Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

IL-6-Double A

IL-6-Double A

Lita membawakan dua mug berisi cokelat panas, yang diletakkannya ke meja.

"Makasih, sayang." Ambar meneguk cokelat panas yang tidak pernah absen kehadirannya jika ia sedang membuat novel.

Gadis kecil cuma tersenyum simpul dan ia langsung duduk di sofa, sementara Ambar memilih duduk di lantai, saat Alden menuruni tangga dan ikut bergabung bersama mereka di ruang keluarga.

"De, hot chocolate buat abang mana?"

Lita melirik Alden sambil memegang mug, "punya tangan kan? Bikin sendiri," jawabnya ketus.

Alden mendengus sebal lalu matanya fokus menyaksikan acara televisi.

"Ranking berapa?" tanya Ambar mendadak, sambil jemarinya lihai menari di atas keyoboard.

Alden tersenyum manis. "ranking satu dong, Mah." Ia mencolek hidungnya sendiri; bangga.

"Kalo Abby?"

Pertanyaan yang sulit dijawab oleh Alden saat ini, Alden menggaruk tengkuknya.
"Itu ... um ... itu...."

"Papah pulang!" seru Bara yang mendatangi mereka sambil menggeret koper kecil.

Ia mengenakan kemeja biru langit dan celana jeans, tak lupa kacamata hitam tercantol di saku kemejanya. Lengan kemeja Bara ditarik sampai siku dan dua kancing atasnya terbuka.

Alden jadi bisa bernapas lega, tadi ia bingung hendak menjawab apa.

"Papah!" Mata Lita langsung berbinar dan segera menghambur ke arah Bara yang merentangkan kedua tangannya.

Lita terjun ke pelukan Bara. "I miss you so much, Dad!"

Bara menciumi kedua kening anak bungsunya, hidung lalu kedua pipinya. "Papah juga."

Mendengar hal itu Lita tambah mengeratkan pelukannya, ia nyaman sekali dipelukan Bara. Ambar tersenyum melihat tingkah mereka, ia berdiri mendekati suaminya.

Hal pertama yang dilakukan Ambar adalah mencium punggung tangan Bara. "Delay?"

Bara mengiyakan pertanyaan Ambar dengan anggukan sambil menurunkan Lita. "Sepi banget nih rumah, Abby mana?"

"Apartemen, Pah." Alden berujar.

Tangan Bara mengenggam tangan Ambar kemudian duduk berdua di sofa. Lita sibuk mengobrak-abrik isi koper Bara, ia mengangkat wajahnya.
"Oleh-olehnya mana, Pah?"

"Maaf sayang, papah gak bawa apa-apa. Kepikiran aja enggak." Cengir Bara yang meminum cokelat panas milik Ambar.

Muka Lita berubah kecewa, ia berjalan gontai lalu duduk di sofa single.

Alden menggeleng melihat ekspresi adiknya. "Papah pergi buat kerja, bukan buat jalan-jalan kali."

Lita mengangguk lesu. "Iya."

Tak ada yang tahu jika Bara mengedipkan matanya kepada Ambar lalu berbisik: "Gak kangen sama suami barbarnya?"

Wajah Ambar bersemu merah, dia membuang muka. "Gak, ngapain kangen."

Diberi jawaban itu, tangan kiri Bara melingkar di pinggang Ambar, ia berbisik lagi: "Tapi aku kangen."

Hasilnya Bara dapat cubitan pedas dari istrinya yang suka malu-malu harimau. Kedamaian mereka rusak dikarenakan suara bantingan pintu dan langkah kaki yang cepat. Ditambah, suara tawa menggema di rumah besar mereka.

Rio masih tertawa setan sambil memegangi ponselnya.

Abby mengekor di belakang dengan mata yang penuh amarah. "Rio! Hapus gak?! Hapus! Lo mau gue bikin gak punya tangan biar gak bisa grepe-grepe cewek!!!"

Tiga pasang mata yang mendengar teriakan Abby membulat lalu menoleh ke arah Lita yang perlahan terduduk dengan ekspresi sedang berpikir.

"Grepe-grepe itu apaan, Bang?" tanya Lita polos.

Alden yang dilontarkan pertanyaan tersebut melirik kedua orangtuanya. Ia memberi kode harus menjawab apa, cowok jangkung itu bingung menjelaskannya.

Ambar dan Bara saling berpandangan, tak berapa lama mereka berdua menyerukan kedua nama anak itu.

Rio yang mendengar namanya dipanggil, bukannya takut malah kembali menyeringai sambil menoleh.

Abby yang mendengar namanya dipanggil membeku di tempat, ia menutup mulutnya yang lagi-lagi tidak direm.

"Sebelum Rio mati, kayaknya gue duluan yang bakalan mati di tangan papah dan mamah gue," batin Abby tersedu-sedu.

~°°~

Ambar menggeret koper berukuran besar berwarna peach dengan terburu-buru dari kamar Abby.

Wajahnya merah padam menahan amarah. "Mamah sama Papah gak ngajarin kamu buat suka baca cerita erotis, Abby!"

Abby keluar dari kamarnya sambil meraung-raung. "Maafin Abby, Mah. Abby janji gak bakal ngu--"

"Lo ternyata penggemar cerita bokep dan kotor banget otaknya," cibir Alden yang bersedekap dada sambil tersenyum sinis keluar dari kamar sebelah.

Abby memegangi tangan Ambar tapi ditepisnya. "Mamah gak mau punya anak yang pikirannya kotor!" Ambar mendorong Abby menjauh darinya.

Mereka bertiga sampai di bawah, Bara memasang wajah sangar. "Kamu akan papah sekolahkan di asrama!"

Abby tersentak, ia menghambur ke arah Bara. "Jangan, Pah. Abby mohon. Di asrama itu ga enak, Pah."

Seperti Ambar, Bara ikutan menepis tangan Abby dan tak goyah mendengar tangisan atau muka memelas anaknya. Muncul si Playboy yang tersenyum lebar sambil menggendong Lita di atas pundaknya. Abby memberi tatapan tajam kepada Rio.

Lita tertawa kecil. "Ih, Kak Abby mukanya amburadul banget."

Detik berikutnya, Rio dan Lita ber-highfive lalu cengengesan bersama.

"Rio elo--" Ucapan Abby terpotong oleh kalimat Ambar.

"Mamah kecewa punya anak kayak kamu. Ranking dan nilai kamu jelek, pemalas dan pikiranmu itu ga pantes banget buat anak seumuran kamu!"

Kalimat Ambar bagaikan tamparan bagi Abby dan gadis berambut ikal itu pun akhirnya menggeleng.

Semua itu ternyata hanyalah fantasinya, fantasi bahwa Rio membeberkan belangnya kepada semua orang yang sedang menuntut permintaan maaf dari mulut Abby. Abby bersalah karena mengeluarkan perkataan yang tidak boleh didengar oleh anak seumuran Lita.

"Heh, dodol. Lo malah ngelamun, dipanggil Mamah tuh," bisik Alden yang menyenggol pinggang Abby.

Abby sekilas mengumpat lirih, ia mendongak melihat wajah murka Ambar dan Bara.

"Umm ... maaf, Mah. Abby janji bakal mengkontrol perkataan Abby." kalimat itu ia keluarkan dengan nada masih takut-takut.

Manik mata Ambar beralih kepada Rio yang juga sedang menunduk. Nah, kalau yang ini cuma pura-pura bersalah dan pura-pura takut.

"Dan kamu Rio?" tunjuk Ambar.

Secara perlahan dan dramatis Rio mengangkat wajahnya. "Aku juga Tante, Om. Aku minta maaf karena gara-gara ngejahilin Abby jadi bikin dia lepas kontrol."

Lita yang tidak tahu apa-apa hanya terkekeh-kekeh geli melihat Abby dan Rio disidang. Anak kecil ini sekejap melupakan pertanyaan kritisnya itu. Untung saja Ambar pintar mengalihkan topik dengan langsung memarahi Abby dan Rio.

Ambar menggerutu di dalam hati; Kayaknya Abby ngejiplak aku.

Bara juga membatin sembari melirik Ambar; Ck, buah jatuh tak jauh dari pohonnya.

"Bagus! Jangan kalian ulangi lagi!" ucap Ambar tegas.

Abby mengangguk lalu menghela napas panjang setelah acara sidangnya usai, ia melenggang meninggalkan Rio yang menyembunyikan senyum setannya. Hari ini benar-benar sangat melelahkan bagi seorang Abby.

Lita yang melihat saudarinya naik ke atas kemudian menarik tangan Rio manja. "Kak, ajarin Lita pelajaran Matematika ya?"

Alden memutar kedua bolamatanya, ia menyusul kepergian Abby usai bergumam lirih.
"Kecil-kecil udah pinter modus."

Sebagai sepasang anak kembar yang kemiripan wajahnya 85%, Alden tentu mempunyai ikatan batin yang kuat dengan Abby. Ia mengendus sesuatu yang tidak beres sedang terjadi antara Rio dan Abby. Ia sudah berdiri di depan kamar Abby yang pintunya berwarna merah muda, meskipun pemalas tapi anak itu feminim. Abby menggilai barbie dan segala sesuatu yang girly.

"Rio! Playboy pe'a! Sableng! Taeee! Hanjeeng!" Alden disambut teriakan nyaring milik Abby.

Ia mendesis mendengar kalimat kotor meluncur bebas dari mulut Abby. Persetan melihat kamarnya yang berantakan, ia harus masuk untuk mengetahui apa yang sebenarnya telah terjadi.

"Heh, mulut lo itu dijaga! Mau dimarahin lagi sama Mamah?" hardiknya.

Demi apa pun yang ada di dunia ini, menurutnya wajah Abby jelek sekali. Matanya memerah karena menangis dan ingus melambai di kedua lubang hidungnya. Rambutnya yang panjang sudah acak-acakan tak karuan dan ia sedang memukuli guling secara membabi buta.

"Sorry, gue lagi super kesel sama Rio." Suara Abby terdengar lelah dan tak bersemangat.

Alden ingin tiduran di atas kasurnya atau duduk di sofa, tapi melihat seprainya yang berantakan lalu sofa yang isinya helain tisu kotor dan bungkus makanan, ia memilih bersandar di pintu lagi. Abby adalah seorang pemalas sejati!

"Elo kenapa? Cerita sama gue," ucapnya tulus.

Menunggu jawaban Abby yang kurasa bakal lama karena ia terlihat menimang-nimang sesuatu di pikirannya, Alden menyapu pandang kamar Abby yang dindingnya dicat pink dan perabotannya didominasi merah. Kalau Alden lebih menyukai perpaduan hitam dan putih, warna khas seorang pria.

Abby yang tadi berdiri kini berbaring membelakangi Alden yang selesai memandang jijik timbunan baju kotor Abby di pojok ruangan.

"Gue ga bisa cerita sama elo," putus Abby.

Tiba-tiba muncul berbagai dugaan negatif di kepala Alden, ia mendekati Abby dengan perasaan cemas.
"Woy, lo ..., elo diapain sama Rio? Elo di ... dilecehin?"

Abby langsung menoleh dan bangkit duduk. Ia meraih guling di sampingnya yang sekilas ia melihat cetakan ilernya. God, jorok sekali. Guling itu ia benturkan ke kepala Alden.

"Kalo gue dilecehin sama Rio, dia gak bakal bisa ke sini dalam keadaan utuh. Bahkan mungkin dia udah terbujur kaku di liang lahat," ujar Abby yang pasti ada kesungguhan di sana.

"Nah terus? Lo kenapa bisa sampe begini?"

Abby kembali berbaring tapi kali ini ia menghadap ke arah Alden. "Gak ada apa-apa, kita cuma bertengkar ala anak kecil. Udah itu doang."

Mendengar jawaban Abby yang diakhiri senyuman malaikat, Alden menghela napas lega.

Sejujurnya, ia hanya sedikit lega.

Ia usap rambut saudarinya. "Gue akan selalu ada buat elo, Kak."

Senyum malaikat terukir lagi di wajah Abby, ia mengelap ingusnya menggunakan seprai. Di saat begini, joroknya tetap muncul tanpa ada rasa malu sedikit pun. Alden sedang berlutut di pinggir ranjang, setidaknya ia ingin menemani Abby saat ini. Mata Abby yang tadi penuh amarah kini perlahan berubah mengantuk akibat usapan tangan Alden di kepalanya. Sejorok, setolo dan sepemalasnya Abby, bagaimanapun ia tetap menyayanginya. She is his twin sister, the one and only.

"Alden." Abby memanggil namanya sambil menguap.

"Hm?"

"Gue seneng punya kembaran yang perhatian kayak elo. Makasih, Adik," ucapnya lalu memejamkan matanya.

Abby lahir lima menit duluan daripada Alden, jadi ia menyebut dirinya 'kakak'.

"Tidur yang nyenyak, Beruang," gumam Alden yang kedua matanya memancarkan kasih sayang sekaligus kelembutan.

"Jangan panggil gue beruang," timpal Abby yang belum sepenuhnya terlelap.

Alden tertawa kecil, kenapa Abby sampai bisa dipanggil beruang? Karena ia bisa tidur dalam jangka waktu yang lama persis seperti beruang yang sedang hibernasi.

~•••~

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro