Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

21. Hunt

Michelle berjalan mondar-mandir gelisah di ruangan. Dia sudah tahu dari informannya kalau Daud mulai memburunya. Sialnya, pihak kepolisian setuju membuka kasus lama itu. Keluarga Daud memang tidak bisa disepelekan. Dia juga sama sekali tidak menyangka bahwa gadis sialan itu ternyata sahabat baik Antania Tielman si anak Pak Menteri. Hingga akhirnya Daud ikut bereaksi karena hubungan Mareno dan Tania yang sebelumnya akan segera diresmikan.

Dia tidak akan sepanik ini jika orang-orang suruhannya dulu sudah menghilang. Masalahnya salah satu orang itu masih bekerja untuknya. Menjadi informannya di lapangan. Sial, berarti dia harus menyingkirkan keduanya, semuanya. Untuk menghilangkan resikonya sama sekali.

Pintunya di ketuk. Mario masuk sambil menatapnya dingin.

"Tanda tangani suratnya." Laki-laki itu berjalan dan meletakkan dokumen surat cerai mereka di meja. Setelah berminggu-minggu dia menolak untuk menandatangani dokumen itu.

"Tidak akan." Desisnya marah.

"Bagus. Jangan kalau begitu. Karena saya akan menghancurkan kamu dan membuat Hakim tahu seperti apa sosok Michelle Dinatra sesungguhnya. Mereka akan setuju ketika tahu betapa busuknya hatimu."

"Manusia brengsek!! Bajingan! Kamu yang selingkuh dengan wanita kotor itu?" Michelle berteriak marah kemudian Mario menghampirinya cepat. Mencengkram tangannya kuat dan memojokkan tubuhnya di tembok dekat lukisan besar yang menggantung.

"Saya selama ini kamu bohongi. Dengan perilakumu yang manis sekali. Dengan mulut berbisamu. Saya tidak akan percaya sampai saya melihat Danika menderita begitu. Dasar wanita gila!! Kenapa kamu sakiti dia?" Satu tangan Mareno mencengkram pinggiran lukisan besar di dinding.

"Ya, aku gila. Aku tergila-gila padamu. Apa salah? Kamu suamiku? Kamu suamiku dan kamu selingkuh!!" Michelle mendorong tubuh Mario. Dia tidak akan mengatakan apapun tentang kejahatannya. Karena paham benar posisinya berbahaya. Laki-laki ini, tidak bisa memancingnya begitu saja.

Mario membetulkan letak jasnya sejenak. "Selamat tinggal, Michelle."

Kemudian Mario berlalu. Setelah sampai di mobil, ponselnya itu berdering. Mareno Daud.

"Apa sudah terpasang?" tanya Mareno.

"Sudah. Apalagi?" jawab Mario.

"Bagus. Sekarang kita tunggu dia memakan umpannya."

"Pastikan Danika aman di MG. Pastikan itu," ujarnya lagi.

Hubungan disudahi.

***

Ini pertemuan pertama antara dia dan Danika. Dia sudah pernah bertemu dengan sahabat dari wanita yang dia cinta ketika Danika masih bertugas di kantornya. Saat itu kondisi Danika sehat. Danika Audelia, wanita dengan harum yang sama. Ketika dia datang, kepalanya langsung menoleh dan refleksnya mengikuti gadis ini. Karena harum tubuhnya. Kemudian dia mencari tahu dan menemukan bahwa Danika bersekolah di tempat yang berbeda dengannya dulu. Tapi kenapa gadis ini memiliki harum yang sempurna. Akhirnya, dia mencari tahu dengan membaui tubuh Danika.

Dulu dia adalah laki-laki brengsek. Tapi dia paham perbedaan antara wanita yang bisa dia ajak bermain dan wanita baik-baik yang tidak akan dia sentuh. Danika adalah kategori yang kedua. Wajah manis, sikap riang dan naif. Sedikit kikuk dan gugup, juga ceroboh. Gadis yang membuat setiap laki-laki ingin melindunginya. Sayang, itu bukan tipe wanitanya. Jadi dia membaui Danika. Memintanya dengan sedikit memaksa untuk berdiri dan tidak bergerak, sementara hidungnya menelusuri leher jenjang Danika. Mencari harum yang menjadi obsesinya sejak SMA. Aneh? Biar saja. Yang penting rasa penasarannya terpuaskan. Kemudian dia menemukan, harum itu bukan milik Danika.

Sekarang, dia duduk dihadapan Danika yang sedang melukis. Gadis itu diam dan sibuk dengan lukisannya. Lagi-lagi tentang sungai. Sungai yang sama yang Hanif lihat saat mencari jejak. Sungguh awalnya dia tidak percaya hal-hal seperti ini. Tapi melihat lukisan itu, seperti melihat déjà vu. Foto sungai yang Hanif perlihatkan padanya mirip sekali dengan apa yang dilukis Danika. Kemudian dia mengingat-ingat kata-kata dokter Andreas.

Respond awal biasanya dia akan diam dan tidak mendengarkan. Tapi matanya akan melirik karena sesungguhnya dia mendengar. Tapi Nika akan asyik sendiri lagi. Setelah itu, kamu harus mengobrol seperti biasa. Ceritakan hal-hal ringan tentang Nina. Panggil Tania itu Nina dihadapan Danika, Ren. Kalimat dokter Andreas menggema.

"Halo, Nika. Apa kabarmu?"

Mengejutkannya, reaksi tubuh Danika menegang ketika Mareno menyapa. Tangannya berhenti melukis. Tubuh Danika berbalik menatap Mareno. Mata Danika sedih sekali, seperti terluka. Mareno harus menguatkan diri untuk menatap gadis yang masih duduk dihadapannya ini.

Lalu entah karena apa dia berdiri dan berjalan mendekati Danika. Tubuhnya dia tumpu dengan lutut agar posisi matanya sejajar dengan gadis itu yang masih duduk. Tatapan mata Danika seperti menariknya. Dia melihat Antania ada di sana, jauh di kedalaman mata Danika.

"Ma-reno." Dua tangan Danika membingkai wajah Mareno perlahan. Mata gadis itu tidak pergi. Malah makin kuat membelit pandangan Mareno sendiri.

Salivanya dia loloskan. Dia tidak mengerti kenapa bisa Danika menyebut namanya. Karena bahkan Mario bilang, Danika belum pernah menyebut satu pun nama kecuali nama Nina. Jadi kenapa Danika menyebut namanya sekarang? Apa Tania memikirkannya di sana, hingga membuat Danika mengerti? Atau apa?

Bulu romanya berdiri, suhu tubuhnya juga anjlok. Wajah mereka dekat sekali. "Saya-mencintai-kamu-Nina. Pulang, kembali. Saya sungguh mencintai kamu saja, Lanina Antania."

Tolong sampaikan itu pada Tania, Nika. Melalui mimpi, firasat, atau apapun. Bilang padanya saya menunggu dan saya terus mencari.

Kemudian dua titik air mata jatuh dari mata Danika. Tangannya masih membelai wajah Mareno perlahan. Tangis itu menjadi lirihan. Pilu sekali. Sampai akhirnya dokter Andreas masuk dan menenangkan Danika.

"Cukup dulu untuk hari ini, Ren. Biar Danika beristirahat."

***

Tangannya menatap segelas kopi dingin dihadapan. Untuk pertama kalinya dia keluar. Sungguh-sungguh keluar. Melihat orang-orang yang lalu lalang di salah satu mall. Brayuda akan menjemputnya sebentar lagi. Mereka harus melacak sesuatu - atau menangkapnya - hingga akhirnya dia harus keluar begini. Bapak besar sudah mewanti-wanti ini berbahaya. Tapi dia percaya pada pengawal yang ditempatkan untuknya.

Suasana mall sore ini tidak terlalu ramai. Coffee shop tempat dia duduk bersama Rajata juga bertempat di area yang strategis sekali. Jadi dia bisa memandang berkeliling leluasa sementara sosoknya tersembunyi di balik pilar besar yang ada di teras coffee shop.

"Kamu sudah tahu, siapa yang kita cari?" tanya Rajata.

Dia tersenyum. "Ingatan saya baik sekali. Jangan khawatir."

"Wajah orang bisa berubah."

Dia menaikkan alisnya sedikit. "Ya, tapi tato tidak berubah." Kopinya dia teguk lalu dia membetulkan letak rambutnya.

"Pastikan kalian siap, saya mau orang ini hidup, bukan mati," ujarnya lagi.

"Agak sulit. Apalagi kalau dia melawan. Tapi bisa diusahakan." Rajata menimpali. "Lalu setelah itu apa?"

"Saya sudah punya rencana. Nanti saya akan beri tahu. Tangkap orang ini dulu hidup-hidup."

"Oke."

Matanya memindai dan menunggu. Mangsanya belum tiba, belum.

Sementara di salah satu restoran pada mall yang sama dan lantai yang sama.

Mareno berjalan di sebelah salah satu wanita yang bergelayut manja di lengannya. Namanya, Ivonne Sudjatmiko. Anak dari pemilik stasiun TV nomor satu di negeri ini dan baru saja pulang dari luar negeri. Dia punya misi yang akhirnya dia harus melakukan sesuatu yang sudah lama sekali dia tidak lakukan.

"Kamu kemana aja sih? Aku denger kamu mau nikah ya?" Mereka sudah duduk di salah satu restoran mewah. Ivonne masih menempel di sebelahnya.

"Nggak usah dibahas."

"Oke, oke. I don't care anyway," ujar Ivonne tidak perduli. Ya kenapa mesti perduli, dia adalah perempuan pertama yang bisa bersama Mareno setelah cuti panjang Don Juan itu. Oh, dia tidak sabar untuk memberi tahu kawan-kawannya nanti setelah mereka selesai.

"In fact, aku malah lebih seneng kalau kamu udah married sama siapapun perempuan itu terus kita ketemuan begini. Lebih ada adrenalinnya. I love scandal." Tangan Ivonne bergerak melambai memanggil pelayan.

"Really?" Mareno pura-pura terkejut.

"Oh, come on Ren, jangan pura-pura kaget gitu." Dia terkekeh lalu menatap si pelayan dan menyebutkan pesanan mereka cepat. Kemudian kepalanya berbalik ke Mareno. "Oke, seperti banyak wanita lainnya, we loved gossips - or so you called rumors – drama. But scandal, is on the top of the list." Tangan Ivonne meraih lengan kokoh Mareno lagi setelah pelayan itu pergi.

"Jadi mau buat skandal sama aku? Dunia hiburan kita lagi kering, booorrinng." ujar Ivonne lagi.

Mareno menyenderkan punggungnya di sofa lalu merengkuh wanita di sebelahnya. Kepalanya mendekat ke telinga Ivonne. "I've got a better one. You'll love it."

"Gila, kamu bikin aku penasaran."

"Later, okey. Wine first."

Anggur terbaik di restoran itu sudah disediakan. Mareno menatap wanita di sebelahnya sambil tersenyum. Melakukan sesuatu yang dulu dia sangat ahli. Dulu, sebelum dia bertemu Antania. Kemudian dia membiarkan Ivonne berceloteh saja. Memamerkan kemana dia pergi, dengan siapa, tas-tas barunya, fashion show yang dia datangi dan juga memberi informasi seluruh berita artis terkini.

Apa Mareno tertarik? Tidak. Dia hanya tersenyum dan terlihat memperhatikan saja. Membuat wanita itu merasa nyaman dan terus meminum anggurnya. Sementara tangannya hanya menggenggam gelas anggur tanpa menyicipi. Dia sudah pernah merasakan ini semua dulu. Seluruh minuman mahal, wanita-wanita cantik yang kaya dan berkuasa, atau dingin tapi kemudian luruh setelah malam-malam bersama. Jadi ini semua tidak membuat dia tertarik lagi.

Kemudian, setelah menyicipi makan siang porsi kecil yang dipesan Ivonne dan memastikan wanita itu sudah setengah mabuk, dia mengajak Ivonne pergi. Wanita itu masih bergelayut manja.

"Aku mau kopi. Kopi, Ren. Aku masih mau sadar sampai beberapa jam ke depan. Aku mau kamu."

Mareno menghentikan langkahnya. Dia mendudukkan wanita itu di salah satu kursi panjang di lobby. "Kamu tunggu di sini. Saya belikan kopi."

Tangan Ivonne menarik lengan Mareno. "Kamu manis banget, manis banget. Aku bisa jatuh cinta." Wanita ini mulai menyeracau dan ini masih sore.

Kepalanya menggeleng kecil lalu tersenyum. Informasi Deana tepat, Ivonne tidak tahan dengan anggur. Dia melepaskan tangan itu lembut dan berjalan menjauh.

Mata itu mengawasinya dari jauh, menatapnya tajam sejak dia dan Ivonne ke luar dari restoran. Dia melangkah ringan karena dia tidak sadar bahwa dia sedang diperhatikan. Masuk ke teras coffee shop dan menggenggam handle pintu. Kemudian langkahnya terhenti. Tubuhnya menegang.

Indra penciumannya berfungsi dengan sangat baik. Karena dia bahkan bisa mencium sisa sarapan Ivonne tadi pagi yang bercampur dengan bau rokok. Tapi harum ini. Tubuhnya berbalik sempurna. Seolah mencari asal harum itu, harum milik Antania-nya. Apa mungkin? Matanya dengan cepat memindai seluruh bangku-bangku di teras coffee shop. Dan menemukan seorang wanita berambut sebahu duduk di sana membelakanginya.

Dia berjalan perlahan seolah berusaha merasakan jejak wangi itu. Tubuhnya makin mendekat dan menyentuh pundak sang wanita. Wanita itu menoleh dan...bukan. Bukan Antania. Ya Tuhan. Apa dia sudah gila?

"Maaf." Dia berujar singkat.

Lalu harum samar itu muncul lagi. Menari-nari di hidungnya. Dia melangkah mendekati salah satu meja kecil di sana yang sudah kosong. Meja dengan dua kursi dan di atasnya terdapat puntung rokok yang masih berasap. Matanya dia pejamkan, berusaha memilah harum samar tadi yang sudah bercampur dengan asap rokok.

Ya Tuhan, Antania.

Matanya menatap dan mengamati kursi kosong itu. Ada dua helai rambut di meja berwarna brunette. Itu bukan warna rambut Tania. Tapi harum ini, dia harap dia tidak salah. Kemudian dia menyimpan rambut tadi dan melangkah ke dalam coffee shop. Menyebutkan pesanannya cepat dan bertanya tentang keberadaan CCTV di luar teras.

"Rusak sudah seminggu Pak. Tapi yang di dalam berfungsi." Sang pelayan menerangkan.

"Boleh saya minta rekamannya?"

"Maaf Pak, nggak bisa minta begitu aja. Ada aturannya."

Dia mengangguk mengerti. Kemudian dia menghubungi Deana.

"Dimana sih, Bang? Lama banget. Bosen nih gue," sahut Deana di sana.

"Gue sebentar lagi jalan ke sana. Lo siap-siap aja."

"Apartemen Ivonne kebanyakan bulu. Mewah, tapi kurang oke seleranya. Oke, gue tunggu, Bang."

Kemudian dia membayar kopi dan melangkah ke luar sambil menghubungi Mahendra.

"Hen."

"Yes?"

"Bantu gue..." langkahnya berhenti dan menatap ke sekeliling area itu. Matanya memindai cepat CCTV-CCTV yang menempel di atas dan mengarah ke kursi tadi.

"Apa woy?"

Dia melangkah lagi menuju lobby. "Gue kasih lo nama mall. Cek ini punya Darusman bukan. Minta rekaman CCTV mereka, termasuk CCTV coffee shop. Terus setelah gue selesai sama Ivonne, gue mau lo cek DNA."

"DNA?"

"Gue punya rambut Tania. Harusnya ini rambut dia."

"DNA sample nya mana? Jangan lupa lo harus kasih rambut Tania yang benerannya dulu. Baru bisa gue cek."

Dahinya mengernyit nyeri. Dia terpaksa harus bertandang ke apartemen Tania. Tempat yang dia hindari selama ini, karena rasanya seperti di lubang neraka jika dia berada di sana.

"Oke, oke."

Kemudian dia membawa Ivonne pergi terburu-buru.

***

Pikirannya tidak ada di tempat ketika Ivonne mulai mencium lehernya. Mereka sudah berada di apartemen Ivonne, tempat tidur tepatnya. Wanita itu masih sangat bersemangat hingga dia harus menahan diri agar tidak mendorong tubuh molek itu menjauh dari tubuhnya sendiri. Matanya menerawang jauh memikirkan dia memiliki kemungkinan. Kemungkinan yang sangat kecil bahwa tadi Tania berada di tempat yang sama dengannya. Duduk sambil minum kopi dengan entah siapa. Karena setahunya Tania tidak merokok.

"Shit." Dia memaki cepat pada kebodohannya sendiri. Kenapa dia tidak mengambil puntung rokok itu juga. Sialaaaan!!

"Beiby, kamu kenapa?"

"Don't call me that!!" Mareno menggeram marah.

"Oke-oke, maaf. Jangan marah Reen." Ivonne masih asyik bergerilya pada tubuhnya. "Kamu itu sempurna. Semuanya sempurna. Kalau kata temen-temenku penampakkan kamu itu bikin silau, gantengnya kamu nggak ada ahlak." Ivonne terkekeh sambil membuka kancing-kancing kemeja Mareno tidak sabar. Ingin segera merasakan otot-otot tubuh laki-laki setengah dewa ini di tangannya.

Deanaaa, kenapa obatnya belum bekerja? rutuknya dalam hati.

"Open your clothes." Dia beranjak dari atas tempat tidur dan memalingkan wajah menatap ke luar jendela. Bukan karena takut terpesona, tapi dia takut dia akan membayangkan wajah Tania saja.

Tubuhnya berdiri seolah menunggu. Kemudian kedua lengan ramping Ivonne sudah memeluknya dari belakang. "I'm ready, Sexy."

Mareno menghirup nafas dalam lalu membalik badan perlahan. Tubuh polos Ivonne jatuh lunglai tidak sadarkan diri dengan tangan kuatnya menopang cepat. Dia mengangkat wanita itu dan meletakkannya di atas kasur lalu menyelimuti tubuhnya ketika Deana masuk.

"Gila, gue beneran nggak percaya tadinya," ujar Deana menatap tubuh wanita kaya dan manja itu di tempat tidur. Membantu untuk mengacak tempat tidur seolah Mareno dan Ivonne habis bercinta hebat.

"Apa?" Mareno membetulkan letak kemejanya.

"Bahwa lo udah benar-benar takluk. Bertekuk lutut sama wanita."

Mareno tersenyum kering. "Masa-masa nge-bully gue udah lewat. Sekarang semua orang kalau lihat gue mukanya berkabung." Dia berjalan menuju Deana yang menyerahkan kertas yang bertuliskan pesan, sekotak hadiah yang sudah disiapkan, dan kotak lain yang berwarna hitam – the pandora box.

"Karena lo kayak zombie. Kill me please...I want to die." Deana menirukan gaya zombie.

Senyum kecil Mareno terkembang melihat tingkah Deana.

"Move on sih, Ren. Kan cewek banyak."

"No comment." Wajahnya kembali datar.

"Antania sehebat itu ternyata."

Dia meninggalkan barang-barang tadi di atas meja rias. Kepalanya menoleh ke Deana. "Ya, dia sehebat itu."

Deana menghirup nafas. Ekspresi wajah wanita itu seperti kesal.

"De, lo udah sama Alex. Please, don't give me that look."

"Dasar brengsek." Deana tertawa. "Bagus perasaan gue terselamatkan sebelum terlambat. Dasar manusia jadi-jadian."

Mereka akan berjalan ke luar kamar sampai akhirnya Deana menghentikan langkahnya.

"Lo, nggak mau kasih tanda gitu? Emang tu cewek bego banget apa, sampai bisa percaya abis enak-enakan sama lo tapi nggak ada bekasnya?" Dea menatapnya. "One kissmark maybe? Lebih juga boleh. Tenang aja, gue nggak bakal ngadu ke Tania."

Mareno tertawa. "Buat dia yang penting bukan seks, De. Gossip, rumors, scandal. I gave her what she wants already." Kepala Mareno menggendik ke arah kotak kecil hitam di atas meja rias.

Pandora box akan terbuka.


Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro