15. The Clue
Sudah lama dia bekerja pada dokter Antania Tielman. Sekalipun mereka tidak setiap hari bertemu dan lebih banyak menghabiskan waktu dengan telpon atau video call, tapi dia tetap mengagumi sosok dokter itu. Kegigihannya, loyalitas dan totalitasnya dalam bekerja, juga rasa sayangnya pada Danika. Mereka seolah bersaudara saja, padahal mereka hanya teman kecil yang dipertemukan takdir.
Tujuan dokter kesayangannya itu hanya satu, mengungkap siapa pelaku pemerkosa sahabatnya. Seseorang yang membuat Danika harus menjalani perawatan di rumah sakit jiwa bertahun-tahun lamanya. Siapa yang tidak murka melihat kondisi Danika, sekalipun dia kurang setuju niat balas dendam sang dokter. Dia berharap seiring waktu dia sendiri bisa menyakinkan sang dokter untuk membatalkan rencana balas dendam itu.
Kemudian tragedi itu terjadi, setelah dia bisa menyusun seluruh kepingan puzzle misteri Danika. Dokter Antania hilang setelah percobaan bunuh diri. Ya Tuhan Dok, kenapa kamu melakukan itu semua?
Mereka masih mencari sang dokter yang sampai sekarang belum ditemukan. Saat ini, dia menggenggam erat ponsel di tangan setelah mengirimkan semua gambar Danika pada Arsyad dan Hanif Daud. Ya, Danika mulai menggambar tentang Antania sahabatnya. Dia yakin itu. Persis seperti ketika Danika mengenang Mario, kekasih yang mematahkan hatinya. Danika menggambar potongan-potongan ingatannya dengan Mario.
Dokter Inggit yang merawat Danika bilang, bahwa Tania dan Danika memiliki ikatan khusus. Saat Tania sedang sedih karena Mareno koma, Danika mulai mengamuk dan menangis. Begitu juga Tania. Saat Danika mulai diganggu dengan bayangan-bayangan Mario yang menguat, Tania kesulitan tidur. Jadi, persis saat tragedi itu terjadi Danika mulai sering mengamuk lagi. Diiringi dengan gambar-gambarnya yang berubah.
Dia melihat gambar bulan yang di arsir gelap, gambar itu mewakili malam. Kemudian dia melihat pinggiran tebing. Entah kenapa gambar itu mirip dengan tebing tempat Tania jatuh, kemudian sungai, air, lalu rumput dan pintu. Dua gambar terakhir yang membuatnya bersorak gembira. Rumput dan pintu. Entah kenapa ada sebersit keyakinan bahwa gambaran-gambaran itu adalah gambaran yang dilihat oleh Tania. Jadi apa ini pertanda bahwa dokternya hidup dan selamat? Semoga saja, semoga. Ponselnya berbunyi.
"Nalea, gambar apa ini?" suara Arsyad di sana.
"Saya menuju ADS, Bang. Kita punya petunjuk soal Tania. Itu gambar Danika, Bang."
Arsyad diam sejenak di sana. "Segera ke sini, Lea. Hanif juga menemukan sesuatu."
***
"Dimana dia?" Herman menatap marah Wibowo. Mereka berada di ruang kerja Herman.
"Dia sudah tidak ada Pak. Sudah ada orang yang melindunginya."
Herman menggebrak meja. "Wanita jalangnya Tommy hilang dalam pengawasanmu, sekarang Dokter itu juga kamu tidak bisa temukan. Dasar keparat bodoh!!"
Tangannya sudah memijit kepala. Jika dia bisa menemukan Antania Tielman, dia punya kartu AS untuk mengendalikan Bayu Tielman. Hilangnya Antania menjadi keberuntungan sendiri untuknya. Dia sudah sangat dekat karena orang-orangnya di organisasi bawah mencium sesuatu tentang keberadaan dokter itu. Tapi kemudian petunjuk itu hilang.
Belum lagi si jalang yang membuat Tommy menghilang. Anaknya menghabisi seluruh anak buahnya di tempat hanya untuk membela si jalang itu. Sedari dulu wanita tidak bisa dipercaya, mereka pengkhianat. Kenapa Tommy tidak mau mendengarkannya? Dulu dia pernah tertipu, kenapa anak keparat itu tidak belajar dari kasusnya dulu.
"Tapi Bayu Tielman mulai beraktifitas Pak."
Dia mendengkus. "Wajar saja, dia juga manusia yang butuh hidup kan."
"Maksud saya..."
"Jangan gurui saya, tolol. Cari jalang itu dulu, saya mau Tommy dan si jalang itu ditemukan segera."
'Anak sialan, kemana kamu bersembunyi?' makinya dalam hati. Kerja Wibowo buruk sekali, hanya ada Aryo sekarang. Aryo tidak akan mengecewakannya.
***
Markas besar ADS
Nalea duduk di dalam ruang meeting tertutup bersama Arsyad, Hanif dan Mahendra. Dia menjelaskan seluruh dugaannya tentang lukisan Danika yang berubah. Hanif berdiri dan mengamati lukisan-lukisan itu yang sudah dipantulkan ke layar hadapan mereka. Dahinya mengernyit dalam.
"Saya ingin tahu apa yang kamu temukan Bang?" Lea bertanya pada Hanif.
Mahendra meletakkan cincin itu di meja. Matanya membulat kaget. Satu tangan bahkan menutup mulutnya. Itu cincin milik sang dokter dari Mareno Daud. Dia tahu karena dia pernah bertemu sang dokter dan wanita itu bercerita dengan sorot mata sangat bahagia.
"Dokter..." bisiknya.
"Ini bukan pintu rumah yang saya temukan." Hanif menunjuk gambar dan berusaha mengingat sesuatu. "Ketika saya menemukan cincin itu, saya langsung datang ke dua rumah terdekat. Mereka nelayan biasa yang sehari-hari hidup mencari ikan di laut. Mereka bersaudara dan tinggal bersebelahan dengan keluarga mereka masing-masing. Sang kakak dan istri tidak tahu apapun. Sedangkan adiknya yang belum menikah dan tinggal persis di sebelahnya, sedang pergi ke luar kampung."
"Kemana?"
"Saya juga sudah datang ke desa yang disebut, demi mencari petunjuk. Karena sang Kakak bilang sang adik pergi terburu-buru, meminjam motor salah satu tetangga mereka. Satu minggu setelah itu, motornya dibeli oleh seseorang."
"Bagaimana dengan rumah sakit atau puskesmas di sana?"
Hanif menggeleng. "Hanya ada puskesmas dan mereka sama tidak tahunya."
"Tidak tahu, atau tidak bicara. Itu berbeda. Kami sudah pasang orang di sana, Lea. Juga di desa tempat si adik pergi. Kami bahkan sudah sebarkan jaring lebih luas lagi. Tapi kali ini, secara diam-diam. Karena kami yakin ada sesuatu yang aneh soal ini." Arsyad angkat bicara kali ini.
"Antania diculik?"
"Ayah dari Antania adalah calon orang penting di negeri ini Lea. Tragedi kemarin sungguh sangat disesalkan tapi juga menjadi kesempatan untuk siapapun musuh ayahnya yang ingin menjatuhkan dia," jawab Arsyad.
Lea meremas tangannya cemas.
"Jangan terlalu khawatir, kami terus melacak hingga ditemukan." Arsyad menatap Lea. "Bagusnya, harapan akan status Antania yang hidup makin besar. Dokter itu tangguh sekali, luar biasa."
Kepala Lea mengangguk kecil. Dia percaya pada Daud bersaudara. Mereka memiliki harta dan kuasa, hebatnya lagi mereka menggunakan keduanya untuk membantu banyak orang.
"Apa ikatan batin antara Danika dan Tania benar-benar sedekat itu?" tanya Hanif penasaran. Karena dia sendiri sering mendapatkan firasat ketika saudara-saudaranya akan terancam bahaya.
"Ya, saya pikir begitu. Sekalipun sepertinya hanya berlaku untuk orang-orang yang dekat dengannya saja. Istimewa untuknya."
"Apa ada lukisan lain lagi?" tanya Hanif lagi.
"Saya akan mengunjungi Danika lagi di sana," jawab Lea.
"Atau...kita bawa Danika ke sini. Kami punya fasilitas yang sama baiknya dengan MG. Hanya kurang ruang steril dan ICU. Jadi MG tetap lebih lengkap. Tapi fasilitas kami lebih bagus standarnya dari rumah sakit jiwa tempat Danika berada. Saya akan hubungi ahli jiwa terbaik untuk langsung menangani Danika." Tubuh Arsyad sudah berdiri dan menatap Lea.
"Saya hanya tahu tempat ini sebagai markas besar, seperti markas militer. Apa itu baik untuk Danika?"
Arsyad tersenyum. "Banyak anggota yang tinggal di sini Lea. Mereka tidak akan betah di sini jika tempat ini tidak nyaman. Kamu hanya belum tahu semua fasilitas milik ADS dan kamu tidak perlu tahu sedetail itu."
"Rahasia?"
"Ya, maaf." Arsyad berujar singkat.
"Saya harus bertanya perihal ini pada Dokter Inggit dan saya tidak bisa memutuskan."
"Pilihan pergi ke MG masih bisa dilakukan sekalipun saya harus bicara pada Dokter Reyn dan apapun opsi yang Danika pilih, semua biaya kami yang tanggung," jelas Arsyad lagi.
Lea tersenyum lebar. Sungguh senang berurusan dengan orang-orang baik dan selalu ingin membantu. "Oke, saya akan sampaikan dua pilihan itu pada Dokter Inggit. Beliau pasti senang mendengar ini."
"Oke. Kami tunggu kabarnya."
***
Dia baru kembali dari kampus dan segera tahu dia diikuti. Hanif dan Niko benar ketika memaksanya agar tetap pergi ke kampus untuk benar-benar kuliah dan belajar di sana. Karena ternyata para pengawal Herman benar-benar siaga. Mereka memang tidak pernah bicara apapun padanya. Hanya menatapnya penasaran sementara dia selalu menundukkan wajahnya agar terlihat malu. Tapi, mereka tidak bisa disepelekan.
Ibu Yanti si pemilik warung kemarin berkata bahwa sang kepala keamanan Herman sudah kembali dan bertanya padanya perihal sosok dirinya, Nafa Oktavia. Saudara Ibu Yanti dari kampung yang mendapat beasiswa untuk melanjutkan S1 dan ingin bekerja di Jakarta. Jadi dia tahu sosok yang dia tampilkan ini mulai menjadi nyata dan dia harus lebih hati-hati lagi.
"Assalamualaikum Bude," senyumnya merekah ketika dia masuk ke dalam warung tapi langsung datar ketika melihat ada seorang laki-laki yang duduk di dalam warung sendirian. Tidak ada pengunjung lain lagi.
'Nafa akan takut jika dihadapkan dengan situasi ini,' bisiknya dalam hati kemudian dia langsung menundukkan kepala.
"Wa'alaikum salam Fa. Eh ayok siap-siap, sebentar lagi ramai."
Dia meletakkan tas dan buku kuliahnya di salah satu meja kecil dan segera mencuci tangan. Bersiap membantu Yanti.
"Nggak usah takut, itu Den Aryo yang kerja di kantor depan," ujar Bu Yanti.
Kepalanya mengangguk ragu-ragu. Dia sudah tahu siapa Aryo Kusuma. Kepala pengawal Herman yang setia dan sudah bekerja sejak kecil dulu. Herman pernah menyelamatkan hidup keluarganya, sebelum Herman berubah menjadi jahat seperti sekarang. Sejak itu Aryo mengikuti Herman dan menjadi salah satu orang kepercayaan Herman. Semua keterangan itu dia dapat setelah mempelajari dengan cermat dokumen-dokumen identitas orang-orang Herman.
"Nih dibawa ke mejanya. Makanan kesukaannya," Bu Yanti sudah menyodorkan nampan berisi beberapa piring nasi dan lauk-pauknya.
Dia mengangguk lagi dan membawa nampan itu. Kepalanya terus menunduk tidak mau menatap sosok dihadapannya. Dia Nafa, bukan Faya. Setelah meletakkan piring-piring itu di meja, kepalanya mengangguk sedikit. "Permisi."
Tubuhnya ingin berlalu ketika tangan kuat itu menahan lengannya. "Duduk."
Wajahnya menatap Bu Yanti memelas.
"Jangan takut, duduk," ujar Aryo lagi.
Bu Yanti hanya mengangguk kecil kemudian dia duduk pada kursi sebelah kanan Aryo dengan perlahan dan ragu-ragu.
"Temenin gue makan." Mata Aryo sudah sibuk pada makanan dihadapannya kemudian dia mulai makan langsung dengan tangan.
Sementara dia mengatur gesture tubuhnya agar terlihat gugup dan ketakutan. Tangannya dia remas di pangkuan, tatapan matanya dia tundukkan dalam-dalam. Dalam hati dia mengulang apa yang dia ingat. Aryo Kusuma, tinggi 180 cm berat 70 kg, usia 31 tahun. Mata hitam kelam, rambut hitam lurus dengan potongan cepak ala orang Angkatan, kulit sawo matang dengan bekas luka di tangan, leher dan wajah. Bekas luka yang didapat karena dia melindungi Herman. Introvert, serius dan pendiam. Menguasai teknik judo dan jiujitsu pada level yang hampir sama dengan Arsyad. Perenang yang handal dan juga menguasai senjata dengan baik. Semua anggotanya memanggil dia Bang Yoyo. Sangat disegani dan dihormati karena loyalitasnya pada tim. Sedikitnya dia merasa sosok Aryo mirip dengan Arsyad. Sayangnya Aryo memilih untuk setia pada orang yang salah.
Aryo sudah selesai dan mencuci tangannya kemudian kembali duduk. Dia minum segelas teh tawar dingin di meja. Kemudian mata itu menatapnya.
"Lo udah makan?"
Dia menggeleng sambil masih menunduk.
"Lo boleh ngomong." Aryo masih menatapnya.
Dia memilih diam.
"Lo bisu? Kayaknya tadi lo bilang assalamualaikum pas masuk." Kepala Aryo juga sudah sedikit menunduk untuk melihat wajahnya. "Takut sama gue?"
Kepalanya sendiri makin menunduk lagi.
"Fa, kalau ditanya jawab. Jangan nggak sopan, Nduk," ujar Yanti sambil membereskan piring-piring makan di meja.
"Iya Bude."
Aryo terkekeh. "Lo lebih dengerin Bu Yanti daripada gue."
"Den, si Nafa emang begitu. Namanya aja dari kampung." Yanti pergi ke dapur untuk mencuci piring.
"Nama lo Nafa?"
Dia mengangguk lagi.
"Gue tambah kesel kalau lo ngangguk-ngangguk doang."
"Iya, Nafa," jawabnya lirih.
Aryo memindai tubuhnya cepat. Ya, Nafa memang terlihat sangat sederhana. Pakaiannya, tasnya, sepatunya bahkan sedikit usang. Tapi wajah gadis ini manis sekali, apalagi jika sedang menunduk malu begitu.
"Hebat, lo mau nerusin kuliah S1. Kenapa? Nggak kerja aja di kampung?"
"Udah, tapi berhenti." Dia masih menjaga kepalanya tetap tertunduk.
"Hmm, karena beasiswa. Mau kerja di Jakarta nanti?"
Dia mengangguk.
"Ladang tebu punya Bapak nggak cukup emangnya? Kenapa nggak kerja aja di pabrik gula dekat rumah di kampung sana?"
'Sial, Aryo tidak main-main dengannya. Untung saja Hanif dan Niko menyiapkan segalanya sempurna.'
"Mau kerja di sini aja," jawabnya.
"Ya, Jakarta emang kota impian. Padahal kalau lo tahu betapa bobroknya kota ini, lo pasti pingin pulang kampung lagi." Aryo meneguk es teh itu lagi.
"Den, mau kopi?" Ibu Yanti menawarkan.
Sebelum Aryo berujar, dua anak buahnya sudah masuk.
"Siapa yang suruh lo masuk?" ujar Aryo galak.
"Bos, dipanggil Tuan Besar."
Aryo mendengkus kesal kemudian dia berdiri dan berlalu dari situ.
Setelah Aryo pergi, dia melangkah menuju kamarnya di lantai atas dan terkejut dengan sosok yang duduk di pinggiran tempat tidurnya.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro