Only Friends : Chapter 4
Ice terbangun di pagi hari, dengan kepala sakit luar biasa seakan baru saja dipukul dengan balok kayu.
Ia tahu, sepertinya ia minum terlalu banyak kemarin sehingga ia tak ingat apa apa setelah dari bar. Yang ia tahu, ia menyaksikan sahabat terbaiknya pulang bersama lelaki brengsek itu dan ia sudah bisa menebak apa yang akan mereka lakukan.
Mengingat hal itu membuat kepalanya semakin nyeri. Ia lantas mengangkat tubuhnya bangun dan mengerjapkan matanya berkali kali.
Sebuah pemandangan yang asing muncul saat pandangannya sudah sepenuhnya pulih. Kamar bernuansa biru gelap dengan nuansa musik rock. Ini bukanlah kamarnya. Kamar ini bahkan lebih kecil daripada kamar mandi dirumahnya.
Ia lalu sadar bahwa pakaian bermerk yang dikenakannya sudah berubah menjadi sepasang kaos oblong dan celana pendek. Disaat itulah ia langsung berdiri, pandangannya mengarah ke setiap sudut ruangan.
Ditengah rasa herannya itu, seorang laki-laki keluar dari kamar mandi hanya dengan berbalutkan sepasang boxer hitam dan handuk melingkar di handuknya. Ice berbalik dan keduanya saling bertukar pandang sesaat.
"Hey tukang mabuk, kau sudah bangun? kupikir kau akan tidur selamanya" Blaze membuka pembicaraan dengan sebuah sindiran.
Ice merotasikan bola matanya, ia lalu menatap Blaze dengan tatapan aneh.
"Kau... kalau tidak salah, kamu itu.. penyanyi di bar kak Sunny.. namamu...Blaze, kan?"
Blaze mengangguk kecil "Kau tau, kau benar-benar merepotkanku semalam. Tak kusangka tubuh kecilmu itu ternyata berat banget! Bisa gak sih kamu kalau mau mabuk, jangan ngerepotin orang? Kasian tuh temen-temenmu yang seringkali kerepotan juga sama tingkahmu!" kesalnya.
"Aih..berisik banget sih, kau kayak mamaku aja" Ice berkata seraya menyumbat telinganya dengan telunjuknya.
Tingkah Ice membuat Blaze semakin kesal dibuatnya. Ia akhirnya memilih untuk membiarkan anak itu dan berlalu untuk mengambil pakaian ganti.
Sementara itu, Ice memperhatikan tubuh dan postur tubuh Blaze dari atas ke bawah saat sang empu mengenakan kaos hitamnya. Ia menyeringai tipis.
"Hey, apa kita berhubungan seks semalam?"
Pertanyaan spontan Ice langsung menghentikan aktivitas Blaze saat itu. Blaze menatap Ice seakan tak percaya, sedangkan Ice hanya senyam senyum nakal seraya berjalan mendekat ke arah Blaze.
"Kau menaruh obat tidur di minumanku ya? Ternyata penyanyi ini nakal juga.." kekeh Ice.
"Kau tau? Lain kali kau tak perlu begitu. Kalau kau suka padaku, dekati saja aku dan bicara baik baik. Kalau dilihat lihat kau ganteng juga ya.."
Blaze langsung menepis tangan Ice yang berusaha menyentuhnya.
"Kau gila ya?? Kau pikir aku menginginkanmu?? Aku lebih baik menolong anjing daripada menolongmu!"
"O-ho?? Siapa juga yang nyuruh kamu buat nolongin aku, huh?? Aku ga butuh bantuanmu, tau!" ujar Ice, kedua matanya terus menatapi tubuh lelaki di depannya itu.
"Terus kemana baju-bajuku?? dompetku?? jam ku?? Hey! Kau kriminal ya?? itu semua barang mahal!" cetus Ice.
"Kau gak ada rasa terima kasihnya sama sekali ya? Dasar pemabuk gak tau diri!" kesal Blaze, ia mengambil barang-barang Ice termasuk baju , sepatu dan semua aksesorinya itu lalu melemparkan barang-barang itu pada Ice "Bawa baju-bajumu dan pergilah dari kamarku"
"Mana kunci mobilku???" Ice langsung bertanya ketus, dan Blaze yang ikut kesal pun langsung mengambil kunci mobil Ice dari meja kecilnya dan melemparkannya pada Ice.
"pergi kau dari sini, dasar beban masyarakat!" ujar Blaze, mengarahkan telunjuknya pada pintu keluar.
Sedangkan Ice bersungut sungut, menggaruk kepalanya yang tak gatal sambil bertanya tanya jika ada yang salah dengan pria itu hingga memarahinya sampai segitunya, ia pun beranjak pergi dari sana.
****
Gempa mampir ke toko ponsel yang didatanginya tempo hari sepulangnya dari kampus.
Semalam, Taufan menghubunginya dan mengatakan bahwa ponselnya sudah siap untuk diambil. Karena itulah ia menyempatkan diri untuk mampir, walaupun hari sudah cukup sore dan ia menduga bahwa toko itu mungkin sudah tutup.
Namun beruntungnya ia, penerangan dari toko itu masih menyala walaupun waktu sudah menunjukan pukul lima sore. Saat ia hendak masuk, ia bertemu pandang dengan lelaki muda nan familiar yang pernah ditemuinya itu, hendak mengunci pintu dan telah membalik signboard "buka" menjadi "tutup" . Rupanya toko sudah hendak tutup dan Gempa datang tepat pada waktunya.
"Apakah aku terlambat, manis?" tanya Gempa dengan nada menggoda.
Taufan merotasikan bola matanya "aku menunggumu lama sekali! Kau tidak bilang kalau akan datang sesore ini" ujarnya.
"Oh?" Gempa menaikan sebelah alisnya, sudut bibirnya terangkat "apa kau menunggu balasan pesan dariku?"
"apa sih- pede banget!" geramnya. Alih-alih menyeramkan, wajah ngambeknya itu terlihat sangat menggemaskan. Gempa mengikuti lelaki muda itu berjalan menuju counter, dan disana Taufan menyerahkan ponsel Gempa yang telah diperbaiki.
"Aku sudah memperbaiki LCD nya, seharusnya sekarang sudah berfungsi dengan baik" jelas Taufan.
Gempa mengangguk angguk puas seraya mengecek keadaan ponsel pintarnya itu. Lalu ia kembali bertanya "berapa yang harus kubayar?"
"200 ringgit, harga diskon" jawab Taufan.
Seringai Gempa mulai muncul saat mendengar ucapan lelaki muda itu "boleh kutahu, kenapa aku mendapatkan harga diskon itu?"
Taufan jadi salah tingkah. Terlihat dari netra biru nya yang melirik kesana kemari dan menghindari tatapan Gempa, namun kemudian ia menyodorkan papan berisi Qris di depannya pada Gempa.
"j-jangan banyak bicara, sudah bayar saja sesuai yang kusebutkan.." gagap Taufan, dan Gempa pun tersenyum seraya geleng geleng kepala, lalu ia membayarkan sejumlah yang disebutkan Taufan tadi.
"Sudah ya, sudah kubayarkan" ucap Gempa.
Saat Gempa hendak pergi , Taufan tiba-tiba menahan lengannya. Rasanya seperti deja vu, persis seperti saat mereka bertemu beberapa hari yang lalu.
"Sebentar, apakah aku boleh melihat bukti pembayarannya?"
"Oh? Kenapa? Kau meragukanku ya?"
Taufan melepaskan lengan Gempa "bukan begitu.. tapi akhir-akhir ini banyak orang yang menipu dan berpura-pura membayar. Aku hanya memastikan.." ucapnya.
Gempa menggelengkan kepalanya seraya tersenyum tipis, ia akhirnya menscreenshot bukti pembayarannya untuk diperlihatkan pada lelaki manis itu. Saat ia membuka galerinya untuk mencari bukti bayar itu, ia dikejutkan dengan sebuah gambar asing yang ada di galerinya.
Jarinya ragu-ragu menggeser, dan nampaklah di layar ponselnya foto Taufan yang berselfie setengah telanjang , dengan tubuh kurusnya yang dihiasi otot itu. Ia tersenyum nakal menatap ke arah kamera.
Seringai di bibir Gempa melebar, ia melirik pada sosok manis di depannya lalu mematikan ponselnya. Ia lalu menunjukan layar gelap itu pada Taufan.
"Sepertinya handphone ku masih rusak, kau harus memperbaikinya" ujar Gempa.
Taufan menjilat bibirnya, ia lalu menunjukan tatapan nakalnya pada Gempa "kalau begitu... aku bisa memperbaikinya"
Lelaki bernetra biru itu menarik pergelangan tangan Gempa , membawanya ke sebuah sudut rak yang sepi. Ia mendorong tubuh Gempa yang sedikit lebih tinggi darinya itu agar menyender di tembok, dan tanpa ragu ia langsung menyambar bibir pria didepannya itu dalam sebuah ciuman kasar.
Gempa yang sudah mengetahui kemana arahnya itu pun tak segan membalas ciuman Taufan. Ia membalik posisi mereka, dan memojokan tubuh kurus Taufan itu dalam kungkungannya. Ia mencium Taufan penuh nafsu, melahap bibir masing-masing dengan tidak sabarnya.
Saat Taufan melingkarkan kedua lengannya pada leher sang dominan, Gempa turut meraba raba dan tangannya masuk ke dalam kemeja tipis Taufan. Sesekali Taufan mendesah lembut di sela sela ciuman itu sebagai respon dari jari Gempa yang mulai menggoda kedua puting kecil dari sang submissive.
Seperti dugaan Gempa, suara desahan dari lelaki imut ini begitu indah dan membuatnya ikut terangsang. Padahal baru berciuman, tapi wajahnya sudah memerah seperti kepiting rebus. Ia benar-benar bertingkah seperti seseorang yang baru pertama kali melakukannya dengan pacarnya.
Karena itulah, ia memutus sejenak cumbuan mereka, lalu mematikan saklar lampu yang berada di sebelah kepala Taufan hingga semua lampu toko meredup dan ia pun melanjutkan kegiatan tertundanya itu.
***
"Entah kenapa aku penasaran.."
Aku mengangkat kepalaku dan menatap Solar "penasaran soal..?"
Solar menatapku dengan lengan terlipat di dada dan punggungnya bersandar pada rak buku di belakangnya "aku memang baru mengenalmu, tapi kenapa kamu suka sekali membaca buku?"
Aku berpikir sejenak, lalu menjawab.
"Saat aku membaca buku, aku merasa bisa melihat dunia dengan lebih luas.." ujarku.
"Aku bisa merasakan pergi ke tempat tempat yang belum pernah kudatangi sebelumnya, aku bisa mengalami banyak hal yang belum pernah kualami.. aku bisa merasa dicintai dan mencintai, dan aku bisa merasakan rasa sakit dari jatuh cinta tanpa harus merasakannya sendiri... buku mengarahkan langkahku" lanjutku.
Solar menyimak lalu mengangguk angguk, ia tersenyum teduh terhadapku.
"Aku masih berpikir... bagaimana bisa orang se-menarik dan se-imut dirimu belum punya pacar. Apakah ada orang yang pernah mendekatimu?" tanyanya.
"Ada.. beberapa orang mendekatiku" jawabku "Tapi mereka tak berbeda denganmu, mereka mendekatiku hanya untuk meniduriku , dan setelah itu mereka pergi.. mungkin sejauh ini aku belum menemukan seseorang dengan chemistry yang baik denganku"
"Hmm.. tapi gimana kamu bisa tau kalo orang itu punya chemistry yang baik denganmu atau nggak? Kau harus bertemu dan berbicara dengannya kan? Bukumu tak bisa memberitahumu itu, Hali.." tutur Solar seraya mengambil buku di tanganku dan menutupnya.
Aku tersenyum meresponnya, lalu mengambil kembali bukuku di tangannya "aku tau kok. Aku punya firasat yang selalu memberitahuku kebenaran. Dan aku yakin bahwa firasatku itu selalu benar" ujarku.
Mendengar itu, Solar kembali tersenyum. Dan ada satu hal yang kusadari darinya, jika ia tersenyum lebar, maka matanya akan menyipit hingga hilang menjadi garis lurus. Dan menurutku itu cukup lucu.
Solar kembali melangkah mendekatiku. Sebelah lengannya memegang rak buku dibelakangku seolah memerangkapku "lalu.. bagaimana denganku? Apa yang dikatakan firasatmu tentang aku? Apakah aku akan menjadi sama seperti orang-orang itu yang hanya ingin menidurimu, atau aku bisa jadi lebih dari itu?"
"Itu tergantung padamu.." senyumku "apakah kamu mau jadi lebih dari sekedar one-night-stand ..?"
Tangan Solar bergerak mengelus rambutku.
"Bolehkah aku mengenalmu lebih dekat, Halilintar Thunderstorm?"
Entah mengapa, cara ia menatapku saat itu membuatku salting luar biasa hingga rasanya kedua pipiku memanas. Aku langsung buru-buru menghindari pandangannya dan bergerak ke rak buku disebelahku, mengambil buku yang sedari tadi kuincar dan hendak menuju kasir. Namun Solar menahanku.
"Ini buku yang kau sukai, Hali?" tanya Solar seraya mengambil buku itu dari tanganku.
"Aku akan membayarnya untukmu, tunggu disini ya"
Usai melemparkan senyum mautnya padaku, ia berlalu menuju kasir untuk membayar buku dengan cover biru itu. Meninggalkanku disana yang masih bengong terpana dengan lelaki itu.
Ah sial... berhentilah membuatku berdebar debar begini, Solar Light!
***
"Kau benar-benar luar biasa"
Gempa mengangkat tubuhnya dan mengubah posisinya menjadi duduk. Ia menatap lelaki yang masih berbaring di sebelahnya itu dengan senyum puas di wajahnya.
"Apa kau akan pergi sekarang?" Taufan melirik Gempa di balik bantalnya, sungguh ekspresinya saat itu sangatlah imut di mata Gempa, sehingga ia tak tahan untuk tidak mengelus kepala Taufan.
"Ya.. ayahku suka mencariku kalau ia pulang kerja. Jadi aku tak bisa berlama lama.." ucap Gempa.
"Tapi sebelum itu..."
Gempa tahu-tahu mengeluarkan sebuah kamera SLR dari tas nya dan menunjukannya pada Taufan.
"Pertahankan pose itu.. kau terlihat begitu cantik dan menggoda, fan.."
Taufan buru-buru mengangkat tubuhnya "tunggu! Jangan potret aku.. aku tak percaya diri jika gambarku diambil. Biasanya aku tidak pernah terlihat bagus.."
Gempa terkekeh "Itu karena orang yang mengambil gambarmu yang tidak jago foto. Fan, percayalah padaku.. kamu itu cantik. Dan aku janji, aku akan mengambil gambarmu dengan baik sampai kau tidak percaya kalau itu kau yang ada di dalam foto"
Kata-kata manis seperti ini, adalah keahlian Gempa. Ia begitu pandai membuat lawannya menyerah dan berserah. Itu salah satu yang membuat Gempa begitu mudah mendapatkan mangsanya.
Usai memberi instruksi kepada Taufan untuk berpose, Gempa mulai mengambil beberapa foto Taufan dari berbagai angle. Bahkan ia mengabadikan wajah Taufan yang memerah malu-malu itu dengan sangat baik, hingga ia pun turut tersenyum puas dibuatnya.
"Kamu benar-benar indah, Taufan Alvino" Gempa berkomentar seraya menunjukan hasil fotonya pada Taufan. Taufan sendiri nampak puas dengan hasilnya, ia tak dapat berhenti menatap fotonya sendiri di layar kecil itu.
"Aku akan mencetaknya di rumah, nanti akan kuberikan padamu jika sudah ada versi cetaknya." ujar Gempa. Ia lalu bangkit dari duduknya untuk membereskan barang-barangnya dan kembali memakai baju dan celananya.
"Aku pamit dulu ya, Taufan"
"Apakah kita akan melakukannya lagi?" Taufan bertanya dengan nada mengecil, kedua netra biru nya menatap Gempa penuh harap.
Sungguh, wajah imut dari lelaki itu membuat Gempa hampir gila. Gempa kembali mengelus lembut rambut Taufan, lalu meraup wajahnya dan mengecup bibir mungil itu sekilas.
"Kapanpun kau mau, kau dapat meneleponku, manis.. Sekarang aku harus pergi dulu. Sampai lain waktu"
Taufan tak dapat berhenti menatapi Gempa yang berjalan kian menjauh dan keluar dari pintu kamarnya. Ia menggenggam selimut di tangannya, tanpa sadar seluruh wajahnya kini sudah memanas dan memerah.
"Gempa... sepertinya aku menyukaimu.."
To be continued.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro