18. In the middle of it
Danika sudah pindah ke MG Hospital dan langsung dalam pemantauan dokter Reyn dan dokter ahli jiwa yang dijanjikan oleh Arsyad. Sang dokter ahli jiwa bahkan sudah mulai bekerja sejak satu bulan lalu setelah Arsyad mengurus segalanya dengan Nalea. Setelah pembicaraan antara dia, Hanif dan Mahendra minggu lalu, akhirnya mereka ber-empat serta Niko bertemu dan duduk mendiskusikan apa-apa yang yang harus dilakukan.
Mareno sendiri sudah merasa lebih baik karena kabar dari Mahendra dan Hanif yang menyatakan bahwa kemungkinan wanitanya masih hidup sangat besar. Hanya dengan berita itu saja sudah bisa membuat dia segera membenahi apa-apa yang dia bengkalaikan dulu. Pekerjaan, waktu, kewarasan, dan juga kesehatannya. Ya, saat ini dia sedang bersiap-siap untuk menghadapi Michelle Dinatra. Dia bahkan sudah bertemu dengan pihak kepolisian untuk meyakinkan mereka agar mau membuka kasus ini lagi. Kemampuan negosiasinya di atas rata-rata, jadi mereka setuju.
"Lo lebih segar," tatap Arsyad yang duduk di kursi seberangnya. Mereka berada di ruangan Arsyad di ADS.
"Kalian hanya butuh info gue, Bang." Dia menyahut kesal dan kembali ingat pada rahasia saudara-saudaranya kemarin itu.
"Karena itu kabar baik. Gimana kalau nggak ada kabar baik? What will you do? Die?"
Dia mendengkus. "Mati itu pilihan paling enak. Tapi nanti gue nggak bisa ketemu Tania di sana kalau gue suicide." Bahunya dia gendikkan. "Mungkin menjalani masa hukuman yang tersisa, sambil banyak-banyak ikut misi lo yang berbahaya. Siapa tahu mati saat menjalankan misi, kan syahid tuh. Abis itu ketemu Tania di sana. Lebih elegant."
Arsyad tersenyum kecil. "Udah bisa bercanda. Good. Jangan buru-buru mau mati. Tania masih di sini."
"Lo tahu itu dari kemarin dan masih bisa nggak ngomong ke gue. Sadis." Kepalanya dia gelengkan.
"Jangan marah-marah, hari ini kita ketemu Dokter yang nanganin Danika. Dia akan terangkan gimana cara untuk buat koneksi ke Danika. Hanif dengan segala pengetahuannya soal psikologi, percaya kalau firasat atau hubungan batin itu bisa jadi dua arah. Artinya, kalau Danika bisa menerima dan meneruskan dalam bentuk gambar-gambar apa-apa yang dirasakan Tania, harusnya Tania juga bisa merasakan apa-apa yang dipikirkan Danika." Arsyad menghela nafas. "Gue tadinya nggak percaya. Tapi lagi-lagi firasat Hanif nggak salah."
"Gue utang banyak sama Hanif, Bang. Jadi tolong, kalau dia jatuh cinta. Lo harus support dia."
Arsyad menatapnya tidak mengerti. "Ada urusan apa lo yang minta ijin begitu?"
Mareno diam, dia tidak bisa mengatakan apa yang dia tahu dan bicarakan dengan Hanif tentang Faya. Cepat atau lambat abangnya akan tahu. Tapi dia mau Hanif sendiri yang bicara pada Arsyad.
Pintu ruangan Arsyad diketuk. Hanif, dokter Reyn dan dokter Andreas masuk. Mereka saling memperkenalkan diri sejenak kemudian duduk lagi. Setelah itu dokter Andreas memaparkan apa yang dia sudah baca dari medical record Danika. Satu bulan ini sang dokter bahkan sudah menelusuri seluruh pihak keluarga Danika, tempat Danika tinggal dan bekerja, juga termasuk bertemu dengan Mario Damanik.
"Jelas kasus Danika terjadi karena trauma yang dalam karena hasil kekerasan yang dulu terjadi. Saya juga curiga dia ada kendala interpersonal mengingat Tania tiba-tiba pergi ke luar negeri dan dia harus merantau sendiri di Jakarta. Dokter Inggit sudah melakukan banyak terapi termasuk hipnoterapi. Tapi, saya pikir porsi terapi yang diterapkan kurang tepat. Ketika kita mencoba suatu perawatan, sangat disarankan porsi perawatan tepat dan dilakukan dalam jangka waktu yang tepat. Jadi, saya akan mencoba menitik beratkan pada hipnoterapi dan juga beberapa jenis terapi modalitas yang lain dengan jangka waktu yang baru," dokter Andreas menjelaskan panjang lebar.
"Dimana saya bisa ambil bagian Dok?" tanya Mareno.
"Pada terapi lingkungan dan terapi individual. Saya akan ajarkan cara berkomunikasi dengan Danika yang lebih efektif," jawab dokter Andreas.
"Apa pemberian obat-obatan tertentu bisa membantu, Dok?" Hanif kali ini.
Dokter Andreas diam sejenak. "Saya adalah tipe dokter yang lebih memilih pendekatan terapi langsung dan personal, daripada penggunaan obat-obatan atau psikofarmaka. Terapi somatic hanya dilakukan jika Danika memang sedari dulu sudah berada dalam lingkungan resiko tinggi dan membuat perubahan biokimia tertentu di tubuhnya. Dari analisa saya, lingkungan masa kecil Danika sehat, kecuali kecelakaan orangtuanya yang tiba-tiba. Tapi bahkan setelah itu Danika bisa bangkit dan baik-baik saja sampai kejadian tragis itu terjadi."
Mareno menggeram menahan emosi. Dia akan memastikan Michelle membayar segalanya.
"Jadi, kapan bisa kita mulai, Dok?" tanya Mareno.
"Beri saya waktu satu minggu lagi untuk mempersiapkan Danika," jawab dokter Andreas.
Mereka mengangguk setuju kemudian dokter Reyn dan dokter Andreas pamit.
"Oke, tinggal bereskan perkara hukumnnya." Arsyad bergumam setelah mengantar dokter-dokter itu sampai pintu dan menutupnya.
"Serahkan itu sama gue, Mahendra dan Pak Lukman. Kami sedang mengumpulkan semua fakta. Dulu, kasus itu hanya dilaporkan saja tanpa ditindak lanjuti. Karena Michelle menggunakan uangnya untuk membuat pelaporan berhenti dan tidak pergi ke meja sidang. Jadi atas dasar pelaporan lama itu yang akan kita buka kembali kasusnya. Bagusnya Om Wahyu sangat respect dengan lo, Bang. Jadi dia bantu kita soal itu. Tapi masalahnya, pelaku belum ditemukan. Pelaku harus ditemukan karena itu titik penting kasus ini." Mareno menggeleng kesal.
"Hubungi Brayuda dan Bapak besar. Kalau Michelle pakai preman, harusnya mereka tahu kan," ujar Arsyad.
"Ya, gue juga pikir begitu. Ini kasus lama. Ya Tuhan, jadi gue harus bisa tangkap ciri-ciri pelakunya dan telusuri siapa. Masalahnya, kondisi Danika yang tidak memungkinkan untuk menggambarkan siapa pelakunya. Itu pun kalau dua orang bejat itu masih hidup."
Hanif mengernyitkan dahinya dalam. "Gambar Danika. Cek gambar-gambar Danika yang lama. Nalea bilang Danika menggambar potongan-potongan gambar laki-laki. Hubungi Nalea, Ren."
"Itu gambar si brengsek Mario," timpal Mareno kesal.
"Mungkin iya, tapi mungkin tidak semua." Hanif menatap Mareno dengan secercah harapan. "Pasien dengan trauma dalam biasanya akan teringat potongan-potongan gambar saat kejadian trauma. Gue nggak mau pusingin kalian sama teori psikologi, tapi simplenya begitu. Dan nggak ada salahnya cek kan. Tapi lo juga butuh Mario, Ren. Karena lo harus pilah-pilah mana gambar Mario dan bukan Mario."
"Shit, gue udah emosi duluan sama Mario. Manusia nggak gentleman begitu."
"Sabar, for a greater good." Hanif menatap Mareno.
"Rencana lo makin masuk akal, Nif. Entah kenapa, gue makin percaya bahwa kemungkinan besar Tania akan muncul saat Michelle mulai resah dan gue turunkan pers. Atau mungkin Tania ingin bertemu Danika atau ayahnya."
"Turunkan pers secepat ini?" Arsyad kali ini mengernyit heran.
"Gue akan melakukan apa yang paling bisa gue lakukan Bang, buat onar. Kali ini gue akan buat Michelle jadi headline utamanya." Dia menghirup nafas dalam.
"Mau pake stasiun TV mana?" tanya Hanif.
Mareno tersenyum kecil. "Rahasia. Channel 51 itu peringkat ketiga. Masih ada 2 stasiun TV lain di atasnya. Jadi, serahkan itu ke gue."
"Ren...lo jangan kumat lagi. Kalau Tania tahu lo mulai tidur lagi sama cewek-cewek selesai lo." Hanif mulai menduga-duga.
"Itu masalah kalian dari dulu. Nggak percaya sama gue." Mareno berdiri dan membetulkan letak jasnya. Kemudian dia menatap kedua abangnya yang masih duduk. "Intinya, gue bereskan Michelle. Tolong bantu gue, temukan Tania. Pamit Bang. Gue ada meeting sore." Mareno beranjak ke luar ruangan Arsyad.
Arsyad tersenyum menatap adiknya berlalu dari ruangan. "Feeling gue bagus." Kemudian kepalanya beralih menatap Hanif yang duduk di hadapannya.
Hanif hanya mengangguk kecil. "Mareno serius kali ini, karena ini wanitanya."
"Good. Sekarang kita cek Faya." Arsyad sudah duduk tegak kembali.
Hanif menghirup nafas dalam dan mulai menghubungi Niko.
***
"Udah selesai?" Suara Aryo dari belakang tubuh mengejutkannya.
Dia menoleh sejenak kemudian menjawab. "Sebentar lagi." Kemudian dia melanjutkan mengelap gelas-gelas kemudian piring yang sudah selesai dia cuci.
"Gue tunggu." Aryo duduk di salah satu kursi. "Bu Yanti kemana?" Kepala Aryo celingukkan mencari sosok itu.
"Bude lagi nggak enak badan, jadi istirahat di atas. Ini mangkanya tutup lebih cepat." Tubuhnya masih terus bergerak membereskan kursi-kursi dan meja.
"Mang Didi?" Tubuh Aryo sudah berdiri lagi dan berjalan mendekatinya.
"Mang Didi pulang kampung, besok udah balik." Matanya menatap Aryo heran karena laki-laki itu mulai mendekatinya.
"Minggir, gue aja yang angkat kursinya. Lo kerjain yang lain."
"Udah kok, jangan ngerepotin."
"Gue nggak repot. Hus-hus sana." Aryo menaikkan kursi-kursi ke atas meja. "Ganti baju sana. Ikut gue."
"Kemana?" Tubuhnya mundur perlahan.
"Jalan-jalan."
"Nggak mau, saya ada tugas, besok dikumpulin."
"Gue nggak nanya, gue nyuruh lo siap-siap."
"Ih, maksa lagi." Dia mulai berjalan ke arah tangga. Kemudian langkahnya terhenti karena tangan Aryo menahan lengannya.
"Mau kemana?"
Dua tangan langsung dia silangkan di depan dada. "Mau ngapain?"
Aryo mendengkus kesal. "Dasar nyebelin, nggak usah ketakutan begitu. Ayok."
"Tapi saya ada tugas." Faya menahan tubuhnya tetap di sana. Laki-laki selalu suka tarik ulur begini, begitu menurut Deana.
"Oke, kerjain tugas lo dulu. Gue tungguin. Abis itu kita jalan." Aryo melihatnya membuka mulut ingin menjawab lalu langsung mencium pipinya.
Kemudian entah bagaimana dadanya tiba-tiba bereaksi. Ingatan tentang ciuman Hanif padanya kembali. Dia membeku, berdiri pucat pasi. Dia tidak siap untuk ini. Ya Tuhan, dia merindukan laki-laki itu. Bukan laki-laki yang menciumnya tadi. Apa penyamaran selalu sulit begini? Apa dia tidak bisa memaki? Memukul laki-laki yang sudah kurang ajar menciumnya tadi.
"Fa...Nafa." Aryo menatapnya sedikit merasa bersalah. "Fa, jangan bilang ini pertama kali lo di..."
Air mata itu menetes begitu saja. Dia kerjapkan matanya banyak-banyak dan mengalihkan pandangannya sambil sibuk menghapus air mata. Karena ketika Aryo menatapnya nanti, hanya akan ada kemarahan di sana dan rasa terhina. Kemarahan karena dia merasa tidak mampu lagi berpura-pura, karena ini menyesakkannya juga. Juga karena kumpulan cemas dan rindu pada sosok itu. Yang sudah berminggu-minggu menghilang dan tidak menghubungi. Ciuman Aryo menjadi pemicu, goyahnya keyakinan pada dirinya sendiri. Apa dia bisa terus berpura-pura jatuh cinta pada laki-laki ini?
'Jangan cengeng Fa. Lo Komandan kedua tertinggi. Jangan gagalkan semuanya.'
"Fa, lo nakutin gue. Ngomong..."
Dia akan menjadi Nafa. Ya, dia adalah Nafa saat ini. Lalu dia menangis sesunggrukkan. Karena dia tahu, itulah yang Nafa akan lakukan. Sekalipun kali ini, jauh di dalam dirinya tahu, bahwa Fayadisa juga ingin menangis.
"Fa..." Tangan Aryo menahan lengannya yang sudah ingin berlalu ke atas. "Maaf."
Kemudian dia berlalu ke lantai atas.
Sementara di bagian lain Jakarta. Hanif duduk terpaku, melihat apa yang terjadi dari CCTV yang sudah terpasang di beberapa tempat di warung Bu Yanti. Kamera kecil yang tidak dapat dideteksi. Dia, Arsyad dan Niko yang memiliki aksesnya. Setiap malam dia akan memeriksa, dimanapun dia berada, dia akan melihat dan menatap gadis itu. Menganalisa situasi, menjaganya dari jauh. Tapi dia tidak pernah mengira, bahwa Faya benar-benar bisa membuat Aryo bersikap seperti tadi. Laki-laki itu mencium pipinya. Itu membuat hatinya sakit sekali.
Kemudian Faya menangis. Salah, Nafa yang menangis. Tapi entah kenapa dia juga merasa bahwa ciuman itu juga menyakiti Faya. Lalu dimana dia sendiri? Di sini, duduk terpaku tanpa bisa menghantam laki-laki yang berani menyentuh gadis yang dia suka. Terikat pada tugas yang tidak bisa ditunda.
Tubuhnya berdiri, berjalan menuju dapur dan mengambil segelas air minum. Lalu langsung menghabiskannya saja. Ini mulai sulit sekali untuk dia tahan dan dia kendalikan. Lalu dia duduk di sofa, meletakkan kepalanya ke sandaran dan memejamkan mata. Sementara dua tangan terkepal keras, berusaha menahan diri untuk tidak merusak sesuatu. Berusaha menenangkan dirinya sendiri. Dia bersumpah, setelah misi ini selesai, dia tidak akan membiarkan Faya melakukan misi lainnya yang bisa mengancam jiwa dan menggerogoti hatinya. Sekalipun dia akan berhadapan dengan Arsyad nanti. Ya, dia tetap tidak akan membiarkannya lagi.
***
Sabar ya, Bang. Sabar.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro