Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

13. Red Alert

Kamar itu terlalu gelap, hingga matanya harus berusaha lebih keras untuk mengenali siapa laki-laki yang sedang duduk tidak jauh darinya. Dia berjalan mendekat dan makin dekat. Hingga dia sadar, dia menatap mata adiknya sendiri yang basah. Mata yang putus asa, bahkan dia bisa merasakan itu hanya dengan melihatnya saja.

Mareno duduk dengan pakaian hitam-hitam. Diam, atau lebih tepatnya, menangis dalam diam. Kemudian dia mendekati adiknya itu dan seperti semua mimpi-mimpi, sosok Mareno hilang lalu dia bangun sambil terengah di tempat tidur.

Dua tangannya sudah mengusap wajah sambil beristigfar berulang-ulang. Ini bukan mimpi yang pertama. Tapi kenapa, ada apa? Apa yang akan terjadi? Kenapa Tuhan memberinya firasat mimpi tapi tidak sekaligus memberi tahu siapa yang harus dia selamatkan. Apakah adiknya? Saat ini Mareno sedang sangat bahagia. Jadi siapa?

Tubuhnya berjalan menuju dapur untuk mengambil minum. Setelah menghabiskan satu gelas air, dia duduk di sofa. Menatap apartemen sewaan yang berada di sebelah tempat Faya. Ya, gadis itu tidak mau menginap di markas ADS karena dia perlu berkonsentrasi untuk misi barunya. Leo masih bertugas jadi dia harus kembali tinggal di sini untuk menjaga Faya. Harus? Siapa yang mengharuskan? Dia mendengkus kesal pada dirinya sendiri.

Dua malam lalu dia sudah bicara pada Arsyad tentang mimpinya ini, firasat yang jarang sekali salah. Tapi Arsyad bilang itu tidak berarti apapun. Arsyad selalu bilang begitu. Tapi dia tahu, ada yang tidak beres sekalipun dia tidak mengerti apa itu. Sudah hampir satu minggu dia kurang tidur. Bukan hanya karena mimpi-mimpi itu, juga karena dia cemas dengan misi yang akan dijalankan Faya nanti. Ya Tuhan.

Akhirnya dia duduk di kursi piano elektrik dan mulai menyalakannya. Bermain piano selalu berhasil menenangkan pikiran. Kemudian dia mulai membelai tuts itu lembut. Tchaikovsky Op: 20, Swan Lake mengalun perlahan. Dia memperhatikan tangannya yang bergerak ke sana kemari, telinganya dimanja dengan musik yang dia suka. Kemudian perlahan matanya terpejam. Dia mengecilkan volume pada setengah bagian akhir. Paham benar ini larut malam. Ketika selesai, dia menghirup nafas dalam. Dia rindu grand pianonya sendiri dan bagaimana denting-dentingnya terasa lebih kuat terdengar jika dimainkan. Ponsel itu berbunyi ketika dia selesai, tanda pesan masuk.

Faya: Jangan berhenti, mainkan lagi. Gue nggak bisa tidur.

Dia menatap pesan itu lama-lama. Apa boleh? Apa bisa? Sebelum logikanya bekerja, tangan itu sudah membalas pesan Faya.

Hanif: Come here.

Setelah pesan itu terkirim, dahinya mengernyit marah pada dirinya sendiri.

'What are you doing? Lo sendiri yang bilang kalau lo nggak punya perasaan kan?', makinya dalam hati.

Matanya menatap pintu. Tidak mengerti apa yang dia sedang lakukan saat ini. Tapi tahu dia butuh ditemani. Setelah beberapa saat, kepalanya dia gelengkan keras kemudian dia beranjak masuk kamar. Sebelum sempat dia menutup pintu kamar, pintu depan diketuk.

'Shit.' Dia berjalan mondar mandir sejenak kemudian berdiri menatap pintu, menunggu ketukan yang kedua.

Pintu itu diam, sekalipun dadanya ribut sekali. Mungkin Faya sudah kembali. Tangannya menyentuh handle dan membukanya, gadis itu masih ada di sana. Dengan kaus putih polos dan celana hitam pendek, juga rambut hitam panjang tergerai dan wajah sama bingungnya. Faya terlihat manis sekali, seperti ketika siang tadi dia jemput gadis itu di tempat Sabiya.

"Sorry," tubuh Faya berbalik ingin kembali ke apartemennya sendiri. Tapi tangan Hanif menahan lengannya.

"Masuk."

"Gue..."

Mereka bertatapan sesaat dengan tangan Hanif masih di lengan Faya. Kemudian gadis itu menghela nafas perlahan dan melangkah masuk. Hanif mengambil bantal dan selimut di kamar kemudian meletakkannya di sebelah Faya yang duduk di sofa ruang tengah. Lalu dia kembali menuju kursi piano.

Setelah berpikir sesaat, dia memulai lagi. Salah satu karya Yiruma mengalun merdu. Sambil menikmati dentingan itu, dia melihat Faya mulai merebahkan tubuhnya di sofa. Mata gadis itu menatapnya.

"Sleep," ujarnya pada gadis itu sambil terus bermain.

"Lagunya bagus, tapi sedih. Judulnya apa?"

"Kiss the Rain."

Dia menyelesaikan semua nada. Kemudian memulai lagi dengan karya Yiruma lainnya. Kepalanya menengok sejenak melihat Faya yang tersenyum sambil memejamkan matanya.

"Mesmerizing, yang ini bagus banget," ujar Faya kemudian gadis itu menguap.

"River flows in you." 'Begitu judulnya, sama seperti kamu,' lanjut Hanif dalam hati.

Hanif melanjutkan dengan senyuman. Rasa gusar itu sedikit demi sedikit menghilang, digantikan perasaan hangat yang dia suka. Dia tidak berhenti sampai dua lagu berikutnya. Lalu menyudahi permainannya dan mendekati sosok Faya yang tertidur pulas. Dia menyelimuti tubuh gadis yang sudah mencuri hatinya ini. Menatap pulas tidurnya lama-lama, menikmati nafasnya yang mengalun selembut nada-nada tadi. Fayadisa Sidharta, apa boleh? Apa bisa?

Kemudian dia duduk di sofa satu dudukan dan merebahkan kepala ke belakang. Matanya menolak meninggalkan wajah Faya. Jadi kelopak itu terpejam perlahan dan hal terakhir yang dia lihat, adalah wajah Fayadisa.

https://youtu.be/imGaOIm5HOk

***

Hari-hari selanjutnya dihabiskan Hanif untuk bolak-balik mengurus project kantor yang sedang berjalan, juga ke markas besar untuk melatih Faya. Setelah malam itu, mereka kembali pada sikap mereka yang menjaga jarak dan profesional saja. Mareno adiknya sudah resmi melamar Antania Tielman, mereka bahkan sudah melakukan kunjungan formil ke rumah Bayu Tielman. Jadi, semua aktifitas bergulir cepat.

Dia masih kesulitan tidur, bukan hanya karena wajah Faya terkadang muncul dan hilang, juga karena mimpi-mimpi Mareno masih tidak mau pergi. Dia sudah bicara soal ini pada Arsyad, tapi abangnya bilang ini hanya karena dia terlalu lelah dengan semua kesibukan. Mungkin abangnya benar, karena Mareno sedang sangat bahagia. Besok dia menikah. Jadi dia menepis semua firasat itu pergi dan mengalihkan fokusnya kembali pada misi di depan mata.

Sedikit demi sedikit image Faya mulai berubah karena tugasnya yang baru. Dia memang meminta Sabiya untuk tidak langsung merubah total penampilan Faya karena tidak mau membuat gadis itu tidak nyaman. Dia senang karena frekuensi bertemu mereka bertambah, tapi juga menderita karena dia harus bisa menyembunyikan perasaannya. Apalagi setelah malam itu atau bagaimana terkadang mereka memang harus berlatih bersama hingga membuat mereka harus berada sangat dekat atau bahkan bersentuhan. Sial.

"Bang, kita udah mau sampe," suara Sabiya di ujung telpon.

"Iya." Dia menyahut malas karena tahu dalam beberapa menit dia harus berpura-pura dan itu menyiksa.

"Kenapa harus di apartemen?"

"Tanya aja sama dia kenapa."

Sabiya tertawa kecil di sana. "Ya ya, gue paham. Kalau Fayadisa Sidharta muncul dengan penampilan kayak begini di ADS, bisa jatuh cinta semua itu timnya."

Tiba-tiba kepalanya terasa sakit. Ini menyebalkan. Dia bisa mendengarkan suara Faya memaki di belakang Sabiya.

"Aku udah sampe ya. Lagi mau parkir."

Dengan malas Hanif bangkit dari kursi kerja dan duduk di ruang tengah. Bagaimana dia harus bersikap sekarang. Ini makin sulit. Wajah Faya benar-benar tidak mau pergi, keras kepala sekali. Dan sekarang dia harus mengecek penampilan Faya yang baru dan memastikan semua sempurna. Padahal dia sudah tidak bisa menatap Faya seperti biasanya. Sial.

Pintunya diketuk kemudian dia membuka dan Sabiya berdiri di sana sambil tersenyum. Wanita itu memeluk dan mencium pipinya sesaat.

"Kenapa kamu? Kayak nggak semangat. Susah tidur lagi?" Sabiya menatap wajah Hanif yang pucat.

"Don't worry. I'm fine," dia memaksakan senyumnya.

Kemudian matanya beralih pada sosok di belakang tubuh Sabiya dan sejenak, nafasnya tertahan.

"Hai," sapa Faya singkat.

Faya berdiri dengan jins, cardigans berwarna biru muda terang dan juga kaus putih polos. Rambut hitam panjangnya dibentuk sedemikian rupa dan digerai begitu saja. Gadis itu mengenakan flat shoes berwarna putih dan membawa ransel kecil. Faya terlihat sederhana, berbeda. Matanya diam di sana, terpana.

"Itu Nafa Oktavia, cantik nggak?" tanya Sabiya.

Dia berhasil mengendalikan dirinya sendiri. "Seperti anak kuliahan pada umumnya." Kemudian dia membalik tubuh dan masuk ke dalam.

Sabiya dan Faya mengikutinya masuk.

"Sudah ada kabar dari Bang Arsyad soal kapan gue mulai?" tanya Faya padanya.

"Saya yang putuskan dan kita semua tunggu acara pernikahan Mareno selesai. Setelah itu kita mulai."

Wangi Faya bahkan berbeda, lebih manis dan segar daripada biasanya. Itu membuat dia makin tidak mau berlama-lama menatap Faya.

"Pernikahannya besok, jadi aku nggak bisa lama-lama nih. Bang reno itu nyebelin, udah mendadak, tempatnya juga di luar ruangan lagi. Dia itu nggak ngerti apa kalau gaun pengantin di luar dan di dalam ruangan itu desainnya beda banget." Sabiya mulai protes dan mengomel kesal.

Hanif tertawa dan menatap Sabiya. "Kamu tambah cantik kalau lagi ngomel begitu."

"Biya kapan ada jeleknya? Nggak ada." Faya memutar mata sebal yang disambut tawa Sabiya.

"Kamu juga cantik, Fa."

"Nafa yang cantik, bukan gue," sahut Faya cuek.

Sabiya menggelengkan kepalanya kecil sambil masih tersenyum. "Oke, kalau udah selesai, aku harus balik ke butik lagi buat siap-siap. Faya kamu masih ada urusan sama Bang Hanif?"

"Nggak ada," Hanif menyahut tanpa ekspresi.

"Numpang ganti ya, kunci apt ketinggalan di markas semalam. Abis ini mau balik ke sana." Faya beranjak ke kamar mandi.

Sabiya mengangguk kecil lalu menatap Hanif yang sudah duduk di sofa.

"Bang, kamu kenapa sih?"

Dia diam saja menatap Sabiya. Resah karena campuran rasa. Seperti sesuatu akan terjadi tapi dia tidak tahu apa. Juga penampilan Faya tadi. Gadis itu benar-benar...nafasnya dia hembuskan perlahan.

"Mareno yang mau nikah. Kamu yang lebih grogi," Sabiya bertumpu dengan lutut dihadapannya. "Muka kamu pucat. Sadar nggak? Insomnia parah? Mimpi lagi?" tanya Sabiya khawatir.

Kepalanya mengangguk, kemudian dia menatap wajah cantik Sabiya. Senyum wanita itu selalu bisa menenangkannya. Sekalipun dadanya hanya berdebar ketika menatap gadis itu saja.

Dia tersenyum kecil, tidak ingin Sabiya khawatir. "Aku nggak apa-apa."

"Mau cerita nggak?" Sabiya memeluknya lembut.

"Ini sudah cukup." Tangannya memeluk Sabiya kuat, berusaha menetralisir semua yang dia rasa. Tentang semua firasatnya, tentang mimpi-mimpi itu, tentang Faya dan misi mereka.

Tubuh Faya yang baru saja ke luar dari kamar mandi dengan seragam ADS membeku melihat pemandangan itu. Mereka berpelukan di sofa ruang tengah. Sabiya dan Hanif, siapa yang bisa menyangkal kecocokan 100% seperti itu. Semua tentang mereka pas dan benar. Cantik dan tampan, sukses dan kaya, juga sama-sama baik hati. Perlahan tapi pasti, dadanya berdesir nyeri. Nyeri sekali.

***

Arsyad berada di salah satu ruangan yang ditata cantik dan apik. Terletak di salah satu gedung besar ADS. Wanita itu duduk menatapnya. Cantik tanpa cela fisik. Bahkan setelah semua luka yang dideritanya hilang, wanita ini seperti mekar sempurna. Matang raga dan jiwa.

"Bagaimana kabarmu hari ini, Sharon?" Arsyad memulai.

"Baik, Arsyad. Aku sudah tahu dan berkenalan dengan seluruh penjaga di sini."

"Saya harap mereka tidak melewati batas."

Sharon tersenyum. "Tidak ada, mereka sopan dan baik sekali. Sesungguhnya itu membuatku bosan. Aku suka Niko, hanya Niko yang benar-benar bersikap santai padaku. Kemana dia?"

"Dia sedang bertugas."

"Aku tidak mau Max atau Leo yang melatihku, aku mau Niko."

"Kamu belum pulih benar. Jadi latihan fisik selalu bagus untuk mempertahankan stamina." Arsyad diam sejenak. "Tommy pasti setuju."

"Aku ingin ke luar Arsyad. Aku bosan."

"Saya tidak mau menahanmu, tapi kondisi di luar sangat berbahaya. Apa yang terjadi padamu kemarin itu, bisa terjadi lagi."

"Aku tidak takut Herman."

"Ya, memang. Tapi kamu takut jika Tommy terluka. Kamu tidak mau Tommy menderita, benar?"

Sharon tersenyum kemudian berujar, "Kamu luar biasa Arsyad. Siapa wanitamu?"

"Tidak ada. Tidak akan ada."

"Kenapa? Kamu takut apa?" Sharon menatapnya dalam. Tatapan berani dan mengintimidasi. "Kamu tahu, kamu akan jauh lebih kuat jika memiliki wanita. Karena kamu, akan lebih waspada."

Dia tersenyum kecil. "Terimakasih sarannya. Jadi, bagaimana bisa dokumen itu berada di tanganmu. Kenapa kamu berikan ke Danu Rahman? Apa kamu tahu dimana dokumen aslinya? Kami harus menangkap Herman. Setelah Herman tertangkap, kamu dan Tommy bisa pergi kemanapun kalian mau. Apa kamu mau membantu?"

Wanita itu tertawa. "Kamu tahu, aku bukan milikmu, bukan wanitamu. Jadi, aku tidak akan bicara sampai Tommy meminta aku bicara."

"Sekalipun itu bisa membuat Tommy aman?"

"Ya, sekalipun begitu." Sharon berdiri dan mulai melangkah menuju Arsyad yang juga sudah berdiri. "Tommy sama kuatnya. Aku selalu percaya itu."

Mereka berdiri berhadapan. Satu tangan Sharon menyentuh dada Arsyad. "Kamu dingin, kamu kesepian. Matamu bahkan lebih kelam daripada Tommy." Sharon menatap mata hitam kelam Arsyad.

"Segala sesuatu yang berlebihan itu tidak baik." Sharon melepaskan tangannya tapi mereka masih berdiri dekat sekali. "Hitam itu bisa menenggelamkanmu dalam, kamu butuh seseorang untuk berpegangan."

"Saya paham sekarang, kenapa Tommy tergila-gila, Mareno bahkan pernah bersamamu. Kamu wanita pemberani, menarik, cantik sempurna..." Arsyad memberi jeda. "...juga baik hati."

Sharon terkekeh miris. "Aku? Baik hati?"

"Ya..."

Belum sempat Arsyad melanjutkan, pintu ruangan itu dibuka dan Tommy sudah berdiri murka, menodongkan senjata pada Arsyad. "Jangan, pernah berani merayu dia."

Dua penjaga di depan pintu juga sudah mengokang senjata mereka dan mengarahkan pada Tommy dari belakang tubuh laki-laki itu. Arsyad menggeleng memberi isyarat. Kemudian dua penjaga itu menyarungkan senjata dan mundur ke belakang. Tubuh Arsyad berbalik ke samping menghadap Tommy, menatap sepupunya itu berani.

"Hai Sayang, aku sedang berbincang-bincang." Sharon memeluk tubuh Tommy yang masih kaku dan berbisik di telinganya. Tangan Tommy masih menodongkan senjata.

Kepala Tommy menoleh sedikit kemudian mencium pipi Sharon sesaat. Senjatanya dia turunkan.

"Ke luar." Tommy menatap Arsyad tajam.

"Baik, jika kalian sudah memutuskan. Saya siap kapanpun kalian ingin bicara." Arsyad berjalan ke luar ruangan dan menutup pintunya.

"Matikan CCTV utama di dalam," perintahnya pada salah satu penjaga. Karena jika CCTV itu menyala, Tommy akan menembak semuanya seperti pertama dia mengunjungi Sharon. Tapi dia masih punya kamera lain yang tersembunyi dan Tommy tidak tahu. Hanya dia yang punya aksesnya.

Di dalam ruangan.

Arsyad duduk berpikir. Rencananya sudah dia ganti. Karena tiba-tiba saja keberuntungan berada di pihaknya. Anak buah Herman menculik Jessica Sharon karena wanita itu memberikan dokumen bukti kepada Danu Rahman, sekalipun ternyata dokumen itu palsu. Dugaannya Sharon sendiri juga tidak tahu jika itu dokumen palsu. Kemudian Sharon dianiaya dan itu membuat Tommy luar biasa murka. Hingga menghabisi semua anak buah ayahnya sendiri. Tommy memutuskan untuk membawa Sharon yang terluka parah ke MG, tebakan Arsyad karena Tommy sangat panik. Lalu mereka tiba di MG dan dokter Reyn langsung menghubunginya.

Awalnya Tommy tidak terima dan mereka terlibat baku hantam seru. Sementara tim dokter MG mati-matian berusaha menyelamatkan Sharon. Tapi dia berhasil meyakinkan Tommy bahwa Sharon akan jauh lebih aman di sini. Herman tidak akan menyangka, karena Herman percaya Tommy dan keluarganya adalah musuh abadi. Akhirnya Tommy setuju sekalipun laki-laki itu masih tidak mau bekerja sama.

Mengancam untuk menyakiti Sharon, itu bukan gayanya. Dia tidak akan pernah menyakiti wanita. Tommy tahu itu. Jadi sudah berminggu-minggu ini dia coba untuk bicara. Dan dari seluruh pengamatannya, dia tahu benar bahwa dokumen bukti asli itu ada. Benar-benar ada dan masih hilang dari tangan Herman. Dugaan sementara, Tommy yang memegang dokumen penting itu. Jadi dia sedang berusaha meyakinkan Tommy bahwa menjatuhkan ayahnya sendiri adalah hal yang benar.

Dia menghirup nafas dalam. Tugasnya masih panjang. Tapi dia akan lanjutkan setelah acara pernikahan adiknya besok. Ya, Mareno akan menikah dan sedikitnya dia turut merasa bahagia. Kemudian dia berdiri dan bersiap-siap pergi ke tempat acara Mareno besok untuk memeriksa keamanan perimeter tempat tersebut. Memasang earphone dan mengambil jaket kulit hitam.

Ponsel itu berdering ketika dia sedang menuju garasi utama. Mahendra.

"Bang, dimana Mareno Bang?" suara Mahendra panik sekali.

"Di tempat acara, ini gue mau ke sana."

"Tania Bang, Antania dalam bahaya."

Refleks tubuhnya adalah berlari cepat menuju motor. "Kirimkan kordinatnya, sekarang Hen. Kita ketemu di sana."

Kemudian dia memasang helm yang langsung tersambung ke earphone.

"Saya butuh Angel."

Sistem itu berbunyi bip. "Selamat datang Tuan Arsyad."

"Angel, hubungi Mareno."

"Menghubungi Mareno Daud."

Hanya nada dering panjang saja, Mareno tidak menjawab.

"Hubungi Hanif."

"Menghubungi Hanif Daud."

"Ya Bang?"

"Firasat lo..." Arsyad diam sejenak karena benci untuk tahu firasat adiknya lagi-lagi benar. Dia sudah melajukan motornya cepat. "Antania dan Mareno, Nif."

"Gue ke sana."

Hubungan disudahi, dalam beberapa menit layar di kaca helmnya menunjukkan titik kordinat Antania Tielman yang bergerak. Lalu status wanita itu, berkedip-kedip merah.

Red alert.

***

Udah siap buat ketemu Mareno lagi? Tambah ramai nih part selanjutnya. Bagian akhir part ini adalah ketika kejadian di tebing. The Cliff and the Waterfall judulnya di cerita The Dangerous Game. Silahkan kalau ada yang mau mampir ke sana lagi buat baca. 

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro