Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

12. Class, dismiss

Rutinitas harinya selalu dimulai dari pukul 3 pagi, semua begitu di sini. Arsyad memang orang pagi dan dia menerapkan jadwal yang sama untuk keseluruhan anggota ADS yang bermalam di markas. Bangun pagi, ibadah bersama, kemudian langsung berkumpul di area luar gedung untuk morning run and exercise hingga jam 6.30. Memutari perbukitan dan hutan buatan di sekeliling markas besar ADS. Setelah selesai seluruh tim akan bersiap untuk tugasnya masing-masing. Anggota-anggota ADS yang tidak tinggal di markas akan mulai berdatangan pukul 7 untuk melapor. Mereka juga bisa sarapan di kantin atau sekedar minum kopi. Kemudian meeting-meeting atau kordinasi pagi akan berlangsung mulai jam 8.

Untuk Faya, setelah selesai morning run bersama timnya, dia berada di sasana. Berusaha menghilangkan seluruh bayangan laki-laki itu dari kepala. Semalam matanya sulit terpejam, tidurnya hanya sebentar kemudian dia bangun dengan perasaan yang aneh sekali. Dadanya terus berirama padahal sudah tidak ada laki-laki itu di dekatnya. Kulit pipinya seolah masih menyisakan tanda dan itu membuat perutnya bergejolak. Karena itu dia di sini, menghantam samsak dihadapannya.

"Morning, Bos." Timnya masuk dan duduk di bangku-bangku dekat tembok. Leo, Reza, Elang, Dodo dan Raji.

Dia berhenti sejenak sambil menatap mereka. "Pagi, cerah banget. Kenapa belum pada siap?" Matanya melihat seluruh tim tidak mengenakan seragam mereka.

"Kita dikasih liburrrr," Reza yang paling konyol sudah berteriak senang. "Akhirnyaaa...gue bisa jemput pacar gue."

"Baek-baek, ntar nggak tahunya pas lo ke sana dia lagi bobo sama cowok lain," sahut Elang yang disambut tawa anggota lain.

"Tunggu-tunggu, libur gimana?" tanyanya heran.

"Ya libur satu hari, nggak ada tugas atau misi. Kata Bang Arsyad ini hadiah karena kemarin sukses," Reza menatapnya, kemudian dia tertawa. "Iya gue lupa, kita nggak pernah libur. Jadi aneh kan? Apalagi elo Fa. Udah seneng aja deh. Mau ikut gue jemput cewek gue?"

Faya tertawa. "Yee...ngaco. Deana kemana?"

"Ya langsung lah dijemput Tuan Alex. Kayaknya si Tuan udah tahu duluan kita bakalan diliburin hari ini. Fisiknya nggak pernah ada di ADS tapi kupingnya dimana-mana," jelas Elang.

"Nggak usah jealous Lang. B-aja. Jangan nangis ditolak Deana," ujar Leo kali ini.

Mereka tertawa lagi. Kemudian Leo melanjutkan. "Udah sana-sana pada pergi. Gue sama Faya ada urusan."

"Iya iya iya. Tuan dan Nyonya, kami pergi dulu," ujar mereka sambil tersenyum konyol dan beranjak pergi.

Faya dan Leo tersenyum sambil melihat tim mereka keluar dari area sasana satu per satu. Leo kemudian menatapnya.

"Gue mau ke tempat Bang Faiz dan nengok Risa. Ikut yuk," ujar Leo.

Dia diam sejenak. "Gue nggak ada acara sebenarnya...." Belum sempat melanjutkan, jam di tangannya berbunyi. Pesan dari Arsyad masuk.

Arsyad: Ke tempat saya, ada tugas.

"Ck...pasti Abang manggil deh," keluh Leo.

Faya tersenyum. "Lo jalan deh. Gue nyusul kalau udah selesai."

"Ini diskriminasi, kenapa kita libur lo nggak. Gaji lo segede apa sih Fa?"

Dia tambah tertawa. "Leo, salam buat Bang Faiz dan Risa. Pokoknya begitu selesai gue nyusul."

Dia berlari menuju ruangan Arsyad. Setelah mengetuk pintu dua kali, dia masuk dan menemukan bukan hanya Arsyad, tapi Hanif juga ada di sana. Kemudian irama di dadanya mulai kembali.

"Pagi Faya, duduk," ujar Arsyad padanya.

"Pagi Bang." Dia duduk dan berusaha menenangkan dirinya sendiri.

"Kami sudah bicara dengan Danu Rahman soal dokumen bukti itu karena entah kenapa saya curiga tentang sesuatu. Kami yakin harusnya dokumen bukti atau alat bukti lain ada di suatu tempat. Bukti yang asli. Karena Herman gelisah. Dia masih mencari. Jadi sepertinya Danu Rahman hanya terkecoh dengan bukti palsu dan Herman membiarkan kita mengejar bukti itu dan mengorbankan Drajat untuk membersihkan namanya."

Dia mengangguk mengerti. "Masuk akal. Jadi apa rencananya Bang?"

"Saya mau kamu ikuti Herman. Saya ingin tahu kemana dia, dengan siapa dia bertemu, lebih baik lagi jika kamu bisa pasang alat Mahendra. Kamu akan jalan sendiri. Niko sedang saya tugaskan untuk hal lainnya. Tugas ini, highly confidential, level 5. Tim mu tidak boleh ada yang tahu, termasuk Leo. Untuk sementara tim kamu akan lebur dengan tim Max dan Max yang pimpin. Hati-hati Faya, gunakan semua yang disediakan Mahendra."

"Mengerti," tubuhnya sudah berdiri.

"Hanif sudah siapkan semua identitas baru dan tempat. Dia juga akan memberi tahu kamu seluruh profile penjaga dan benteng keamanan Herman."

"Maaf, tadi kamu bilang saya jalan sendiri," Faya menatap Arsyad heran.

"Hanif akan terangkan seluruh informasi pentingnya untuk persiapan sebelum kamu mulai. Benteng pertahanan Herman tidak main-main. Penjaga yang ditempatkan juga berpengalaman. Hanif, Niko dan saya sudah telusuri segalanya"

"Cukup berikan seluruh data pada saya, saya bisa mempelajari semua sendiri."

"Fayadisa, apa kamu menolak perintah saya?" Mata Arsyad menatap Faya tegas.

"Saya bukan anak kemarin..."

"Saya tanya sekali lagi, apa kamu menolak perintah saya, Komandan?" tubuh Arsyad sudah berdiri. Mata hitamnya menatap Faya dalam.

Jika sudah begini, mulutnya hanya bungkam. Dia berdiri tegak dengan mata menatap lurus ke depan, kemudian mengangguk kecil. "Saya mengerti."

"Dismiss."

Kemudian Faya berlalu ke luar ruangan. Sementara di dalam ruangan.

"Berikan seluruh informasi Nif, jangan sampai ada yang terlewat," ujar Arsyad cemas. "Ajarkan dia teknik penyamaran sebaik yang lo tahu dan cara membaca orang. Faya bagus sekali untuk fighting combat atau kemampuan taktis lainnya, tapi dia petugas lapangan. Dia sulit berpura-pura ketika emosinya naik. Dan Herman...punya Aryo Kusuma."

"Kenapa bukan Deana?" tanya Hanif karena sangat khawatir.

"Deana sudah terlalu sering di lapangan dan menyamar. Pola perilakunya akan terbaca oleh Herman. Gue juga nggak suka ini, tapi lebih nggak mungkin lagi kalau kita turunkan laki-laki. Gue harus mulai melatih tim wanita lainnya untuk mengimbangi kemampuan Faya dan Dea."

"Itu gue sangat setuju."

"Jaga dia Nif, sama seperti kita jaga Sabiya." Wajah Arsyad masih cemas.

Hanif mendengkus kesal. "Gue jagain dia tapi lo tetep aja kasih dia ke mulut harimau begitu."

"Gue mau ini cepat selesai. Gue mau belangnya Herman terbongkar dan nggak ada lagi korban jiwa. Kemarin Bayu Tielman atau Danu Rahman yang terancam, besok-besok siapa? Kita harus temukan bukti penting itu dan hentikan Herman."

Dia tidak bisa membantah abangnya perihal itu. Sekalipun kali ini dia juga cemas sekali. Kemudian dia mengangguk kecil. "Ya Bang, yang itu gue setuju. Mari hentikan ini semua."

"Bagaimana dengan Tommy?" tanya Hanif.

"Gue dan Niko urus Tommy. Lo tahu dia antipati sama Mareno. Lo fokus ke Herman bareng Faya." Arsyad diam sejenak sebelum melanjutkan. "Lo adek gue yang paling waras, lo tahu kan?" Arsyad tersenyum menatap Hanif.

Hanif tertawa kecil. "Yang itu juga gue setuju."

***

Mereka berada di salah satu ruangan khusus. Tanpa kamera atau penyadap apapun namun kedap suara. Ruangan yang akan digunakan untuk menyampaikan informasi yang sangat penting hingga bahkan rekamannya tidak boleh ada. Hanif menatap Faya dalam dan memindai sikap gadis itu. Dia paham mereka memiliki sesuatu yang lebih personal tapi sekarang mereka harus bisa mengenyampingkan hal tersebut.

Mata Faya menatap Hanif sama tajamnya. Kelihatan jika gadis ini juga berusaha melakukan hal yang sama seperti dirinya sendiri. Kemudian dia mulai mengeluarkan berkas-berkas rahasia milik Herman Daud, paman mereka. Mulai menerangkan segala fakta tentang siapa Herman, perusahaan yang dia pegang dan bisnis yang dia jalankan, status anak dan istri juga segala fakta lain tentang pertahanan yang dipasang oleh Herman di sekitarnya termasuk Aryo Kusuma. Laki-laki yang sangat berbahaya dan sudah bekerja pada Herman sejak kecil. Kemudian Hanif juga menjelaskan tentang identitas barunya.

Faya diam mendengarkan dengan seksama. Dia harus mengingat seluruh informasi itu, juga berusaha menemukan celah dimana dia bisa masuk.

"Saya akan bawa kamu ke tempat yang sudah kita siapkan untuk ini semua. Total ada 3 tempat. Satu, di dekat tempat tinggal Herman. Satu tempat lagi di dekat kantornya dan tempat lain di apartemen tempat Mistress-nya disimpan. Kamu hanya akan bertugas di satu tempat saja. Tempat yang paling rentan dan bahaya. Sisanya ada tim yang lain yang mengawasi."

Hanif melanjutkan, "Tempatmu bertugas adalah warung makanan sederhana persis di depan kantor Herman. Banyak pengawal Herman di sana yang biasanya makan siang. Nama pemilik tempat Sriyanti, dipanggil Bu Yanti. Wanita ini hutang nyawa dengan Arsyad dulu sekali. Jadi dia tidak ragu ketika Arsyad butuh bantuan. Bu Yanti adalah wanita sederhana dan biasa Faya. Dia tidak memiliki skill bertarung apapun. Jadi, penyamaranmu harus baik sekali atau Bu Yanti dalam bahaya." Hanif diam sejenak. "Dapatkan informasi penting dari anak-anak buah Herman, kami akan memberi kamu akses agar tetap bisa berkomunikasi pada kami. Setelah Arsyad pikir informasi itu cukup, tugas selesai. Jauhi Aryo Kusuma, laki-laki itu bukan tandinganmu."

Dia mengangguk mengerti.

"Ini identitas baru kamu, KTP dan lainnya. Kamu juga harus berusaha merubah penampilan kamu."

"Maksudnya?" Matanya meneliti kartu identitasnya yang baru.

"Rambut, pakaian, cara berbicara." Hanif menghembuskan nafas sejenak. "Sekalipun sulit, sorot matamu ketika melihat orang lain juga harus dirubah. Ada komentar?"

"Sorot mata?"

"Ya, berdiri dan ke sini." Hanif sudah berdiri di dekat cermin panjang di dinding.

Faya menuruti permintaan Hanif dan menatap dirinya sendiri di cermin. Laki-laki itu menyentuh pundaknya dengan kedua tangan dari belakang.

"Yang saya lihat di sana, itu Fayadisa Sidharta. Pimpinan tim taktis yang kerja di ADS. Semua yang ada dalam diri kamu menunjukkan itu. Rambut, postur, pakaian, sorot mata." Hanif diam sejenak. "Siapa kamu di identitas barumu?"

"Nafa Oktavia, mahasiswa S1 yang merantau dari luar kota. Keponakan dari Bu Yanti. Di kampung keluarga Nafa punya kebun tebu yang hasil panennya di jual ke pabrik gula terdekat. Nafa lulus SMA dan bekerja sebentar di pabrik gula, akhirnya karena beasiswa dia teruskan kuliah S1 di Jakarta dan ingin bekerja di sana," jawab Faya karena dia ingat benar apa yang disampaikan Hanif di awal tadi.

"Saya pilih nama Nafa, karena akan sama dengan nama panggilan kamu di sini. Faya, Fa. Nafa. Jaga-jaga jika kamu belum terbiasa. Saya pilih warung makan itu karena itu tempat itu tempat strategis untuk mendapatkan informasi."

Hanif melanjutkan. "Yang saya lihat sekarang, bukan seorang mahasiswi S1 yang sedang melanjutkan kuliah. Jadi kita punya pekerjaan."

Kemudian tangan Hanif memutar balik tubuhnya hingga mereka berhadapan.

"Lihat saya."

Faya memalingkan pandangannya. Tubuh mereka terlalu dekat dan dia tidak nyaman.

"Faya."

"I got what you mean okey. Tapi itu semua sudah diajarkan di kelas sebelumnya. Kamu pengajarnya kalau kamu lupa." Faya menjauhkan dirinya dari Hanif.

"Prakteknya akan sangat berbeda. Kamu perlu bisa berimprovisasi, menahan emosi kamu sendiri dan menyembunyikannya dengan baik apapun yang terjadi."

"Gue siap, gue sudah siap. Lo selalu lupa kalau gue orang kedua terkuat setelah Niko."

"Kamu memang orang terkuat, tapi penyamaran adalah sesuatu yang sangat berbeda. Kita coba." Hanif berjalan kembali ke meja. "Saya akan jadi salah satu penjaga Herman yang brengsek dan kamu pekerja sambilan yang mengantarkan makanan ke meja saya. Silahkan."

Hanif mengeluarkan rokok dan mulai menyalakannya. "Jadilah Nafa." Sorot mata Hanif tiba-tiba berbeda, itu mengejutkan Faya.

Dia berdehem sejenak sebelum mulai berjalan mengambil botol minum di lemari penyimpanan dan membawanya ke meja. Berjalan seperti dia adalah seorang pekerja sambilan di restoran.

"Halo, Manis. Pegawai baru?" Wajah Hanif menatap Faya dengan pandangan meremehkan sambil menghembuskan rokok.

Sedikitnya Faya terkejut dengan nada suara Hanif yang benar-benar berubah. Kemudian dia mulai merutuki kenapa dia sering membolos dari kelas penyamaran dulu. Karena dia pikir sebelumnya dia tidak perlu melakukan hal ini, Deana yang selalu turun tangan.

Dia hanya diam tanpa ekspresi dan meletakkan botol minum dihadapan Hanif. Kemudian ketika tubuhnya berbalik, tangan Hanif menyentuh bokongnya. Bukan hanya menyentuh, Hanif juga meremasnya.

"Mau kemana? Kenapa terburu-buru?" ujar Hanf lagi.

Tubuhnya langsung menegang. Tangan Hanif tidak beranjak dari situ. Laki-laki itu berdiri lalu berputar kehadapannya. Masih dengan wajah yang dia tidak kenal dan asap rokok. Hanif tidak seperti ini.

"Dari kapan masuk? Kok gue baru tahu?"

Sebelum tangan Hanif yang lain menyentuh pipinya dengan tatapan yang sangat kurang ajar, refleksnya menghentikan tangan itu dan menggenggamnya erat. Matanya menatap sosok asing dihadapannya ini, murka.

Kemudian Hanif menghirup nafas panjang dan mematikan rokoknya.

"Apa kamu mengerti maksud saya, Faya?"

"Apa menjadi Nafa gue harus membiarkan diri gue dilecehkan? Apa begitu?"

"Bukan begitu, tapi reaksi kamu terlalu kuat untuk seorang mahasiswa perantauan. Kamu harusnya takut, tidak berani menatap laki-laki asing itu, menunduk bahkan mungkin setengah menangis."

Kali ini Faya yang menarik nafasnya. Ini sulit sekali ternyata, tidak semudah menghantam penjahat dan melumpuhkannya.

"Kalau kamu bereaksi seperti tadi, identitas kamu langsung terbongkar. Hal itu bisa terjadi, dan bisa tidak. Tapi tugas saya menyiapkan kamu untuk kemungkinan terburuk."

"Kenapa gue? Kenapa bukan Deana?"

"Deana sudah pernah mengintai Herman. Wajahnya familiar. Dea juga punya misi penting lain."

Reaksinya adalah diam kemudian kembali duduk dan mengusap wajahnya dengan kedua tangan.

"Kamu bisa Faya, hanya butuh sedikit latihan," Hanif sudah berjongkok dihadapannya. "Kita selalu ada di belakang kamu, memastikan kamu baik-baik aja."

Dia terkekeh kecil. "Bukan bahaya yang gue takut. Gue takut gue menggagalkan misi sepenting ini dan buat Arsyad kena masalah, kalian kena masalah karena gue, atau orang lain celaka. Itu yang gue takut."

"Asal kamu tahu, saya benci ide ini. Mungkin lebih dari kamu."

"Kenapa?"

Hanif diam, matanya menatap Faya dalam. Wajah mereka dekat sekali. Itu membuat irama jantung Faya mulai berantakan lagi. Sementara Hanif hanya bisa menatap wajah gadis itu saja. Gadis yang mulai tidak beranjak dari benaknya. Gadis yang kemarin dia ganggu dan membalasnya dengan gangguan tidur di malam hari serta perasaan yang berantakan pagi ini ketika tahu Arsyad menempatinya pada misi lain yang sangat berbahaya.

Tapi Hanif tidak bisa bicara pada Arsyad, tentang apa yang dia rasa. Itu terlalu egois kan? Ditengah carut marut situasi saat ini, dia melarang dirinya untuk terlibat emosi dengan salah satu tangan kanan abangnya sendiri. Dia sadar itu, tapi sampai kapan dia bisa sembunyikan? Dia tidak tahu.

"Kelas selesai. Kita ketemu lagi sore ini," ujar Hanif dengan wajah datar.

Hanif berdiri kemudian berjalan ke luar ruangan. Meninggalkan Faya yang memaki dirinya sendiri karena merasakan apa yang tidak seharusnya dia rasakan.

***

Menjelang sore, Hanif menemukan Faya di kantin sedang duduk minum kopi sendiri. Suasanya kantin sepi karena memang banyak team yang diliburkan oleh Arsyad hari ini. Gaya rambut Faya selalu sama, kepang satu tinggi seperti Lara Croft. Dia juga selalu mengenakan seragam ADS. Kaus hitam dan celana panjang kargo dengan kantung berwarna krem. Tapi kali ini matanya menatap ke arah jendela luar, menerawang. Ekspresi yang jarang sekali Hanif lihat. Kelasnya sendiri baru saja selesai. Dia berjalan dan duduk di hadapan Faya.

"Tim yang lain sudah balik?" tanyanya.

"Mereka bakalan balik besok. Kapan lagi dikasih libur mendadak begini."

"Dimana Leo?"

"Lagi nengok Bang Faiz," Faya menghirup kopinya sejenak kemudian menatapnya. "Kapan gue mulai?"

"Setelah kamu siap."

"Gue udah siap."

"Nggak begitu tadi yang saya lihat." Hanif diam sejenak. "Saya akan susun jadwal baru untuk kamu. Latih kamu khusus soal ini. Deana dan timnya juga akan bantu saya. Kami akan jadikan kamu Nafa Oktavia."

"ADS punya trainer yang lain. Apa gue bisa pilih mereka aja? Maaf, bukan gue..."

"Pertama, mereka tidak lebih bagus dari saya. Kedua, Arsyad tugaskan saya untuk ini. Ketiga, saya mau memastikan sendiri kamu selamat," potong Hanif.

"Tapi..."

"Saya nggak paham apa kamu lupa peraturan di sini. Harusnya kamu ingat benar, bahwa keputusan pimpinan tertinggi adalah mutlak dan hanya bisa dipatahkan ketika pimpinan melakukan pelanggaran hukum."

Hanif berdiri dan menatap gadis itu tajam. "Jangan khawatir, saya tidak punya perasaan apa-apa. Kamu bukan tipe saya. Saya tunggu di sasana, Komandan."

***

Keesokkan hari jadwal mereka adalah pergi ke lapangan, dalam artian mengunjungi tempat yang sudah disiapkan oleh Hanif dan Arsyad untuk misi itu. Tim taktis yang dipimpin Faya sudah di atur sedemikian rupa hingga melebur dengan tim Max dan Niko. Tidak ada yang tahu misi yang sedang Faya jalankan dan tidak ada yang bertanya. Mereka paham karena itu biasa dilakukan, hanya mereka berharap Faya bisa kembali dengan selamat. Leo menjadi orang yang paling cemas, sekalipun dia juga paham tugas dan misi adalah suatu hal yang biasa dijalani.

"Jadi hari ini mau kemana?" tanya Faya pada Hanif yang sedang mengendarai mobil.

"Butiknya Sabiya," jawab Hanif singkat.

"Ada perlu sama Biya?"

"Iya."

Mobil Hanif parkirkan di samping butik dan dia segera turun serta meminta Faya turun. Gadis itu mengikutinya. Mereka masuk dan sudah disambut Sabiya yang tersenyum dari balik meja.

"Abaang, aku tungguin dateng juga," ujar Sabiya dengan senyum lebar.

"Good morning, Princess," Hanif tersenyum lebar dan berjalan menghampiri Sabiya untuk mencium pipinya.

Mata Faya berpaling sesaat melihat pemandangan itu. Sabiya cantik sekali hari ini bahkan di matanya yang sama-sama perempuan. Gaun pink lembutnya sedikit di atas lutut, rambut panjang yang bergelombang sempurna, dan juga make up tipis-tipis serta high heels yang melengkapi. Seperti bidadari yang jatuh dari langit. Itu membuat dia ingin tenggelam saja.

"Sibuk?" tanya Hanif pada Sabiya.

"Nyiapin gaunnya Tania. Tapi ada Amy yang bantu, tenang aja." Kepala Sabiya menengok pada Faya. "Faya, apa kabar?"

"Saya baik," dia hanya mengangguk sopan.

Kemudian Sabiya menatapnya lagi masih sambil tersenyum. Hanif membisikkan sesuatu di telinga Sabiya kemudian Sabiya mengangguk mengerti. Dia sendiri jengah karena paham benar fisiknya sedang dinilai. Shit, ini menyebalkan.

"Yuk, ikut saya." Tangan Sabiya sudah menyentuh pundaknya. "Kamu di sini atau ada urusan yang lain?" Sabiya menatap Hanif.

"Aku tinggal dulu, siang aku ke sini lagi buat bawain makan siang. Kita makan di sini." Lagi-lagi Hanif mencium pipi Sabiya yang tersenyum manis lalu Hanif pergi.

Dia mengikuti tubuh Sabiya masuk ke dalam area butik, kemudian Sabiya membawanya ke salah satu dinding yang tidak terlihat seperti pintu tapi ternyata itu pintu. Ini tidak mengherankan karena ID Tech perusahaan teknologi besar itu milik keluarga Daud dan juga yang mendukung seluruh kegiatan ADS selama ini. Dia hanya heran karena ternyata Sabiya juga ikut serta dalam ini semua.

"Selamat datang Sabiya dan tamu," suara salah satu Artificial Intelligence terdengar saat mereka melangkah masuk.

"Hai Carol. Deana sudah selesai?" Sabiya masuk saja dan pintu itu menutup sendiri.

Dia melihat seorang wanita berpotongan rambut bob pendek dan tersenyum padanya.

"Katanya lo nggak libur kemarin? Dapet misi apa dari Abang?"

"Dea?" Matanya memindai wajah Dea yang benar-benar terlihat berbeda.

Yang dipanggil tertawa. "Iya, gue. Akhirnya, si macan betina diturunin juga. Welcome to the club. Mangkanya jangan suka bolos kelas, nyesel kan."

Dia tertawa kecil. "Hey, nasihatin gue kalau lo udah bisa jatuhin gue di sasana. You can't even touch me. Come on."

Dea mencebik kesal. "Gue jagonya jatuhin musuh di tempat tidur. Udah diajarin sama Bang Hanif?"

Ekspresi terkejut Faya membuat Sabiya dan Dea tertawa. "Bercanda. Kebanyakan sama laki sih jadi kaku gini deh. Biya thanks ya. Pamit dulu."

"Hati-hati De, atau Alex bisa ngamuk nanti."

"Fa, hati-hati. Penyamaran itu sesuatu yang sangat berbeda. Tapi kalau Bang Hanif turun tangan sendiri, gue yakin lo bisa. Tapi hati-hati Fa." Tangan Dea menepuk pundak Faya perlahan.

"Thanks, De." Dia melihat Dea keluar dari ruangan rahasia itu dan pintu otomatis tertutup lagi.

"Faya, hari ini saya hanya akan melakukan perubahan tahap pertama, biar kamu nggak kaget. Misal pakaian, saya mau kamu pakai semua yang saya sediakan. Esther akan ajari kamu berjalan dan berbicara sesuai dengan identitas baru kamu. Saya nggak akan merubah langsung potongan rambut kamu atau ajarin kamu make up tipis-tipis atau apapun. Tidak hari ini. Tapi kamu harus mulai mengenakan pakaian yang disediakan. No complaint."

"Baik, mengerti," dia mengangguk.

Sabiya tertawa kecil. "Fa, kamu terlalu kaku. Santai sedikit." Sabiya mengambil kotak di dekat mejanya dan mengambil permen lollipop merah jambu dan memberikan padanya. "Nih, sesuatu yang manis mungkin bisa bikin kamu rileks sedikit."

Dia diam sejenak. 'Apa harus begini?'

"Ini perintah, Komandan," Sabiya masih tersenyum.

Kemudian dia langsung mengambil permen di tangan Sabiya dan membuatnya tertawa. "Let's start."

***

Partnya panjang banget ternyata. Hehehehe. Ini sudah dekat dengan insiden Mareno dan Tania. Ada yang udah punya teori atau tebakan konfliknya Hanif-Faya? Comment dong. Biar seru aja.

Aseli, ini tambah seru. Sampai detik penghabisan cerita siap-siap aja jantungnya. Stay tune ya. Love ya Genks!!

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro