27. Runner, runner
Faya menatap kertas yang dia genggam bingung. Kertas itu tergeletak di atas meja belajarnya ketika dia kembali ke atas sore itu. Pesan dari Hanif tentang runtutan segala yang harus dilakukan malam ini. Setelah Aryo menjemput dan mengantarnya ke warung siang tadi, Arsyad sudah menelponnya perihal misi buku merah. Tapi kemudian sore hari dia menemukan ini. Ada apa sebenarnya.
Misi baru. Confidentiality: Level 5. Bawa barang-barang dan kemasi. Tinggalkan semua alat ADS dan tracker. Bilang pada Bu Yanti kalau Bapak sakit di kampung dan harus pulang tiba-tiba. Jelaskan hal yang sama pada Aryo. Pergi segera ke terminal bus X dan tunggu di sana. Semua hal sudah disiapkan dan sudah diatur. Jaga dirimu dan hancurkan pesan ini.
Kertas itu sudah terbakar sempurna. Hanya menyisakan abu hitam saja. Kemudian dia melakukan apa yang diminta. Level 5 adalah level tertinggi dari suatu misi. Tidak boleh meninggalkan jejak apapun di belakang dan hanya tiga orang yang tahu. Arsyad dan maksimal dua orang pelaksana misi. Ketika dia berjalan ke luar warung dia bertemu Aryo yang menuju ke sana.
"Fa, mau kemana?"
"Bapak sakit di kampung. Maaf saya buru-buru." Matanya memindai angkot yang ada bersiap untuk memberhentikannya.
"Gue antar, tunggu di sini."
"Nggak usah."
Aryo menarik tangannya ke arah gedung kantor Herman. Memaksanya untuk mengikuti laki-laki itu mengambil salah satu motor acak di sana. Kemudian mereka berlalu menuju terminal bus.
"Hati-hati oke. Hubungi gue setelah sampai sana. Atau gue susul lo di sana kalau tiga hari nggak ada kabar. Piilh aja. Ini nomor gue." Aryo menuliskan nomor ponselnya dengan pulpen dari dalam saku kemeja hitam pada lengan kaus Faya sendiri. Mereka sudah berada di depan terminal.
"Gimana kalau saya nggak bisa balik?" Dia sedikit menundukkan pandangannya.
"Jangan pesimis dulu dan jangan berpikir untuk lari dari gue, Fa." Wajah Aryo mendekat ke telinga. "I will find you, wherever you are. I promise I will find you." Bisik Aryo padanya.
Kemudian laki-laki itu mencium pipinya sesaat kemudian dia segera berlalu.
***
Arsyad salah jika berpikir bahwa penutupan seluruh akses dirinya akan menghentikan apa yang dia ingin lakukan sekarang. Dia sudah siap, sebenarnya sejak lama. Bahkan sebelum tahu bahwa dia akan mengalami hal ini, dia sudah mengantisipasi segalanya. Ya, ini salah satu ilmu dasar bertahan hidup. Kita harus mampu hidup tanpa teknologi apapun. Mereka pernah mendapatkan pelajaran ini dulu di hutan bersama.
Jadi, dia sudah punya sejumlah dana yang tidak di simpan di bank, dia bisa bepergian tanpa kendaraan pribadi, dia punya tempat tinggal yang tidak akan terlacak oleh siapapun bahkan tempat itu tidak diketahui oleh tiga saudaranya yang lain, dia juga sudah menyiapkan jalur kontak aman. Ini semua dia lakukan karena paham benar dengan situasi yang sedang terjadi. Sekalipun yang dia tidak prediksi, rencana cadangannya ini akan dilakukan karena dia jatuh cinta dan ingin menyelamatkan perempuan yang dia cinta.
Matanya mengawasi dari kejauhan. Memindai ke sekeliling Faya. Setelah tiga puluh menit membiarkan gadis itu menunggu dan memastikan perimeter yang ada aman. Aryo sudah meninggalkan Faya di sana, anak-anak buahnya juga tidak ada. Kemudian dia berjalan mendekati sosok Faya.
Ketika dekat gadis itu diam saja dan berjalan menuju bus mereka. Kemudian di dalam bus mereka duduk berdampingan sambil mengawasi situasi. Sepanjang jalan dihabiskannya untuk berpikir rencana selanjutnya. Mereka hanya duduk diam waspada.
Tiga jam kemudian mereka tiba di luar kota. Turun dan berjalan bersisian dalam diam. Dia membawa Faya ke teras terminal bus dan orangnya sudah di sana. Siap dengan jeep wrangler hitam.
"Bang, gue kaget tiba-tiba lo telpon pake jalur aman."
Hanif tersenyum kecil sambil melihat ke sekeliling mereka. "Sori, gue harus langsung pergi. Lo tahu kan?" Mereka berjabat tangan singkat.
Laki-laki itu mengangguk kemudian menyerahkan kunci mobil padanya. Mereka naik dan segera melaju dari sana.
"Nif, ada apa?" Faya sudah tidak bisa membendung lagi rasa penasarannya. Mobil mereka juga sudah berjalan dan berada jauh dari terminal.
"Nanti, kita bicara nanti kalau sudah sampai."
Faya menggeleng kesal sekali namun diam saja. Dia melepas cardigan berwarna pink lembut itu dan menggantinya dengan jaket kulit hitam. Sepatu flatnya juga dia lepas dan ganti dengan boot. Setelah itu dia menguncir rambutnya tinggi ke atas.
Kepalanya menoleh dan tersenyum. Betapa dia sanggup melakukan apa saja agar gadis ini selamat. Bahkan berlari seperti ini dan menentang abangnya yang selama ini dia hormati. Ya, sebesar itu perasaanya untuk gadis ini hingga dia tidak tahan membayangkan apa yang bisa terjadi jika misi berbahaya itu masih berjalan.
Mereka berkendara satu jam lamanya. Lalu jeep itu masuk ke pedalaman hutan dengan jalan yang buruk sekali. Faya masih diam memperhatikan jalan mereka. Mungkin bertanya-tanya ada apa. Tiga puluh menit kemudian mereka tiba di depan sebuah pondok kayu berukuran sedang.
"Ini tempat siapa?" tanya Faya heran.
"Tempat saya. Turun. Kamu pasti lapar."
Pintu pondok dia buka. Seseorang yang dia percaya sudah menyiapkan segalanya. Jadi semua beres dalam artian pondok sudah bersih dan rapih layak huni dan bahan makanan lengkap tersedia.
"Apa Arsyad tahu tempat ini?" Faya meletakkan ransel di ruang tengah yang menyambung dengan meja makan dan dapur. Memandang berkeliling.
"Nggak ada yang tahu. Ini sanctuary nya saya. Saya ke sini selalu sendiri dan memang mau menyendiri. Listrik di sini pakai tenaga surya. Jadi, memang tidak terang dan hanya bertahan sampai jam tiga malam saja. Setelah itu gelap sampai matahari pagi muncul."
"Kenapa kamu ajak saya ke sini?" Faya menatapnya heran.
"Misi dibatalkan oleh Arsyad. Saya harus melarikan kamu ke..."
"Kamu bohong. Ada apa, Nif?"
Hanif menatap Faya dalam. Paham benar dia tidak mau dan tidak bisa membohongi gadis ini. Faya terlalu pintar dan tahu seluruh metodenya. Nafasnya dia hirup perlahan.
"Misi itu terlalu berbahaya, Fa. Saya sudah lihat blueprint gedung kantor Herman. Memang seolah gedung itu biasa saja. Tapi ketika alarm berbunyi, satu saja. Semua akses keluar masuk terkunci. Otomatis. Itu bunuh diri."
"Jadi kamu melarikan saya ke sini? Kamu nggak percaya dengan kemampuan saya?"
"Saya percaya dengan kamu, tapi faktor resiko yang ada terlalu tinggi. Saya nggak bisa biarkan kamu..."
"Kamu nggak percaya saya." Kepala Faya menggeleng kesal. "Kamu bilang kamu menerima saya utuh sebagai Fayadisa. Tapi lagi-lagi kamu freak out dan mengambil keputusan sepihak. Tidak memberikan saya pilihan."
"Kamu sudah memilih, saya tahu pilihan kamu. Kamu pilih pergi menjalani misi itu dan mati. Ya kan? Bagus Fa, pilihan yang bagus."
"Kamu terlalu terburu-buru menyimpulkan saya mati, Nif."
"Risk assessment yang saya lakukan cermat, hasilnya hanya 5% kamu bisa selamat."
"Di Palestina dulu kemungkinannya hanya 1%, Hanif."
"Tapi dulu tidak ada saya. Saya cinta kamu dan nggak mungkin saya biarkan kamu ambil 5% itu!! Arsyad sudah gila!" Dia berteriak frustasi.
Faya menghirup nafas panjang tiga kali, berusaha meredakan emosi. "Ini variable yang tidak perlu. Khawatir, cemas, cinta. Itu adalah variable-variabel yang tidak diperlukan. Kamu yang paling paham."
"Tapi kita manusia yang memang terlahir dengan variable itu. Kamu bukan mesin pembunuh, Fa. Kamu manusia utuh, kamu seseorang yang berarti buat saya."
"Kamu hanya melakukan pembenaran atas teori kamu sendiri, Nif. Variabel yang tidak dibutuhkan itu harus disingkirkan, atau diubah menjadi tingkat kewaspadaan. Jadi bisa membantu pelaksana misi dan tidak mengganggu fokusnya. Saya bukan anak baru kemarin di ADS."
"Kamu terus bilang begitu. Saya tahu kamu, Fa. Saya yang membuat kamu begini sebagiannya. Sebagian lagi Arsyad yang membentukmu." Tangannya sudah berkacak pinggang frustasi.
"Oke, oke. Saya sudah di sini. Jadi setelah itu apa?" Faya memutuskan untuk mengalah malam ini.
Hanif sudah melangkah mendekati tubuh Faya dan menenggelamkan gadis itu dalam pelukan. "Maaf, tapi setelah sekian lama, saya nggak mau kehilangan orang yang saya cinta lagi. Kali ini, nggak akan lagi."
***
Tangannya balas merengkuh laki-laki ini. Dia paham, dia mengerti. Hanif gusar sekali. Bahkan sedikit menggila. Sepanjang yang pernah dia tahu, Hanif adalah sosok yang mengikuti aturan dan arahan. Patuh pada apa yang menjadi tugasnya. Sama seperti dia sendiri. Tapi sekarang, Hanif bahkan menentang keputusan Arsyad. Seseorang yang dia tahu Hanif kagumi dan hormati.
Dia pun merindukan Hanif. Ingin segera menyelesaikan misi dan pulang. Istirahat sejenak. Menghabiskan waktu seperti satu hari sempurna yang lalu. Hanya bersama Hanif saja. Jadi, apa boleh mereka sedikit egois? Menanggalkan seluruh misi-misi mereka di belakang. Menjadi seseorang yang normal, bercerita tentang betapa tidak pentingnya kegiatan mereka hari itu dan menertawakannya, atau sekadar duduk di sofa sambil berangkulan.
"I love you. I can't lose you. I'm sorry," ujar Hanif lirih.
Kemudian bibir itu tiba. Membelainya lembut, mengitari bingkai wajahnya sebelum akhirnya tiba di bibirnya juga. Merasakan segala. Tentang rindu, tentang betapa besar perasaan mereka, tentang tanggung jawab yang terabaikan, tentang kenyataan yang pahit yang berusaha mereka lupa. Ini rasanya benar, tapi salah di saat yang bersamaan. Besar keinginannya untuk bersama Hanif semakin bertambah setiap hari. Sementara dia dididik cukup untuk tidak meninggalkan tanggung jawabnya selama ini. Itu adalah arti benar dan salah tadi.
Jadi dia membiarkan tangan Hanif menelusup ke balik kaus yang dia kenakan. Dari awal, dia sudah siap untuk ini. Sekalipun paham prinsip Hanif yang sangat berbeda. Tapi mungkin karena rasa putus asa, Hanif seolah tidak ingin berhenti merasakannya. Getir hubungan mereka. Jaket Hanif sudah dia buka, kaus hitam laki-laki itu sudah di lantai. Memperlihatkan tubuh besar dan liat Hanif. Bibir laki-laki itu ada di lehernya. Kemudian Hanif mengangkat tubuhnya agar duduk di atas meja makan berukuran kecil yang terbuat dari kayu kokoh, sambil terus mencecapnya.
Matanya terpejam merasakan segalanya. Dia tidak mau menghentikan Hanif jika laki-laki itu juga tidak mau berhenti. Sungguh, dia tidak ragu. Tidak ketika dalam misi, juga tidak saat dia mencintai seseorang sebesar ini. Tapi kemudian Hanif berhenti. Tangannya turun dari balik kausnya dan dia letakkan di samping kanan-kiri meja. Wajahnya tersiksa. Ya, Hanif hebat perihal ini. Dia tidak pernah kalah dengan hawa nafsunya. Dan dia akan menghargai apapun keputusan Hanif.
"I'm sorry." Hanif memeluknya lembut. "Ini alasan kenapa laki-laki dan wanita nggak bisa berada di tempat yang sama berdua aja."
"Jauh di dalam hutan dan di pondok remang-remang?" Dia terkekeh kecil. "Saya pernah begini dengan Niko atau Leo. Tapi nggak ada yang terjadi."
Hanif tersenyum lalu melonggarkan pelukannya. "Sebaiknya begitu, Komandan. Dan jangan biarkan Aryo bebas mencium kamu kayak tadi. Itu buat saya marah."
Dia tersenyum saja melihat Hanif sudah mengambil kausnya di lantai dan mengenakannya. "Itu misi. Nggak pakai perasaan sama sekali."
"Kamu nggak pakai, Aryo pakai banyak perasaan."
"Dia jatuh cinta sama Nafa, Nif. Bukan Fayadisa."
"Akting kamu terlalu bagus."
"Aku punya guru yang hebat."
"Dasar bandel. Kamar kamu di situ. Kamar mandi di sebelahnya kalau kamu mau mandi atau bersih-bersih. Nggak ada shower di sini. Old fashion way semua. Aku masak sebentar karena pasti kamu lapar. Iya kan?" Hidung mereka bersentuhan.
"Aku bantuin kamu masak. Mandinya nanti aja setelah makan. Mandi bareng kamu." Dia menggigit bibirnya.
Kemudian Hanif tertawa. "Aku suka ide baru kamu itu. Tapi kamu layak ditunggu, dan aku bisa pastikan nanti ketika sudah resmi, rasanya pasti jauh lebih baik."
"Oooh...Fayadisa kecewa." Dia tersenyum konyol menggoda Hanif.
Setelah itu mereka memasak bersama di dapur yang kecil. Tubuh mereka yang terus bertubrukan karena kecilnya area membuat mereka tertawa.
"Kamu duduk aja di meja, Fa. Ini yang ada nggak mateng-mateng nanti. Aku laper banget."
"Nggak mau, ini seru."
"Duduk, Komandan."
"Kalau kamu panggil aku begitu sekali lagi, aku akan balik ke markas dan teruskan misi. Are we clear?"
"86." Hanif mengangguk sambil tersenyum lalu mendaratkan ciuman singkat di pipi.
Sudah larut ketika mereka selesai makan dan membersihkan diri bergantian. Setelah itu dia beranjak ke kamar berukuran sedang dengan tempat tidur berseprai putih bersih. Kemudian setelah meletakkan ransel, dia kembali ke luar kamar. Baru sadar bahwa hanya ada satu kamar saja di pondok itu.
Hanif berdiri memandang ke luar jendela. Dia mendekati Hanif dari belakang dan merengkuh tubuh kokohnya.
"Cuma ada satu kamar, kamu tidur dimana?"
Hanif tersenyum sambil menggenggam dua lengannya. "Dulu, area ini adalah area perkemahan musim panas kami. Setiap liburan, aku dan tiga lainnya pasti ke sini. Kita diberi misi, untuk menemukan petunjuk yang disebar di hutan. Terus aku temukan tempat ini. Tempat yang sempurna. Tadi kita sampai sudah malam dan gelap, besok pagi kamu bisa lihat. Betapa indahnya tempat ini."
"Perkemahannya kemana sekarang?"
"Pindah ke daerah lain yang hutannya masih perawan. Karena daerah sekitar sini mulai ramai penduduk. Sekalipun, sebagian besar area sudah aku beli. Untuk menghindari pengembang modern masuk. Untuk menjaga hutan dan danau. Untuk menjaga kenangan masa kecil dulu. Dan pondok ini adalah satu-satunya pondok yang ada di area hutan."
"Apa aku harus takut?"
"Kamu nggak pernah takut. Kamu terlalu berani, Fa. Kamu istimewa." Hanif diam sejenak. "Kalau pertanyaannya aku tidur dimana? Ini rumahku, Fa. Aku bisa tidur di luar, di rumput sambil menatap langit malam. Jangan khawatir."
"Biasanya aku nggak khawatir. Tapi semua variable itu buat aku lebih, apa ya...sensitif."
"Manusiawi."
"Sedikitnya menjadi Nafa juga sudah buat aku terlalu menjiwai, jadi tambah sensitif. Mungkin aku harus ikut kelas lagi atau telpon Dea bagaimana cara mengatasi ini."
"Kenapa mesti telpon Dea kalau gurunya Dea ada di sini." Hanif membalik tubuhnya dan melingkari lengan ke pinggangnya.
Dia tertawa. "Apa aku boleh minta sesuatu?"
"Apa?"
"Aku nggak mau tidur sendiri. Bukan karena aku takut, tapi..."
"Done." Hanif menjawab cepat.
Matanya menatap mata coklat sempurna itu. Tenggelam di dalamnya. Dia hanya punya sedikit waktu, sangat sedikit. Karena itu, dia harus membuat sebanyak-banyaknya memori.
Misi adalah misi. Tanggung jawab yang lebih besar daripada diri sendiri. Sesuatu untuk menghindari bahaya yang lebih besar dan menolong lebih banyak orang. Sekalipun besar kemungkinan semua memori ini akan menyakiti dan menghancurkannya nanti. Tapi misi, adalah misi.
***
Leo duduk di dalam apartemen. Berkutat dengan laptopnya untuk membaca semua langkah dan menyiapkan segalanya. Awalnya dia mendengar pembicaraan Hanif dan Mareno tidak sengaja di sasana. Tentang misi Faya. Dan kekacauan di ADS hari ini membuat dia mengerti. Bahwa Hanif membela Faya mati-matian.
Hanif Daud adalah pelatih mereka yang tidak pernah lepas kendali. Jadi, dia yakin itu pertanda bahwa misi kali ini adalah misi bunuh diri. Dan dia, dia tidak akan melanggar janjinya dulu. Bahwa Faya tidak boleh mati. Dia harus lebih dulu. Sekalipun kali ini dia punya Risa untuk dijaga, bukan hanya Faya. Dia yakin Faya pasti menjaga Risa dan Bang Faiz nanti.
Arsyad dan si empat saudara sedang tidak dalam kondisi baik. Jadi mudah untuknya menyelinap dan mengambil data tentang misi juga seluruh hal yang diperlukan. Dia yang akan pergi. Karena dia tahu bahwa Hanif akan menjaga Faya untuknya. Ya, Hanif mencintai Faya. Selama ini dia mengintai diam-diam, karena khawatir dengan keselamatan gadis itu. Kemudian dia menemukan kenyataan bahwa Hanif bereaksi lebih jauh daripada biasanya. Ya, Hanif jatuh cinta pada Faya. Entah kenapa dia juga tahu, bahwa gadisnya itu juga mencintai Hanif.
Asal kamu bahagia, Fa. Asal kamu hidup dan bahagia. Itu sudah cukup.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro