2. To let go
Beberapa bulan sebelum tragedi di tebing
Amsterdam, Belanda.
Matanya menatap perjanjian itu dihadapannya kemudian tersenyum puas. Timnya di Indonesia pasti akan senang dengan berita ini. Mereka sudah mengerjakan proyek ini satu tahun lebih hanya untuk riset saja, sebelum akhirnya bisa mengajukan proposal yang layak demi pendanaan yang lebih besar lagi dari pemerintahan Belanda.
Perusahaan yang dia jalankan saat ini adalah salah satu anak perusahaan besar Sanggara Buana yang bergerak pada bidang konservasi lingkungan sebagai bagian dari perwujudan Corporate Social Responsibility dari seluruh bidang usaha keluarga Daud. Jadi pendanaan utama usaha miliknya adalah dari Sanggara Buana sendiri, juga ID Tech dan ADS. Belum lagi perusahaan kecil keluarga Daud lainnya yang saat ini terpecah-pecah dan dikendalikan oleh Herman Daud dan adik-adik ayahnya yang lain.
Keluarga Daud memang keluarga besar sejak dulu. Usaha keluarga mereka sudah dibangun bertahun-tahun lamanya dan akhirnya besar sekali. Karena itu, salah satu pamannya Ardiyanto merintis pecahan usaha lainnya untuk menangani program CSR usaha keluarga mereka. Audra, sepupunya memimpin Sanggara Buana sekarang, menggantikan Ardiyanto ayah wanita itu. Ibrahim Daud, ayahnya belum lama pensiun dari jabatannya sebagai duta besar Indonesia untuk Amerika Serikat. Sementara bibinya Arlita menghilang, Herman Daud dan adik-adik ayah yang lain mengelola pecahan usaha-usaha dari Sanggara Buana. Mareno selalu bilang, semua itu hanya formalitas saja untuk Herman dan paman-bibinya yang lain. Karena dari Sanggara Buana sendiri saja, seluruh keluarga Daud sudah bisa hidup mewah.
Itu tidak berlaku untuk dia dan saudara-saudaranya. Ya, mereka memang terlahir kaya. Tapi didikan Ibrahim Daud keras sekali sejak mereka kecil. Mereka sudah diajarkan segala macam hal dan tidak pernah diberikan pengurus rumah tangga untuk membantu mereka hingga mereka bekerja dan memiliki penghasilan sendiri untuk membayar itu semua. Jadi, sejak kecil mereka biasa melakukan segalanya sendiri.
Innovation Digital Technology, perusahaan yang dipimpin oleh Mareno dan Mahendra sudah berusia hampir 20 tahun. Dulu ayahnya, Ardiyanto dan Herman Daud yang membangun itu semua. Karena skandal yang dilakukan oleh Herman bertahun lalu, pamannya itu dikeluarkan dari ID Tech oleh Ardiyanto Daud. Kepemimpinan ID Tech jatuh pada Mareno dan Mahendra yang memang piawai sekali perihal teknologi dan permesinan. Kemudian mereka berempat memulai Ares Defense Services. Perusahaan yang dipimpin oleh Arsyad dan bergerak di bidang keamanan. Usaha mereka itu maju pesat sekali karena abangnya benar-benar menguasai bagian usaha itu. Juga koneksi Arsyad yang kuat dengan kepolisian dan pemerintah membuat segalanya mudah. Jadi saat ini mereka sudah paham benar apa tugas dan tanggung jawab mereka masing-masing.
Entah kenapa, bidang usaha yang mereka geluti saat ini juga sangat sesuai dengan kepribadian mereka. Mahendra si jenius IT itu benar-benar membuat perkembangan ID Tech lima kali lebih cepat daripada sebelumnya. Ditambah kemampuan negosiasi Mareno yang luar biasa. Arsyad dan Niko juga membuat ADS mampu bersaing di pasar Asia. Tim-tim mereka bahkan terkadang di rekrut langsung oleh badan keamanan luar negeri untuk terjun ke daerah konflik. Kemudian dia sendiri. Dia menyukai hutan sejak kecil. Dia punya ketertarikan khusus dengan lingkungan. Jadi ketika dia sudah menyelesaikan gelar masternya dia langsung mengajukan diri pada Ardiyanto pamannya untuk menjalankan Perusahaan nonprofit ini.
Dia berdiri kemudian berjabatan tangan dengan Herold, pria yang berusia awal 40 dan masih semangat sekali.
"Proposal clean energy kalian luar biasa, saya tidak sabar melihat hasilnya."
Hanif tersenyum. "I have a great team. Kita akan laksanakan sesegera mungkin. Saya akan atur meeting untuk laporan pertanggung jawaban pertama tiga bulan mendatang."
"We trust you."
Hanif mengangguk lalu ke luar dari ruangan. Ponselnya berdering ketika dia sedang berjalan menuju tempat parkir kendaraan. Arsyad.
"Yes."
"Gimana? Sukses?"
Hanif tertawa. "Ya Bang, alhamdulillah sukses."
"Good. Setelah itu segera kembali Nif, gue butuh lo di sini."
"Herman?"
"Banyak hal. Termasuk Mareno."
"Kenapa lagi dia?"
"Gue khawatir soal dia dan Antania Tielman."
Dia menghela nafas berat. "Gue paham Bang. Kita hentikan Reno sebelum makin jauh?"
"Kita diskusi di sini."
"Oke."
Kemudian hubungan disudahi. Lima menit kemudian ponsel itu berbunyi lagi.
"Assalamualaikum Ma," dia sudah duduk di belakang kemudi mobil.
"Wa'alaikum salam, Sayang. Bagaimana meetingnya?"
Dia tertawa lagi. "Aku kayak anak kecil aja ditelpon Abang, ditelpon Mama. Berhasil Ma, tenang aja."
"Mama ikut senang dengarnya. Kapan kamu pulang?"
"Mama udah kangen?"
"Emang kamu nggak kangen?"
Senyumnya terkembang, hatinya terasa hangat. Dia memang dekat sekali dengan mamanya sedari dulu.
"Cepat pulang ya. Eh ngomong-ngomong Dara sedang di sana Nif."
"Maksudnya?"
"Kemarin Dara telpon Mama, nanyain Mama mau dibawain oleh-oleh apa. Dia lagi liburan di sana."
Dia diam sejenak. "Aku pulang secepatnya Ma. Abang juga panggil. I love you Ma, assalamualaikum."
Kepalanya menggeleng keras sejenak, kemudian dia melajukan mobilnya.
***
Malamnya di apartemen.
Ponsel itu dia tatap sedari tadi. Setelah pulang, mengatur jadwal penerbangan, mandi dan makan malam, dia duduk di sofa ruang tengah dengan ponsel di atas meja hadapannya. Dia sudah berjanji untuk melangkah maju, terus maju dan tidak menengok ke belakang lagi. Daranindra sudah bahagia dengan suami dan keluarganya. Harusnya itu cukup kan?
Tapi terkadang rasa sepi itu datang dan semua bayangan tentang wanita itu kembali mengganggu. Dia pernah jatuh cinta dua kali. Pramitha adalah gadis pertama yang mematahkan hatinya. Tapi kisahnya dengan Pramitha bisa dengan mudah dia lupakan karena ketidaksetiaan gadis itu. Kemudian dia bertemu Daranindra. Wanita sederhana dengan mata yang memukau, senyum yang hangat dan ketulusan hati yang terpancar begitu saja. Sayangnya, Dara sudah melabuhkan hatinya pada El Rafi Darusman. Anak dari Sanjaya Darusman sahabat dekat ayahnya sendiri. Dara benar-benar tidak bergeming, sekalipun dulu dia terus maju dan berusaha. Hanya satu laki-laki di hati wanita hebat itu. Itu juga yang membuat dirinya benar-benar lebih menghargai Dara lagi.
Setelah merutuki hatinya yang lemah sekali dia bangkit berdiri untuk beristirahat. Tapi ponsel itu berdering. Dengan cepat tubuhnya berbalik dan melihat siapa yang menghubunginya. Nafasnya menghela lega.
"Yes?"
"Congratulation, aku udah terima bunganya. Meeting kamu sukses ya?" suara Sabiya di seberang sana.
Dia tertawa. "Ya Bi, makasih ya."
"Kamu kirim ke Mama juga kan buket bunganya?"
"Pake nanya lagi. Ya iyalah. Kalau bukan karena kalian yang semangatin aku, itu project nggak bisa selesai. Proses di negara kita sendiri susah banget."
"Aku seneng bangeet dengernya. Jadi dapet pendanaan berapa Bang?"
"Full funding. Belanda emang lebih maju soal konservasi lingkungan daripada negara kita."
"Ya beda Bang, mereka kan negara maju. Pasti fokusnya sudah lebih ke sustainability. Terus-terus kamu kapan pulang?"
"Besok. Flight siang. Kita jalan abis itu ya, makan malam. Ajak Damar."
"Damar itu, sekarang kerjaannya nge-game mulu dan aku dicuekin. Sebel."
"Eh, eh bilangin sama dia aku punya PS 5 buat dia. Nanti aku bawa ke rumah."
"Bang, PS 5 kan belum ke luar."
Hanif tertawa. "Kerjaannya Mahendra. Dia kenal sama orang dalam yang kembangin itu. Terus dikasih gratis dan katanya buat Damar aja."
"Kok nggak Mahen aja yang kasih langsung? Kenapa dititip ke kamu?"
"Nggak tahu, aku cuma mau sampaiin amanahnya dia. Dia kan suka susah ngomong Bi kalau sama cewek."
Sabiya tertawa. "Ini aku Bang. Kalian emang masih anggep aku cewek apa?"
"Iya lah. You are always gonna be our little princess, Sayang."
"Hih, aku merinding dengernya. Geli tahu nggak." Sabiya tertawa di sana. "Aku yang udah punya anak, tandanya aku lebih tua sekarang dari kalian semua para jomblo kesepian."
"Aku nggak kesepian, kan ada kamu sama Damar."
"Get yourself a girlfriend Bang. Please. I'm begging you. Dulu, setelah Mita kamu masih bisa jalan sama cewek-cewek lain sekalipun patah hati. Tapi Mita itu nggak worth it buat kamu Bang. Jadi aku seneng akhirnya belang cewek itu keliatan. Tapi setelah Dara, kamu benar-benar nggak pernah ketemu cewek lain."
"Aku punya kamu Bi."
"Kamu paham maksud aku Bang. Aku sayang kamu Bang, sayang banget. Jadi move on dong dari Dara. Mau aku kenalin nggak sama salah satu temanku?"
Dia tertawa. "Mau, sini mana. Kamu jangan cemburu ya."
"Nggak lah. Asyik, beneran ya nanti aku kenalin. Aku langsung buatin janji ketemu pas kamu pulang."
"Terserah kamu deh. Kenalan doang ya. Nggak janji buat yang lainnya."
"Iya kenalan aja. Eh tapi kok tumben kamu mau sih?"
Nafasnya dia hela. "Serba salah ya sama kamu. Aku nolak salah, terus setuju juga salah."
Sabiya tertawa. "Oke. Take care Bang. We miss you."
Senyum masih terkembang di wajahnya ketika ponsel itu dia tutup. Moodnya selalu membaik setelah berbincang dengan Sabiya. Aura Sabiya yang positif dan selalu ceria itu benar-benar bisa membuatnya melupakan hari yang terburuk. Dia menyayangi wanita itu, sangat menyayanginya. Bukan hanya dia, saudara-saudaranya juga sangat memperhatikan Sabiya. Mereka dekat sedari kecil karena persahabatan orangtua mereka. Mungkin karena mereka tidak punya adik perempuan yang manis, atau entah apa, karena itu mereka sangat memperhatikan Sabiya. Wanita itu seperti penetralisir dari segala hitam, putih, abu-abu dunia mereka.
Tubuhnya sudah dia baringkan di tempat tidur. Sungguh tidur di tenda itu jauh lebih menenangkan daripada di apartemen sewaan seperti ini. Dia memejamkan matanya sambil berharap bahwa tidak ada firasat yang datang lagi.
***
Schipol Airport
Dia melirik jam di tangannya kemudian ke depan antrian kopi. Hanya ada dua orang di depan. Waktunyamasih banyak bahkan untuk berkeliling Schipol Plaza. Tapi dia memutuskan untuk duduk dan menikmati kopi dan roti saja di salah satu coffee shop. Setelah mendapatkan pesanannya dia memilih bangku yang menghadap ke luar tidak jauh dari meja kasir.
Suasana pagi itu tidak terlalu ramai. Mungkin karena ini di pertengahan minggu dan belum musim liburan. Dia selalu suka mengamati keadaan seperti ini. Memindai cepat orang-orang asing, kemudian menebak apa yang sedang mereka lakukan atau kemana mereka akan pergi. Lalu matanya tertumbuk pada seorang wanita dengan hijab, cantik sekali. Sedang berjalan bersama kembarannya dan juga satu orang wanita lagi. Dia tahu siapa wanita-wanita itu. Aimi Darusman, Cynthia Darusman dan Reyna, istri Brayuda. Mereka masuk ke kedai kopi yang sama. Lalu tanpa dia mau, pembicaraan mereka terdengar.
"Aku selalu nggak suka kelakuan Rafi yang terlalu berlebihan sama Dara. Ngerusak semuanya aja," ujar Cynthia kesal.
"Hey, hey. Abang kita itu emang begitu tahu. Kayak baru paham aja," sahut Aimi.
"Ya lihat-lihat dong ini occasion-nya apa. Dara juga nggak pergi sendirian. Masih aja kumat. Awas nanti aku jewer dia keras-keras. Dasar menyebalkan."
"Udah kopi dulu aja. Siapa tahu mood membaik," Reyna menengahi.
"Pokoknya aku masih mau lanjut. Awas aja kalau Rafi tarik-tarik Dara pulang, cuma karena dugaan yang nggak berdasar sama sekali."
"Itu aku setuju. Nanti aku ngomong sama Abang. Kalau kita masih mau lanjut ke Praha oke?" Aimi berujar lagi.
Tangannya mengambil topi yang dia letakkan di meja. Dia tidak mau mereka tahu dia ada di situ. Tapi sebelum topi itu dia kenakan, ponselnya berbunyi. Janice, sekertaris keluarganya menghubungi. Itu membuat Cynthia menoleh ke arahnya.
"Loh kok?" wajah heran Cynthia sudah di sana.
***
Nah lhooo...ketemu nggak kira-kira sama Dara? Tebak hayooo.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro