Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

23. That Bullshit thing

Suasana klub ramai malam ini. Dentuman musik menggetarkan dinding-dinding dingin yang ada di belakang sofa tempat dia bersandar. Tubuhnya dia sandarkan ke belakang bersama dengan kepala agar dia sedikit santai. Dia butuh pengalihan, pengalihan besar. Kesunyian tidak lagi bisa meredam rasa cemas yang makin menjadi-jadi. Dentingan piano terasa kosong karena wanita itu tidak ada di sebelahnya untuk mendengarkan. Jadi dia mencoba cara lain.

"Nif, ya ampun. Kok bisa ketemu di sini?" Salah satu wanita yang dia kenal menyapanya. Namanya Cindy. Mereka teman satu SMA dan satu universitas ketika S1.

"Hai." Dia tersenyum kecil kemudian merebahkan kepala ke belakang lagi dan memejamkan mata, lalu menghembuskan asap rokoknya.

"Nif, ini klub deh. Bukan tempat istirahat. Kok meja lo kosong?" Cindy menatap heran meja di depan Hanif kosong tanpa ada minuman. Hanya dua bungkus rokok. Sofa setengah melingkar tempat mereka duduk juga tidak ditempati. Sementara sekeliling mereka penuh sekali. "Gue duduk sini deh."

"Silahkan, asal jangan ribut," sahutnya sambil tidak merubah posisi.

"Sumpah gue pikir ada meteor jatuh sebentar lagi gara-gara lihat lo ada di sini." Cindy terkekeh dan mulai menyalakan rokok. "Mareno mana?"

"Jangan ribut, bisa?"

"Oke. Lo kenapa sih? Cerita deh, Nif. Jangan sama Sabiya mulu." Cindy diam sejenak. "Eh iya gue lupa. Mitha udah ada di Indo and guess what? Dia nanyain lo. Lo tahu kan dia udah cerai dari suaminya? Kaya dia sekarang Nif. Tunjangan dari suaminya yang tajir melintir itu gila-gilaan. Nggak punya anak lagi mereka. Dia udah hubungin lo?"

Cindy memang tahu kisahnya dengan Pramitha dulu. Tapi sungguh apapun itu tidak bisa mengalihkan pikirannya dari Fayadisa saja.

"Nif." Mata Cindy melirik Hanif kesal karena laki-laki itu tidak bergeming. Masih duduk sambil memejamkan mata dan bersender ke belakang sofa.

"Susah ya nge-klub sama orang alim. Lo nggak cocok di sini deh, Nif."

"Setuju. Ayo cabut." Sudah ada Mareno berdiri di sana. Menatap abangnya yang sedang putus asa.

"Hai Ren. Denger-denger udah selesai bertapa di gua hiro-nya? Ivonne berisik banget. Giliran kita kapan?"

Mareno menatap Cindy dingin. Perempuan itu tidak layak untuk waktunya.

"Nif, cabut," ujar Mareno lagi.

Hanif membuka mata, mematikan rokok kemudian berdiri dan berjalan di depan Mareno.

Di dalam mobil

"Mau kemana?" Hanif membuka kaca jendela mobil sport Mareno dan menyalakan rokok lagi.

"Ke tempat yang seharusnya lo datengin dari kemarin-kemarin."

Dahinya mengernyit tidak mengerti. "Nggak ngerti."

"Ntar, lo juga ngerti. Jangan ngerokok monyong. Matiin nggak?" protes Mareno kesal.

"Bawel lo, kayak abang lo tuh yang namanya Hanif."

Mareno terkekeh. "Orang gila."

"Lo sendiri udah ke apt Tania?" tanyanya sambil menghembuskan asap rokok.

Wajah Mareno langsung tegang. "Belum."

Kali ini giliran dia yang terkekeh. "Terus lo mau nasihatin gue? Serius?"

"Kasus lo dan gue beda. Gue sama Tania punya banyak kenangan di sana. Gue masih...rasanya kayak di lubang neraka."

Kepala Hanif mengangguk perlahan seolah mengerti. Karena untuknya, apartemen sewaan itu juga terasa seperti lubang neraka. "Kayak lo udah pernah aja ke neraka."

"Belom, dan nggak ada rencana ke sana."

"Gimana hasil cek CCTV mall?"

Mareno diam lagi. "Rambutnya sebahu, di kuncir dan ditutupi topi. Pakai jaket kulit hitam dan jins. Tingginya mirip. Posturnya juga. Tapi wajahnya benar-benar tertutup."

"Udah cek semua?"

"Udah. Cewek ini selalu bisa menyembunyikan dirinya di antara orang-orang atau etalase atau rak atau pilar atau pohon hiasan. Kayak dia anak ADS aja."

"Laki-lakinya siapa?" tanya Hanif lagi.

"Pisah jalan setelah dari coffee shop. Sama-sama ketutupan topi dan jalannya sedikit nunduk. Tapi kok gue ngerasa kenal sama si cowok ya. Kayak postur badannya pernah gue lihat."

"Lo yakin itu Tania?" Asap rokoknya dia usir ke luar jendela.

"Gue nggak tahu karena gue belum bisa ambil sample rambut Tania di aptnya." Mareno diam sejenak. "Rambut Tania warna hitam. Rambut yang gue ambil itu brunette."

"Dia bisa aja kan ganti warna rambut?"

"Kalaupun iya. Buat apa coba? Kenapa dia malah sembunyi begitu. Kenapa dia nggak kejar gue dan bunuh gue lagi kayak waktu di tebing. Dia harusnya belum tahu soal Mario kan?"

"Atau dia udah tahu," sahutnya.

"Terus, ngapain dia sembunyi kalau udah tahu? Dia cuma tinggal datang ke gue, kita baikkan dan gue hancurin itu Michelle Dinatra. Buat dia, buat Danika, buat siapapun yang dia minta. Kenapa mesti dia sembunyi dari gue." Mareno terdengar sangat frustasi. "Gue udah kayak orang gila nyariin dia begini."

"Tapi rencana lo udah bagus, Ren. Pancing Michelle, pelaku ke luar, bawa ke persidangan, bikin heboh. Yakin gue Tania dateng."

"Tetep aja, Nif. Gue mau dia sekarang di sini. Sekarang. Bukan besok atau lusa atau berminggu-minggu lagi saat persidangan itu dimulai. Rasanya mau mati tahu nggak."

"Tahu."

Mareno terhenyak mendengar jawaban Hanif. "Kita dikutuk kali ya. Lo pernah dapet firasat kalau kita dikutuk nggak sih?"

"Maksudnya?"

"Sorry, nggak ada maksud apa-apa. Tapi lo dan Mitha dulu, terus lo dan Dara. Sekarang sama Faya juga susahnya minta ampun. Terus gue sama Tania begini, abang nggak pernah punya pacar dan dingin-dingin aja. Mahen sama Sabiya..." ups.

Mareno berdehem kemudian melanjutkan. "Maksud gue Sabiya punya tragedy kan? Mahendra sampe sekarang kayak lebih cinta sama Angel atau Lexy daripada sama cewek yang wujudnya ada." Hembusan nafas Mareno terdengar. "Kita emang punya segalanya, tapi kita nggak beruntung soal bullshit itu."

Hanif menggendikkan bahu dan ingin menyalakan sebatang rokok lagi. "Nggak tahu. Iya kali." Matanya menerawang ke depan. Sama sekali tidak memperhatikan jalanan.

"Matiin, udah mau sampe."

Mareno memarkirkan mobilnya ke salah satu parkiran ruko. Pintu masuk dan keluar lainnya dari warung Bu Yanti, yang berada persis di belakang ruko ini. Aryo tidak akan menyangka, karena ruko ini berbatasan dengan tembok yang mengelilingi perumahan cluster baru dan berada di bagian dalam area cluster itu. Sementara warung Bu Yanti berada di luar tembok cluster dan benar-benar saling membelakangi. Ide Arsyad memang gila. Dia membeli ruko itu dan menjebol dindingnya hingga tembus ke gudang sempit di lantai atas warung Bu Yanti.

"Gila, lo ngapain bawa gue ke sini." Protesnya ketika sadar kemana Mareno membawanya.

"Nif, lo harus ngomong sama Faya. Serius gue." Mareno sudah mematikan mesin mobilnya.

"Ren, lo tahu gue nggak bisa ngomong begitu aja. Ini Fayadisa, Ren. Salah satu tangan kanannya Arsyad. Lo tahu Abang bisa bunuh gue beneran. Apalagi di tengah misi begini."

"Terus kenapa? Kenapa kalau dia tangan kanannya Arsyad? Jadi lo nggak bisa bareng dia? Siapa yang bilang begitu? Abang bilang gitu? Emang lo udah nanya?"

"Shit. Gue nggak bisa egois, Ren."

"Lo bisa, cuma lo nggak mau." Mareno ngotot.

Dia menyumpah serapah kesal. Karena sedikitnya kalimat Mareno ada benarnya juga. Sialaaaan!

"Gue tahu lo luar dalem, Nif. Kita saudara. Gue nggak pernah lihat lo membangkang sama Arsyad kayak kemarin. Seumur gue hidup lo cuma 3 kali ke klub. Mitha, Dara dan Fayadisa. Sekalipun lo aneh banget bisa nggak tergoda minum kalau ke sana. Ajaib emang lo, Nif." Mareno melanjutkan. "Lo nggak perjuangin Mitha, ya sudahlah. Tuh cewek selingkuh. Tapi waktu kasus Dara. Lo kejar dia mati-matian kan? Gue heran kenapa lo nggak lakuin itu ke Faya sekarang? Lo beneran nggak sih sama ini cewek?"

"Brengsek lo. Gue bukan lo, monyong."

"Sumpah lo buang-buang waktu. Cepet turun dan bilang sama dia, Nif. BIlang yang jelas lo mau apa."

"Gue nggak bisa. Dia bisa nggak fokus dan semua bisa kacau. Gue nggak se-egois itu."

"Lo yakin sekarang dia fokus?" Kepala Mareno menggeleng kesal. "Gue tahu ceritanya Dea dan Alex. Dea uring-uringan waktu lagi misi penyamaran karena dia ngerasa digantung sama Alex. Dia bingung si Alex mau apa. Untung nggak kebongkar sekalipun akhirnya dia harus ditarik mundur dan diganti kan. Itu gara-gara Alex nya yang setengah-setengah. Sekarang mereka fine-fine aja."

Hanif masih diam dan itu membuat Mareno gemas. "Lo tahu gue dari dulu sembarangan kan kalau kita lagi ada misi dari Arsyad. Semenjak gue punya Tania, gue lebih waspada. Gue nggak mau mati konyol karena gue punya tempat untuk pulang."

Tangan Hanif sudah memijit kepalanya yang tiba-tiba sakit.

"Bullshit thing itu emang bisa merubah banyak hal. Gue juga baru tahu." Mareno menghirup nafas panjang, kemudian tangannya menepuk pundak Hanif ringan.

"Gue cuma bisa ngingetin, Bang. Pilihan tetep ada di elo. Mau turun atau mau cabut. Gue nggak akan menghakimi apapun keputusan lo."

"Sinting, lo beneran sinting. Dan sintingnya, gue dengerin lo yang sinting." Hanif terkekeh miris.

Tubuhnya turun dari mobil. "Thanks, Ren. Kalau mau ditemenin ke apt-nya Tania, bilang aja."

"Najis gue bukan anak bayi kayak Mahendra." Mareno tersenyum kecil kemudian segera berlalu.

***

Sudah jam 11 malam. Warung Bu Yanti sudah tutup ketika dia membuka perlahan pintu gudang. Kamar Bu Yanti sudah gelap, ruangan bawah juga gelap. Tubuhnya berhenti di depan pintu kamar Nafa. Mengira-ngira apakah gadis itu sudah tidur. Oh, dia memang terlalu lama. Mareno benar.

Daun pintu kamar dia ketuk satu kali. Kemudian suara Faya berbisik lirih. "Siapa?"

Dia membuka pintu perlahan dan menemukan Faya sedang duduk di meja belajar. Rambut panjangnya diikat satu di bawah dengan karet hitam, dia mengenakan kaus hitam yang kebesaran, dengan celana pendek jins di atas lutut. Tubuhnya duduk tegak dan matanya waspada.

"Hanif?"

"Hai, Fa. Apa kabar?"

Faya menghembuskan nafasnya perlahan. "Gue pikir lo siapa malem-malem begini."

"Pandangan mata tadi itu milik Fayadisa, bukan Nafa. Gimana kalau ada salah satu anak buahnya Aryo naik ke atas sini?"

'Kenapa dia malah nyeracau hal yang lain. Ada apa dengannya?', Rutuk Hanif dalam hati.

***

"Nafa akan teriak minta tolong. Sampai ada pertolongan. Atau, Fayadisa ambil alih dan bunuh siapapun yang berani sentuh dia," jawabnya tegas sambil menatap Hanif.

Dadanya bertalu-talu berisik sekali. Untung dia pakai kaus longgar, atau debaran dadanya bisa terlihat dari tempat Hanif berdiri. Kenapa juga Hanif harus ke sini. Setelah akhirnya dia mulai bisa tidur tenang sejak tiga hari lalu. Kenapa laki-laki ini selalu mengusiknya? Apa dia tidak tahu kalau menghilangkan bayangannya itu sulit sekali?

Dia masih duduk namun sudah berputar sedikit agar menghadap ke sosok laki-laki itu. Laki-laki yang merusak kewarasannya.

"Mari kita lewatkan basa-basi. Ada apa? Apa Arsyad sampaikan sesuatu?" tanyanya dengan minim ekspresi.

Kepala Hanif mengangguk-angguk kecil. "Ya, saya setuju kita lewatkan basa-basi." Wajah Hanif mengeras. "Bangun, Komandan."

Sekalipun kaget dengan perubahan nada Hanif, dia berdiri.

"Jadi ada a..."

Adegan selanjutnya sungguh membuat tubuhnya kaku, lumpuh. Otaknya tidak bisa berpikir dan refleksnya mati. Kaki ini bahkan lemas hingga tangannya mencengkram lengan Hanif keras untuk berpegangan. Bibir Hanif terasa lembut di atas bibirnya, dengan perpaduan bau rokok dan daun mint. Ciuman Hanif awalnya tergesa dan memaksa, tapi kemudian karena dia masih terkejut dan tidak bereaksi, ciuman itu berubah menjadi lebih lembut, tidak menuntut.

Sadar Faya, sadar. Jangan buat dirimu tenggelam. Kamu punya misi yang harus diselesaikan. Kamu tidak perlu skandal.

Sayangnya seluruh logika tidak mampu menggerakkan tangannya hingga bisa mendorong Hanif pergi, atau menggerakkan kakinya hingga dia bisa melangkah menjauh dari tubuh laki-laki ini. Bagaimana bisa juga? Dia menikmati ciuman Hanif. Matanya bahkan terpejam. Sialaann.

Hanif berhenti sejenak. Dahinya masih menempel di dahi dia sendiri. Satu tangan masih membingkai wajahnya dan satu tangan lain menarik pinggangnya mendekat.

"Saya suka kamu. Saya nggak bisa berhenti pikirin kamu."

Jika sebelumnya organ tubuhnya masih lengkap, setelah mendengar pernyataan Hanif, jantungnya melorot pergi. Matanya hanya bisa mengerjap bingung sambil menatap mata coklat indah itu.

"Saya tunggu di sebelah." Hanif mencium pipinya lembut kemudian beranjak ke luar kamar.

Tubuhnya langsung limbung dan berhasil duduk di pinggir tempat tidur. Kemana Fayadisa Sidharta yang katanya kuat? Komandan wanita tertinggi di ADS. Tertembak di tangan dan kaki, pisau menancap di dada atau semua jenis bahaya dan luka lainnya yang pernah dia alami sungguh tidak bisa membuat dia lemas begini.

Itu hanya ciuman, Faya. Kenapa lemah sekali? Apa Nafa sudah sangat merasuk sedemikian rupa, hingga satu ciuman saja kamu goyah begini? Sial Fa, bangun. Jangan mimpi.

Kepalanya menggeleng keras dua kali kemudian dia menarik nafas panjang. Dia berdiri dan menatap wajahnya di cermin kecil yang menggantung di dinding. Dia bisa menghadapi Hanif, menjelaskan ke laki-laki itu untuk menyudahi segalanya.

Celana panjang jins dia pakai, rambutnya dia kepang satu tinggi seperti dulu, kemudian dia mengambil jaket kulit hitam dan boot hitam yang tersembunyi di lemari. Kali kedua dia menatap cermin, dia mengangguk mantap. Karena bayangan Nafa sudah pergi. Hanya ada Fayadisa Sidharta di sana. Jadi, dia bisa.

***

Nah kaan, nggak sabar kan?

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro