Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

26. The risk to take

Siang itu terik sekali. Langkah Faya sedikit tergesa karena ingin cepat sampai di halte terdekat. Alih-alih angkot yang dia tunggu berhenti, sedan hitam itu membuka kaca. Wajah Aryo muncul dari balik kendali.

"Masuk."

"Gimana?"

"Masuk cepatan."

Dia masuk ke dalam mobil itu ragu-ragu. Sudah tiga hari Aryo tidak bertandang ke warung. Sedikit informasi yang dia dapat Aryo sedang melacak seseorang untuk mendapatkan dokumen itu kembali. Kemudian sekarang laki-laki itu di sini dengan buku tangannya yang lebam dan pelipis yang terluka.

"Lo sakit kemarin?"

"Dua hari lalu. Demam aja kecapekan. Itu muka kamu kenapa?"

"Baik-baik, emang ada apa?" Aryo pura-pura tidak mengerti.

"Dasar sombong." Dia mendengkus kesal.

Aryo terkekeh sesaat. "Iya, gue emang sombong. Tapi serius ini bukan apa-apa."

"Emang 'apa-apa'nya gimana?"

"Nanti nangis lagi kalau gue cerita."

"Coba cerita dulu."

"Kalau nangis gue turunin di jalan ya." Aryo memberi jeda. "Gue pernah ketembak, ketusuk pisau, koma satu minggu karena babak belur waktu awal-awal, kepala bocor..."

"Udah-udah-udah, nggak mau denger." Kepalanya dia gelengkan kuat sambil memejamkan mata.

Aryo tertawa lebar. "Tadi lo yang nantangin." Tawa itu terhenti. "Gue kangen lo. Kenapa bisa sakit sih?" Tangan Aryo sudah berada di dahinya. "Udah nggak demam bener? Udah ke dokter?"

"Bawel." Tangannya menampik tangan Aryo tapi kemudian laki-laki itu malah menggenggam tangannya erat.

"Kalau dipegang begini, nggak bakalan nangis kan?"

Suhu tubuhnya mendingin. Oke, mungkin Hanif benar dia sudah bermain terlalu jauh. Bagaimana jika laki-laki ini benar-benar menyukai Nafa. Shit.

"Nggak nangis, tapi jadi dingin." Bukannya pergi, tangan itu masih di sana menggenggamnya lebih erat lagi. Seolah ingin menghangatkan tangannya sendiri.

"Saya..." Salivanya dia loloskan. "Kamu salah sangka, saya nggak mau berhubungan dengan siapapun. Saya cuma mau sekolah dan bekerja."

"Gue setuju. Sekolah, jadi sarjana, terus kerja. Gue bisa bantu soal kerja. Gue nggak pernah sekolah, Fa. Jadi lo harus sekolah, yang bener dan yang pinter. Ngomong-ngomong buku lo masih ketinggalan di kantor."

"Tapi..."

"Nggak ada tapi."

"Saya nggak suka kamu." Dia berujar cepat sebelum Aryo memotongnya.

Aryo tersenyum kecil. "Pertama, lo akan mulai terbiasa. Kedua, lo mulai mencari. Ketiga, lo mulai mau selalu ada. Keempat, lo suka atau apalah namanya itu. Kelima, lo butuh gue. Gue sabar soal beginian, sekalipun kalau soal pukul-pukulan gue nggak sabar."

"Kenapa maksa?"

"Bukan maksa, usaha. Lagian gue punya waktu buat nunggu, lo juga masih kuliah, belum bisa gue ajak kawin sekalipun udah cukup umur. Tapi gue mau lo lulus kuliah dulu."

Dia tersedak dan batuk-batuk. Okey, this is way too far.

"Ini yang bikin gue kangen sama lo, Fa." Kepala Aryo menoleh sambil menatapnya.

"Saya butuh buku saya. Tapi mau ambil sendiri." Cepat-cepat dia berujar lagi.

"Mengalihkan pembicaraan. Oke. Ada di ruangan gue. Besok pagi atau nanti malam. Apa mau sekarang?"

Dia berpikir sejenak. Ini harus cepat diselesaikan dan dia harus mundur segera. Firasatnya bilang situasi bisa menjadi sangat berbahaya nanti. Ya Tuhan, kenapa intuisi Hanif selalu benar perihal ini.

"Besok pagi aja."

"Kayak kemarin?"

Kepalanya mengangguk perlahan. "Saya suka, membayangkan diri saya bekerja di kantor sebagus itu."

"Lo bisa kerja di sana nanti, serius." Aryo kembali fokus pada jalanan dihadapan mata. "Oke, besok pagi."

***

Mahendra menghubunginya saat dia sedang berada di tengah meeting bersama tim. Pesan singkat.

Mahen: Black room. A.S.A.P

Kemudian dia segera meninggalkan meeting dan memacu motor ke kantor ADS. Pembicaraan rahasia memang tidak bisa dilakukan dari sembarang tempat. Jadi dia harus ke sana. Semoga ini bukan tentang Faya.

Tiga puluh menit kemudian dia tiba di gedung ADS, langsung berlari menuju Black Room. Sudah ada Niko, Mahendra, Arsyad dan Mareno di sana.

"Duduk, Nif. Kita mulai." Arsyad sudah berdiri dari duduknya sambil berjalan menuju gambaran digital yang terpantul di dinding. Menunjukkan gambar-gambar CCTV, foto apartemen Tania dan hasil test DNA.

"Antania, masih hidup. Hasil test DNA soal rambut sudah keluar. Hasilnya cocok, itu rambut Tania. Kamera-kamera CCTV di mall sudah diperiksa. Wajahnya tidak jelas tapi dugaannya itu adalah dia. Kemudian CCTV di apartemen juga menunjukkan sosok yang sama. Rambut brunette yang ditutupi topi. Mahendra juga sudah retas laptopnya. Tapi data-data itu hilang. Data-data perihal kasus Danika," ujar Arsyad menerangkan seluruh informasi.

"Tapi dia lihai sekali, wanita ini seperti dilatih seseorang agar bisa bersembunyi dengan baik." Arsyad melanjutkan.

"Kita masih pantau laki-laki yang bersama dia di mall. Tapi hanya ada satu rekaman CCTV soal laki-laki itu. Jadi ini sulit." Mareno kali ini.

Dahi Hanif mengernyit. "Tania masih mencari siapa pelaku pemerkosa Danika. Darimana Tania tahu kalau pelakunya bukan Mareno? Kenapa dia tidak kejar Mareno?"

"Dia sudah tahu," ujar Arsyad.

"Ya benar, tapi bagaimana dan dari siapa? Tania memiliki krisis kepercayaan. Hanya satu orang yang selalu dia percaya..." Hanif menghirup nafasnya. "Angel, hubungi Nalea sekarang. Video call. Connect to the screen."

Nada sambung itu sudah bergema di ruangan.

"Halo, Bang. Ada apa?"

"Nalea, nyalakan kameramu," pinta Hanif.

"Oh oke. Saya minggir dulu, sedang di jalan."

Tubuh Hanif sudah berdiri dan menatap pantulan besar video di layar. Matanya jeli perihal menangkap kebohongan seseorang. Tapi dia harus melihat wajahnya.

"Ya Bang?"

Wanita itu sedang berada di dalam mobil dengan seatbelt masih terpasang. Matanya menatap ke arah kamera ponsel.

"Lea, saya ingin bertanya dan saya harap kamu menjawab dengan jujur."

"Ya, baik. Ada apa, Bang? Kamu menakuti saya."

"Apa Antania menghubungimu?"

Mata Hanif memindai cermat, menjelajah pada keseluruhan ekspresi dan gestur tubuh Lea.

"What? Kalau iya saya pasti langsung menghubungi kalian."

"Saya ulangi pertanyaan saya. Apa Tania menghubungimu? Dengan telpon, email, atau apapun."

"Tidak."

"Sial, dia jujur." Hanif berbisik sambil memalingkan tubuhnya ke saudara-saudaranya.

"Tapi Bang, saya mengirimkan email ke dia."

Tubuh Hanif berbalik lagi menghadap layar besar. "Jelaskan."

"Dokter Tania selalu cermat. Dia selalu meminta saya mengecek email-email Danika dulu dan membacanya satu persatu saat kami masih mencari si pelaku. Jadi, karena sekarang dia menghilang, saya pikir saya akan mencoba komunikasi satu arah padanya. Saya menulis email dan menjelaskan kondisi sebenarnya. Soal Mareno dan Mario. Saya berharap Bu Dokter akan membaca dan mau pulang, entah kapan. Karena Mareno menunggu dan mencarinya."

"Terimakasih Lea. Saya sangat menghargai apa yang kamu lakukan," ujar Mareno dalam.

"Good. Sekarang kita tahu bagaimana cara Tania mendapatkan informasi," timpal Hanif.

"Apa Dokter Tania sudah ditemukan?" tanya Lea.

"Belum, kami sedang berusaha," jawab Hanif. Dia berpikir sejenak. "Lea, saya butuh akses email kamu. Berikan pada kami. Kami akan mencoba berkomunikasi dengan Tania. Tolong jangan gunakan emailmu dulu sementara waktu ini."

"Bagaimana kalau Dokter malah tambah sembunyi karena ketahuan?" tanya Lea.

"Tenang Lea, Hanif sangat ahli perihal itu." Arsyad menjawab. "Terimakasih, Lea. Good job. Silahkan lanjutkan aktifitasmu."

"Oke, Bang. Tolong tetap kabari saya."

Hubungan disudahi.

"Gue bisa lacak dimana Tania saat dia mengakses emailnya. Tapi dia harus mengakses emailnya." Mahendra berinisiatif.

"Yes, please. Hanif yang akan memberikan email pancingannya," perintah Arsyad.

"Dia bersembunyi karena dia tidak mau ditemukan." Niko buka suara dan semua menoleh. "Playing dead is always a good strategy for a 'surprise party'." Pesta kejutan di sini adalah berarti serangan mendadak yang tidak diduga musuh.

Hanif mengangguk setuju. "Ya, karena dengan begitu dia lebih leluasa bergerak. Untuk menemukan si pelaku. Reno, kapan pandora box dibuka?"

"Besok."

"Oke, kita lihat apakah Tania bereaksi dengan ini. Karena ternyata kita mencari orang yang sama."

"Hen, gimana soal penyadap di ruang Michelle?" tanya Arsyad.

Mahendra tersenyum lebar dan menoleh ke Mareno. "Michelle panik. Dia berencana berkoalisi dengan Herman."

"Herman?"

"Ya, paman kita tersayang datang ke kantor Michelle pada suatu hari yang cerah. Ilmu persuasi Michelle tidak kalah dengan Mareno, luar biasa. Jadi Herman tertarik, karena Michelle menawarkan 20% saham channel 51 jika Herman bisa membantunya melindungi nama baiknya sendiri dan meminta Herman untuk menghabisi Yanto - yes itu nama pertama si pelaku dan Yono – yak inilah pelaku kedua. Jadi kita punya nama."

"Gue lagi periksa database Channel 51 untuk dua nama itu. Juga lagi kutak-katik data-data Michelle tapi butuh waktu. Selain itu semua, Mario berhasil menemukan gambar tato si pelaku, itu pun lagi gue cek. Terimakasih Mahendra." Senyum konyol Mahendra terkembang.

"Gue punya cara lebih cepat. Tapi nanti kita lihat cara gue atau penelusuran Mahendra yang selesai duluan." Mareno bicara.

"Great. Ini berita baik." Arsyad mengangguk kecil.

"Gimana soal Herman, Bang?" tanya Hanif.

Abangnya menatap Niko sejenak. "Faya did a wonderful job. Alat-alat itu bekerja sempurna. Bukti kejahatan Herman adalah dokumen pembelian senjata yang asli. Nama Herman ada di sana. Juga, Herman menyebutkan soal buku catatan merah yang dia punya beberapa kali ke Aryo. Gue dan Niko percaya disitulah Herman menyimpan semua daftar kejahatannya."

"Kalau begitu tarik Faya, Bang." Hanif berujar.

Arsyad menggeleng. "Faya harus menemukan buku merah itu, Nif."

"Gue yang akan turun tangan. Gue yang cari. Lo tahu gue jago soal mencari yang hilang kan?"

"Buku itu tidak hilang, Nif. Ada di dalam kantor Herman. Faya sudah di sana. Aryo dan Faya bahkan sudah resmi berhubungan dekat."

Hanif menggertakan rahangnya.

"Pesan sudah dikirim ke Faya dan dia setuju. Dia akan masuk besok pagi-pagi sekali." lanjut Arsyad.

Tangan Mareno menahan lengan Hanif cepat, karena paham benar abangnya itu mau meledak.

"I love her." Hanif menekankan setiap kata. Tubuhnya sudah berdiri emosi dengan Mareno yang menahan bahunya.

Refleks Arsyad langsung memijit dahinya. Sementara Niko membelalak kaget dan Mahendra datar saja.

"Take her back or I swear to you..."

"Faya? Ini serius?" Arsyad menatap adiknya tidak percaya. "Lo jatuh cinta sama tangan kanan gue? How dare you!!" Meja itu digebrak kencang.

"Oke, oke. Semua tenang. Jangan panik, tenang." Niko dan Mahendra juga sudah berdiri.

"Yes, I am. Gue cinta Faya. Lo mau apa, Bang?" Tubuh Hanif yang ingin maju sudah ditahan Mareno.

"Mau bunuh lo karena lo yang paling tahu kalau ini berbahaya dan Faya bisa gagal di misinya." Arsyad juga sudah ditahan oleh Mahendra dan Niko.

"Itu misi bunuh diri. Lo kasih makan singa dengan daging merah segar. Lo gila, Bang!!"

"Lo lebih gila lagi dengan main hati begitu, dengan Fayadisa. Ini Fayadisa!!"

"Lo tahu apa yang membedakan kita dengan binatang. Selain akal pikiran, kita dikasih hati Bang. Jangan gurui gue soal sesuatu yang nggak pernah lo gunakan."

Tangan kuat Arsyad sudah mendorong Niko dan Mahendra. Dia menerjang Hanif dan memukulnya kuat. Tanpa memperdulikan Mareno yang keawalahan memisahkannya.

"Lo adek gue yang paling waras, kenapa lo rusak semua? We are so close, Nif!!"

Hanif mengeluarkan segala kemampuan bertarungnya untuk menghadapi Arsyad. Dia memang bukan nomor satu atau dua perihal pertarungan tangan kosong, tapi dia ahli membaca gerakan. Satu dua pukulan sudah dia terima, tapi sisanya Arsyad berhasil dia tahan.

Mereka berhadapan kelelahan. Tangan Arsyad sudah mencengkram leher baju Hanif sementara bahu Arsyad ditahan Mareno dan Mahendra.

"Lo, mengecewakan." Mata kelam Arsyad menatapnya dalam.

"Ya, nggak masalah Bang. Kalau gue harus mengecewakan lo karena gue jujur, I'll take the risk."

"Bang, kita duduk dulu. Tenang dulu, Bang." Mareno, Niko dan Mahendra berusaha menenangkan Arsyad.

Tangan Arsyad melepaskan cengkramannya. Kemudian berujar sambil menatap mata Hanif dalam.

"Angel, cabut seluruh akses Hanif Abraham Daud sampai waktu yang tidak ditentukan. Mulai dari sekarang."

"Permintaan diproses..."

Hanif langsung berlari ke luar dari ruangan. Paham benar apa artinya. Pencabutan seluruh akses berarti dia sudah tidak bisa masuk ke dalam markas ADS, kantor ID Tech dan apartemennya. Akses kartu kredit hilang, rekening bank tidak bisa dia gunakan. Berlaku sama pada semua peralatan ADS termasuk Ducatinya. Belum lagi seluruh tracker device akan dipasang untuk melacaknya.

Semua Arsyad lakukan karena paham benar dia akan menarik Faya dari misi berbahaya itu. Agar dia gagal menjemput Faya di sana, agar misi tetap berlangsung dan buku merah ditemukan. Hingga Herman bisa dihentikan. Arsyad tidak pernah berpikir bahwa pasti ada jalan lainnya jika saja mereka mau bicara.

Ponselnya berbunyi. Mareno.

Reno: My car, clean. Use it. Ada baju di dalam mobil.

Maksud Mareno adalah mobilnya bersih dari alat pelacak apapun. Dia tersenyum kemudian berlari ke arah parkir di depan tempat mobil Mareno bertengger. Kemudian dia mengganti seluruh pakaiannya dan menghampiri salah satu anak buah Faya yang kebetulan lewat.

"Lang."

"Ya Bang," sahut Elang.

"Arsyad butuh bantuan. Dia ingin kamu mengintai seseorang." Hanif memberikan sebuah alamat yang dia tulis di kertas tadi kemudian berujar lagi. "Gunakan motor saya."

"Serius boleh, Bang?"

Hanif mengangguk, kemudian dia berlalu dari situ. Sudah pasti seluruh instruksi tadi palsu. Hanya untuk berjaga-jaga ketika Arsyad meminta seseorang untuk mengikutinya. Dugaannya perintah untuk melacaknya belum turun, karena ketidaktahuan Elang tadi.

Di dalam Black Room

"Niko, ikuti Hanif." Arsyad manatap tegas.

"Bang, Hanif cuma..."

"Ikuti Hanif, sekarang!!" Arsyad menggebrak meja. "Hentikan dia dari menghancurkan misi ini. Hentikan dia atau saya akan hentikan sendiri."

Niko berlari ke luar ruangan menyusul Hanif.

***

Baper berat nulis part-part berikutnya. Mix feeling antara sedih sama tegang. Hanif akhirnya ngambil sikap juga. Setelah berusaha bersabar sekian lama. Ini sudah makin dekat juga dengan konflik utamanya. Jadi, buckle up Genks. Karena rasanya nano-nano.

But still, I always hope you will enjoy it.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro