24. The Water, the Wind, and the Snow
Sudah sepuluh menit dia berdiri di ruangan dalam ruko. Menunggu Faya muncul sambil menenangkan detakan jantungnya. Jalan mereka akan sulit, sangat sulit nanti. Apalagi dengan situasi sekarang. Dia akan disiksa oleh jarak dan perasaan cemas hebat karena misi masih berjalan. Dia paham itu, karenanya dia ingin benar-benar bicara dengan gadis ini.
Fayadisa muncul dengan penampilannya seperti dulu. Rambut dikepang satu tinggi, sorot mata tajam yang dingin, tubuh berbalut pakaian yang biasa dia kenakan di ADS. Apapun yang gadis itu kenakan, dia tetap sudah jatuh ke pesonanya.
ADS menyediakan dua alat transportasi dan beberapa persediaan senjata yang peti penyimpanannya hanya bisa di akses oleh orang-orang tertentu. Dua alat transportasi itu disembunyikan di lantai bawah ruko. Bangunan ini juga sudah di modifikasi agar memiliki garasi yang memadai. Hanif memilih naik ke atas Ducati hitam daripada mobil pabrikan eropa yang anti peluru.
Faya menggeleng. "Gue nggak mau dibonceng."
"Naik, saya masih bos kamu."
Gadis itu menggeram kesal tapi tidak membantah. Akhirnya naik ke atas motor dan Hanif langsung melaju. Mereka berkendara dalam diam karena masih sibuk dengan pikiran mereka masing-masing.
Di apartemen Hanif
"Ini apartemen lo?" Matanya menatap ke sekeliling ruangan apartemen mewah itu.
Mereka melangkah masuk dengan Hanif yang berada di depan.
"Ya. Nggak jauh lokasinya dari kantor Herman jadi lebih baik di sini." Hanif membuka jaket dan meletakkan helm hitam di buffet ruang tamu. Kemudian dia berjalan ke arah dapur untuk mengambil minuman.
"Sebenernya kalau cuma mau ngomong, bisa dimanapun. Nggak perlu juga lo ngajak gue ke sini." Dia melakukan hal yang sama. Melepas jaketnya dan meletakkan helm di sebelah helm Hanif.
Laki-laki itu sudah duduk di sofa ruang tengah sambil meletakkan dua botol air mineral di meja. Kemudian dia juga menyusul untuk duduk di hadapan Hanif sambil menguatkan diri dan mematikan hatinya yang sempat hidup tadi.
"Kita bicara." Hanif berujar sambil menatap matanya. Tubuh laki-laki itu sedikit condong ke depan.
"Pertama, kita lupakan soal tadi." Dia langsung menyambar cepat. Ya, dia ingin ini cepat berakhir. Dua sikunya sudah bertumpu di lutut dan dia juga mencondongkan tubuhnya ke Hanif. Agar laki-laki itu paham bahwa dia tidak terintimidasi.
"Nggak setuju. Justru kita mau bicara soal itu."
"Apa ada kabar dari Mahendra soal penyadap yang gue berhasil pasang?" Menghindari topik rasanya lebih baik.
"Itu urusan kami. Yang mau diluruskan sekarang adalah urusan kita berdua."
"Kita?"
"Ya. Harusnya pendengaran kamu baik kan? Jadi apa yang tadi saya..."
"Stop, gue maafin lo karena sudah kelepasan. Tapi gue Fayadisa Sidharta, bukan Nafa Oktavia. Mungkin tadi lo lihat sosok Nafa mangkanya lo begitu."
Hanif terkekeh kecil. "Kamu pikir saya nggak tahu diri saya sendiri? Saya bukan anak baru kemarin sore yang masih cari jati diri dan nggak bisa bedain apa yang saya rasa."
Mata coklat itu menatapnya dalam, mencari sesuatu. Kemudian dadanya mulai bereaksi lagi. Apalagi semua harum yang menguar dari ruangan ini membuat dia seolah dilingkupi oleh wangi Hanif. Reaksi tubuhnya adalah berdiri. Ini berbahaya untuk hatinya.
"Oke, kita sudah selesai bicara."
Dia mengambil helmnya dan berjalan cepat-cepat ke arah pintu. Tapi pintu itu terkunci. Shit. Dia lupa bahwa apartemen pribadi Hanif pasti sudah terpasang seluruh teknologi keamanan ID Tech dan ADS.
"Berlari itu adalah pilihan termudah, Fa. Saya juga sudah coba. Tapi nggak berhasil."
Suara Hanif dekat sekali di belakang tubuhnya. Tangannya mencengkram helm kuat, karena jantungnya ingin meledak.
"Jalan terus juga bukan pilihan. Gue nggak punya perasaan yang sama, Nif." Salivanya dia loloskan perlahan sekali.
"Kalau begitu, balik badan kamu dan bilang ke saya sekarang."
Rahangnya mengeras. Hanif adalah seseorang yang mahir sekali membaca gestur tubuh dan ekspresi wajah orang. Karena itu dia pengajar utama di ADS untuk penyamaran dan ilmu interogasi. Berbohong padanya adalah suatu hal yang mustahil.
"Apa yang kamu takutkan? Balik badan kamu dan bilang ke saya apa yang kamu yakini benar, Fayadisa."
Dia menghirup nafas dalam kemudian membalik tubuhnya perlahan. Kepalanya sedikit mendongak dan matanya menatap mata coklat itu.
"Kita, adalah sesuatu yang tidak mungkin. Saya Fayadisa Sidharta, bukan Nafa, bukan Sabiya atau perempuan normal lain. Saya punya seluruh misi berbahaya di depan saya. Saya milik ADS dan tim saya. Saya bahkan tidak bisa memastikan saya masih bernyawa besok. Itu semua realitanya. Jadi, hentikan ini Hanif Daud."
"Saya tidak mau berhenti lagi. Saya melihat kamu utuh sebagai Fayadisa, bukan wanita lain. Saya tidak mau wanita lain. Ya, kamu besok bisa tidak bernyawa. Maka itu juga berlaku sama untuk saya dan manusia lainnya. Kamu memang berbeda dari kebanyakan wanita. Tapi itu bukan suatu alasan untuk mematikan hati kamu sendiri. Kamu bukan robot atau mesin penghancur musuh. Kamu manusia dan kamu bukan milik ADS atau siapapun. Kamu milik dirimu sendiri. Kamu bisa menentukan sendiri."
"Ini nggak akan berhasil kalau kamu terus menggunakan keahlian kamu soal psikologi atau apapun itu untuk bujuk saya!!" Nadanya sudah tinggi. Kalimat-kalimat tadi mulai merasuk ke otak dan akal logikanya. Berproses di sana.
"Saya hanya memaparkan fakta. Menyadarkan kamu bahwa kamu punya pilihan, kamu manusia yang berhak untuk memilih."
"Brengsek!!" Dia mendorong tubuh Hanif yang mulai berjalan mendekatinya. "Gue pilih ADS, gue pilih gue kembali jadi Fayadisa yang dulu. Tanpa Hanif."
"Oh ya? Lihat mata saya dan bilang itu sekali lagi."
Hanif berpikir dia tidak berani? Matanya sudah menatap mata Hanif. Kemudian ketika dia ingin bersuara, tatapan itu menenggelamkannya. Membuat air matanya naik dan suaranya mulai bergetar.
"Brengsek..." dia berkata miris. "Lo udah rusak otak gue."
Warna mata Hanif berpendar di bayangan matanya. Seluruh ekspresi laki-laki ini, gestur tubuhnya, atau bagaimana tangannya juga mengepal di samping tubuh. Entah kenapa dia mengerti, bahwa laki-laki ini sungguh-sungguh dan tidak akan mundur lagi.
Hanif tidak berusaha mendominasi, tapi seluruh gestur tubuh dan tatapan mata Hanif seolah berkata bahwa dia siap melindungi Faya. Dari siapapun dan apapun, dari keputusan-keputusan yang salah, dari seluruh misi berbahaya lainnya, dari rasa sendiri dan sepi. Dia bisa merasakan segala yang Hanif ingin sampaikan tanpa laki-laki itu bicara. Itu semua, membuat sedikit demi sedikit benteng pertahanan dirinya goyah.
Kemudian semua kenangan mereka melintas. Bagaimana mereka bertemu, bagaimana Hanif selalu ada untuknya, malam-malam canggung mereka, segalanya. Lalu dia menyadari sesuatu, bahwa dia adalah api, selalu begitu. Dia berpikir dia akan takluk dengan seseorang yang memiliki api yang lebih besar dari dirinya. Tapi, Hanif adalah air, angin, salju. Yang melingkupinya lembut. Jadi ketika satu tangan Hanif menyentuh pipinya yang basah, segalanya runtuh.
Dia membiarkan tangan itu merengkuhnya lembut. Menenggelamkannya dalam pelukan hangat. Dia suka ketika Hanif mencium puncak kepalanya, kemudian turun ke telinga, lalu menyusuri pipi dan tiba di bibirnya. Dua tangannya bahkan sudah mengalung ke leher Hanif. Berpegangan erat di sana. Seolah dia takut jatuh dan terbangun. Apa boleh dia begini? Apa bisa?
Hanif masih menciumnya lembut, tidak memaksa. Seolah memberi dirinya banyak ruang untuk memutuskan apa yang akan dia lakukan setelahnya. Dan itu makin membuatnya gila. Dia suka bagaimana Hanif memperlakukannya, menghargainya, mengkhawatirkannya, juga mungkin...mencintainya. Mereka terengah karena tahu mereka harus berhenti.
"God, I hate you," ujarnya lirih pada Hanif. Hidung mereka masih bersentuhan.
Bibir Hanif mendarat lagi sambil tersenyum.
"Sudah cukup. Atau gue beneran bisa lupa sama misi gue sekarang." Dia berujar lagi.
Hanif menggeram kesal tiba-tiba, tapi tidak melepaskan pelukan mereka. "Kenapa kamu nggak tolak permintaannya Arsyad buat pasang penyadap di kantor Herman? Kamu gila apa?"
Dia tersenyum kecil. "Barusan lo sendiri bilang, kalau lo melihat gue utuh sebagai Fayadisa." Matanya menatap mata Hanif. "Itu, adalah pekerjaannya Fayadisa. Misi, pasang penyadap, kejar penjahat, tembak-tembakan. Paham?"
Kepala Hanif menggeleng kesal. "Paham. Tapi membuat keputusan cepat tanpa melakukan analisa resiko itu berbahaya, Komandan."
"Mulai kan. Ck..hss. Lo selalu akan punya jawaban pintar yang nggak bisa gue patahkan. Tapi gue mau dan harus melakukan itu." Dia menggeliat ingin memisahkan diri.
"Mau kemana?" Tangan Hanif masih tidak mau melepaskannya.
"Duduk yang bener biar kita nggak aneh-aneh. Gue nggak mau hamil di tengah-tengah misi."
Hanif tertawa dan melepaskan tubuhnya. "You really surprise me. Bagus, kamu mau hamil buat saya setelah misi. Kemajuan besar, Komandan."
Wajahnya langsung memerah, kenapa juga tadi dia bicara begitu. Stupid.
"Maksud gue bukan begitu, Nif. Ya Tuhan. Lo beneran udah rusak otak gue. Gue pamit aja." Langkahnya berhenti.
"Silahkan, kalau bisa buka pintunya," Hanif berjalan ke arah grand piano di tengah ruangan.
"Hanif," dia mulai memperingati Hanif sambil masih berdiri di dekat pintu.
"Saya heran kamu tadi nggak perhatikan waktu saya masukkan kode di pintu. Itu keterampilan dasar, Fa. Kenapa bisa kelewat? Sekarang salah sendiri."
Gimana bisa gue merhatiin kode pintu kalau jantung gue aja nggak bisa gue atur sendiri. Hanif brengsek.
"Nif, Nafa harus bangun pagi-pagi besok buat kuliah."
"Beres soal itu."
"Maksudnya?"
"Kamu sakit dan nggak bisa ke luar kamar. Kabar akan dikirim besok pagi ke kampus dan Bu Yanti."
"Tapi Aryo..."
"Kita diskusi soal Aryo nanti. Besok dia nggak ada di Jakarta." Hanif sudah duduk di kursi piano panjang dan menepuk sebelah tempatnya yang kosong.
Tubuhnya masih berdiri, bingung sendiri. Ini berbahaya, apa yang sedang mereka mulai sangat berbahaya. Bahkan lebih berbahaya dari misi itu sendiri. Ya, dia sudah melihat Mareno yang kehilangan Antania. Efek hancurnya hati itu lebih besar daripada segala jenis luka.
"Faya, please. I only ask one day. Dari seluruh 354 hari dalam setahun. Saya minta satu sekarang. Apa boleh?"
"Apa gue bisa memilih?"
Hanif menghirup nafasnya dalam kemudian dia mengangguk dan berujar pada system yang terpasang. "Lexy, buka pintu utama."
Pintu itu berbunyi klik tanda kuncinya terbuka. Hanif mulai membelai tuts-tuts itu dengan nada-nada. Lembut membuai. Punggung Hanif kokoh sekali dilihat dari belakang begini. Sekalipun dia bisa merasakan sedikit sepi.
Hanif Daud bukanlah seorang alfa seperti Arsyad, atau jenius seperti adiknya Mahendra, wajahnya tampan sekalipun tidak bisa dibandingkan dengan Mareno. Hanif itu sungai yang mengalir, lembut dan tenang. Atau sinar matahari pagi yang hangat dan mencerahkan. Laki-laki ini benar-benar membuatnya merasa nyaman, aman, memperlakukannya adil, memberi kesempatan dan pilihan. Satu lagi, Hanif melihatnya sebagai wanita.
Jantungnya yang berdebar seru mulai tenang mendengar dentingan itu. Lagu yang dulu Hanif pernah mainkan untuknya. Yiruma, River flows in you. Akhirnya dia memilih. Melangkah ke arah pintu dan menguncinya. Kemudian melepas sepatu boot dan berjalan mendekati laki-laki yang sudah mempesonanya sejak lama. Dia melingkarkan lengannya perlahan di atas pundak Hanif. Mendekapnya lembut dari belakang.
"I love this song," ujarnya lirih di telinga Hanif.
Hanif tidak berhenti melantunkan nada sambil menoleh dan tersenyum menatapnya. "I love you."
https://youtu.be/7maJOI3QMu0
***
Hal terakhir yang dia ingat adalah dia memindahkan tubuh Faya ke kamarnya sendiri, setelah wanita itu tertidur di sofa ruang tengah sambil mendengarkan permainan pianonya. Wajah tidur Faya membuat dia tinggal, duduk di sofa satu dudukan yang ada di kamar dan menatap wajah itu lama-lama. Satu hari, hanya itu yang dia punya. Setelah itu mereka akan kembali pada misi mereka masing-masing. Entah kapan lagi bisa bertemu dan menghabiskan waktu begini. Jadi, dia tidak ingin membuangnya sedetik pun.
Harum bau masakan sudah menguar melalui pintu kamar. Masuk dan menggelitik hidungnya. Roti panggang dan kopi, juga telur. Tubuhnya sudah berdiri di pintu memperhatikan wanita itu yang sedang memasak di dapur. Ya Tuhan, apa ini mimpi? Setelah bertahun-tahun lamanya, setelah semua wanita, akhirnya dia memiliki moment ini.
Lihat Faya, rambutnya tergerai setengah kering dengan kemeja biru langit miliknya yang mungkin gadis itu ambil dari lemari sekaligus celana pendek sport berwarna biru gelap. Pencuri manis ini adalah wanitanya.
"Hai, good morning Pak Hanif. Apa kelas sudah dimulai?" Faya tertawa dan dia langsung tahu gadis itu sedang meledeknya. Ya, dulu Faya juga mengikuti salah satu kelasnya di ADS dan gadis itu terlambat.
Segala intuisinya membuat dia mendekati Faya, memeluk tubuhnya dari belakang yang sedang menuang kopi.
"Nif, panas ini dan nggak usah peluk-peluk begitu. Risih tahu nggak?"
Lalu dia terkekeh perlahan. Sejenak lupa bahwa dia berhubungan dengan singa betina, bukan wanita lainnya yang akan menggelayut manja. Akhirnya dia mengecup pipi Faya cepat kemudian melepaskannya.
"Malah cium-cium lagi. Berhubungan dengan salah satu murid itu dilarang di ADS. Paham, Pak?"
"Saya bukan pengajar tetap di sana. Sekalipun masih nomor satu. Juga saya bos kamu." Dia duduk di kursi meja makan. Memperhatikan Faya meletakkan piring-piring sarapan dan kopi dihadapannya.
"Lebih parah lagi malahan kan?" ujar Faya.
"Nggak ada aturan yang bilang bos dan anak buah nggak boleh berhubungan."
Dahi Faya mengernyit perlahan. "Bener juga. Nanti gue usul sama Bang Arsyad." Gadis itu sudah duduk dihadapannya.
Hanif tertawa kecil. "Bangun jam berapa?"
"Selalu sangat pagi. Udah terlalu biasa. Elo tidur di sofa, kenapa?"
"Tempat tidur saya satu-satunya dijajah sama pacar saya."
Mata Faya membelalak sejenak karena panggilan itu. "Bisa kita skip soal panggilan sayang atau status atau apapun? Begini aja gue udah merasa aneh banget. Tolong jangan ditambah-tambahin dengan Sayang, Beiby, Sweetheart, Honey atau pacar, perempuan, tunangan dan sebagainya. Are we deal?"
Perutnya geli, jadi dia tertawa lagi.
"Hanif, gue serius." Mata Faya mendelik marah menggemaskan.
"Iya Cantik, kamu serius dan saya setuju."
"WHAT? Cantik?" Faya langsung melempar secuil roti yang dia genggam ke tubuh Hanif.
Hanif malah tambah tertawa lebar. Sejak dulu menggoda Faya itu sangat menyenangkan. "Tadi kamu nggak bilang saya nggak boleh bilang Cantik, kan?"
"Diulangin lagi." Tubuh Faya sudah berdiri dan berjalan mendekatinya.
Kursi dia geser ke belakang kemudian dia juga berdiri. "Oke, satu ronde pagi-pagi? Boleh. Mau pemanasan, Komandan?"
Langkah Faya langsung berhenti. Gadis itu mengamati wajahnya yang sudah mulai usil. Kemudian tubuh gadis itu melangkah mundur. "Pass, gue nggak mau kita mesra-mesraan pagi..."
Dia tidak perduli dan langsung mendekati Faya yang berlari menjauhinya.
"Hanif, dasar menyebalkan. Saya bisa mulai pukul kamu dan kamu kalah. Hanif..."
Tubuh Faya sudah dia sambar dan gendong. "Sorry, saya pikir ini psikologi terbalik dan kamu ingin dikejar," ledeknya sambil tersenyum geli melihat ekspresi Faya.
"Turunin nggak?"
"Atau apa?" Dua tangannya masih membelit bawah pinggang Faya dan mengangkatnya ke atas. Kamu bisa berusaha jatuhkan saya sekalipun sulit. But you didn't do it. Always like that. Stop fooling yourself, Commander."
Mata Faya mengerjap bingung. Banyak ekspresi gadis ini yang Hanif tidak tahu. Jadi dia sangat tertarik. Mereka masih bertatapan dengan posisi tubuh Faya lebih tinggi darinya karena memang gadis itu masih dia angkat. Kemudian wajah Faya mendekat, hingga harum mouthwash gadis itu tercium.
"Oke, jangan turunin kalau begitu."
Awalnya, hidung mereka bertemu hingga nafas mereka terjalin lembut. Kemudian Faya memiringkan wajahnya dan mencium bibirnya singkat. Tubuh Faya sudah dia turunkan ke lantai perlahan. Lalu dia menyambut ciuman itu.
Satu tangannya mendekatkan tubuh mereka, sementara tangan lain berada di tengkuk Faya untuk memperdalam ciumannya. Kali ini, Faya tidak berlari lagi. Gadis itu sungguh-sungguh menciumnya sepenuh hati. Dan itu rasanya, memabukkan. Mungkin karena Faya juga mengerti, bahwa besok mereka tidak bisa bertemu lagi. Atau mungkin Faya juga sudah paham, apa yang dia rasa nyata. Bukan bayang-bayang belaka. Apapun itu, Hanif berharap Faya percaya, bahwa dia sanggup melakukan segalanya.
"Mungkin..." Faya berujar disela ciuman mereka.
"Hmm?"
"Mungkin karena semua ini kali pertama, jadi terasa seperti drugs, candu."
Dia berhenti lalu menatap Faya dalam. "Apapun itu, saya old-fashion person yang maunya nikah dulu."
Faya tersedak tiba-tiba. Pelukan mereka terlepas dan gadisnya itu berjalan menjauh ke arah meja makan.
"Nggak perlu berlebihan reaksinya kan, Fa?" ujarnya kesal.
"Nif..." Faya meneguk kopinya cepat. "Gue ngerti lo hidup di dunia indah."
"Jangan mulai Faya. Saya, dan kamu, dan mereka semua nggak ada bedanya. Jangan bawa-bawa keluarga."
"Maksud gue, ck...Nif. Ini elo dan gue. Kita begini aja gue belum biasa. Terus sekarang lo ngomongin married?"
"Kamu ngomongin hamil."
"Ya, hamil kan nggak perlu married."
"Faya, jangan aneh-aneh ngomongnya."
"Nif, gue bukan cewek kemarin sore yang polos dan lugu."
"Faya, saya nggak suka topik pembicaraan ini."
"Loh, tapi emang benar. Oke, ini kali pertama buat gue dan gue nggak keberatan untuk..."
"Stop."
"Tapi married itu beda perkara." Bukannya berhenti, Faya malah melanjutkan.
"Stop Faya, saya marah beneran."
"Coba gue pingin tahu lo marah kayak apa?"
Tangannya sudah bertolak pinggang menatap gadisnya ini gemas.
"End of discussion." Dia berujar tegas lalu kembali ke meja makan. "Duduk, Komandan. Temani saya makan."
"Hrrghhh...dasar menyebalkan."
Mereka meneruskan makan mereka dalam diam.
"Apa gue terlalu terus terang?" Faya membuka suara dengan nada yang lebih baik.
"Terus terang itu nggak salah. Tapi kamu perempuan, Fa. Kamu harus lebih menghargai..."
"Stop, kali ini gue yang nggak suka lo berasumsi seolah-olah gue cewek gampangan." Desis Faya marah.
Nafasnya dia hela. Makannya dia sudahi dan dia menarik tangan Faya untuk berdiri dan menuntunnya ke sofa ruang tengah lalu menyalakan TV. Punggungnya sudah bersandar ke belakang santai kemudian tubuh Faya juga bersandar padanya. Dua tangannya dia lingkarkan ke pinggang Faya.
"Saya tahu kamu bukan cewek gampangan. Saya juga cowok normal. Tapi, menyatakan perasaan banyak caranya, Fa. Dan nggak semua laki-laki selalu berpikir soal itu. Bilang saya nggak normal, tapi saya benar-benar nggak akan rusak perempuan yang saya sayang. Sekalipun juga nggak gampang nahan-nahan."
"Gue nggak siap dengan semuanya, Nif. Dengan elo, dengan apa yang sekarang kita mulai. Lo tahu? Waktu gue di perbatasan Palestina barengan sama timnya Niko, bahkan saat itu gue nggak merasa takut. Tapi sekarang, gue takut. Kita cuma punya sedikit waktu atau entah berapa lama. Karena itu..."
"Karena itu saya akan buat lebih banyak waktu lainnya. Jadi kamu punya pilihan lain daripada menyerahkan apa yang paling berharga. Jaga baik-baik, Fa. Nggak semua laki-laki waras dan bisa menjaga kewarasannya. Abang selalu bilang, laki-laki hebat adalah laki-laki yang bisa mengalahkan hawa nafsunya. Karena itu yang paling sulit. Dan nggak semua laki-laki punya abang kayak Arsyad."
Faya meletakkan kepalanya di dada Hanif, diam sejenak di sana. Laki-laki ini benar-benar berbeda, istimewa. Bahkan mungkin hanya ada satu di seluruh dunia. Cinta, ya itu jenis perasaan yang sekarang kuat sekali terasa. Ini kali pertama untuknya dan dia tidak ragu, tidak lagi. Tapi dia ragu untuk kelangsungan hubungan mereka dan mulai berpikir bodoh karena ingin menyerahkan dirinya saja.
"Saya, punya banyak perasaan buat kamu, Hanif. Banyak sekali. Dan perasaan itu yang buat saya jadi bodoh tiba-tiba."
"Nafsu yang buat kita jadi bodoh, bukan cinta Fa. Yang paling gampang ketika nafsu datang, visualisasikan hal itu dengan seseorang yang paling kamu benci. Bayangkan kamu pukul dan lumpuhkan sosok itu dengan tangan kamu sendiri. Jangan biarkan dia bersarang di dalam diri kamu. Keluarkan, pisahkan dan lawan."
"Itu cara Arsyad?"
"Itu cara saya."
Faya beringsut makin mendekatkan wajahnya. "Kamu terlalu sempurna, Nif. Apa kamu yakin dengan ini semua? Ini saya. Saya bukan wanita normal."
"I don't want normal, not anymore. I want you, saya yakin 100% dengan itu." Kemudian dia mengangkat wajah Faya perlahan dan menciumnya lembut sesaat.
"Semua akan baik-baik saja, Fa." Hanif berujar lagi disela ciuman mereka.
Faya, ingin sekali percaya dengan kalimat Hanif tadi. Ingin sekali. Sekalipun rasanya sulit. Tapi saat ini lebih mudah untuk mengangguk dan menenggelamkan dirinya bersama laki-laki hebat ini.
***
Manisnya part ini. Enjoy it while it lasts.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro