Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

10. Misunderstanding

"Pesta?"

Pemuda paruh baya bertubuh tegap dan rambut pirang tersebut mengangguk akan pertanyaan teman seprofesinya. "Ya, para pelatih senior mentraktir kita untuk minum-minum karena kemenangan di turnamen. Kau mau ikut?"

Sang pemuda bermarga pelangi tersebut mengangguk singkat. "Baiklah, tak ada salahnya bersantai sesaat."

Yang bersangkutan—Rendall Wrights, pria seumuran dengannya yang mengajar di pelatihan juga pun tertawa.

"Nah, begitu dong! Man, kau terlalu kaku, Shuuzou. Kau butuh hiburan agar kau tidak terlalu serius dan membuat para anggota tim jadi tegang gegara cara mengajarmu."

Dirangkulnya sang kawan lalu sambil berjalan menuju pintu ruang ganti untuk keluar.

Akhirnya rombongan tersebut memutuskan untuk pergi minum di sebuah restoran di jalan distrik pecinan karena harga yang murah.

Shuuzou melirik sesaat setelah memesan makanan. "Aku ke toilet dulu."

Akhirnya setelah memenuhi panggilan alam, dia keluar dari area sambil mengeringkan tangan.

Tak disangka, dia melihat pemandangan yang mengejutkan. Seseorang yang familiar bersama dengan seseorang yang lain; dan bisa kita tebak.

Shizuka sedang duduk berdua dengan seorang pria tampan yang terlihat akrab berbicara dengannya.

Dalam dirinya entah kenapa tergerak untuk maju kesana, dan tak terasa dia malah melakukannya detik itu juga. Tubuhnya bergerak sendiri dan berada di depan meja dimana sang adik dan lelaki berwajah tampan yang tengah berbincang-bincang asyik itu berada.

Di sisi lain, Shizuka yang tertawa kecil mendengarkan diskusi kawannya pun berhenti sebelum mendongak pada yang datang dengan kaget.

"Eh? Shuuzou-nii? Kau sedang apa disini?"

"Kau kenal dia, Nijimura?" tanya sang lelaki.

"Ya, dia kakakku." ujarnya mengangguk sembari kemudian tertegun heran melihat sinar mata kakaknya.

Ada kilatan aneh yang dia tak biasa lihat.

Jangan bilang aku akan dimarahi soal ini, pikirnya sambil mengumpat dalam hati.

Shuuzou menatap dingin keduanya dan tak menganggap yang duduk dengan adiknya ada disitu sebelum berkata, "Shizuka, ikut denganku sebentar."

Mampus.

Merasa kalau akan terjadi sesuatu, akhirnya Shizuka berdiri dan permisi sebentar. "Kau tunggu disini. Aku akan segera kembali."

"B-Baiklah." Sambil sedikit gugup, pemuda berwajah tampan dengan rambut merah dikuncir pun menanggapinya dan membiarkan kedua kakak beradik tersebut keluar dari toko dan bicara di luar.

"Siapa lelaki itu?"

"Hanya teman."

"Kenapa bisa disini?"

"Cuma diajak makan biasa."

"Kok akrab banget."

"Biasa aja."

"Aku bertanya yang benar, Shizuka."

"Aku juga menjawab dengan benar, Shuuzou-nii."

"INTINYA JUGA KAU JALAN DENGAN PRIA LAIN, BUKAN??!"

"Apa sih, dia hanya teman sejurusan saja."

"TEMAN APAAN?! KOK DEKETAN GITU?? KALIAN NGOMONGNYA AKRAB PULA! MATAKU TAK BISA DIBOHONGI."

"YA TERUS AKU HARUS JAGA JARAK SAMPAI BERAPA METER?!! SEKIAN MIL, BEGITU?!"

Shuuzou tertegun sambil menahan kesal untuk membalasnya. Adiknya ini tak pernah bilang kalau akan keluar rumah dan jalan diam-diam, apalagi dengan seorang laki-laki yang ia bahkan tak kenal baik!

"Bukan masalah meternya, Shizuka! Kau harusnya bilang padaku dulu kalau mau keluar. Kalau ada apa-apa, bagaimana aku menolongmu—"

"SHUT THE FUCK UP!!!"

Sang pemuda tertegun saat disela oleh sentakan sang perempuan.

"Berisik!! Kau selalu saja mengaturku dan Shouto. Ini tak boleh, itu tak boleh. Lalu kau mau apa?! Menahan kami selamanya?!"

Dia sedikit mencoba menyahut, "O-Oi..."

"Kami tak pernah melarangmu untuk melakukan apapun, tapi kenapa kau selalu saja melarang apa yang mau kami lakukan?! Ingat saat kau melarang kami masuk klub cheerleader dan band! INGAT?!" sergahnya dengan lanjutan lagi.

"LALU MAU KAU APA, KAK?!? KAMI BUKAN ANAK KECIL LAGI YANG BISA KAU SURUH UNTUK BERHENTI ATAUPUN PEMBANTU!"

Maafkan aku, tapi aku tak tahan lagi...

"KAMI INI KELUARGAMU, BUKAN ORANG ASING, SHUUZOU-NII!!!"

Shuuzou hanya bisa menatapnya dengan terhenyak tak percaya karena disentak begitu oleh sang adik perempuan.

Beberapa orang melihat mereka bertengkar, tapi Shizuka sama sekali tak perduli. Bahkan dia tak mau menyia-nyiakan kesempatan untuk menahan batin yang mengganggu.

Selama ini, dia tak bisa mengutarakan pikiran dan perasaannya karena sikap sang kakak yang kadang judgemental dan over protektif pada Shizuka dan Shouto.

Sambil terengah setelah emosinya meledak, Shizuka menatap nyalang pada kakak tertua. "Jangan pernah bicara tentang larangan dan peraturan. Shuuzou-nii tahu kalau aku benci diatur. Aku bukanlah Shouto yang bisa menjadi penurut."

Shizuka merogoh saku roknya dan menelepon seseorang. "Halo, George. Keluarlah dari toko. Kita pindah ke tempat lain. Aku akan SMS padamu lokasinya." Lalu ia putuskan sambungan.

"Aku bisa jaga diri sendiri, jangan menghalangiku." titahnya tegas sebelum beranjak pergi, tanpa sepatah katapun pada Shuuzou.

Menatap sang gadis yang menjauh, pemuda tersebut makin menguatkan kepala tangannya sambil menahan emosi di dada.

Pada akhirnya, dia lampiaskan pada saat minum-minum dengan orang sekitar—dengan memesan makan dan mabuk.

.
.
.

"Mukamu masam daritadi. Ada apa?"

Zeeta mengeluarkan pendapatnya karena seharian ini sang kawan seperjuangan hanya diam dan tak ceria seperti biasanya. Mereka berada di tengah kafetaria kampus yang sedikit sepi karena cuaca mendung.

"Bukan apa-apa. Hanya masalah kecil." Shizuka menyahut balik sambil memainkan makanannya yang kali ini roti isi lapis daging dan sayur.

Zeeta tertawa garing mendengarnya, pastilah sesuatu yang berpengaruh tengah melanda kawannya ini.

"Kau tak pandai berbohong, Shizu. Aku tahu kalau kau sedang badmood. Katakan saja, aku siap mendengarkan."

Setelah bungkam sekian detik, akhirnya dia mengatakan isi curhat pada sang gadis berkacamata tersebut mengenai kejadian kemarin.

"Eh? Kakakmu? Kalian ketahuan makan disana??"

Angguknya lemas. "Iya. Dia menuduhku sedang kencan dan memarahiku karena tak bilang apa pun. Padahal kami tak ada hubungan, kau tahu kan alasannya?"

Yang bersangkutan tersebut mengangguk.

"Iya juga, apalagi kita tahu kalau George itu belok. Dia tengah mengincar Kang Lee Kwon dari jurusan Informatika, semoga dia tak membuat karisma Casanova-nya menjadi penghalang." Tangan gadis berkacamata tersebut mengaduk sedotan yang ada di dalam gelas iced matcha yang ia pesan.

"Justru itulah, dia meminta pendapat dariku karena aku dekat dengan Lee. Kau tahu dia satu sekolah denganku pas di SMA Hefferson. Aku juga merasa kalau sifat ceria George bisa menyeimbangi sifat kaku Lee. Tapi kakakku yang bodoh itu malah memarahiku seperti aku yang melakukan kejahatan kriminal laten!" gerutunya kesal, sedikit memijat kepalanya sendiri karena pusing dengan kelakuan saudaranya.

"Mungkin dia khawatir padamu, makanya marah karena tidak tahu. Aku bisa mengerti betapa gejolak khawatir berubah menjadi amarah kalau tidak bisa menyalurkannya dengan benar. Kakakmu tipe orang yang sedikit tak jujur kalau kulihat begitu. Mengangkat beban sendirian tanpa kau dan adikmu. Dan kau merasa kesal akan kuasanya." jelasnya sambil menyomot kentang goreng yang dipesan berdua.

Dia memangku dagu di telapak tangan. "Ya, analisa psikologimu benar juga. Anak psikiater memang bisa diandalkan."

"Itu karena pekerjaan ibuku. Aku mau belajar seni, bukan manusia." jawabnya datar.

Shizuka menghela napas lelah.

"Aku tahu kalau aku bersalah karena tidak memberitahunya, tapi 'kan aku dan Shouto tak pernah melarangnya melakukan apapun—kami malah yang selalu dilarang begini begitu. Kami bukan tahanan apalagi orang asing, Zee! Kami bahkan dikurung seperti pangeran dan putri yang terkurung di menara, dan kakakku sebagai monsternya!" protesnya sambil mengambil cemilan kentangnya.

Zeeta menghela napas, "Yah, memang sih. Prasangka buruk itu juga tak baik. Jadi bagaimana akhirnya kau menyarani George?"

"Kuberitahu saja apa yang disukai dan tak disukai, serta sifat aslinya Lee. Dia harus berjuang sendiri kalau mau mendapatkan nomornya, kalau cinta ya harus dilakukan dengan kemampuan sendiri."

"Mak comblang Shizuka bersabda." celetuknya menggodai sang kawan.

"Diamlah, wibu drakor." cibirnya sengit.

Lalu mereka tertawa bersama.

"Ah, sudah waktunya. Kau mau kuantar ke gerbang?"

"Tidak, aku bisa sendiri. Pergilah ke kelas tangomu. Nanti Ms. Claire bakal mengamuk."

"Ya sudah, nanti hubungi aku kalau senggang. Bye!"

Shizuka melambai singkat menatap Zeeta yang pergi menjauh, sebelum menghela napas dan pergi menuju gerbang kampus.

Pikirannya terlintas akan kejadian kemarin. Semenjak itu, selama beberapa hari ini dia tak bicara lagi dengan Shuuzou. Membalas salam pun tak pernah lagi. Shouto bertanya padanya dan hanya dijawab bukan masalah besar.

"Iya lah, dia bertanya pada Shuuzou-nii."

"Ada apa denganku?"

Asdfgjkl?!

Sontak, Shizuka langsung terkaget ria melihat sang kakak berada di belakangnya dengan pakaian biasa dan tas latihan basket. Dia menunggu dekat gerbang. Untung sepi disana.

Shizuka menatap kesal dan berbalik muka ke arah lain, tak mau menjawabnya.

Shuuzou menatapnya sedikit melembut.

"Ayo kita pulang. Shouto menunggu di rumah, dia bawa parfait dari temannya yang ulang tahun."

"...."

"Nanti aku habiskan kalau kau tak makan."

"...."

Sigh.

Tangan kekar tersebut mengelus leher belakangnya sendiri, sedikit merasa bersalah karena sudah membuat adiknya marah.

"Ano na... Maaf yang waktu itu. Aku hanya kesal, karena kau tak memberitahuku. Aku hanya merasa khawatir kalau terjadi apa-apa padamu. Aku sudah merenungkan, dan aku mengerti sekali kalian berdua bukan anak kecil lagi. Tapi lain kali, tolong kasih tahu saja. Aku mungkin takkan melarangmu."

"...jawab."

"Hm?"

Shizuka berbalik dan menatapnya serius.

"Tanggung jawab; kau terlalu memikulnya sendirian, Shuzou-nii."

Mata obsidian tersebut berkilat serta melebar sesaat.

"Ibu dan Ayah mulai lepas tangan karena mempercayaimu untuk menjaga kami. Kami sangat mengerti itu, aku dan Shouto tahu akan hal itu. Kau selalu menanggung sendiri bebannya dan selalu tak mau kami bantu."

Bibir gadis tersebut bergetar pelan, menatap saudaranya tersebut dengan menahan tangis—yang akhirnya tumpah juga.

"Tapi setidaknya... kita ini saudara, bukan? Egoislah. Minta tolonglah pada kami sesekali, Oniichan!"

DEG

Dadanya mendadak sesak menatap sang adik perempuan satu-satunya di keluarga mengeluarkan air mata, apalagi alasannya karena dirinya yang tak jauh dari kata bajingan.

Dia melupakan faktor terpenting selama ini, perhatiannya yang terlalu terbagi akan pekerjaan dan tak bisa memberikan perhatian lebih pada adik-adiknya; itu membuatnya menjadi memikul beban sendiri dan tak sadar untuk menyendiri.

Tangannya menarik sang gadis ke dalam dekapan hangat, bagaikan tameng yang kuat dan aman agar dia merasa nyaman.

"Jangan berekspresi begitu, mana bisa aku tahan dengan kecengenganmu..." bisiknya pelan sambil mengelus kepala Shizuka.

Yang bersangkutan makin terisak sambil memeluk erat sang kakak, melampiaskan emosi terpendam lainnya selama ini.

"Maafkan aku, karena tak bisa membuat kalian bahagia..."

"Kami hanya mau kau bisa bersama kami walau sesaat... Hiks.."

"Sudahlah, dasar cengeng. Ayo, jangan menangis. Tambah jelek mukamu." Dia menghapus airmatanya dan mengelus pelan pipi Shizuka.

"Mulai sekarang, aku akan mencoba membagi waktu dengan kalian, dan takkan melarang apa yang kalian sukai. Sekarang ayo, kita pulang. Shouto pasti sudah menunggu sendirian. Ibu menginap di rumah sakit lagi."

Shizuka menyambut gandengan tangan Shuuzou sambil berjalan menuju tujuan rumah mereka dimana Shouto menanti mereka berdua agar bisa bersama.

Suka duka dalam sebuah ikatan itu manusiawi...

Itulah artinya keluarga...

.
.
.

-oOo-

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro