Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

25. More clues

Sekarang, partnya Mareno-Tania. Biarkan Hanif dan Faya berduaan dulu. Yang kangen Aryo, masih harus sabar ya. Tapi serius nih kangen Aryo?

***

Apartemen itu masih sama. Perbedaannya hanyalah rasa sepi dan sakit yang hebat ketika dia menginjakkan kakinya di sana. Dia ingat benar, bagaimana Antania berbaring di sofa kelelahan saat pulang kerja, atau ketika wanitanya itu berada di dapur membuat kopi untuknya, atau bagaimana mereka sering duduk dan berbincang tentang hari mereka di meja makan atau di sofa. Itu semua bukan hal terburuk, karena yang terburuk dan memperburuk keadaan adalah bagaimana wangi wanita itu menguar dimana-mana.

Perpaduan dadanya yang lega karena menemukan oksigen, tapi di saat yang sama dada itu juga terasa nyeri ketika dia menghirup wangi itu. Sungguh semua menarik-narik sisa kewarasan yang dia punya. Tubuhnya hanya bisa berdiri tegak, menegang sambil menatap ke sekeliling ruangan. Kemudian berpegangan pada buffet terdekat karena rasanya dia ingin jatuh. Ini benar-benar lubang neraka.

Get over yourself. She's alive. Get up and take what you need.

Saat kesadarannya tiba, dia segera melangkah ke arah kamar Tania untuk mengambil beberapa helai rambut yang dia duga akan ada di sisir wanita itu. Kamar ini lebih parah lagi, dia meringis nyeri. Membiarkan dirinya disergap dengan seluruh bayangan Tania yang ada di setiap senti ruangan. Berusaha keras untuk melangkah masuk tanpa melihat tempat tidur dengan sprei putih bersih di tengah area. Tujuannya adalah meja rias di ujung sana.

Dugaannya benar, sisir itu ada di dalam laci kecil dan terdapat beberapa helai rambut Tania. Benda itu dia simpan dalam kantung plastik zip bening. Matanya tertumbuk pada pantulan bayangan tempat tidur itu dari cermin. Dahinya mengernyit lagi. Rasa sakit itu menusuk dada. Tapi kemudian, pandangannya berhenti ketika tiba di pinggiran kasur. Sprei di bagian sana berkerut. Seperti habis diduduki. Tubuhnya langsung berbalik untuk memeriksa.

Jantungnya berdebar liar mengetahui dia tidak salah. Kemudian dia kembali memeriksa dengan cermat keadaan sekeliling.

Antania, apa kamu datang ke sini?

Tidak ada yang aneh lagi di kamar pribadi, akhirnya dia berjalan mengecek keseluruhan apartemen. Dapur. Bercak air di sink membuat dadanya tambah berdebar seru. Dia membuka seluruh lemari dapur dan menemukan pada tempat gelas yang berjejer rapi bergerak satu. Lalu dia berlari ke arah ruang kerja Tania.

Oke, apa yang Hanif lakukan jika mencari jejak. Pikir Ren, jangan rubah posisi apapun. Berdiri dan amati. Pintu sudah dia buka dan dia termenung di sana, matanya langsung memindai ke seluruh area. Dia butuh bantuan Hanif.

"Nif," ujarnya melalui telpon.

"Ya, ada apa Ren?"

Dia menjelaskan kecurigaanya sendiri. Kemudian Hanif mulai bertutur.

"Lo ada di ruang kerjanya?"

"Ya, tidak ada yang aneh." Dia melangkah perlahan.

"Kalau gue jadi Tania, gue butuh file-file dari komputer gue. Karena itu gue harus kembali ke apartemen gue sendiri," ujar Hanif.

"Masuk akal."

"Jangan rubah dan sentuh apapun, jalan menuju meja kerjanya Ren."

"Sudah." Kakinya berhenti di depan meja kerja Tania.

"Apa posisi kursi bergeser?"

"Gimana gue bisa tahu?"

"Lihat bagian bawah roda, Ren. Ruang kerja Tania pakai karpet? Pasti ada jejak pada bulu karpet itu."

Tubuhnya membungkuk dan mengamati. Ya Tuhan.

"Dapat?"

"Dapat, dan ya posisi kursi berubah."

"Good. Sekarang berdiri. Lihat seluruh benda yang ada di meja kerja."

"Oke, tidak ada yang aneh."

"Kita mau tahu apa benda-benda itu berubah posisi. Betul?"

"Ya. Jadi gimana?"

"Apartemen Tania sudah nggak ditempati berbulan-bulan. Jadi pasti berdebu. Buka tirainya kamu akan bisa melihat debu tipis di meja."

Dia membuka tirai jendela perlahan membiarkan sinar matahari sore masuk. "Gue sudah buka tirainya."

"Posisikan mata lo sejajar dengan meja. Lihat debu-debu itu. Kalau ada bagian di dekat laptop atau mouse yang tidak berdebu, kemungkinan ada orang yang baru saja ada di sana belum lama."

Instruksi Hanif langsung dia ikuti. Tubuhnya bertumpu dengan lutut di lantai. Matanya dia picingkan untuk melihat jelas ke permukaan meja. "Sial, Nif."

"Dia ada di sana?"

Tubuhnya langsung jatuh terduduk. Mouse itu bergeser juga area di dekat keyboard laptop. Antania-nya di sini.

"Ren, tenangkan diri lo dulu. Cek semua CCTV. Kalau nggak salah dia ganti dengan punya GT Techno sebulan sebelum kalian merencanakan pernikahan. Hubungi teman lo Mahesa Tanandra untuk bantu, kalau nggak minta Tanandra atau Reyhani Straussman kasih aksesnya ke Mahendra. Jadi semua jelas. Bisa jadi juga bukan Tania yang ke sana kan?"

Mulutnya masih bungkam. Hanya dengan ini saja, rasanya jantungnya sudah mau keluar. Dia merindukan Tania. Sangat merindukan wanita gila itu.

"Ren, bangun. Jangan buang waktu," ujar Hanif lagi.

"Terimakasih, Bang. You're the best soal beginian."

"Anytime."

Tubuhnya bangkit berdiri dan segera mengamati seluruh posisi CCTV. Lalu menghubungi sahabatnya, Mahesa Tanandra, yang saat ini menjabat sebagai presiden direktur GT Techno, salah satu perusahaan teknologi ternama di negerinya selain perusahaan milik keluarganya sendiri.

"Hai Ndra, gue butuh bantuan lo."

***

Tubuh Michelle bergerak gelisah. Tidurnya sudah berminggu-minggu terganggu. Ini semua harus dihentikan sebelum dia terjerat lebih jauh. Satu orang suruhannya dulu yang bernama Yanto tidak bisa dia bereskan begitu saja karena si brengsek itu adalah anak buahnya. Dia butuh orang lain untuk menghabisi Yanto. Yang satu lagi sedang diburu. Tapi belum ada hasil. Pintu kantor diketuk.

"Bu, ada janji temu dengan Pak Herman Daud sepuluh menit lagi. Tapi beliau sudah tiba."

Dia menggeram mendengar nama keluarga Daud. Tapi kemudian dia berpikir sejenak. Herman adalah politisi kan. Yang dia tahu, Herman ingin mencalonkan diri dua tahun mendatang. Nama Herman sedang naik karena kasus terakhir. Penyelamatan Menteri Perdagangan, Bayu Tielman oleh Herman Daud si politisi kawakan. Menteri dalam negeri juga sedang bermasalah karena dokumen bukti kasus penyelundupan senjata yang menyebutkan namanya, jadi dia sudah dengar isu bahwa Herman sudah mulai bertemu Pak Presiden. Kemungkinan untuk menggantikan posisi Menteri Dalam Negeri.

Apa Herman mau diajak bekerja sama? Harusnya hubungan Herman dan Ibrahim Daud tidak dekat. Otaknya berpikir keras memikirkan apa imbalan yang akan membuat Herman tertarik dan mau membantunya. Kemudian dia tersenyum.

"Minta beliau masuk. Saya akan menemui dia di ruangan saya. Bilang padanya ada bisnis yang saya ingin tawarkan, jadi saya perlu bicara empat mata."

Sekertarisnya mengangguk kemudian ke luar ruangan. Dia merapihkan penampilannya sambil menatap cermin di dinding. Tanpa menyadari keberadaan alat kecil yang terpasang di bagian samping lukisan besar pada dinding dekat dengan sofa tempat menerima tamu.

***

"Reeen..." suara manja Ivonne di sana.

"Ya? Kenapa saya belum lihat beritanya?"

"Aku mau nambah. Ketemu lagi ya?"

Mareno tertawa kering. "Von, beneran saya butuh bantuan kamu."

"Aku serius mau ketemu kamu lagi. Terakhir itu aku nggak ingat apapun," protes Ivonne.

"Serius kamu nggak ingat? Ketemu aja boleh. Tapi ke tempat tidur lagi, I'm sorry. Saya benar-benar lagi banyak urusan."

Ivonne tertawa. "My bet, saya siang-siang mabuk jadi kelewatan soal itu. Tapi, kamu harus bilang ke semua perempuan kalau saya hebat, oke?"

"Kamu memang hebat, Von. Jadi kapan aku bisa dengar beritanya?"

"Sebentar lagi, Ren. Sebentar lagi. Jujur, tanpa harus pergi ke tempat tidur aku tetap sangat tertarik dengan berita ini. Oh, aku nggak sabar."

Mareno tersenyum kecil. "Bagus. Terimakasih, Von."

"Count on me, Ren. Telpon aku kalau kamu lagi mood. Daa Sayang."

Hubungan ponsel disudahi, mobilnya melaju lagi. Dia akan menemui Tanandra dan Radita sahabat-sahabatnya, untuk menemukan Antania.

Wait for me, Beiby. I'll find you wherever you are.

***

Mario berjalan di selasar rumah sakit MG. Akhirnya dia mengetahui bahwa MG Hospital memiliki fasilitas lain, top priority floor. Seperti namanya, lantai ini benar-benar luar biasa. Awalnya dia hanya berdiri termangu menatap seluruh fasilitas yang dimiliki. Tapi lama kelamaan dia terbiasa juga.

"Bagaimana kondisi Danika, Dok?" Dia sudah duduk berhadapan dengan dokter Andreas.

"Danika mulai bersenandung lagi. Gambarnya kembali seperti dulu. Potongan-potongan gambar seseorang, kali ini wanita. Kamu ingin bertemu?"

"Saya selalu ingin bertemu."

Mereka sudah berdiri untuk berjalan ke luar ruangan.

"Minggu depan kita jalan-jalan dengan Danika. Kamu sudah siap?" tanya dokter Andreas.

Dia menghela nafas. "Ya, saya sudah siap. Apapun itu asalkan Danika sembuh."

Minggu lalu dokter Andreas memang mengajukan terapi lingkungan yang baru. Mengajak Danika ke tempat-tempat dimana dulu mereka pernah habiskan bersama. Merangsang memori indah di tempat itu dan berharap akan membuahkan perkembangan baik untuk mentalnya.

'BRUK!' tubuhnya tidak sengaja menyenggol seorang wanita dengan topi dan kacamata hitam.

"Maaf." Sejenak dia bisa melihat luka memanjang di tangan sang wanita yang ditutupi dengan jaket hitam.

Matanya mengikuti sosok wanita asing itu yang berjalan di belakang Bapak Besar atau Iwan Prayogo. Siapa yang tidak kenal dengan keluarga Prayogo. Iwan dan Brayuda anaknya adalah orang-orang yang sangat berbahaya. Dia juga sadar bahwa di lantai ini, rahasia aman terjaga. Karena itu besar kemungkinan Iwan Prayogo adalah langganan tetap di sini.

"Jadi, tolong siapkan tempatnya. Usahakan tata ruangnya tidak berubah," ujar dokter Andreas lagi.

"Oke, itu sudah siap."

Mereka masuk ke dalam ruang rawat Danika yang luas dan bagus sekali. Danika bahkan memiliki taman sendiri di balkonnya yang dipasangi kaca lebar dan melingkar. Sudah pasti dengan beberapa perawat laki-laki dan perempuan yang siap sedia. Arsyad sungguh tidak main-main dengan janjinya.

"Sayang, apa kabarmu?" Mareno mendekati tubuh Danika yang sedang duduk menatap langit dan memeluk salah satu lukisannya.

Danika hanya bersenandung saja sambil tersenyum.

"Makanan di sini lebih enak." Mario tersenyum. "Kamarmu juga lebih indah. Apa boleh aku lihat lukisanmu?" Tubuh Mario bertumpu pada lutut di lantai.

Dia mengangguk tapi matanya masih menatap langit. "Nina, Nina." Kemudian dia membuka lukisan yang dia peluk.

Sketsa hitam putih dengan gambar seorang wanita berambut sebahu dan mengenakan topi. Wajahnya tertutup topi.

"Sayang, apa ini Nina?"

Tubuh Danika berdiri kemudian dia berputar ke sekeliling ruangan. "Nina, Nina. Hemmm hemmmmm hmmmm. Nina, Nina."

"Apa hari ini ada yang mengunjungi Danika?" dokter Andreas bertanya pada salah satu suster.

"Tidak ada, Dok. Tapi Danika memang gembira sekali sejak pagi. Dia terus bergumam nama Nina."

Mario berdiri sambil mengamati sketsa di genggamannya. Tangannya mengangkat ponsel untuk menghubungi Mareno.

"Ren..."

"Ya, ada apa?"

"Danika melukis seorang wanita."

"Kirimkan ke saya sekarang."

"Baik. Mood Nika membaik dan terus menggumamkan nama Nina sekalipun tidak ada yang mengunjungi Nika hari ini. Semoga ini pertanda baik untuk menemukan Antania, Ren."

"Ya, semoga saja. Tolong bantu saya satu lagi.

"Apa?"

"Apa kamu bisa cek seluruh gambar lama Danika? Info dari Lea dulu Danika menggambar bagian-bagian wajah dan tubuh seorang laki-laki. Tania dan Lea selalu percaya bahwa itu gambarmu, Rio. Tapi juga bisa jadi itu gambar si pelaku. Kita butuh tahu untuk tangkap pelakunya.

"Saya akan bantu segera."

"Oke. Saya tunggu gambarnya. Terimakasih, Mario."

"Saya yang berterimakasih."

Kepalanya sudah menoleh kepada dokter Andreas. "Apa boleh saya melihat lukisan Danika yang lain?"

"Boleh. Semua ada di dokter Reyn."

Kemudian dia kembali menatap Danika. "Sayang, aku harus pergi menolong Mareno dulu."

Danika masih terus bersenandung sambil tersenyum, menatap ke arah langit di luar sana. Kemudian dia melangkah mendekati Danika yang sudah berdiri diam di dekat daun jendela besar.

"Apa boleh, Dok?"

Dokter Andreas mengangguk kecil. "Harusnya dia sudah siap, tapi perlahan-lahan oke. Kita tidak tahu bagaimana reaksinya. Sentuhan kecil saja."

Mario mengangguk kemudian dia berdiri di belakang tubuh Danika, dekat sekali. Kepala dia turunkan hingga sejajar dengan telinga Nika.

"Sayang, kembali. Aku merindukanmu. I love you, Danika...always." Kemudian dia mengecup belakang kepala Danika perlahan. "Aku akan kembali secepatnya."

Kemudian dia pamit pergi keluar ruangan untuk bertemu dengan dokter Reyn perihal seluruh data lukisan Danika. Dokter Andreas yang masih berdiri di sana. Mengamati Danika yang berhenti bergumam, kemudian meneteskan air mata ketika Mario sudah tidak ada di sana.

***

Dokter Reyn sudah mengirimkan seluruh lukisan Danika dalam bentuk softcopy. Cahaya kamar pribadinya sedikit redup karena sejak sore tadi dia serius sekali melihat cermat lukisan-lukisan itu.

Tidak semua lukisan Danika berwarna, banyak yang hanya berupa sketsa. Lukisan-lukisan ini juga sudah diurutkan menurut tanggal. Rapih sekali dan itu sangat membantunya untuk memilah-milah dalam satuan waktu tertentu. Kemudian dia menemukan beberapa lukisan tangan dan leher. Milik laki-laki tapi jelas itu bukan miliknya. Karena selama ini dia tidak memiliki tato.

Matanya menatap jam di dinding. Hampir tengah malam. Tapi Mareno sangat membutuhkan ini. Akhirnya dia memutuskan untuk menghubungi Mareno. Setelah lima kali, laki-laki itu mengangkat.

"Ren, saya menemukan sesuatu."

"Kita bertemu besok."

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro