Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Once Upon A Time

Invisible Love dilanjut lagi yak....

Selamat bernostalgia dan selamat membaca!

Once Upon A Time

Waktu terus bergulir dan saat empat orang itu baru memasuki masa putih abu-abu, dulu mereka begini....

Abby terus-terusan menguap sepanjang jalan tanpa mempedulikan decak kagum saudara kembarnya yang duduk di sebelah, sementara Bara hanya tersenyum melihat kelakuan keduanya. Sebagai seorang CEO yang over busy, bisa mengantarkan anak-anaknya ke sekolah apalagi ke sekolah baru mereka adalah sesuatu yang langka. Meskipun sibuk, Bara tetap ingin menjadi Ayah yang punya andil dalam membahagiakan anaknya secara batin.

"Anak cewek tuh kalo nguap ditutupin! Mulut lo selebar mulut kudanil tau nggak, By!" cibir Alden sembari menggelengkan kepala. Pah, kayaknya kita tambahin julukannya Abby deh, Pah."

Bara tertawa. "Ya, boleh juga tuh."

Abby sontak manyun dan mencubit lengan Alden gemas. "Gue tuh semalem movie marathon! Makanya gini!" ia menjambak rambutnya lalu menghempaskan punggungnya ke jok mobil. "Argh! Liburannya kurang! Gue masih butuh tidur!"

Alden mendesis sebelum mencubit pipi tirus Kakaknya. "Ck. Dasar tukang molor."

Abby mendesis usai dicubit dan terbahak-bahak di dalam hati. Sebenarnya Abby tidak melakukan movie marathon, ia melakukan novel marathon. Sepanjang liburan, ia selalu mengisi hari-harinya dengan membaca buku novel dan enggan keluar kamar kecuali ada keperluan yang memang tidak bisa dihindari. Soal makan pun, ia minta pembantunya naik ke atas. Oh, betapa mudahnya menjadi anak konglomerat seperti mereka.

"Kita jemput Rio sekalian apa ya, Al? Papah takut Om Joni atau Tante Brenda masih di Bali ngurusin Shayna." Bara sempat sekilas melihat spion tengah saat mengajak Alden bicara.

"Nggak usah Pah. Ntar kita telat," ucap Abby.

"Kak Rio jadi masuk SMA Nusantara juga?!" tanya anak kecil berkucir satu dengan lolipop di tangannya. Matanya berbinar-binar dan otaknya dipenuhi gambaran cowok yang ia tanyakan itu.

Bara mengangguk usai tertawa kecil. "Iya Lita sayang."

Lita menyengir kemudian mengemut permen lolipopnya lagi. Ia menengok ke belakang tanpa menyadari kejengahan dan kemuakan Abby saat membayangkan Rio masih mencampuri kehidupannya.

"Apa?" Pagi ini Abby jadi jutek akibat mengingat seberapa usilnya cowok bernama Rio itu. Setan itu! Abby gemas ingin menstransmigrasikan Rio ke Pluto dan syukur-syukur ditelan oleh alien di sana.

Lita mengeluarkan permen dari mulutnya lalu menunjuk ke Abby. "Kak Abby jagain Kak Rio! Jangan sampe dia hilang atau dihukum guru! Pokoknya jagain pangerannya Lita!"

Alden menutupi mulutnya supaya tawa gelinya tak terlihat, begitupun dengan Bara, sementara Abby masa bodoh dengan permintaan adiknya. Ia memilih membuang napas panjang dan memperhatikan jalanan Ibukota.

"SMA, eh." Ia mencoba menyusun rencana masa-masa indahnya di SMA. Pertama, cari teman yang asyik. Kedua, menunjukkan kepintarannya secara maksimal. Ketiga, menerima cowok ganteng yang menembaknya nanti jika ia jadi cewek yang terkenal seantero sekolah dan terakhir, ia tidak tahu. Tiba-tiba saja pikirannya blank.

Wajah Rio disertai senyuman yang disimpulkan secara jahanamlah penyebab otak Abby tahu-tahu menjadi kosong.

"Kita udah sampe!" Bara memasuki SMA Nusantara, sebuah sekolah menengah atas yang sudah bertaraf internasional. Sekolah yang sangat bagus dan punya banyak alumni terkenal. Namun, di dalam hati Bara, ia sebenarnya mendambakan anak-anaknya masuk sekolah masa remajanya. Tetapi semua keputusan ada di tangan anak, sebagai orangtua ia hanya bisa memantau dan menasehati.

Abby dan Alden turun dari sisi mobil masing-masing. Tidak ada acara berdandan mirip orang gila seperti khas sekolahan di masa lalu. Mereka bahkan sudah berseragam SMA Nusantara yang warna atasan bagi cowok adalah merah tua sementara merah muda untuk cewek. Bawahannya hitam dan dasinya pun sama gelapnya. Mereka sudah siap memasuki fase baru dalam kehidupan mereka meskipun keduanya gugup.

"Gue bakal cari cinta pertama gue di sini," gumam Abby sembari meneliti setiap wajah cowok yang mampir dalam pandangannya.

"Semoga gurunya ga ngerepotin gue," gumam Alden yang berharap jika ruangan BK segera ditiadakan karena namanya pasti sebentar lagi ditulis di buku keramat milik ruangan itu.

Kesimpulannya, meraka tidaklah sempurna seperti murid pintar nan genius kebanyakan. Masalah akademik tidak perlu diragukan dan masalah "masalah" juga tidak perlu ditanyakan. Mereka berdua adalah ahlinya.

"Pah, Abby sama Al berjuang dulu. Doain kita pulang dalam keadaan happy." Bara tersenyum mendengar ucapan Abby.

"Ngomong apaan sih Kak? Ga jelas," celetuk Lita sambil mengedarkan pandang. Ia mencari seseorang yang harusnya hadir di antara mereka.

"Kalo gitu Papah pulang. Kalian baik-baik di sekolah. Jangan cari masalah, dan coba jauhin BK. Oke?" Bara mengusap kepala Abby lalu tersenyum pada Alden.

Keduanya menyengir kuda kemudian menggeleng bersamaan. "Ga janji."

Bara sudah tahu anaknya pasti akan menjawab begitu. Darah trouble maker-nya jelas mengalir di nadi mereka. "Ya Papah tau. Pokoknya kalo ada sesuatu, telpon Papah atau Pengacara kita."

Alden menaikkan satu alisnya. "Mamah ga dikasih tau?"

Bara menyengir. "Orang bawel terakhir aja."

Mereka semua tertawa karena tahu apa arti ucapan Bara dan Abbylah yang paling cepat berhenti tertawa saat melihat siapa yang mendatangi mereka dengan senyum manisnya.

Shit, thats him. Batin Abby.

"Kak Riooooo!" Lita bersorak girang, tanpa ancang-ancang ia menghambur ke pemuda berlesung pipi yang baru turun dari taksi.

Rio merendahkan tubuhnya lalu merentangkan tangan, ia menanti Lita untuk jatuh di pelukannya.

Lita memeluk Rio hangat dan dibalas juga oleh cowok itu tapi tatapan Rio terkunci pada gadis berambut brunette yang memberengut menatapnya. Di dalam hati Rio, buncahan kebahagiaan itu tak terelakan. Meskipun sepanjang liburan ia suka menginap dan berpergian bersama keluarga Pradipta, ia selalu merindukan Abby.

Senyum manis Rio berubah jadi seringaian yang Abby kategorikan sebagai senyuman milik setan.

Rio melepas pelukannya dan menggandeng bocah berpakaian SD itu. Ia mendekati tiga orang lainnya yang dua di antaranya baik-baik saja melihat ia ada di sini.

"Lo gugup, Al?" ledek Rio sebelum mencium tangan sahabat Ayahnya yang tak lain adalah Bara, "Pagi, Om."

"Apaan sih lo." Alden mengelak.

"Papah sama Mamahmu belum pulang?" tanya Bara.

Rio menganggut-anggutkan kepala. "Belum. Mereka masih pengin lama-lama bareng Baby Na sama Kak Shay."

Bara ber-oh ria kemudian menggandeng tangan Lita. "Om mau anter anak cantik om yang lain. Kamu sama si kembar good luck di sekolah baru kalian."

Usai ditinggal Bara yang melenggang mengendarai mobil BMW keluaran terbaru, Rio langsung bersalaman dengan Alden ala cowok dan basa-basi dengan menanyakan kabar.

Abby yang malas berada di dekat Rio memilih jalan duluan masuk ke sekolah. Sayangnya langkah Abby sekaligus senyum samar milik Rio terhenti dan hilang karena sebuah seruan yang membuat Alden segera membalikkan tubuhnya heran.

"Alden Davian Pradipta! Gue cinta elo!" Seseorang yang tak dikenal Alden apalagi oleh Rio dan kembarannya tiba-tiba menyerukan pernyataan mencengangkan di depan semua orang di sini. Semuanya masih asing dan semakin terasa asing saat gadis ber-sweater rajut putih itu berlari mendekati Alden sembari menyunggingkan senyum lebarnya.

Ia cantik namun aneh. Itulah yang ada di otak Rio.

"Siapa tuh Al, lo kenal?" tanya Rio yang tidak fokus pada Abby lagi.

Abby pun tidak jadi berjalan mendahului mereka tapi kembali ke posisi di mana Alden berdiri.

Alden menggeleng dengan wajah yang masih tercengang. "Ga. Gue ga kenal."

Abby mendorong Rio sedikit dan kini ia berdiri di tengah-tengah kedua cowok itu. "Siapa Al? Gue baru lihat."

Gadis yang berlari diliputi keceriaan itu kembali meneriakkan pernyataan cintanya. "Alden! Gue sayang elo!"

Peringatan di otak Alden menyala, ia mulai tak menyukai situasi dan ungkapan cinta mendadak ini. "Gue ga tau dan gue ga mau tau!"

Padahal tinggal sedikit lagi gadis bernama Agatha Kusuma itu menghampiri cowok pujaannya itu tapi Alden keburu lari tunggang langgang menjauhinya.

"Tungguin gue Alden sayang!" teriak gadis yang sebenarnya malu mengungkapkan perasaannya. Perasaannya tak bisa ditutupi lagi saat menyaksikan wujud makhluk ciptaan Tuhan yang begitu ia dambakan.

"Gue ga kenal lo dan jangan panggil gue sayang!" balas Alden tanpa mau menoleh lagi karena saat ia menoleh, ia takut menghadapi keanehan pengejarnya.

Tadinya Alden kira, mungkin yang gadis itu maksud bukan dirinya. Mungkin ada orang lain yang juga bernama Alden Pradipta. Namun saat ia menunjuk dirinya untuk memperjelas orang yang dimaksud dan gadis aneh itu pun mengangguk, detik berikutnya kengerian menyergap.

Adegan kejar-kejaran itu jadi tontonan orang-orang.

"Gue ga ngira ada yang suka sama si Monyet. Gue rasa dia bukan alumni SMP kita." Abby bicara sendiri sembari bersedekap dada. Ia mengingat title buruk Alden di sekolah menengah pertama dan jikalau ada yang menyukai Alden maka sudah pasti ia tahu. Riwayat percintaan Alden masih bersih, ia belum menerima kehadiran siapapun di hatinya. Ia super cuek, dingin dan masa bodoh.

"Iya, gue juga. Alden kan ga begitu terkenal di kalangan cewek, ga kayak gue ya By. Dia mah lebih terkenalnya di ruang guru." Saatnya curi-curi kesempatan. Rio sengaja menaruh tangannya di bahu Abby, merangkul Abby dari samping.

Rio ingin sekali menyelipkan rambut yang menutupi kecantikan Abby ke belakang telinga lalu menggenggam tangan gadis itu. Namun yang ia dapatkan adalah injakan kencang tepat di kakinya bukan senyuman bak bidadari untuknya.

Abby tersenyum puas karena sudah membuat Rio mengaduh kesakitan sembari memegangi kakinya. "Makan tuh, playboy setan," katanya lalu berjalan seraya bersenandung ria.

"Abby! Awas lo! Gue bales lo entar!" Ancaman Rio dianggap angin lalu oleh Abby.

Alasan Abby menginjak Rio adalah ia tidak suka dirangkul dan ia risih dengan tatapan Rio yang penuh kelembutan.

Satu hal yang kini terngiang di telinga Abby. "Gue harus jauh-jauh dari Rio," ia mengangguk mantap dan menyusun rencana.

Rencana manusia tentu lain dengan rencana Tuhan. Rencana Tuhan adalah mengumpulkan mereka dalam satu kelas sepuluh. Si kembar pun tepuk jidat pasrah, Atha tersenyum girang dan Rio menyeringai setan.

Duapuluh bulan kemudian, orang yang dulu mati-matian mereka jauhi kini enggan untuk dilepaskan.

"Kak Sam iri?" Pertanyaan Lita membuat Sam sadar kalau dirinyalah yang paling mengenaskan di sini, di meja ini.

Alden sedang merengek minta disuapi kentang goreng oleh Atha dan gadis itu menurutinya malu-malu, lalu Abby yang tenggelam dalam candaan Rio, mereka punya dunia sendiri dan jelas-jelas mereka tidak mau diganggu gugat.

Sam dan Lita apaan? Mereka harus apa?

Di mana kesedihan Abby yang bilang enggan melepas Sam pergi? Ia malah sibuk ber-loveydopey bersama Rio. Mereka jahat, totally evil.

Sam menyedot caramel machiato miliknya. "Heh bocah," ia melirik Lita kesal, "Gue juga bisa kali kayak gitu. Pacar gue mah tidak berseri."

Sambil bertopang dagu, Lita memanyunkan bibir bawahnya. "Pamer." Cibirannya tertuju pada dua pasang muda-mudi itu sekaligus untuk Sam.

Sam menangkap kesedihan bocah itu, bocah itu jelas kesepian dan merasa tersingkirkan.

"Di mana letak kepedulian mereka terhadap kaum jomblo seperti kita?" Jelas sekali itu suara Lita. Bocah yang ucapan serta sikapnya lebih tua dari umurnya.

"Bener-bener adiknya Abby sama Al. Sama-sama aneh," ucap Sam lirih sembari menggeleng.

Abby baru kembali menyadari di mana dan tujuan ia berada di situasi ini. "Ah, bener. Kita kan mau minta Sam untuk ga balik ke negara bagian Amerika itu, yang," bisiknya pada Rio usai membahas tentang kecemburuan Rio terhadap cowok atletis itu.

Rio menengok Sam sekilas, Sam yang tadinya penuh keirian jadi berubah bermain batu gunting kertas bersama Lita demi menekan perasaan itu. "Bener juga. Siapa yang mau ngomong? Aku atau kamu?"

Abby menjawab, "Aku aja."

Riak di tenggorokannya dihilangkan dan Abby mulai mengambil fokus semua orang yang duduk di meja persegi ini. "Ekhem, Sam."

Sam menoleh. "Apa? Udah selese pacarannya?" tanggapnya datar.

Lita menurunkan jempolnya, padahal ia baru saja mengalahkan Sam tapi kini permainan singkatnya harus terhenti.

Empat orang yang punya hubungan khusus itu segera mengenyahkan suasana romantis mereka setelah disindir Sam.

Tanpa ada yang tahu, Alden masih tetap menggenggam tangan Atha di bawah meja. Rio memilih minum cha cha latte miliknya untuk menyamarkan kekikukannya.

"Lo gitu banget sih." Abby merona malu.

"Udah cepet ngomongnya. Gue ga punya banyak waktu, sebenernya Elsa udah nelponin gue dari tadi." Sam menunjukkan rentetan panggilan telepon kakaknya yang menanyakan keberadaannya.

Abby mendesah lesu. "Oke. Gue cuma mau bilang..., lo jangan pergi."

Sam bersandar di kursi. "Hak apa lo ga ngebolehin gue pergi?" Suaranya dingin. Sam kembali teringat alasan ia ingin balik ke Kanada, its because of her pinky girl,--Zoey alias Zoya.

"Kita sahabat lo yang bakal bikin lo betah. Itu kenapa kita berhak minta lo tetep tinggal." Alden buka suara, ia sudah tahu masalahnya dari Abby karena Sam sudah menceritakan akar masalahnya pada Abby juga Rio.

"Cewek di dunia ini bukan cuma Zoey. Masih ada yang lain, masih ada yang bisa bikin lo jatuh dan mau menyambut lo." Rio ikut campur.

Atha yang meskipun tidak terlalu dekat dengan Sam, ia berani berkata, "They need you as a friend."

Lita mencermati tatapan penuh harapan kakak-kakaknya, Rio dan Atha. Ia menengok ke samping, "Kak Sam mau pergi jauh?"

Sam merasa terintimidasi oleh seluruh ucapan kawan-kawannya dan tatapan ala puppy eyes serta gumaman Abby: jangan pergi ya kunyuk. Ia kacau, jadi kacau setelah menghadirkan sepercik masa lalunya dengan Zoey di dalam kepalanya.

Nama Elsa muncul lagi di ponsel Sam, semuanya kini tambah menuntut jawabannya.

"Kak Rio sama Kak Al mukanya muram. Jadi bisa ga Kak Sam di sini aja? Untuk pertama kalinya Lita ga suka lihat Kak Beruang sedih." Lita kembali berucap.

Benar, ucapan Lita benar. Alden dan Rio jelas tidak mau jika kehilangan komplotan mereka dengan alasan yang menurut mereka konyol; patah hati. Tidak tahu saja mereka, seberapa sulitnya Sam untuk pergi dari Bandung tanpa menghajar pacar dari gadis yang disukainya.

"I'm out." Sam memundurkan kursinya lalu menempelkan ponselnya ke telinga, "Halo, Sa? Hm, gue ada di Starbuck." Ia pun meninggalkan empat orang itu dalam kekecewaan.

Lita mendaratkan pipinya di meja. "Lita pulang sama siapa coba?"

Abby hendak berteriak untuk meminta Sam tetap tinggal di Indonesia, tapi Rio menahan tangannya dan menggeleng.

Suasana yang tadinya ceria jadi berubah lengang. Semua kehilangan semangat karena satu orang, orang yang diberi andil penting di kehidupan mereka.

~•••~

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro