19. Entering the House
Setelah kejadian semalam, Faya berusaha menenangkan diri dan mengembalikan fokusnya lagi. Hal yang baik adalah untuk tahu bahwa Aryo sudah jatuh pada pesona Nafa. Dia juga sudah mendengar, dengan telinganya yang selalu mengudara setiap makan siang tiba, atau waktu santai untuk mengopi sore datang di warung, dari anak-anak buah Herman sendiri. Bahwa Aryo sedang ditugaskan sesuatu yang rahasia dan penting. Mencari dokumen yang hilang milik Herman. Karena itu juga selama seminggu sebelum kejadian semalam, Aryo tidak datang ke warung.
Dia tahu dia lepas kendali bukan karena ciuman itu. Hal itu hanya menjadi pemicu yang menggoyahkan niat dan fokusnya saja, untuk menyudahi kepura-puraan ini. Karena dia sadar sisi wanitanya mulai bangkit dari tidur panjang. Bagaimanapun juga sosok Nafa benar-benar sudah menyatu dengan dirinya. Gadis sederhana dari desa, yang hanya ingin bersekolah, bekerja, dan membantu bude-nya di Jakarta. Gadis yang mengusik kesadaran dalam dirinya, kalau dia punya pilihan lain selain bekerja di ADS dan menjadi Komandan perempuan tertinggi di sana.
Awalnya dia terpaksa menjadi Nafa, karena tugas yang harus dia lakukan. Bukan tugas itu yang dia permasalahkan, tapi sosok penyamarannya. Nafa Oktavia benar-benar bertolak belakang dengan Fayadisa. Jika dia bisa memilih, dia lebih memilih untuk menyamar menjadi penjahat wanita. Ya, itu lebih mirip dengan Fayadisa. Lalu, setelah berminggu-minggu mengenakan topeng yang sama. Dia mulai merasa nyaman. Bangun pagi-pagi, pergi ke kampus, belajar dan berbicara dengan anak-anak normal lainnya, sekalipun dia menghindari punya teman dekat. Setelah itu pulang dan membantu Ibu Yanti di warung, sungguh dia sudah terbiasa.
Kemudian, nuraninya mulai terusik. Sisi kewanitaan yang sebelumnya dia berhasil abaikan, mulai bangun. Dia tidak bisa menanggalkan topeng Nafa begitu saja ketika malam tiba. Membuat dia berandai-andai. Bagaimana jika, apakah bisa. Lalu bayangan laki-laki itu menguat. Senyumnya yang hangat, mata coklatnya yang indah sekali, tangan yang kuat namun bisa mengalunkan nada-nada lembut. Hanya dengan membayangkan itu semua, bisa membuatnya tidur lelap. Tanpa mimpi buruk yang mengganggu. Persis seperti ketika dia mendengar permainan pianonya dulu. Hanif Daud, tidak bisa pergi dari pikirannya sendiri.
Dia menyelesaikan mandinya pagi-pagi. Mendinginkan kepala selalu baik untuk menenangkan pikiran. Suara-suara dari bawah sudah terdengar. Ibu Yanti sudah mulai bersiap-siap. Setelah itu dia turun, untuk membantu sejenak sebelum berangkat ke kampus.
Langkahnya melambat ketika tahu sosok Aryo duduk di salah satu kursi. Ini masih jam 4 pagi, sejak kapan dia ada di situ?
"Nduk, itu Den Aryo katanya mau ngomong dulu. Bude mau ke pasar sebentar ya sama Didi. Ada yang kurang."
Dia mengangguk ragu-ragu sambil menatap Ibu Yanti berlalu. Kemudian dia menatap Aryo yang kelihatan gusar, bersalah.
"Sini, duduk." Satu tangan Aryo menggeser kursi di sebelahnya.
"Nggak usah, saya berdiri aja di sini. Ada apa?"
"Duduk." Aryo berujar tegas.
"Saya nggak mau. Apa kamu selalu maksa?" Dia mundur selangkah.
Laki-laki itu menghembuskan nafas kesal. "Oke, gue yang ke sana."
"Jangan, di situ aja." Dia berujar ketakutan.
'BRAK!' Aryo menggebrak meja.
"Iya iya, saya duduk. Tapi kamu di sana aja." Dia berjalan perlahan menuju salah satu kursi dihadapan Aryo, menyatukan kedua tangan di pangkuan, kemudian duduk dengan pandangan sedikit ke bawah. Tubuh mereka dibatasi oleh meja.
"Kemarin..." Aryo menatapnya. "...gue minta maaf soal kemarin malam."
"Nggak dimaafin."
Aryo tersenyum kecil. "Oke. Nggak masalah. Karena gue nggak bakalan ngulang permintaan maaf gue tiga kali."
Dia diam saja.
"Tugas kampus lo udah selesai?"
"Belum."
"Gara-gara nangis semaleman?"
"Bukan."
"Terus kenapa?"
"Itu, bukunya nggak ada, udah dicariin. Kayaknya, ketinggalan."
"Dimana?"
"Terakhir saya pegang waktu di ruang dokter kantor kamu."
Aryo mengernyit heran. Dia memang baru kembali, jadi mungkin dokter Toro belum sempat menyampaikan hal itu padanya.
"Mangkanya, mau disuntik aja cengeng sih," ujar Aryo. "Mau diambilin?"
Dia mengangguk perlahan.
"Mau ikut?"
Kali ini kepalanya dia naikkan perlahan. Reverse psychology. "Nggak ah, takut." Dia menatap Aryo sambil menggigit bibirnya sendiri.
Laki-laki seperti Aryo yang dominan, selalu punya keinginan besar untuk melindungi. File-file yang dia baca tentang seorang Aryo Kusuma mendukung teori itu. Jadi dia berperilaku seolah dia takut dan tidak mau. Harusnya berhasil.
Aryo mendengkus kesal lagi. "Jangan bikin ekspresi begitu. Berdiri, ikut ayok."
"Nggak usah deh. Kamu ambilin aja."
"Eh, nyuruh-nyuruh gue lagi. Lo yang tinggalin buku itu sendiri, ya lo yang ambil sendiri. Cepet." Aryo sudah berdiri.
"Ini warungnya gimana?"
"Bu Yanti ini warung favorit gue. Kalau ada yang berani macem-macem urusan sama gue. Selama ini nggak ada lo, Bu Yanti aman-aman aja. Jadi nggak usah khawatir. Lagian cuma sebentar. Habis itu gue harus kerja dan lo kuliah."
"Saya tinggalin pesen dulu buat Bude. Nanti Bude khawatir."
"Cepetan gue tunggu."
Kemudian dia berjalan ke lantai atas untuk mengganti celananya dengan celana jins dan memastikan lagi penampilannya. Wajah tanpa make up apapun. Kaus dan jins sederhana dan sendal jepit. Tangannya meraih ke dalam laci yang dia buka. Dia mengambil alat-alat Mahendra. Ini sudah saatnya untuk memasang semua alat itu di sangkar singa. Dia menarik nafasnya dalam.
"Emangnya kantornya udah buka?" Dia bertanya pada Aryo. Mereka sudah tiba di lobi setelah berjalan dari warung nasi Bu Yanti yang memang letaknya tidak jauh.
"Orang-orang baru datang jam 6 pagi. Ini masih jam setengah lima."
"Tapi itu ada orang."
"Itu satpam namanya. Wajar aja ada."
"Terus kuncinya gimana?"
"Lo bawel ternyata." Aryo terkekeh kecil.
Mereka terus berjalan. Para penjaga itu mengangguk kecil melihat Aryo. Kentara sekali mereka menghormati laki-laki ini. Dia sedikit berlari untuk mengimbangi langkah Aryo yang panjang. Aryo sudah menempelkan kartu akses pada pintu masuk tempat pusat keamanan bekerja.
'Gelap dan kosong. Bagus.'
"Sini, ruang dokternya di sini. Ngeliat apa?"
"Bukan, kantornya bagus ya. Luas. Banyak meja dan komputer." Dia memberi tatapan terpukau melihat ke sekelilingnya.
Tubuh Aryo berhenti dan mata laki-laki itu menatapnya. "Ini kantor keamanan Nafa. Di atas baru kantor yang sesungguhnya. Yang benar-benar bagus ada di atas, bukan di sini."
"Tapi ini beneran bagus. Saya nggak pernah lihat komputer sebanyak ini." Tubuhnya berjalan perlahan ke arah salah satu meja kerja. Menyentuh meja itu perlahan."
Aryo terkekeh lagi, kemudian menghirup nafasnya.
"Mungkin kamu pikir saya norak. Tapi saya belum pernah masuk ke gedung perkantoran yang besar begini." Dia masih menatap ruangan besar itu kagum.
"Mau lihat-lihat ke atas?"
Tubuhnya langsung berbalik sempurna. "Serius, boleh?" Senyumnya mekar terkembang.
"Boleh. Asal lo maafin gue soal kemarin."
Kepalanya mengangguk cepat.
Aryo tertawa lagi. "Ambil buku dulu, mau? Semoga Dokter Toro simpenin."
Kemudian mereka berjalan menuju ruang dokter dan menemukan buku Manajemen besar itu berada di salah satu lemari. Dia mengambil buku itu dan segera menempelkan salah satu alat Mahendra yang kecil sekali di balik salah satu lemari ketika Aryo sedang melihat ke arah lain.
'CCTV Faya, hati-hati.' Dia mengingatkan dirinya sendiri.
Lalu mereka berjalan kembali ke arah kantor tadi.
"Jangan cepet-cepet dong jalannya." Dia menubrukkan dirinya pada tubuh Aryo yang tiba-tiba berhenti. Hingga membuat tangannya berpegangan ke salah satu lemari dan langsung menempelkan alat itu di sana.
Dengan gugup dia kembali menegakkan tubuhnya dan menundukkan wajah. Kemudian Aryo kembali berjalan dengan ekspresi wajah yang mengeras.
"Lo lambat banget. Bisa lebih cepet nggak?"
Mereka sudah berada di lift. Dia menggeser tubuhnya sedikit mendekat ke Aryo.
"Kenapa? Takut naik lift?"
"Perut saya geli rasanya."
Aryo mengulum senyum sambil menggelengkan kepala. "Ajaib dasar."
"Kita mau kemana?"
"Lantai utama, yang paling bagus."
Bagus, Aryo ingin menyenangkan Nafa.
Lift berhenti dan mereka turun. Lampu-lampu masih temaram. Dia melangkah dan menggerakkan kepalanya perlahan sekali. Menikmati pemandangan yang ada di hadapannya. Misi.
"Mingkem, jangan melongo gitu. Jelek." Aryo menatapnya.
"Ini banyak banget karyawannya ya?" Matanya masih berkeliling. Memindai cepat.
"Ini bukan usaha utama Bos saya."
"Bos kamu emang siapa?"
"Nggak usah usil." Aryo menyenderkan tubuhnya di salah satu meja dan tangannya bersedekap di depan tubuh. Matanya memandang sosok Nafa.
"Katanya kamu pernah kerja. Masa baru lihat kantor sih?" tanya Aryo.
"Kerja di pabrik gula. Pabrik, ya beda banyak." Matanya menatap satu ruangan besar di hadapannya. "Itu ruangan Bos ya?"
"Iya."
"Boleh ngintip nggak?"
Aryo tersenyum lagi."
"Boleh. Tapi nggak boleh masuk."
Dia berjalan menuju ruangan itu dan mengintipnya dari luar. Jadi ini tempat Herman bekerja dan menyusun rencana. Tubuhnya berbalik dan dia kembali berjalan menuju Aryo lalu tersandung kaki meja sekertaris Herman yang berada di depan ruangan. Kemudian dia melambatkan gerakannya karena tahu Aryo menghampiri.
"Bisa hati-hati nggak sih? Dasar ceroboh." Aryo membantunya berdiri.
"Kamu kasar."
"Ada masalah?"
Dia menggeleng perlahan. Aryo membalik tubuhnya dan dia berhasil menempelkan alat itu ke balik meja sekertaris Herman. Matanya memindai kamera CCTV di sana. Mulai menghitung dan mengingat cermat gerakan kamera itu.
"Kamu ruangannya di bawah?"
"Mau lihat?"
"Nggak usah."
"Beneran? Kamu berdiri di depan pintunya soalnya."
Dia membalik tubuh ke ruangan berukuran sedang yang berada di sebelah ruangan Herman. Wow, Aryo benar-benar berada di puncak. Karena tidak sabar, Aryo berjalan menuju ruangannya sendiri dan membuka pintu serta menyalakan lampu. Langkahnya lambat-lambat ragu-ragu. Seolah takut untuk masuk ke sana.
"Kamu Bos juga?"
"Bukan, gue kacungnya."
"Tapi ruangan kamu bagus." Dia memandang berkeliling.
"Gue jarang di sini, banyakan di bawah atau di lapangan."
"Kamu pekerjaannya apa?" Kakinya mulai berjalan keliling ruangan, melihat-lihat.
"Nggak perlu tahu. Yang perlu lo tahu, siapapun wanita gue, dia akan aman, selamat, dan hidup senang. Asal nggak berkhianat."
"Wah, istri kamu seneng banget pastinya ya."
"Gue nggak punya istri."
Langkahnya berhenti dan tubuhnya berbalik sedikit karena dia sudah sampai di meja kerja Aryo. Laki-laki itu masih berdiri di tengah ruangan menatapnya. Tubuhnya membelakangi meja dan tangannya masih menggenggam pinggiran meja itu. Senyumnya terkembang dan dia menatap Aryo polos.
"Kalau gitu pacar kamu yang senang."
"Bagus, berarti lo senang."
"Kok saya?"
"Kan gue bilang mulai dari kemarin lo resmi jadi perempuan gue."
"Kan saya bilang nggak mau."
Aryo melangkah mendekatinya. "Gue maksa. Mau apa?"
Tangannya cepat-cepat menempelkan alat itu di balik meja. Tubuh Aryo dekat sekali berhadapan dengannya. Sedikit banyak dia grogi juga. Bagaimanapun, aura Aryo Kusuma memancar kuat. Gelap, kelam, keras, berbahaya. Persis seperti Arsyad. Wajahnya dia tolehkan ke kanan karena wajah Aryo dekat sekali. Dia bahkan bisa merasakan hembusan nafas laki-laki itu di pipi.
Dia menghirup nafas panjang. Kemudian kepalanya dia tolehkan perlahan dan dia mencium pipi Aryo sesaat. Lalu mendorong tubuh laki-laki itu yang masih berekspresi terkejut dan berlari ke luar ruangan menuju lift.
Oke, dia lakukan itu karena dia tahu Aryo bisa nekat mencium bibirnya. Jika itu terjadi dia akan merasa kesulitan berpura-pura. Sulit sekali. Dia bisa tahan, tapi Aryo tidak akan merasakan apapun ketika menciumnya. Aryo akan sadar bahwa dia tidak punya perasaan apa-apa. Itu gawat, jadi dialah yang berinisiatif untuk mencium pipi Aryo cepat dan menghindar. Alat-alat itu sudah terpasang di tempatnya. Semoga saja ini bisa berguna.
***
Aryo ke luar dari ruangan setelah selama beberapa menit terpaku. Dia laki-laki dewasa dan berpengalaman dengan wanita. Tapi dulu, hanya ada satu gadis di hatinya. Teman semasa kecil yang harus mati di meja operasi. Herman datang dan membantu. Membiayai segalanya yang dibutuhkan untuk menyelamatkan gadis itu. Tapi takdir berkata lain, gadisnya itu meninggal dunia. Dan dia sudah bersumpah untuk membayar apa yang Herman lakukan dulu. Saat dia tidak punya apa-apa dan semua tidak perduli, tidak ada. Herman ada untuknya.
Kemudian dia bertemu Nafa. Gadis sederhana keponakan pemilik warung langganannya. Dia merasakan sesuatu lagi. Bukan nafsu yang menggebu seperti ketika dia menghabiskan malam dengan wanita-wanitanya yang lain. Tapi perasaan hangat dan keinginan untuk melindungi yang kuat. Dia seperti melihat sosok gadis yang dia cinta dulu pada diri Nafa. Polos, lugu, sekalipun Nafa memiliki pancaran mata yang berbeda. Seperti keberanian yang tersembunyi atau tekad yang kuat. Seperti ada api jauh di dalam mata itu. Bersemayam menunggu untuk dipicu. Itu membuatnya makin merasa penasaran pada sosoknya.
Sikap Nafa malu dan lebih banyak diam terkadang. Tapi juga bisa tiba-tiba banyak bicara dan bertindak impulsif seperti tadi. Nafa mengejutkannya dengan ciuman kecil di pipi. Karena dadanya mulai berdentum seru. Dia tahu apa artinya. Karena itu dia akan mendapatkan Nafa. Bagaimanapun caranya.
Nafasnya dia hela dan senyumnya terkembang mengetahui buku Manajemen besar itu tertinggal di salah satu meja.
'Dasar gadis ceroboh.'
***
Makin oleng lagi ga, sama Aryo? Hehehe.
Ingeet, ingeet. Karakternya Aryo itu villain banget. Sekalipun jadi less nakutin dan bisa manis kalau sama Nafa.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro