Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

1. Premonition

Dulu

Mereka berada di dalam hutan, bersama seperti biasa. Setiap liburan sekolah mereka akan pergi ke camp pelatihan. Tugas kali ini istimewa karena Bang Ronald pelatih mereka mendapatkan area baru untuk dijelajahi. Jadi, mereka akan diminta untuk mencari petunjuk-petunjuk di hutan yang disebar oleh Ronald sebagai persiapan tugas baru beberapa hari mendatang.

Awalnya mereka berempat akan selalu terpisah. Setelah selesai mendapatkan petunjuk yang dimaksud, mereka akan saling mencari dan setelah itu menunggu di titik penjemputan untuk dijemput kembali ke camp. Terkadang misi seperti ini makan waktu satu setengah minggu karena sulitnya medan atau karena mereka yang tidak mau kembali ke camp, terlalu betah di hutan berlama-lama. Apalagi dirinya sendiri. Dia mencintai hutan, dia selalu merasa tempat ini nyaman sekali. Tapi ini medan baru, jadi biasanya mereka akan berusaha lebih cepat dan tepat waktu.

Hari mulai gelap, tapi entah kenapa dia tidak bisa melihat Mahendra. Dimana adiknya itu? Dia berjalan menuju tenda-tenda yang mereka sudah pasang tadi. Mahendra tetap tidak ada di sana. Kemudian dadanya mulai bertalu-talu. Pertanda akan ada sesuatu yang buruk terjadi. Mareno dan Arsyad masih menyiapkan api karena sebentar lagi gelap.

Kemudian dia nekat melangkah mencari Mahendra sambil sedikit berteriak. "Heeen, Maheeen."

Tubuhnya makin masuk ke dalam hutan. Entah kenapa hutan itu terang, lebih terang dari seharusnya. Kemudian dia mendengar Mahendra tertawa gembira. Dia berlari ke asal suara. Mahendra berada di tepian sungai, hujan-hujanan. Lalu dia memegang bajunya sendiri yang kering, tidak basah sama sekali. Kepalanya mendongak menatap langit kemudian tubuhnya di guncang keras.

"Nif, bangun Nif," tangan Arsyad mengguncangnya lagi.

Dia bangun dengan nafas tersengal.

"Lo kenapa?" wajah Arsyad khawatir sekali.

Mereka berdua berada di dalam tenda.

"Mahen...Bang. Mahen."

Dahi Arsyad mengernyit dalam. Arsyad paham benar firasat Hanif jarang sekali salah, sama sekali hampir tidak pernah. Apalagi jika Hanif sampai mengigau begitu. Dia paham benar besar kemungkinan ada sesuatu yang buruk akan terjadi nanti. Tubuhnya sudah ke luar tenda, dia harus segera menemukan adiknya itu.

Mereka bertiga berkumpul di dekat api unggun sambil menatap peta di tanah. Arsyad, Hanif dan Mareno memang lebih dulu menemukan petunjuk yang disebar oleh Ronald, jadi mereka sudah berkumpul di titik temu. Biasanya Hanif yang paling belakang karena dia masih ingin berlama-lama di hutan. Tapi kali ini entah bagaimana Hanif malah jadi yang pertama yang menyelesaikan tugas mereka itu. Sementara Mahendra yang belum kembali.

"Lo yakin banget Nif?" Mareno menatapnya.

"Seyakin waktu gue punya firasat Mama kenapa-kenapa."

Mareno mengangguk mengerti. Ya, dulu Hanif berulang kali mimpi tentang mama mereka. Dan benar saja, mobil Mama kecelakaan karena supir keluarganya mengantuk. Untung mama tidak apa-apa. Matanya menatap Arsyad.

"Gimana Bang?"

"Kita baru bisa jalan pagi. Tanpa alat bantu mustahil cari Mahen gelap begini. Gue jalan ke sini dan kalian cek ke titik ini. Bang Ronald pernah drop kita di dua titik itu sebelum pisah kan?" Arsyad menunjuk titik pada peta.

Hanif memandangi peta itu. Kepalanya menggeleng perlahan.

"Bagi tiga, gue mau cek ini." Tangannya menunjuk titik dekat dengan pinggiran sungai. Ya, dia melihat sungai pada mimpinya.

Arsyad menatapnya lalu mengangguk setuju. "Reno, jangan main-main. Kalau firasat Hanif benar Mahen benar-benar butuh kita. Segera kumpul begitu salah satu suar menyala."

"Ya elah Bang, belom apa-apa udah nggak percaya sama gue. Nyebelin lo."

"Gue cek radio darurat dulu dan kalian cek pistol suar kalian. Pastikan berfungsi. Siapapun yang ketemu Mahendra duluan, nyalakan suarnya. Kita istirahat dulu malam ini dan bergerak pagi-pagi. Kalau sampai jam 3 sore Mahen belum ketemu, kita kumpul di titik ini, gue akan panggil Bang Ronald."

Mereka mengangguk dan kembali ke tenda. Arsyad tidur sendiri, sementara Hanif dan Mareno tidur dalam satu tenda. Mata Hanif masih menyala sementara Mareno juga masih membolak-balik tubuhnya.

"Lo belum tidur?" tanya Mareno.

Hanif tidak menjawab. Dia selalu ketakutan tidur jika sudah mengalami mimpi buruk. Karena biasanya mimpi selanjutnya lebih buruk. Persis seperti ketika mamanya celaka dulu. Dia mimpi berulang kali tapi juga tidak kuasa menghentikan hal buruk itu terjadi. Kemudian dia menangis ketika mendapat kabar mamanya masuk ke rumah sakit karena kecelakaan mobil. Dia menyalahkan dirinya sendiri berhari-hari sampai Arsyad menenangkannya.

"Lo sendiri belum tidur."

Mareno tersenyum konyol. "Lagi mikirin enaknya abis selesai camp gue jalan bareng Sharon atau Dinar ya?"

Hanif mendengkus kesal. Pikiran Mareno tidak pernah jauh dari soal wanita. Adiknya itu brengsek sekali.

"Dasar gila. Ngapain sih rebutan cewek sama Tommy? Nggak ngerti gue." Satu tangan sudah mengganjal kepalanya.

"Gue nggak pernah rebutan siapapun, enak aja. Stock cewek gue banyak. Tapi Sharon itu bukan tipe yang gampang ditolak. Dia itu nyaris sempurna."

"Nyaris?" tanyanya heran pada Mareno.

"Iya nyaris. Karena, gue ketemu cewek yang harumnya sempurna. Benar-benar sangat sempurna. Sharon dan Dinar nggak punya wangi itu."

"Siapa?"

"Nah, itu yang gue belum tahu. Bantuin gue cari tahu dong. Dia satu sekolah sama kita, yakin banget gue. Kadang gue bisa baui jejak harumnya, tapi dia kayak hantu. Tiap gue cari nggak ketemu. Siapa tahu dia itu cewek aneh yang kepinteran kayak temen-temen lo dan Mahen."

"Ogah."

"Please Bang, bantuin gue cari cewek ini."

"Bang? Dasar adek kampret, manggil gue Abang kalau ada maunya doang. Tidur sana cepetan."

"Nggak asik lo, Bang."

Mareno membalik tubuhnya membelakangi dia yang masih terlentang. Kemudian nafas teratur adiknya itu sudah bisa terdengar. Matanya sendiri mulai terpejam perlahan. Lalu, mimpi itu datang lagi.

***

Arsyad bangun pagi-pagi sekali, seperti biasa. Kemudian dia membereskan tenda dan membangunkan adiknya. Mareno ke luar dengan wajah heran.

"Bang, Hanif kemana?"

"Dia nggak ada?"

"Nggak ada tuh."

Kepala Arsyad menggeleng keras. Tebakannya, firasat Hanif makin kuat hingga adiknya itu pergi lebih pagi dari seharusnya.

"Beresin tenda dan bawa. Kita jalan abis solat. Solat dulu sana."

Mareno tersenyum konyol tidak menjawab dan Arsyad langsung tahu adiknya yang satu ini pasti tidak akan solat.

"Ren, kalau kita kenapa-kenapa biar ada bekalnya di sana."

"Bekal gue masih banyak di tas." Mareno masuk ke tenda lagi bersiap-siap, meninggalkan Arsyad yang menggelengkan kepalanya keras.

***

Dia sudah tiba di pinggiran sungai yang mengarah ke sebuah danau. Matanya mencoba melihat jejak asap di udara. Kakinya terus melangkah lebih cepat seolah tahu keberadaan Mahendra. Sambil berjalan dia memeriksa ke sekeliling sungai. Kakinya berhenti sejenak memandang sungai yang airnya tenang itu.

Matahari pagi mulai muncul, matanya memincing sesaat berusaha memastikan binatang apa yang dia lihat. Sesuatu seperti batang pohon besar yang timbul tenggelam, kemudian kakinya sudah berlari menyusuri sungai untuk mencapai danau. Mulutnya bersiul kencang, nada siulan mereka. Jika Mahendra dekat adiknya itu akan membalas. Dia berlari lebih cepat lagi. Bayangan dalam pikirannya sudah berganti pada mimpi semalam. Darah, dia melihat darah.

Kemudian langkahnya berhenti berusaha mendengar lagi. Siulan itu terdengar. Mahen berada di dekat danau. Matanya bisa melihat asap api unggun yang Mahendra matikan. Dia mengambil pistol suar dalam tasnya kemudian berlari lebih kencang daripada sebelumnya.

'Jangan pergi ke danau Hen. Jangan.' Doanya dalam hati.

Mahendra berdiri di tepian danau sambil masih bersiul, juga seolah berusaha mencari asal siulan kakaknya.

"Heeeen...." Hanif melihat Mahendra yang membuka kausnya. Anak itu ingin berenang. "Mahendraa stoop. Jauhi danaunya!" teriaknya sekeras yang dia bisa.

Dia tidak perduli pada kakinya yang tergores oleh ranting-ranting yang dia lewati. Pistol suar itu sudah dia ledakkan satu kali. Dia masih berlari.

"Niiif, airnya segar." Dia bisa melihat Mahendra tertawa dari jauh.

'Lebih cepat Nif, lebih cepat.' Kakinya memacu lagi. Suar dia tembakkan dua kali.

Matanya masih menatap ke arah sungai. Dia berpacu kencang karena tahu binatang apa itu. Entah ada berapa banyak, dia hanya berharap hanya ada satu.

"Mahendra stoop," dia masih berteriak memperingatkan Mahendra.

Tubuh Mahendra sudah terjun ke dalam danau. Dia melihat Arsyad dan Mareno dari arah berlawanan.

"Bang, Mahen Bang. Buaya di danau."

Arsyad berlari di depan lebih cepat, Mareno mengambil tali dari dalam tasnya. Mereka sudah tiba di pinggir danau dan segera menanggalkan ransel mereka.

"Sangkutin tali ke dahan pohon itu." Arsyad menunjuk salah satu dahan pohon besar di pinggir danau."

"Kalian kenapa sih? Ini airnya segar banget," tubuh Mahendra berada di tengah danau.

"Mahen, stop. Berenang pelan-pelan ke pinggir." Hanif mengernyit dahinya dengan wajah yang pucat.

"Kenapa?" tanya Mahen.

"Buaya bego, cepetan ke sini." Mareno sudah berteriak panik dari pinggir danau setelah menyangkutkan tali ke dahan seperti perintah Arsyad.

Mahendra yang panik langsung berenang mendekat. Arsyad sudah melemparkan ujung simpul tali ke tengah danau agar mereka bisa menarik Mahen ke pinggir. Dia dan Mareno sudah siap menarik tali itu. Tapi sebelum Mahendra bisa menggapai simpulnya, tubuhnya di tarik paksa ke dalam sungai oleh binatang itu.

"Bang!!" Suara Mahendra tenggelam di dalam air.

Hanif sudah bersiap-siap terjun lalu Arsyad menarik tubuhnya.

"Diam di situ. Inget janji lo!" ujar Arsyad keras padanya.

Arsyad mengeluarkan pisaunya dan langsung terjun ke sungai menolong adiknya. Dia tidak pernah berhadapan dengan buaya dewasa. Tapi dia sanggup menghadapi apapun demi keluarganya.

"Serang matanya, Bang. Cungkil katup di bawah lidahnya kalau Mahen tersangkut di mulutnya." Hanif sudah berada di pinggir sungai.

"Reno, hubungi Bang Ronald." Teriak Hanif pada Mareno.

Mata Hanif melihat pemandangan ngeri itu sambil mengecek perimeter yang ada. Harusnya cuma satu. Mahendra sedang berjuang untuk bertahan sementara tubuh Arsyad sudah tenggelam ke dalam. Darah sudah menyebar pada air di sungai.

"Ayo Bang...ya Tuhan." Dia bisa mendengar Mareno menembakkan suar dan berbicara melalui radio darurat. "Tahan nafas kalian, ayo." Dia masih berbicara untuk menenangkan dirinya sendiri dari pinggir danau.

Kemudian tubuh Mahendra muncul dengan kaki yang berdarah.

"Pegang simpulnya Hen." Dia dan Mareno menarik tali itu kuat-kuat paham benar kaki Mahendra yang terluka membuat adiknya itu tidak bisa berenang.

Tubuh Mahendra sudah di pinggir dan ditarik Mareno menjauh dari air. Arsyad masih berada di bawah air. Kemudian Mareno ingin terjun menyusul.

"Jangan Ren, Abang bisa. Abang pasti bisa."

"Gue nggak mau resiko." Mareno sudah bersiap-siap.

"Gue disumpah buat melarang kita semua untuk menolong dia."

"Sumpah bego macam mana itu? Dasar gila!" Mareno berteriak marah.

Tubuh Mareno yang sudah ingin terjun berhenti ketika melihat. Arsyad yang berenang cepat ke arah pinggir sungai.

"Ambil talinya Bang. Kita tarik."

Mereka menarik tubuh Arsyad cepat ke pinggir, kemudian berlari menjauh bersama-sama menghindari area danau itu. Mareno menggendong Mahendra, sementara dia sendiri memapah Arsyad yang tangannya terluka.

Mereka sudah berada di dalam hutan dan meninggalkan semua ransel dan perlengkapan mereka di pinggir sungai. Nafas mereka tersengal. Kemudian mereka duduk di tanah basah kelelahan. Mahendra berbaring dengan kaki yang terluka dan masih mengeluarkan darah.

Dia melepas bajunya dan merobeknya menjadi dua. Mengikat kuat tangan Arsyad untuk menghentikan pendarahannya. Kemudian memberikan sisa bajunya pada Mareno yang melakukan hal yang sama pada kaki Mahendra.

"Dasar begoooo begooo. Lo pilih tempat berenang yang bener dong," ujar Mareno kesal sambil menatap adiknya.

Mahendra malah tertawa. Ya, dia tertawa.

"Dasar orang gila, mau mati bisa ketawa." Mareno memaki lagi.

Kali ini dia setuju dengan Mareno. Lalu Arsyad juga tertawa.

"Ini bukan situasi yang tepat buat ketawa kan?" Hanif mengernyit tidak mengerti.

"Dan gue nggak suka Bang, lo bikin Hanif sumpah buat nggak nolongin elo. Apa-apaan tuh?" protes Mareno masih marah.

Arsyad diam sejenak masih tersenyum. Kemudian dia menghela nafasnya panjang.

"Kalau gue nggak bisa atasin, berarti kalian juga nggak bisa. Gue nggak mau sombong, tapi itu yang buat gue selalu berusaha lebih bisa dari kalian soal semua hal." Mata Arsyad sudah kembali menatap adik-adiknya.

"Kalau kalian tadi tolong gue dan kalian celaka, gue juga celaka, makin banyak korban dan itu tidak menyelesaikan apapun. Kalian bertiga digabung, itu jauh lebih kuat dari siapapun dan apapun, bahkan dari gue. Kita nggak bisa jalan sendiri-sendiri, gue paham. Tapi ada saatnya nanti, kalian harus jalan sendiri tanpa gue."

Kemudian Arsyad melanjutkan. "Jadi, kalau gue kenapa-kenapa. Kalian harus hidup, jangan tolong gue. Hidup itu maju jadi jalan terus aja. Jaga keluarga kita. Jadilah lebih kuat tanpa gue."

"Gue tetep nggak setuju," Mareno menggeleng keras.

"Gue nggak minta persetujuan lo. Mati itu bukan yang terburuk Ren," ujar Arsyad.

Hanif diam sejenak sebelum melanjutkan. "Iya, bukan mati yang kita takut. Tapi kehilangan dan kesendirian Bang."

"Kita nggak akan sendiri. Asal kalian janji untuk saling jaga, dengan gue atau tanpa gue. Oke?"

Nafas Mahendra sudah lebih teratur, kakinya berdenyut nyeri. Ketika abangnya bicara serius begini, hatinya juga juga terasa berat.

"Kenapa lo? Sakit kanker mau mati besok?" Mareno mendengkus kesal.

Arsyad mendengkus juga sambil terkekeh kering. "Keluarga itu, segalanya."

Kemudian suara-suara tim pencari sudah terdengar mendekati mereka. Arsyad sudah berdiri dan menarik tubuh Hanif untuk berdiri dengan satu tangan. Paham benar sebentar lagi mereka akan ditemukan dan mereka memang membutuhkan bantuan.

"Thanks, tadi gue cungkil katup di bawah lidah itu atas saran lo biar kaki Mahendra lepas. Tapi gantian tangan gue digigit. Jadi gue terpaksa tusuk matanya. Untung bisa lepas." Arsyad tersenyum padanya.

Kemudian dia memeluk tubuh abangnya. Sosok yang dia hormati dan kagumi. Apa jadinya mereka tanpa sosok ini.

"Gue nggak akan bisa tepati janji lagi, Bang. Sorry. Mau mati rasanya lihat lo kayak tadi. Gue akan tolong lo lain kali."

Arsyad terkekeh saja sambil mengangguk dan menepuk pundaknya.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro