Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

17. New Plan

Hanif masuk ke dalam safe house setelah selesai dari markas besar. Dia masih menelusuri dan memantau gerak-gerik dokter Fauzan. Dokter yang praktek di klinik kecil tempat si adik nelayan itu pergi. Ya, akhirnya dia bisa mengetahui kemana laki-laki itu pergi setelah satu-dua hari mengintai. Melakukan penyamaran kecil dan duduk di warung dan berbaur dengan penduduk di sana. 

Arsyad benar, beberapa preman ikut campur. Mungkin Herman, atau mungkin Bapak Besar. Arsyad masih belum mengabarinya hasil pembicaraan antara dia dan Bapak Besar sendiri. Sementara, abangnya sudah berhasil mendesak pihak kepolisian untuk membuka kasus Danika. Mahendra dan Pak Lukman sedang menangani prosesnya yang akan mulai bergulir lagi di pengadilan.

Dia terkejut ketika menemukan Mareno yang duduk di sofa satu dudukan ruang tengah. Lampu-lampu juga tidak dinyalakan. Kepalanya bahkan menggeleng keras untuk memastikan ini bukan salah satu mimpi lainnya. Dia masih terjaga.

"Kenapa? Lo pikir lo mimpi lagi?" Suara dalam dan berat Reno sudah di sana.

Kakinya melangkah ke arah dapur untuk mengambil segelas air dan meneguknya.

"Lexy, nyalakan lampunya." Tubuhnya sudah berada di ruang tengah berdiri menatap adiknya yang masih duduk.

Kemudian lampu-lampu menyala setelah suara Lexy mengkonfirmasi.

"Jadi, Fayadisa? Wow, selera lo berubah banyak." Wajah Mareno tirus dan pucat. Menatapnya datar tanpa ekspresi.

Dia diam, tidak mengerti apa maksud adiknya.

"Gue nggak paham, mulai dari kapan kita berahasia, Bang? Gue nggak paham." Mareno tersenyum sinis sambil menggelengkan kepala.

Mareno merasa sakit hati karena dia tidak diberi tahu apa-apa. Saudara-saudaranya bungkam menutupi sesuatu. Karena itu dia mengikuti Hanif dan menemukan kenyataan bahwa abangnya ini memiliki perhatian khusus pada Fayadisa. Ya, perempuan kuat itu. Siapa yang sangka. Jadi sekarang, dia ada di sini untuk membuat Hanif bicara. Kemampuan bernegosiasinya selalu handal. Sekalipun kali ini dia akan memaksa, atau mengancam jika diperlukan.

"Gue nggak ngerti maksud lo."

Mareno terkekeh kering. "Mungkin lo akan ngerti maksud gue kalau gue bongkar penyamaran Fayadisa. Gampang, karena Aryo sudah curiga."

Ekspresi wajahnya mengeras. Dia tidak suka kemana arah pembicaraan Mareno.

"Atau, cukup gue dekati saja Nafa. Jadi Aryo terpancing dan tambah curiga. Gimana?" Mareno sudah berdiri berhadapan dengannya.

Gerakannya cepat sekali, tangannya sudah mencengkram kerah kemeja adiknya. "Bilang, mau lo apa? Jangan pake basa-basi."

"Lo tanya mau gue apa? Apa lo jadi bego gara-gara jatuh cinta, hah?" Mareno sudah berteriak tinggi. Mata mereka beradu sama-sama emosi.

"Gue sedang cari cewek lo itu sekarang!! Gue dan Arsyad setengah mati cari dia buat lo. Bisa-bisanya lo ngomong begini sama gue? Dasar nggak tahu diri." Dia melepaskan cengkraman itu kasar dan mendorong tubuh Mareno menjauh.

"Gue paham itu, yang gue nggak paham kenapa kalian berahasia sama gue. Kalian tahu sesuatu dan kalian diam!! Gue mau bantu nggak boleh, juga nggak dikasih informasi apapun. Jadi lo semua mau gue ngapain? Diam kayak orang bego? Dasar brengsek lo semua!!" Mareno sudah mendorong tubuhnya juga.

"Mungkin cara kalian ngerti gue, adalah ketika gue bikin kacau. Jadi sumpah Bang, gue bakalan mengacaukan seluruh misi Faya. Sampai kalian mulai bicara," ujar Mareno lagi.

Tubuh Mareno sudah ingin berjalan menjauh dan dia menariknya kembali dan menghantam wajah adiknya itu. Mareno yang tidak terima juga membalas pukulan. Mereka saling menghantam seru. Membuat beberapa perabotan pecah dan barang-barang bergeser berantakan.

"Gue bahkan nggak bisa ada saat cewek yang gue suka butuh gue. Buat siapa, hah? Buat siapa?! Dasar adik brengsek!!" Maki Hanif.

Dia terus menghantam, seperti melepaskan segala keresahan yang dia pendam. Tentang bagaimana malam-malamnya buruk sekali karena dihantui mimpi-mimpi yang berganti. Tentang Faya, tentang Mareno adiknya, tentang Aryo yang tiba-tiba muncul dan membuatnya lebih khawatir lagi. Kemudian dia mulai memimpikan mama dan abangnya. Tapi lagi-lagi semua seolah buntu. Yang dia tahu saat ini mereka sedang berada di situasi yang tidak menentu.

Mareno meludahkan sedikit darah dan tertawa. "Bagus, jadi lo sekarang paham bagaimana rasanya ditinggal cewek yang lo suka. Jadi lo ngerti perasaan gue."

Mereka sudah berhenti sambil terengah. Wajah keduanya kacau karena lebam dan darah. Tubuh mereka kemudian berdiri tegak lagi, berhadapan seolah siap untuk ronde berikutnya.

"Jangan jadi cengeng." Dia berujar sambil menatap mata Mareno.

"Kita lihat lo masih bisa ngomong begitu atau nggak kalau Faya kenapa-napa?"

Refleks tangannya mendorong tubuh adiknya itu yang masih tersenyum memuakkan. "Jangan bawa-bawa Faya!"

"Harus, sampai kalian bicara. Gue paham lo disumpah sama Arsyad biar nggak kasih tahu gue apa-apa. Lo itu nurut banget sama Abang dari dulu. Tapi lo punya adik, Nif. Yang lagi putus asa sekarang. Lo nggak bisa...." Mareno diam sejenak. "Hrrgggghhh...lo nggak bisa nggak kasih tahu gue."

"Antania masih hidup," Mahendra di sana berdiri sambil menggigit dan mengunyah apel. Satu tangannya berada di kantung celana.

Kepala keduanya langsung menoleh ke sosok Mahendra. Hanif memberikan tatapan lo-gila-apa, sementara ekspresi wajah Mareno membeku pucat.

"Jangan bercanda yang nggak lucu." Desis Mareno marah.

Mahendra menghela nafas. "Itu kan yang mau lo denger?"

Tubuh Mareno melesat menuju Mahendra. Mencengkram kerah kemejanya. "Brengsek kalian semua! Jangan bohongi gue." Teriak Mareno.

"Gue bingung sama lo, Ren. Waktu gue bilang lo harus bisa terima kenyataan beberapa minggu yang lalu di kantor, lo marah sama gue sampai mau ngelempar kursi. Sekarang? Lo lihat gue baik-baik. Apa mata gue bilang gue bohong, Ren?" ujar Mahendra sambil menatap Mareno dalam.

"Hen, lo nggak bisa main menyimpulkan..." Hanif berujar kesal pada Mahendra. Arsyad mewanti-wanti dia dan Mahendra agar tidak bicara pada Mareno terlebih dulu perihal ini. Karena Arsyad masih tidak yakin. Abang mereka tidak mau memberi harapan yang tidak pasti.

Kepala Mahendra menoleh padanya. "Bang, lo yang lebih tahu soal ini. Gue paham kita nggak mau kasih harapan palsu sama Mareno. Tapi ini sudah hampir pasti Bang. Analisa gue dan intuisi lo nggak pernah salah. Juga strateginya Bang Arsyad."

Kemudian Mahendra menoleh pada Mareno dan melepaskan dirinya dari cengkraman itu. "Lepas, gue laper kalau tegang begini. Kalian cuci muka dulu sana. Solat, abis itu kita duduk ngomong. Gimana?" Mahendra duduk di salah satu kursi ruang makan.

"Hen, Bang Arsyad...." Protesnya lagi.

"Sumpah lo ngomong lagi gue hajar lo, Nif." Mareno memotong sambil menatapnya marah.

"Dari jaman dulu, Mareno paling apa adanya, Bang. Dia selalu jujur termasuk jujur soal kebrengsekannya. Jadi, kayaknya nggak adil kalau dia nggak tahu. Lagian lo mau Mareno kepalang bunuh diri sementara kita bisa temuin Antania?" Mahendra menggigit apelnya lagi. "Tragis banget kalau sampe begitu."

Dia mendesah perlahan. Strategi Arsyad biasanya selalu tepat, keputusan yang dipikirkan masak-masak. Jadi dia selalu percaya jika Arsyad melarangnya bercerita maka pasti Arsyad punya alasan yang spesifik dan tepat. Karena itu dia tidak pernah membantah.

"Inget nggak, kasus buaya dulu? Lo nyesel kan sedikitnya karena nggak nekat bantuin Bang Arsyad? Kita nggak akan melanggar rencana apapun, Bang. Cuma info aja ke Mareno. Dia layak tahu apa yang sesungguhnya terjadi," ujar Mahendra dengan ekspresi serius.

"Thanks, Hen." Mareno menepuk pundak Mahendra. Mereka berdua menatapnya yang akhirnya membuatnya mengalah juga.

"Udah, pada solat dulu sana. Habis itu kita diskusi soal ini," Mahendra melanjutkan. Ini dia lakukan karena dia ingat ketika kasus Sabiya dulu, Mareno lah yang selalu bercerita jujur padanya tentang segala yang dia ingin tahu.

Hanif menghirup nafas dalam kemudian berjalan menuju kamarnya.

***

Lima belas menit kemudian mereka duduk di kursi meja makan. Dia dan Mareno sudah berganti pakaian.

"Ini, bukti pertama yang ditemukan Bang Hanif." Mahendra memulai pembicaraan dan meletakkan cincin buatan Harry Winston di tengah meja.

Mata Mareno membelalak terkejut. Tangannya meraih cincin itu dan mengamatinya cermat. Dia pun tidak mau salah duga. Karena akan sakit sekali rasanya. Tapi kilauan benda itu masih sama seperti ketika dia memakaikannya pada jari Tania dulu. Ingatan itu membuat dadanya sakit sekali.

Kemudian Hanif melanjutkan. "Gue temuin itu pas gue lagi susurin sungai. Pagi pertama setelah Antania jatuh, gue temukan jejak perahu kecil nggak jauh dari ujung sungai itu. Dugaan gue, tubuh Tania terbawa ke situ karena air pasang dari laut dan tersangkut di antara tumbuhan air. Entah bagaimana, ada seseorang yang ingin pergi ke desa sebelah malam itu karena suatu keperluan dan menemukan tubuh Tania di sana. Dia langsung tolong dan bawa ke rumahnya. Tapi memang letak rumah sederhana itu jauh dari tempat pencarian kita. Jadi besar kemungkinan dia nggak tahu kalau kita sedang cari Tania. Mangkanya semua penduduk di sekitar air terjun diam saja. Karena memang bukan mereka yang menemukan Tania. Tapi seseorang yang lain."

Dahi Mareno mengernyit nyeri, tangannya mengepal dan menggenggam cincin itu kuat-kuat. Antania-nya hidup. Wanitanya itu hidup. Matanya sudah mulai berkaca-kaca. Dadanya terasa berat sekali.

"Setelah itu kita susuri semua petunjuk yang ada. Saat ini, pencarian kita berpusat ke klinik kecil di desa sebelah. Gue lagi dalam penyamaran untuk pantau gerak-gerik dokter yang praktek di sana. Dokter itu bungkam, laki-laki yang tolong Tania juga belum berhasil gue temukan. Jadi gue masih di sana untuk cari petunjuk selanjutnya."

"Kita juga sedang tarik Danika ke MG atau ke ADS, Ren. Kenapa Danika? Karena hebatnya hubungan psikologis mereka. Gambar-gambar Danika mirip dengan gambaran yang dilihat Hanif waktu mencari jejak. Entah gimana bisa Danika seperti bisa melihat apa yang dilihat Tania. Sekalipun sekarang gambar-gambar itu belum berganti. Masih sama dengan yang kemarin dilaporkan oleh Nalea." Mahendra kali ini yang menerangkan.

Kemudian Mahendra melanjutkan. "Bayu Tielman juga sudah mulai beraktifitas. Arsyad sudah pasang orang untuk mengikuti Bayu. Kenapa? Karena Bayu sama putus asanya dengan lo. Dan saat kita dengar Bayu mulai bekerja dan beraktifitas gue mulai curiga. Karena kalau ada orang pertama yang Antania hubungi saat dia sadar, orang itu pasti Ayahnya. Tidak mungkin Danika, karena kondisi psikologisnya. Dia juga nggak mungkin hubungi lo, karena mungkin dia masih salah sangka."

"Gimana dengan Nalea?" Mareno bertanya.

Mahendra menggeleng. "Harusnya nggak. Sekalipun tracker device udah gue pasang di mobil Nalea. Tapi cewek itu hanya bolak-balik ke markas ADS, apartemennya dan juga ngurus perpindahannya Danika."

"Gue mau bantu. Gue nggak akan mengacau, tapi tolong kasih tahu gue harus apa selain menunggu. Serius mau mati rasanya." Mareno menatap mata Hanif kali ini.

"Lo bisa ketemu dengan Danika. Coba membuat koneksi dengan Danika, siapa tahu Danika bisa mengirimkan gambar-gambar lo ke Antania melalui mimpi-mimpinya. Juga, bantu Mahendra selesaikan urusan hukum Michelle Dinatra. Jatuhkan wanita itu. Buat beritanya ada dimana-mana. Lo paling jago bikin heboh dunia entertainment kan? Ketika Antania dengar, dia akan muncul lagi Ren. Dia akan datang sendiri ke tempat lo." Dia berujar pada adiknya itu.

"Lo punya ide bagus gitu kenapa nggak bilang sama Arsyad, Bang?" tanya Mahendra heran.

"Karena gue nggak ada pilihan sekarang. Mareno sudah tahu, jadi mendingan kita bergerak bareng biar semua cepat selesai. Kita masih punya misi Herman untuk diselesaikan," jawabnya.

'Dan Fayadisa ada di sana. Sendirian di sangkar singa. Gue harus cepat ke sana. Karena firasat gue bilang begitu. Ya Tuhan, tolong bantu,' gumamnya dalam hati.

"Tolong, jangan ada rahasia lagi. Tolong, sepahit apapun beritanya info ke gue Bang. Please," ujar Mareno.

Tubuhnya berdiri dan dia menghela nafasnya. "Janji satu hal Ren sama gue. Jangan lepas kendali. Apapun yang terjadi, jangan lepas kendali dan jangan bertindak sendiri. Kita sampai ke titik ini susah payah. Jangan hancurkan semua."

Mareno juga sudah berdiri. Kemudian tanpa dia duga adiknya itu memeluk tubuhnya kaku.

"Makasih, Bang. Maafin gue soal yang tadi."

Dia menghirup nafas panjang. "Hidup Ren, jangan putus asa lagi. Bantuin kita temuin Antania dan selesaikan Herman. Kita butuh lo Ren, kita butuh lo." Tangannya menepuk punggung Mareno perlahan.

"Nah gitu dong, baikan. Pake pukul-pukulan segala. Gue makan dulu ah, laper." Mahendra beranjak dari kursi menuju lemari pendingin untuk mengambil bahan-bahan makanan dan mulai memasak.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro