14. I Promise You
Beberapa minggu setelah tragedi di tebing
Mereka duduk berkumpul di Black Room. Arsyad, Hanif, Mahendra dan Niko. Semua berwajah muram, sangat muram. Bagaimana tidak, tragedy itu terjadi tepat di depan mata mereka, termasuk Mareno. Kemudian Mareno hancur, jiwanya seperti dicabut pergi. Sama seperti Bayu Tielman ayah Antania.
Kata orang, semua perbuatan kita akan kembali pada kita. Karma. Entah itu di dunia, atau mungkin nanti di akhirat sana. Mereka tidak pernah berharap sesuatu yang buruk terjadi pada adik mereka sendiri. Sebrengsek apapun Mareno dulu. Apalagi melihat sudah berbulan-bulan sikap Mareno berubah 180 derajat. Adik mereka itu benar-benar berusaha merubah dirinya, dia bahkan mulai solat dan berdoa. Tapi, siapa yang bisa menghentikan takdir? Hal itu milik yang Mahakuasa.
Arsyad paham benar secara logika Antania tidak mungkin bertahan jika memang wanita itu berada di dasar sungai atau danau. Tidak mungkin. Mereka hanya akan mengharapkan jasadnya saja. Tapi mirisnya, fakta yang ada sampai saat ini jasad itu belum ditemukan. Jadi logika tadi berbenturan dengan fakta dan sedikit harapan. Sedikit sekali namun tetap ada.
"Kondisi saat ini, berat." Arsyad memulai. "Mareno lumpuh, bukan tubuhnya tapi pikirannya dan justru itu lebih parah. Tapi, kita harus kuat dan jalan lagi."
"Peta yang kemarin kita baca, peta baru. Sedangkan ada peta lama yang menunjukkan ujung sungai yang lain. Gue lihat debit airnya sedikit berkurang. Sekalipun memang cabang itu sempit dan tidak terlalu terlihat karena sebagian tertutup tanaman air. Tapi gue lihat jejak perahu di sana. Pagi pertama ketika kita mulai mencari." Hanif menerangkan sambil menunjukkan gambar yang terpantul di layar besar hadapan mereka.
"Alat-alat gue selesai menjelajah bagian danau sekitar 70% dan nggak ada apapun. Nothing. Bagian 30% lainnya terlalu dalam. Dua robot coba ke sana dan nggak bisa balik ke atas." Mahendra diam sejenak. "Entah kenapa ini cocok sama teorinya Hanif."
"Gue nggak mau Mareno tahu soal..."
"Kenapa? Kenapa lo nggak mau gue tahu Bang?" Mareno sudah berdiri di sana tanpa ada yang menyadari sebelumnya.
Mereka menengok dan melihat sosok Mareno yang lebih kurus dan berantakan. Sama sekali bukan seperti Mareno yang mereka kenal.
"Ada apa? Kalian takut gue gila? Kalau semua dugaan kalian meleset? Apa?" Suara Mareno sudah menggelegar.
Niko berdiri untuk menenangkan Mareno.
"Waktu Dara berdarah-darah dan mau mati, gimana perasaan lo Nif? Gimana? Sekalipun itu salah El Rafi, bukan salah lo. Gimana perasaan lo? Atau waktu insiden Sabiya dengan mantan suaminya yang brengsek." Kepalanya menoleh ke Mahendra. "Apa yang waktu itu kalian lakukan hah?"
Mereka sudah berdiri menatap wajah Mareno dengan mata yang memerah.
"Antania itu adalah Daranindra gue. Sabiya nya elo Hen."
"Shit, jangan bawa-bawa gue," Mahendra sudah ingin maju dan menggelengkan kepalanya mulai marah. Arsyad menahan tubuh Mahendra.
"Gimana kalau mereka celaka? Pikir gimana?" teriak Mareno.
"Cukup!" Arsyad berkata tegas. "Duduk Ren, duduk. Kalau lo cuma mau bikin ribut di sini, pergi. Kita punya misi penting mencari anak Pak Menteri." Mata Arsyad menatap Mareno tajam.
Niko membisikkan sesuatu ke Mareno kemudian laki-laki itu mulai tenang dan duduk. Mereka duduk juga kembali duduk.
"Kita bagi tim. Hanif yang paling jago berburu, jadi dia yang turun. Bukan elo." Arsyad menatap Mareno.
"Nggak bisa..." protes Mareno.
"Tugas lo memimpin ID Tech. Kejar ketinggalan lo dan serahkan ke siapapun lo akan serahkan sementara waktu. Setelah itu, baru lo boleh ikut Hanif cari Antania. Titik Mareno. Jangan bantah gue."
Mareno berdiri kesal. "Gue beresin semua satu minggu, setelah itu gue susul Hanif."
"Gimana soal proses hukum kasus Danika, Hen?" tanya Arsyad.
"Gue butuh bantuan lo untuk ngomong ke Om Wahyu. Membuka kasus lama itu butuh koneksi. Apalagi kasus itu pelaporannya tidak lengkap. Nggak ada saksi mata dan barang bukti. Mission impossible," jelas Mahendra.
"Oke, gue call Om Wahyu. Hubungi Pak Lukman dan Pak Sardi. Kita akan pastikan Michelle membayar segalanya." Kemudian Arsyad menoleh pada Hanif. "Nif, apa Faya sudah siap?"
"Bang, apa nggak bisa kita tunda dulu misi Faya? Maksud gue, biar fokus kita nggak pecah."
Arsyad menggeleng. "Nggak bisa, perfect time. Karena Herman mengira kita semua sibuk mencari Antania. Dia nggak akan sadar kalau sedang diintai. Apa Faya sudah siap?"
Hanif menghembuskan nafasnya berat. Di satu sisi adiknya butuh bantuan, di sisi lain wanita penting untuknya akan menjalankan misi berbahaya dan dia tidak bisa ada di sana. Ya Tuhan, ini berat sekali.
"Do I have to beg you to help me?" Mareno berujar pada Hanif.
"Ren, bukan begitu." Hanif menatap Mareno sesaat kemudian menoleh pada Arsyad. "Faya sudah siap, Bang."
"Bagus, Niko akan bantu Faya dan selesaikan semua penempatannya. Setelah itu Faya jalan sendiri."
"Oke," Niko menyahut pendek.
"Good. Semua saling berkabar seperti biasa. Gue sendiri akan hubungi Bapak Besar. Kalau orang baik-baik tidak bisa menemukan Antania, mungkin kita harus kerahkan orang-orangnya Bapak Besar."
Semua mengangguk setuju.
***
Dia berada di apartemen sewaan. Mondar-mandir gelisah sambil menyiapkan apa-apa yang harus dia bawa untuk misi pencariannya. Daftar alat-alat sudah dia kirim ke Mahendra diurus oleh adiknya. Tempat sudah disiapkan oleh Arsyad. Rumah penduduk sederhana yang pemiliknya baik hati sekali. Dia akan tinggal di salah satu gudang tua yang sedikit dirombak agar nyaman. Sekalipun sebenarnya dia tidak perduli. Dia biasa tinggal di hutan dan tidak pernah masalah dengan itu.
Tapi alasan cemasnya kali ini bukan hanya karena misi penting yang akan dia jalani, tapi juga misi milik Faya. Dia sudah memberi tahu segalanya pada Niko dan dia percaya Niko sangat handal perihal ini. Tapi tetap saja, dia tidak bisa mengawasi langsung. Pencarian Antania di daerah itu bisa memakan waktu lama, tidak pasti. Sementara Faya akan menghadapi bahayanya sendiri. Ya Tuhan.
Sejak pertemuan mereka terakhir di apartemen ini dengan Sabiya dan sejak insiden Antania di tebing, mereka semua sibuk luar biasa. Dia hanya bisa melihat Faya ketika menjalankan tugas bersama saja. Mereka bahkan tidak sempat bertukar sapa. Arsyad benar-benar mengandalkan Faya dan Niko. Kemudian setelah seluruh tim kembali ke ADS, Faya mulai dilatih oleh pengajar lain. Karena dia dan Arsyad sibuk menyusun rencana baru karena perkembangan situasi yang baru. Intinya, saat ini dia benar-benar merindukan dan mengkhawatirkan Faya. Perasaan itu datang tiba-tiba saja setelah Arsyad dengan resmi memberi arahan baru tadi.
Kemudian dia berjalan cepat ke laptop dan mulai mengecek CCTV apartemen Faya. Gadis itu baru saja kembali. Mungkin dari persiapannya hari ini bersama Niko. Fayadisa Sidharta sedang berada di dapur. Mengenakan kaus abu-abu polos dan celana biru tua pendek. Rambutnya yang setengah basah tergerai begitu saja. Dia sedang meneguk satu gelas air putih, kemudian berdiri diam di sana. Hanif masih memperhatikan dengan seksama. Kemudian gadis itu menghembuskan nafasnya perlahan. Matanya menatap arah pintu. Siapa yang dia tunggu? Leo?
Lalu mata itu berpindah ke CCTV, seolah sedang menatapnya. Karena terkejut, dia memalingkan wajahnya sejenak. 'Shit, kenapa aneh begini jadinya?'
Dia tidak tahu apa yang merasuki pikirannya, tapi dia sudah berdiri dan berjalan menuju pintu apartemen Faya. Tubuhnya membeku menatap pintu itu. Besok, mereka tidak bisa bertemu lagi. Sampai dia ataupun Faya sendiri menyelesaikan misi mereka masing-masing. Tangannya sudah terangkat, tapi telapaknya melebar dan hanya menyentuh daun pintu itu saja.
'Jaga diri baik-baik Faya. Jaga dirimu baik-baik,' bisiknya dalam hati.
Tubuhnya berbalik dan masuk lagi ke dalam apartemennya sendiri. Dia duduk di sofa sambil menyederkan kepala. Berdoa sepenuh hati agar Tuhan menjaga wanita yang dia cinta. Kemudian pintunya diketuk tiga kali. Dia diam sejenak sebelum berjalan membuka pintu. Gadis itu ada di sana, berdiri menatapnya.
"You can come," ujar Faya sedikit gugup.
Dia diam tidak mengerti.
"Saya lihat kamu dari CCTV di depan pintu. Kamu tadi berdiri di sana, kenapa kamu nggak ketuk pintunya?"
Salivanya sudah dia loloskan. Kakinya melangkah ke dalam apartemen dan mendengar pintu apartemennya sendiri tertutup di belakang. "Saya cuma mau tanya bagaimana tadi dengan Niko?"
"Baik, semua sudah siap," jawab Faya.
Kemudian hening menyergap lagi sampai akhirnya Faya melanjutkan. "Apa ada lagi yang ingin kamu sampaikan?"
Tubuhnya berbalik, mereka berhadapan dengan jarak lima langkah. "Rambut kamu biasanya dikepang tinggi."
"Saya sudah mulai terbiasa dengan Nafa."
"Ya, bahkan cara bicaramu berubah. Bagus," dia mengangguk kecil. Berharap dentuman di dadanya mereda.
"Selain itu, apa ada lagi?" Faya lurus menatapnya.
Lidahnya selalu kelu. Sialan!
Faya mengangguk mengerti karena dia diam saja. "Kalau begitu saya yang bicara, karena kita nggak pernah punya kesempatan bicara. Hanif, saya ikut prihatin dengan semua yang sedang terjadi." Gadis itu diam sejenak sambil menatap wajah pucat dan kurang tidur Hanif. "Kamu terlihat berbeda dalam artian yang kurang baik. Saya harap kamu baik-baik aja. Besok saya akan mulai jalankan misi saya dengan Niko. Terimakasih untuk..."
Dia melangkah maju, logikanya terbang entah kemana. Tangannya terulur memeluk gadis dihadapannya ini. Gadis yang membuat dia merasakan apa yang hilang dulu, gadis yang membuatnya selalu khawatir, gadis paling keras dan pemberani yang pernah dia temui, gadis yang mencuri hatinya.
"Jaga dirimu baik-baik. Selalu waspada. Jadilah Nafa, cepat dapatkan informasi dan kembali. Sayangi nyawamu, mundur dan minta bantuan jika kamu butuh bantuan. Jangan nekat, jangan sambut bahaya. Tapi hindari, kecilkan resikonya."
Dia bisa merasakan senyum gadis itu di dadanya.
"Kamu lebih parah dari Arsyad," Faya terkekeh kecil.
Tangannya makin erat merengkuh Faya, menghidu wanginya, menyimpan semua memori tentang mereka.
"Jangan menyerah Hanif, temukan dokter Antania. Bawa dia pulang. Selesaikan misinya dan kembali pulang," ujar Faya lirih.
Tangan gadis itu tetap di samping tubuh, tidak membalas pelukannya.
"I will. Can you promise me also?"
Faya diam sejenak, kemudian berujar. "Yes, I promise you."
Dia melepaskan tubuh Faya perlahan. Gadis itu melangkah mundur, menjauh lalu tersenyum padanya.
"Setelah semua selesai, menikahlah dengan Sabiya dan hidup bahagia Nif. Saya ingin melihat kamu bahagia. Terimakasih untuk segalanya."
Kalimat itu mengejutkannya, kemudian sebelum dia bisa berkata apa-apa Fayadisa sudah berlalu pergi dan menutup pintu apartemennya sendiri.
***
Tubuhnya gelisah, karena dia tidur di tempat yang baru dan sebagai orang lain. Itu hanya alasan saja, karena sesungguhnya dia gelisah karena hal lain. Hanif Daud. Laki-laki yang menjadi alasan perasaannya berantakan saat ini. Sudah satu minggu dia tinggal dan bekerja di salah satu warung makan sederhana masakan Indonesia yang letaknya tidak jauh dari kantor Herman. Hanif benar bahwa penjaga-penjaga Herman silih berganti datang untuk makan atau sekadar minum kopi dan merokok di warung ini. Tapi belum ada informasi penting apapun yang dia dengar.
Malam-malamnya selalu panjang semenjak pelukan Hanif seminggu yang lalu. Dadanya berdenyut nyeri karena dia pergi.
'Bagus Faya, you've done a great job. Jatuh cinta, menikah, memiliki keluarga adalah tugas wanita lain. Bukan tugasmu. Tugasmu adalah di sini, menjaga orang-orang baik itu, orang-orang yang butuh bantuan,' dia bicara pada dirinya sendiri.
Kalau ini benar, kenapa rasanya sakit sekali. Dia masih ingat benar hangat pelukan itu, dia bahkan bisa merasakan perasaan Hanif padanya sekalipun laki-laki itu tidak mengutarakan apapun. Sejak Hanif berusaha menghubunginya ketika misi penyelamatan Danu Rahman, sejak ciuman di pipi itu, sejak Hanif mulai mencari alasan untuk berada di dekatnya ketika dia terluka, sejak insiden shampoo yang memalukan, dia paham dan mengerti apa yang dia rasakan. Tapi, melihat Hanif yang begitu menyayangi Sabiya, kedekatan mereka, itu semua seolah menyadarkan dirinya sendiri. Bahwa dia dan Hanif adalah sesuatu yang tidak mungkin. Ya, tidak mungkin.
Matanya dia pejamkan erat, berusaha mengembalikan fokus dirinya sendiri. Dia harus mendapatkan informasi yang berguna untuk Arsyad. Kepalanya dia gelengkan keras untuk menghilangkan segala yang dia pikirkan tadi.
***
Kesunyian hutan selalu bisa menenangkannya, membuatnya bisa berpikir jernih. Setiap malam dia mengkhawatirkan Faya dan juga Mareno adiknya. Jadi dia makin giat berdoa, setiap sepertiga malam. Paham benar, sesungguhnya penjaga terbaik adalah sang Mahapenjaga, Tuhan yang Maha Esa.
Kakinya terus melangkah. Kelembapan tempat ini mulai terasa ketika sore hari tiba. Sebenarnya dia bisa saja ke luar dari hutan dan mencari warung penduduk terdekat dan makan. Ya, dia sudah jauh dari rumah tempat dia tinggal sementara dan juga jauh dari perkampungan penduduk yang ramai. Tapi kilau dari pantulan air anak sungai di sebelahnya sungguh memanjakan mata jadi dia sudah berhenti dan membuka ransel. Mengeluarkan makanan kaleng praktis dan botol minum kemudian ketika dia ingin duduk dia mendengar sesuatu. Suara khas ketika orang sedang menimba sumur. Matanya mencari-cari, apa mungkin ada rumah di area ini. Ransel itu dia angkat lagi dan dia mulai berjalan, kembali menyusui pinggiran sungai yang makin melebar sambil menggenggam makanan kaleng di satu tangan.
Kemudian dia menemukan dua rumah yang sangat sederhana berjejer di sana. Berdiri berdempetan dengan anyaman bambu di dinding dan kayu-kayu serta seng pada atapnya. Pada ujung matanya, dia juga mulai melihat perkampungan yang lain. Apa mungkin dia sudah berjalan jauh tanpa dia sadari? Entah. Yang dia tahu, sebelumnya lebar sungai itu kecil sekali ketika dia mulai menyusuri, kemudian makin lebar dan lebar saja. Dia menghela nafas kemudian berhenti lagi di pinggiran sungai karena benar-benar lapar.
Matanya melihat bekas air pada pinggiran sungai. Besar kemungkinan ujung sungai ini adalah laut hingga ketika malam air laut akan mulai pasang dan sampai hingga batas pinggiran sungai yang berlumpur itu. Bisa jadi, ini cocok dengan teorinya tentang ujung sungai lainnya yang dekat dengan air terjun dan dia temukan debitnya berkurang di pagi hari. Lalu, kilauan itu menimpa matanya. Ada sesuatu dibalik lumpur itu.
Dia meletakkan ransel dan tasnya di tanah dan mulai berjongkok. Tangannya sudah mulai mencari asal kilauan di dalam lumpur. Kemudian dahinya mengernyit dalam merasakan benda yang tertutup lumpur itu pada tangannya. Jari-jarinya menyingkirkan sisa-sisa lumpur yang ada. Tubuhnya jatuh terduduk di tanah ketika melihat apa yang ada di genggamannya. Cincin buatan Harry Winston itu berkilau cemerlang dengan ukiran tulisan 'Yours forever. M.D for A.T' di bagian dalamnya.
'Ya Tuhan, Antania.'
***
Bagian terakhir di ulang sedikit ya dari part terakhir the Dangerous Game. Rumit posisinya Hanif. Dia jatuh cinta, tapi bingung harus bagaimana. Mereka di tengah situasi yang sama sekali nggak mendukung buat manis-manisan...hehehe. Sabar ya Bang Hanif.
Misi Faya akan seru banget. Jangan sampe baper sama tokoh baru nanti ya. Stay tune aja.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro