wangi tubuh Hanif lama-lama. Menyimpannya di dalam dada. "Apa kamu akan kunci aku di sini?"
"Pinginnya begitu. Tapi seekor singa wanita yang kuat dan indah, tidak layak dikurung. Sia-sia. Nalurinya akan terus ada di sana. Daripada dikurung, lebih baik ditemani, dijaga. Agar nggak ada pemburu liar yang bisa tembak dia."
Hati Faya perlahan menghangat, hangat sekali. Sekalipun suhu di sekeliling mereka 10 derajat. Dia merasa dicintai dengan cara yang benar. Ya Tuhan, apa yang dia harus lakukan.
Hanif mengecup puncak kepalanya sayang. "Aku temani, Fa."
"Itu misi satu orang," ujarnya.
"Aku tetap akan pergi, kamu juga tahu itu." Hanif menatap mata Faya yang berada di dada. "Aku nggak akan melarang, tapi aku temani. Aryo bukan tandingan kamu. Tapi mungkin, kita bisa atasi. Berdua."
"Hubungan personal kita akan menambah banyak variabel dan memperumit situasi. Resikonya jauh lebih tinggi."
"Maaf, tapi tawaran tadi bukan permintaan. Hanya pemberitahuan. Jadi kita susun rencana bersama dan berangkat bersama. Atau kamu bisa kabur lebih dulu dan aku ada persis di belakangmu. Pilih mana?"
Faya diam sejenak. Banyak hal-hal yang indah di dunia. Dongeng, mimpi, cerita romansa atau fiksi. Atau pemandangan yang menghampar dihadapan mereka, juga suasana damai dengan burung-burung pagi yang mulai mengobrol seru. Itu semua indah. Tapi, dia tahu bahwa semua hal indah itu tidak pernah jadi miliknya. Tugasnya adalah untuk membuat Hanif mengerti. Jadi dia menghirup nafas panjang sebelum mulai berujar.
"Hanif, hidup kamu itu indah. Keluarga, Mama, Ayah, saudara-saudara yang saling melindungi, juga Sabiya."
"Kamu keluar konteks."
"Listen to me, please. Banyak yang menunggu kamu pulang. Yang akan menangis kalau kamu tidak ada, yang akan sangat merindukanmu." Dia bisa merasakan pelukan Hanif menguat. "Kamu punya seluruh rencana baik untuk memperbaiki lingkungan, menyembuhkan bumi. Hati kamu jangan ditanya. Kamu nggak pernah bunuh orang saat menjalankan misi. Sekalipun kamu sangat emosi. Kamu sempurna, di mata saya kamu sempurna."
Salivanya dia loloskan perlahan. Ini sulit sekali. Tubuhnya sudah duduk tegak dan mata mereka bertautan. "Kamu harus hidup Hanif. Harus. Kalau terjadi sesuatu dengan saya..."
"Stop, please."
"Hidup Nif. Jalan terus. Biarkan hati kamu sembuh nanti. Jangan tutup hati kamu lama-lama. Kamu layak untuk bahagia. Lebih dari siapapun yang saya kenal. Kamu yang paling..."
Hanif membungkam bibirnya dengan ciuman. Mata laki-laki itu benar-benar terluka. Coklat terangnya menjadi lebih gelap. Tidak berpendar lagi. Ketika dia mengerjapkan mata, satu-satu airnya jatuh. Ini, adalah cinta. Bentuk cintanya untuk laki-laki hebat yang selalu memberinya pilihan, yang tidak berusaha mendominasi tapi malah mencoba mengerti. Dan yang sedang menciumnya panjang, lama-lama.
Mereka melewatkan detik saat matahari menguap dan terbangun. Oh, dia tidak perduli. Dia hanya ingin merasakan laki-laki ini, ketika dia bisa dan masih bernyawa.
***
Niko menatap Arsyad yang gusar. Mereka berada di ruangan Arsyad.
"Lo udah dapat lokasinya?" tanya Arsyad.
"Belum."
Rahang Arsyad mengeras. "Lo nggak cari, Nik. Lo nggak cari Hanif. Gue tahu itu. Lo juga membiarkan dia pergi." Arsyad menghirup nafas dalam. "Sebagai abangnya, gue setuju. Tapi sebagai pimpinan, gue nggak setuju."
"Arsyad, buat Hanif, Mareno dan Mahendra, lo akan selalu jadi Abang mereka. Nggak akan pernah jadi pimpinan mereka. Biarkan Hanif mendinginkan kepalanya dulu. Karena gue yakin, Hanif dan Faya yang gue kenal, mereka nggak akan membengkalaikan sebuah misi."
"They're fucking in love each other. Akal logika nggak akan dipakai."
"Give them 3 days, Syad. I'm asking you as your bestfriend. Three days. Setelah itu gue bahkan rela ikut lo hukum kalau memang perlu. Silahkan hukum kita semua setelah itu. Tapi sekarang, biarkan mereka istirahat dulu."
Arsyad memaki keras. Dia perduli dengan Hanif dan Faya, mereka dua orang penting untuknya. Hatinya tidak mati. Tapi hubungan personal di tengah misi, benar-benar bisa menghancurkan segalanya.
***
Easy Bang Arsyad, easy. You are always become their big brother, not their Boss.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro