22. Everything
Butik Sabiya sore itu sepi. Matanya menelusuri halaman majalah yang tergeletak di meja butik. Dia menunggu hingga wanita itu datang dari jadwalnya menjemput Damar. Sebentar lagi Rafi menyusul, seperti biasa. Daun pintu berbunyi gemerincing ketika Sabiya masuk dengan Damar di belakangnya.
"Hai Raa."
"Hai Bi. Apa kabar?" Dara berdiri dan mencium pipi Sabiya sejenak.
"Sorry ya. Jadwal menjemput soalnya."
"Nggak apa-apa. Apa kabar Damar?"
"Hai, Tante Dara." Damar hanya tersenyum sesaat kemudian duduk di salah satu kursi dan membuka tas berisi mainannya.
"Damar, no phone."
"I've done my homework, I already pray and did soccer. Mom, pleaseee." Rengek Damar.
Dara tertawa. "Kok mirip sama Dalen ya di di rumah."
"Thirty minutes, Young man." Kepala Sabiya menoleh ke Dara lagi tanpa menghiraukan protes Damar. "Yuk, kita discuss soal pesenan gaun kamu."
"Duh, sebenarnya kamu udah tahu kan selera aku kayak apa. Aku percaya aja deh."
"Ini permintaan Bapak El Rafi yang terhormat, dia mau segalanya sempurna buat kamu. Udah ayuk."
"Rafi itu selalu berlebihan deh," keluh Dara.
Kepala mereka menoleh karena pintu itu berdenting lagi. "Selamat siang, Ladies." El Rafi sudah masuk sambil tersenyum.
"Hai, Raaf." Sabiya tersenyum menatapnya. "Damar, ada Om Rafi."
"Hai Om. Aku sehat dan Om sehat. Wa'alaikumsalam. Bye." Mata Damar kembali ke ponselnya.
Rafi tertawa menatap polah Damar yang sudah beranjak besar.
"Jangan bilang mirip Dalen, tadi Dara bilang begitu udahan," ujar Sabiya kesal yang disambut tawa Rafi dan Dara.
"Udah selesai?" tanya Rafi.
"Baru mau ke dalam. Tadi aku jemput Damar dulu. Sorry."
"It's oke. Take your time."
***
Rafi duduk di seberang kursi tempat Damar duduk. Kemudian asyik memperhatikan ponselnya. Dia melakukan beberapa panggilan untuk mengatur janji temu dan mengecek seluruh jadwalnya besok. Matanya menatap Damar yang masih asyik dengan ponsel. Anak itu masih mengenakan celana sepak bola dan kaus yang sudah dia ganti. Kemudian mata itu beralih pada tas ransel setengah terbuka Damar yang berisi mainan dan handuk kecil.
"Pesawatnya bagus."
Damar diam saja masih asyik sendiri. Rafi berdehem kencang.
"Damar."
"Eh iya, maaf. Kenapa, Om?"
"Coba lihat pesawat tempur kamu." Rafi menggendikkan kepalanya ke arah tas ransel kecil yang terbuka di sebelah tubuh Damar.
Damar mengambil pesawat itu dan memberikannya ke Rafi. Kemudian dia kembali asyik dengan ponselnya. Dahi Rafi mengernyit sambil menggenggam pesawat di tangan. Sama persis dengan milik Dalen di rumah. Dia ingat benar karena Dalen suka sekali dengan pesawat itu dan dia bawa kemana-mana sampai sekarang.
"Pesawatnya dibeliin Mama?"
"Nggak," jawab Damar tanpa menolehkan kepala ke Rafi.
"Jadi, dibeliin siapa?"
"Dibeliin Ayah Hanif."
Jantungnya mulai berdetak tidak karuan. Pesawat itu memiliki gambar bendera Belanda di salah satu sisi. Dara membelinya ketika istrinya itu berada di sana berbulan-bulan lalu.
"Sini Om, itu kesukaan aku."
Rafi mengembalikan pesawat itu ke Damar. Kemudian pikirannya mulai menduga-duga. Apa mungkin Dara berbohong dan mereka bertemu? Beberapa hari kemarin, Dara ke luar dan Riko pengawalnya tidak dia ajak. Sudah dua kali. Belakangan ini dia juga sedang sangat sibuk dengan pekerjaannya. Jadi memang tidak terlalu memperhatikan. Apa mereka bertemu selama ini? Tanpa sepengetahuannya? Apa benar begitu?
Matanya menatap tas istrinya yang tergeletak di atas sofa. Kemudian dia mengambil ponsel dari dalam tas Dara. Oke, ini sangat kekanakkan karena dia jarang sekali mengecek ponsel istri sendiri seperti ini. Tapi dia penasaran.
Jantungnya berdegup kencang ketika melihat pesan-pesan di ponsel Dara. Dia mencari dengan keyword nama laki-laki itu. Kemudian menemukan pesan mereka.
Dara: Ini nomer aku. Jangan lupa kasih tahu tempat-tempat yang kita obrolin tadi.
Tanggal pesan itu persis ketika Dara pergi bersama adik-adiknya ke Belanda. Satu tangannya yang tidak menggenggam ponsel sudah terkepal keras.
Hanif: Oke. Nanti saya kasih link temen saya yang travel-blogger ya. Kamu bisa contact dia juga di sana. Orang Indo yang kerjaannya jadi guide buat turis Indo kayak kalian.
Dara: Seneng banget <emoticon smile>
Dara: Hanif, aku juga seneng kita bisa contact begini lagi. Jangan lupa janji kamu buat jajan nasi goreng di Jakarta ya. Ditunggu.
Hanif: Oke. Safe flight, Ra. Salam buat yang lain.
Oke, itu sudah berbulan-bulan lalu. Sayangnya ada yang lain di bawahnya. Pesan yang lebih baru.
Hanif: Pagi Ra. Saya butuh bantuan.
Dara: Hai, Nif. Ada apa?
Hanif: Apa kamu tahu Brayuda kemana?
Dara: Aku nggak tahu, tapi aku bisa tanyakan. Ada apa, Nif?
Hanif: Ada sesuatu yang penting.
Dara: Apa ada lagi yang bisa aku bantu selain cari Bang Yuda?
Hanif: Ada. Apa bisa kita ketemu? Nggak bisa lewat telpon.
Dara: Ini bukan soal jajan nasi goreng ya Nif?
Hanif: <emoticon senyum lebar> sayangnya bukan. Lebih serius dari itu. Tapi habis itu mau jajan juga boleh <emoticon senyum>
Kemudian mereka membuat janji temu. Tepat saat Dara pergi tanpa Riko. Tangannya sudah mengangkat telpon.
"Helga." Dia menghubungi asisten Dara.
"Ya Pak."
"Kemana Dara kemarin sore?"
"Makan siang."
"Dimana?"
Helga menyebutkan nama restoran milik keluarga Daud. Matanya menggelap karena dadanya bertalu-talu. Kepalanya menoleh menatap Dara dan Sabiya ke luar dari ruang pas sambil masih mengobrol.
"Loh Raf, kamu kenapa?" tanya Sabiya melihat wajahnya yang tegang sekali.
"Sabiya, apa fitting room kamu kedap suara?" Dia tidak bisa menunda. Kenyataan apapun itu harus dia dengar saat ini juga. Matanya sudah menatap tajam ke arah Dara yang masih tidak mengerti.
"Ada apa, Raf?" tanya Dara mendekatinya.
Mata Dara tertumbuk pada ponselnya yang masih Rafi genggam erat.
"Kenapa, Raf?" tanya Dara lagi.
"Damar, naik ke lantai atas. Ikut Tante Amy," ujar Sabiya karena yakin benar sebentar lagi sesuatu akan terjadi.
Amy dan Damar berlalu dari sana.
"SIlahkan Raf, kamu bisa bicara dengan Dara baik-baik." Sedikitnya Sabiya tahu tentang betapa posesifnya El Rafi pada Dara. Itu sudah jadi rahasia umum. Karena itu dia mengucapkan kata 'baik-baik' dengan penuh penekanan.
Sayangnya, tidak cukup sampai di situ. Pintu masuk butik berdenting lagi. Hanif Daud tiba dengan wajah terkejut juga.
"Hai, Bang." Senyum Sabiya merekah menyambut Hanif.
Rafi bisa melihat Sabiya menghampiri Hanif dan mencium pipinya sejenak. Dia tetap tidak percaya. Karena dia tahu jenis hubungan apa yang Hanif Daud dan Sabiya punya. Mereka sudah seperti kakak beradik saja. Bukan cinta. Karena hati laki-laki brengsek ini hanya untuk istrinya.
"Hai Ra, Raf. Apa kabar?" Hanif menawarkan jabatan tangan yang tidak disambutnya.
"Apa kalian menikmati pertemuan kalian kemarin?" Mata Rafi menatap tajam Dara dan Hanif bergantian.
Hanif menghirup nafasnya dalam, kentara sekali dia berusaha menahan emosi. Tubuh Hanif mendekat padanya seolah ingin melindungi istrinya sendiri yang kebetulan berada di belakang tubuh Hanif.
"Sebaiknya kamu tidak selalu berburuk sangka terhadap istri kamu sendiri. Apa saya sehebat itu, jadi kamu selalu cemburu, El-Rafi?" Ekspresi Hanif mengeras dan datar sekali.
'BUAK!' Tinju Rafi melayang cepat dan Hanif menangkap tangannya sama cepatnya.
Dia paham seluruh keluarga Daud adalah petarung ulung dan tangguh. Tapi dia akan menunjukkan pada laki-laki brengsek ini bahwa dia bermain dengan orang yang salah. Jadi dia mulai menghantam lagi.
"Rafi. El Rafi, stop!!" Dara dan Sabiya berusaha memisahkan Hanif dan Rafi.
"Go get your own life and stop messing with my wife."
Kemudian tubuh Dara berdiri di tengah Hanif dan Rafi. Tinju Rafi berhenti tepat beberapa senti dari wajah Dara.
"Pukul. Ayo pukul." Mata istrinya menatapnya berani.
Rahang wajah Rafi mengeras. "How could you lie to me?" Suara Rafi bergetar keras.
"I-never-lie-to you." Rahang Dara bergetar menahan murka yang sama.
Kemudian istrinya itu mengambil kacamata hitam yang sudah jatuh di lantai dan tasnya. Kemudian berujar pada Sabiya.
"Bi, maaf ya. Saya pamit dulu."
Tubuhnya beranjak keluar butik Sabiya. Dara sudah masuk ke dalam mobil.
"Dia bahagia..." Hanif berujar. "Dia selalu bahagia ketika dia bercerita tentang kamu. Tapi kamu sendiri yang selalu merusak kebahagiaan dia dengan ketidak percayaanmu."
Matanya menatap Hanif sambil menahan tubuhnya untuk tidak segera membungkam mulut lancang itu.
"Jaga Dara Raf, karena sekarang saya punya wanita lain untuk saya jaga. Telpon Arsyad. Dia akan jelaskan kenapa saya bertemu Dara kemarin."
***
Dia duduk di dalam mobil sebelah istrinya. Dara sudah menaikkan pembatas antara bagian depan dan tengah mobil. Ponsel Dara diletakkan di antara jeda kursi mereka dengan loudspeaker yang sudah menyala. Sementara istrinya itu masih mengenakan kacamata hitam dan tangannya masih bergetar. Wajahnya juga menatap ke luar sambil menghubungi seseorang.
"Halo, Dara." Suara Arsyad di seberang sana.
"Halo, Bang."
"Terimakasih soal informasi kemarin Ra. Itu sangat berguna."
"Halo, Arsyad," ujarnya.
"Assalamualaikum Raf, kamu sibuk. Saya dan Mareno hubungi kamu tapi kamu tidak angkat. Jadi kami minta tolong Dara."
"Ada apa?"
"Kamu tahu kasus Antania yang menghilang kan? Kami sedang telusuri jejaknya dan percaya bahwa wanita itu masih hidup. Dan tiga hari lalu berkunjung ke salah satu mall milikmu. Jadi kami butuh bantuan rekaman CCTV di mall tersebut. Mareno nggak sabar karena kamu nggak angkat telponnya, akhirnya minta Hanif untuk hubungi Dara dan mereka bertiga bertemu kemarin. Helga sudah berikan aksesnya pada kami. Terimakasih, Raf."
Rafi menyandarkan punggungnya yang sedari tadi kaku sekali.
"Sama-sama, Syad. Saya ikut senang mendengar kabar soal Tania. Salam buat Mareno dan yang lain."
"Baik. Assalamualaikum, Raf."
"Wa'alaikum salam."
Kepalanya menoleh pada Dara yang masih tidak mau menatapnya. Istrinya menangis, dia yakin itu. Karena tangan Dara masih bergetar menahan emosi sementara kepalanya menoleh ke luar jendela. Dara selalu bagus dalam hal mengendalikan dirinya sendiri. Tidak seperti dia yang impulsif dan posesif.
Dia selalu bahagia ketika dia bercerita tentang kamu. Tapi kamu sendiri yang selalu merusak kebahagiaan dia dengan ketidak percayaanmu.
Kalimat Hanif menggema di kepala. Saat ini emosinya sudah mulai reda, digantikan dengan perasaan bersalah dan sedih karena lagi-lagi dia yang melukai Dara. Prasangkanya. Tangannya menyentuh lembut jari-jari Dara untuk meredakan getarannya. Tapi Dara menarik tangan itu, bungkam seribu bahasa.
"Kamu belikan Dalen mainan yang sama. Kamu bertemu dan tidak bercerita. Riko kamu bebas tugaskan."
Dara menyalakan ponsel lagi dan menghubungi Riko. Istrinya itu menarik nafas dalam sebelum bicara.
"Halo Riko." Suara Dara serak karena menangis.
"Ya, Bu. Saya sudah di rumah utama. Helga bilang Ibu sedang ke butik dengan Bapak."
"Ya. Bagaimana kabar Mamamu, Rik?"
"Beliau baik Bu, terimakasih karena sudah mengijinkan saya pulang lebih cepat kemarin. Juga untuk mendatangkan dokter ke rumah Ibu saya. Terimakasih banyak. Salam dari Ibu saya."
"Sama-sama, Rik."
Dara menyudahi hubungan ponsel lalu kembali menatap ke luar.
"Kamu hanya perlu bicara, Sayang." Dia paham benar dia masih berdalih. Mencari pembenaran atas sikapnya tadi. Kenapa dia selalu begini.
Kemudian istrinya kembali menghubungi seseorang.
"Ya, Bu?" Suara Martha di sana.
"Apa bisa kamu sebutkan jadwal Bapak seminggu ke belakang? Mulai dari kemarin."
"Oke." Kemudian Martha mulai menyebutkan seluruh jadwal Rafi kemarin.
Dia mengerti maksud istrinya. Kesibukannya memang sedang tinggi sekali. Ketika tiba di rumah, Dara dan anak-anak sudah tidur. Sabtu Minggu dia habiskan di luar kota. Jadi apa Dara sudah bercerita tapi dia tidak mendengarkan? Apa betul begitu?
"Martha, sudah cukup. Terimakasih," potongnya.
"Baik, Pak."
Nafasnya dia hirup dalam. Kemudian dia menggeser tubuhnya agar lebih dekat pada Dara. "Maaf." Kepalanya menoleh dan dia masih melihat satu air mata jatuh melalui sela-sela kacamata hitam Dara, menyusuri pipinya.
"Please, give me a room to breathe." Tangan Dara mendorong tubuh Rafi menjauh.
"You know I can give you..."
"Everything? I don't want everything. I want your trust. Can you give me that?" Kepala Dara menoleh dan dia melepas kacamata hitamnya. Menatap Rafi dalam. "Can you give me that, El Rafi Darusman?"
Matanya bisa melihat luka itu jelas sekali. Terlalu jelas sehingga membuat dadanya nyeri. Mata cantik Dara masih mengeluarkan butiran-butiran air. Sekalipun Dara tidak terisak. Tapi justru itu yang membuat Rafi tambah terluka lagi. Akhirnya dia hanya diam setelah kembali ke posisi duduknya tadi.
***
Di rumah
Dara turun dari mobil dan segera masuk ke dalam kamar anak-anak. Mengecek semua hal. Jadwal makan, menu yang diberikan, kegiatan dan pekerjaan rumah si kembar. Dia bahkan menyempatkan diri sejenak untuk bermain bersama si kecil Shahna. Setelah semua selesai termasuk memastikan makan malam, dia naik ke lantai atas.
Langkah kakinya berhenti di depan pintu kamar. Paham Rafi sudah ada di sana. Tubuhnya dia putar untuk menatap rumah besar mereka dari lantai atas. Dia bahagia, sungguh bahagia. Memiliki suami yang mencintainya sebanyak itu sampai rasanya sesak, memiliki anak-anak yang sehat, juga rasa aman karena mereka berkecukupan. Sungguh, dia tidak meminta lebih karena tahu itu akan sangat lancang.
Tapi kemudian apa-apa yang terjadi tadi mulai terbayang. Kecemburuan El Rafi yang semakin lama semakin besar. Seperti awan hitam yang selalu menggantung di langit hubungan mereka. Seperti gajah besar di ruangan, yang seolah tidak kasat mata tapi selalu ada. Dia sakit hati, karena tidak dipercaya. Karena selalu disangka yang tidak-tidak. Apa dia semurah itu? Segampang itu? Apa Rafi tidak dengar bahwa dia selalu bilang bahkan tanpa semua yang Rafi miliki sekarang dia tetap akan mencintai laki-laki itu saja. Kenapa suaminya masih tidak percaya?
Belum lagi sikap kaku Rafi dan kesibukannya belakangan ini. Sehingga membuat tembok besar Cina menyelinap di antara hubungan mereka. Dia sudah bicara soal pertemuannya dengan Hanif kemarin dan Rafi lupa. Atau suaminya itu tidak mendengarkan, karena mereka memang hanya bicara melalui telpon saja dua bulan ini?
Tangan Rafi mendekapnya perlahan dari belakang. Refleks kaget tubuhnya adalah menegang. Lelah datang membanjiri dengan tiba-tiba. Karena terkadang ketika kita dicintai sedemikian besarnya, dilindungi sedemikian eratnya, rasanya sesak, berat. Dia butuh udara.
"Makan malam sebentar lagi." Tangannya ingin melepaskan diri.
"Aku konyol, maaf." Rafi menyurukkan wajahnya ke sela-sela leher Dara.
"Aku benar-benar pingin istira..." dia menggeliat.
"I love you, so much," potong Rafi tidak bergeming. Tangan suaminya itu malah makin erat memeluknya.
"You said you will give me everything."
Rafi mengangguk perlahan. Kepalanya masih berada di pundaknya.
"I want a break. One day break. Aku pingin jalan-jalan sendiri. Tanpa Riko, Alex, Helga, Aimi, Cynthia dan Reyna. Sendiri."
Kali ini dia bisa merasakan tubuh suaminya yang menegang. "Never. Minta yang lain."
Kepalanya mengangguk perlahan. "Oke." Perlahan dia melepaskan tubuhnya.
Dia kembali melangkah turun ke lantai bawah, memutuskan untuk tidur di kamar tamu malam ini.
***
El Rafiii-El Rafiii...gimana sih kamu.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro