Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

10. Shampoo

Bangun pagi adalah hal biasa, sekalipun paginya kali ini terasa berbeda. Dia kesulitan tidur semalam seperti merasakan sebentar lagi akan ada bahaya. Jadi kepalanya sedikit pusing. Setelah selesai menunaikan kewajiban dan seluruh rutinitas pagi, dia memutuskan untuk mengecek CCTV di apartemen Faya.

Laptop sudah dia hidupkan dan sambungkan pada jaringan CCTV, kemudian dia mengecek ruangan demi ruangan. Dia tidak menemukan Faya, apa mungkin gadis itu belum bangun? Faya orang pagi. Ya tim ADS adalah orang-orang pagi yang memulai aktifitas mereka paling lambat jam 4 pagi. Ini sudah hampir jam 7, jadi ini aneh. Dia melihat treadmill itu menyala tanpa ada Faya. Tapi area itu blind spot yang tidak bisa terlihat seluruhnya karena berada persis di depan pintu kamar pribadi gadis itu. Tubuhnya sudah berdiri dan berlari ke apartemen Faya. Dia memiliki semua akses dan langsung saja masuk.

Benar saja, tubuh Faya tergeletak di lantai dekat dengan treadmill tidak sadarkan diri dengan pakaian olahraga. Dia langsung memeriksa denyut nadi dan suhu tubuh gadis itu. Badannya hangat. Lalu dia menghubungi dokter Reyn.

"Jangan panik Nif. Angkat ke kasur lakukan pertolongan pertama. Periksa kepalanya, apa dia terbentur. Saya langsung ke sana dari rumah," ujar dokter Reyn.

Dia melakukan semua yang dokter Reyn minta. Wajah gadis itu pucat. Tebakan Hanif, Faya bangun dan memaksakan diri untuk berlatih. Dia melihat darah di bagian luka tusukan pisau dulu yang masih diperban. Dia harus membuka kaus Faya untuk memeriksa luka itu. Tapi dia tidak boleh melakukan itu. Tubuhnya sudah berjalan mondar-mandir cemas. Pendarahan yang tidak dihentikan akan berbahaya. Bagaimana ini.

Okey, I'm sorry. Serius ini bukan mau saya begini.

Kemudian dia merobek kaus Faya dengan gunting dan segera menutupi bagian tubuh Faya yang lain dengan selimut. Darah sudah merembes pada perban itu. Dia sedikit mengangkat tubuh atas Faya dan menyenderkannya di bantal. Posisi organ yang terluka harus lebih tinggi.

Faya what did you do? Shit.

Dia membebat ulang luka Faya tanpa melepas perban lamanya. Hanya berusaha menghentikan pendarahan. Pintu apartemen diketuk dan Aryan masuk.

"Saya lebih dekat posisinya dan dokter Reyn masih di jalan."

"Pendarahan. Jahitannya mungkin terbuka karena dia latihan fisik."

"Ampun deh ini cewek," Aryan langsung duduk dan memeriksa Faya.

Tidak lama dokter Reyn juga tiba. Tindakan di tempat langsung dilakukan karena Aryan sudah meminta dokter Reyn menyiapkan apa yang dibutuhkan. Dia menunggu cemas di luar kamar. Kemudian setelah beberapa saat ke dua dokter itu ke luar.

"Gimana Dok?"

"Jahitannya lepas sedikit karena memang belum kering benar. Faya terlalu semangat. Dia akan sedikit pusing ketika bangun nanti dan sakit," jawab dokter Reyn.

"Ini obat pereda nyeri. Diminum setelah makan. Dia harus bed rest atau nggak akan sembuh-sembuh." Aryan memberikan obat itu ke Hanif.

"Terimakasih Dok."

Kemudian kedua dokter itu pamit dan dia menatap Faya yang masih terbaring di tempat tidur. Wajahnya pucat dan rambut hitamnya tergerai begitu saja. Dia duduk di pinggir tempat tidur lalu mengusap wajah untuk menghilangkan rasa cemas. Matanya menatap gadis itu, gadis yang mulai meresahkan hatinya.

***

Matanya mengerjap perlahan dan dadanya terasa sakit. Yang dia ingat dia bangun pagi-pagi dan berusaha melakukan rutinitas harinya. Termasuk berolahraga karena tubuhnya terasa kaku sekali. Kemudian dia tidak ingat apapun lagi. Hidungnya membaui masakan dari arah luar. Apa Leo ke sini?

Dia berdiri dan berusaha berjalan ke luar. Kemudian melihat Leo tersenyum dari arah meja makan. "Heh cewek sembrono. Dasar nyusahin lo pake sakit segala."

Senyumnya terbit tapi matanya mencari. Apa benar tadi Leo yang menolongnya?

"Nyariin siapa?" tanya Leo yang sudah menghampiri dan merangkul tubuhnya perlahan. Membantunya berjalan.

"Nggak. Lo dari tadi?"

"Belum lama. Kata Bang Hanif tadi luka lo jahitannya terbuka lagi. Parah sih lo, udah tahu luka masih latihan. Terus dokter Reyn udah datang dan tanganin cepat." Leo mendudukannya pada salah satu kursi.

"Hanif kemana?" Dia meneguk air putih di dalam gelas.

"Balik ke sebelah pas gue dateng." Leo berjongkok dihadapannya. "Lo nggak apa-apa? Maaf baru bisa dateng."

"Gue? Apa-apa? Ya nggak lah. Inget, gue masih bos lo."

Leo tertawa kesal. "Ya Nyonya. Tapi serius gue khawatir. Muka lo pucet banget Fa." Kemudian tanpa aba-aba Leo memeluknya lembut. "Lo beneran nggak apa-apa kan?"

Dia tersenyum. "Iya, gue nggak apa-apa."

"Badan lo hangat. Lo nurut dulu deh kali ini sama dokter-dokter itu." Leo masih memeluknya. "Lo nggak boleh mati sebelum gue. Inget perjanjiannya."

"Enak aja," kekeh Faya.

"Bang Arsyad minta Max masuk ke tim kita untuk gantiin lo sementara. Tapi gue kangen kerja bareng lo lagi. Anak-anak juga pada nanyain."

Pintu itu terbuka dan Hanif berdiri di sana melihat semua. Bagaimana gadis itu duduk dengan wajah pucat dan senyum tipisnya dipeluk oleh Leo erat sekali. Refleks tangannya terkepal erat.

Leo langsung melepas pelukannya karena merasa canggung dengan keberadaan Hanif. "Sorry, Bang. Kita baru mau makan."

"Oh, ini tadi saya lupa kasih obatnya Faya." Hanif hanya meletakkan obat itu di meja ruang depan dan dia berbalik pergi.

Faya menatap Hanif bingung sendiri. Kenapa semua jadi canggung sekali begini. Tapi seluruh logika yang dia punya, menghentikan semua hal yang ingin dia lakukan. Jadi dia duduk diam menatap laki-laki itu pergi.

***

Susah payah dia mengalihkan pikirannya dari pemandangan Faya dan Leo beberapa hari lalu. Atau untuk menahan dirinya sendiri untuk tidak memaki. Jadi dia memutuskan untuk tidak menemui Faya dulu sekalipun satu-dua kali mengecek Faya dari CCTV. Juga memutuskan untuk bekerja dari kantornya saja daripada dari apartemen yang dia tahu Leo dan Faya sedang berada bersama persis di sebelahnya.

Tubuhnya sedang duduk di kursi kerja dan baru saja menyelesaikan salah satu pertemuan kemudian dia menghubungi Arsyad. "Assalamualaikum Bang."

"Wa'alaikum salam. Ada apa?"

"Jadi gimana? Sudah dapat info soal kapal itu."

"Gue lagi ngikutin salah satu anak buahnya Wongso yang kita curigain." Arsyad diam sejenak. "Mareno bikin ulah lagi."

"Apa?"

"Dia bilang sama Mama kalau dia mau ngelamar Antania."

"What?" Tubuh Hanif sudah berdiri. Oke, adiknya yang satu ini memang unik sekali. Tapi melamar wanita untuk jadi istrinya? Mareno sudah keterlaluan kali ini.

"Gue nggak bisa biarin Mareno bertindak sembarangan lagi, Nif," ujar Arsyad sambil menahan geramannya.

"Jangan emosi Bang."

Arsyad sudah menghembuskan nafas kesal. "Kita ketemu di safe house malam ini. Panggil Sabiya. Siapa tahu Mareno dengerin dia kalau nggak dengerin kita."

"Gue telpon Mama dan Sabiya."

"Mama happy-happy aja. Tapi kita tahu Mareno kan. Kita harus hentikan dia dari main-mainnya dengan perempuan. Perempuan siapapun dan manapun sekarang. Sudah saatnya dia berhenti atau semua hal itu bisa buat dia celaka nanti. Bantu gue Nif. Lo yang paling bisa diajak bicara waras."

"Ya. Sampai ketemu nanti Bang."

Malamnya

Dia sudah kembali ke apartemen sewaan setelah pulang dari safe house. Pikirannya melayang pada kenyataan tentang adiknya yang sudah benar-benar jatuh cinta. Mareno tidak pernah serius soal wanita, semua hanya permainan dan bersenang-senang. Tapi kemudian dia bertemu seseorang dan entah bagaimana bisa jatuh cinta. Lalu bagaimana dengan dia sendiri?

Saat ini dia mulai memikirkan Fayadisa, dia paham benar perihal itu. Gadis yang dulu ditemukan oleh Arsyad dan dibawa ke dalam pusaran mereka. Fayadisa bukan seseorang yang baru, tapi entah kenapa dia merasakan sesuatu yang baru. Dia bukan laki-laki yang awam dengan perasaan jenis itu. Sekalipun saat ini dia masih bingung sendiri dengan apa yang dia rasakan atau yang dia mau. Dulu, saat dia pertama jatuh cinta dengan Dara, dia pun berusaha meyakinkan dirinya sendiri bahwa dia tidak salah mengira jenis perasaannya ini. Sekarang dia juga ingin melakukan hal yang sama. Menelaah, mencerna.

Matanya terpejam dan kepalanya bersandar pada sofa. Mulai bertanya kenapa bisa? Fayadisa? Benarkah dia? Sejak kapan? Biasanya dia sangat suka wanita lembut yang keibuan, bukan The Lioness seperti itu. Gadis yang kemampuan bertempurnya sedikit di bawah abangnya. Bibirnya tersenyum dan terkekeh sendiri. Mungkin ini hanya sementara, mungkin dia salah sangka, mungkin dia harus menjauh. Karena melibatkan diri pada seseorang di saat seperti ini bukanlah pilihan bijaksana. Sebelum selesai dengan pikiran-pikirannya, pintu apartemen diketuk. Dia berdiri dan membuka pintu kemudian melihat sosok gadis itu.

"Hai," Faya tersenyum tipis dan canggung.

Gadis itu mengenakan kemeja abu-abu lengan pendek kebesaran dan celana pendek sport hitam. Satu tangan Faya sudah tidak dibebat ke pundak tapi Hanif masih bisa melihat perban melingkar di dada karena kancing kemeja yang terbuka beberapa. Rambutnya yang terakhir Hanif lihat tergerai, sudah dikepang tinggi seperti biasa.

"Oh, ada apa? Kamu baik-baik?" tanyanya.

"Iya, gue baik. Cuma ada sedikit kesulitan."

"Ada apa?"

"Ini konyol, tapi apa lo punya shampo?"

"Shampo?"

"Iya, gue mau keramas dan gue lupa tempat gue kan jarang ditinggalin jadi ya nggak ada. Ini udah malem gue nggak bisa beli ke bawah. Udah seminggu gue nggak bisa keramas, jadi apa lo punya?" Faya meringis aneh.

Ekspresi Faya yang aneh dan serba salah membuat dia tertawa. "Ada, mau masuk?"

Faya melangkah masuk dan berdiri di ruang tengah sementara Hanif mengambil apa yang Faya minta.

"Emangnya Leo kemana?" Dia bertanya pertanyaan yang tidak dia suka.

"Ada kerjaan dari empat hari lalu."

'Empat hari? Berarti waktu terakhir dia kesal dan bertemu mereka, Leo langsung pergi lagi?' gumam Hanif.

Dia sudah menggenggam shampoo itu kemudian berujar lagi. "Kamu belum boleh mandi karena luka itu. Jadi nggak bisa keramas."

"Please, ini serius gatel banget."

"Kamu olahraga lagi?"

"Sedikit dan nggak bahaya. Serius cuma stretching kaki dan nggak melibatkan area atas badan gue."

"Tapi luka kamu belum boleh kena air. Ke salon aja."

"What? Nggak mau."

Hanif mengerti kemudian tertawa. "Gini deh, saya bantuin. Jangan punya pikiran aneh-aneh ya."

"Hah? Gimana maksudnya?"

"Sini cepetan." Hanif sudah mengambil satu bantal panjang besar dari kamarnya juga handuk bersih.

Faya diam saja memperhatikan sampai Hanif menarik lengannya ke arah kamar mandi dengan bathtub.

"Duduk di dalam bathtub dan bersender ke bantal."

"Lo jadi repot, gue bisa kok," Faya berusaha menutupi kegugupan yang datang tiba-tiba.

"Udah cepetan." Hanif mendorong tubuh Faya ke bathtub sedikit memaksa.

Dengan kikuk Faya duduk di dalam bathtub bersandar canggung ke bantal besar itu. Sementara Hanif menyampirkan handuk putih panjang mengelilingi pundak Faya dan membuka kepangan rambutnya perlahan.

"Serius ini aneh banget," ujar Faya gugup.

Hanif tertawa. "Kalau Sabiya lagi sakit atau lagi kumat manjanya, dia pasti minta begini."

Faya menelan salivanya susah payah. Hanif dan Sabiya. Siapa yang tidak tahu soal itu. Entah kenapa tiba-tiba dia merasa sedikit sesak.

"Kenapa nggak nikah sama Biya aja?"

"Sabiya itu adik kecil yang manis, bukan calon istri." Hanif diam sesaat. "Kamu sendiri kenapa nggak bareng Leo aja?"

Faya tersenyum kecil. "Gue dan Leo nggak kayak begitu. Jenis hubungan kita beda."

"Tinggal bareng, peluk-pelukan, terus sekarang kamu pakai kemejanya, kamu cocok sama dia." Dia berusaha menyembunyikan kesalnya sendiri.

"Lo juga cocok sama Biya."

Hanif diam lagi, tangannya masih terus membasahi rambut hitam Faya dan membersihkannya dengan shampo. Mata Faya terpejam, tangannya menggenggam handuk di tengah dada. Sementara Hanif menikmati apa yang sedang dia lakukan, menyentuh rambut Faya dan melihat wajahnya.

Mereka memang tidak saling bicara, karena mereka sedang berusaha meredam apa yang mereka rasa di dalam dada. Karena masih tidak mengerti, karena masih mencoba mencari penjelasan masuk akal dari apa yang sedang terjadi.

Kemudian setelah selesai, Hanif mengeringkan rambut Faya dengan handuk. Faya bangkit berdiri dan melangkahkan kaki keluar bathtub. Karena kurang hati-hati, dia terpeleset dan tangan Hanif menangkapnya.

"Ceroboh bukan salah satu keahlian, Komandan," Hanif tersenyum meledeknya.

Dia segera melepaskan diri dan berjalan ke arah pintu. Kemudian tubuhnya berbalik menatap sosok Hanif dengan kemeja putih yang lengannya sudah digulung dan basah. Belum lagi senyum dan warna mata laki-laki itu. Ini salah Faya, sangat salah.

"Terimakasih Hanif." Kemudian dia berlalu pergi.

Yang dia tidak tahu, ketika dia menutup pintu apartemennya sendiri dan masih berdiri mengatur nafas. Hanif berada di luar pintu apartemennya, ragu-ragu ingin mengetuk pintu lalu mengurungkan niatnya.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro