IL-41-Becomes Visible
IL-41-Become Visible
Tiga cowok tampan sedang duduk di bangku favorit mereka, bangku yang ada di tengah kantin. Setiap kali mereka tertawa, para siswi semakin menatap mereka dengan tatapan memuja. Tidak dipungkiri jika tiga orang itu memiliki pesona yang begitu mendalam. Tapi, rasanya ada yang kurang di sisi mereka. Seharusnya mereka tidak duduk hanya bertiga, tapi berlima. Satu orang yang lain memang masih bebas, bebas memilih siapa saja.
"Gue pengen nyolok mata mereka satu-satu," kata Abby dengan gigi yang bergemertak. Ia menumbuk tangannya dan menatap tajam setiap siswi yang bersitatap dengannya.
"Apa lo lihat-lihat, hah?!" Aura premannya keluar untuk menghardik seorang siswi yang melihatnya tidak suka. Siswi itu langsung membuang muka melihat wajah seram Abby.
Atha terkekeh kecil. "Abby, Abby." Dia menggelengkan kepala.
Giliran Abby yang terkekeh sambil menggaruk tengkuknya. Ia sadar jika keposesifannya sangat terlihat. Ia posesif terhadap cowok itu karena ia tahu seberapa kuat aura pemikat yang cowok itu punya. Dalam satu kedipan mata, cowok itu pasti dengan mudahnya mendapatkan nomor ponsel seorang gadis.
Saat manik mata Abby menangkap wajahnya yang terlihat bahagia, kesedihan itu kembali meradang. "Dia mau pergi, Tha."
Atha mengikuti ke mana mata Abby mengarah. "By, sebenernya yang lo suka siapa?"
Deg
Rio mendelikkan matanya saat merasa bahunya disenggol seseorang. Ia menoleh ke samping lalu ke kemejanya yang basah. "Loh kok?" Ia tersadar dari lamunanya.
Abby segera mengambil serbet makan yang ada di pangkuannya. "Ih, kamu mah minumnya gimana? Bisa tumpah begini?" Ia mengelap kemeja Rio yang basah akibat ketumpahan air putih.
Bagaimana Rio tidak waswas terhadap perasaan itu, perasaan yang mengatakan jika pengisi hati Abby bukanlah dirinya melainkan Sam. Ia berpikir begitu sejak melihat Abby meneteskan air mata saat mendengar cowok itu akan terbang kembali ke Kanada dan wajah murung Abby saat mengantarkan Sam keluar dari rumahnya tadi malam.
"Kamu kenapa sih? Dari semalem bengong mulu, huh?" Abby mencubit pipi Rio gemas sebelum kembali berkutat dengan roto tawar.
"Mungkin lagi mikirin masa depan kalian, sayang." Suara bariton itu membuat wajah Abby merona dan sempat melirik Rio sekilas.
"Ah, apaan sih Om. Kita baru tujuhbelas tahun," kata Abby yang tersipu-sipu mendengar ucapan Joni.
Joni langsung melesat dari rumahnya ke rumah Bara usai ditelepon sahabatnya itu. Kabar baik yang sangat dimpi-impikan oleh mereka berdua akhirnya terjadi.
"Pah," Rio menatap tak suka pada Joni, "Papah sok tau."
"Hahaha...." Tawa Bara dan Joni menggelegar dan istri mereka masing-masing tersenyum simpul, sementara anak kecil bernama Lita memakan makanannya amat pelan. Ia dongkol harus membayangkan misal kakaknya mengenakan gaun putih khas pengantin lalu berdiri di depan altar bersama Rio.
"Nih." Abby menaruh setangkup roti tawar yang ia olesi selai kacang di piring Rio.
Dahi Rio mengerut. "Apaan nih?"
Sebuah jitakan mampir di kening Rio. "Sarapanlah sayang!" Ia gemas pada pacarnya yang entah kenapa dari kemarin jadi tidak fokus.
Mendengar kata 'sayang' meluncur dari bibir Abby membuat Rio tak bisa menyembunyikan senyumnya. Ia mengigit roti itu. "Enak," katanya dengan perasaan masih cemas.
Bisa saja mulut dan hati itu sebenarnya tidak sejalan. Pikir Rio.
"Hm, ngomong-ngomong, Alden ga ngabarin kamu, By? Dia ke mana gitu?" Ambar menyendok nasi goreng dan memasukkannya ke dalam mulut.
Abby menggeleng. "Ga, Mah. Mungkin dia nginep di apartemen. Udah biasa kali kayak gitu."
Rio mengangguk setuju dengan Abby. "Kalo Alden kena masalah, nomornya pasti ga aktif Tante. Tapi ini buktinya masih aktif, aku sempet telpon dia semalem. Ya meskipun ga diangkat, tapi aku yakin dia ga ada masalah."
Ambar terlihat berpikir sejenak kemudian kembali menghabiskan makanan. "Semoga aja, ya."
"Rio, panggilnya jangan Tante dan Om lagi dong. Mamah sama Papah begitu?" Bara menaikkan satu alisnya.
Abby sontak tersedak, begitu juga dengan Rio. Mereka tak mengira jika kalimat semacam itu keluar dari mulut seseorang yang dulunya adalah trouble maker tingkat setan di sekolah. Mereka semua terbahak dan bibir Lita pun jadi semakin bertambah manyun.
Sejak semalam dibahas, tidak muncul penolakan dari Rio atau Abby kalau nantinya mereka diikat bersama dalam hubungan legal. Tapi bukan sekarang ataupun setelah lulus SMA, Rio punya rencananya sendiri dan begitu juga kekasihnya. Untuk Abby, ia ingin memperbaiki prestasinya, tingkat kejorokan dan memusnahkan hobi baca buku erotis. Mereka mengakui kalau mereka masih kekanakan.
Lain halnya dengan Rio dan Abby yang memakan sarapannya bersama keluarga. Alden duduk berdua bersama Atha di meja makan di rumah gadis yang hari ini mau tidak mau menggerai rambutnya untuk menutupi sesuatu. Keduanya sudah memakai seragam lengkap biarpun seragam Alden lebih kusut dari milik Atha. Mereka masih sok sibuk mengunyah dan tenggelam dalam rasa malunya masing-masing. Rasa malu akibat perbuatan mereka semalam.
"Ekem," deham Yurike yang membawakan teko berisi susu.
Atha tersenyum kikuk menyambut dehaman orang kepercayaannya. "Pa ... pagi, Yuri."
"Selamat pagi, Nona." Yurike membalas senyuman Atha kemudian meninggalkan dua remaja itu.
Sekelebat ingatan kelakuannya semalam membuat Alden resah. Untung saja ia tak melakukannya lebih jauh lagi, terima kasih untuk ketukan Yurike di pintu kamar Atha yang menawarkan mereka makan malam.
Cukup berciuman sampai membuat pasangannya kesulitan bernapas dan memberi tanda, itulah yang Alden baru lakukan. Selebihnya mereka menjadi gerah di kamar yang berbeda setelah kejadian itu.
Semburat merah di wajah Atha semakin menjadi-jadi saat matanya bersitatap dengan milik Alden.
Tiba-tiba saja Alden mengenggam tangan Atha saking tak kuatnya melihat wajah yang menurutnya menggemaskan itu. "Aku ga akan pernah lepasin tangan ini," katanya penuh penegasan.
Pasangan ini mempunyai keyakinan bahwa mereka memang harus berakhir bahagia.
Persetan dengan hal apa yang akan muncul di hari esok, Alden tidak peduli asalkan masih bisa melihat senyuman di wajah Atha. Miliknya itu.
++++++
Abby merekahkan senyumnya dan memunculkan inisiatif untuk mengenggam tangan Rio duluan. "Hap! Kena!" katanya terkikik geli sendiri.
Rio tersentak, ia menatap bingung gandengan tangan Abby. "Tumben, sejak kapan?"
Abby melepas genggamannya saat Rio baru mulai mengeratkan tangannya. "Dasar kutu kupret Rio! Kamu kenapa sih jadi dingin begini?" Ia menekuk wajahnya seraya bersedekap dada.
Mereka ada di parkiran sekolah dan Rio memarkirkan motornya beberapa detik lalu. Rio memang tak banyak bicara sepanjang perjalanan dari rumah menuju sekolah.
Rio menghembuskan napas berat, mungkin ini memang saat yang tepat untuk memperjelas semuanya sebelum terlambat. Tadinya Rio mau bersikap egois, tapi ia tak mau jika Abby berakhir bersamanya dengan satu kata: terpaksa.
Tangan Abby ditarik Rio menuju gedung olahraga yang tak jauh dari parkiran. Jelaslah, pikiran negatif mulai menghampiri Abby. Bagaimanapun ialah si Beruang Mesum yang dijanjikan bahwa dirinya akan dicium oleh si Kutu Kupret jika cowok itu sudah siap.
Oh, tidak! Batin Abby.
Gedung olahraga tentu sepi karena jam pelajaran belum berlangsung dan palingan para murid juga menggunakan fasilitas outdoor karena langit sedang cerah-cerahnya.
Rio melepaskan tangan Abby lalu berjongkok dan menggeram frustrasi. Ia sudah tidak bisa menahan pertanyaan itu lagi.
"E? Ka ... kamu kenapa?" Abby menghampiri Rio dengan penuh tanda tanya.
"Kenapa kamu jawab iya, By?" tanya Rio.
Abby tak mengerti hal apa yang sebenarnya dibahas cowok itu. "Apaan yang iya, RiRi?"
Cowok berjaket bisbol itu berdiri sebelum mengusap kasar wajahnya. "Perjodohan, By. Apalagi!"
"Sebentar," Abby tidak jadi mempedulikan kefrustrasian Rio, "Maksudnya kamu mau nolak disaat aku udah bilang ya dan ngecewain seluruh keluarga Pradipta dan Aditama?"
Rio tersenyum kecut. "Benar. Itu jawabannya. Kamu cuma terpaksa berakhir bersama aku. Udah, By. Aku ga apa-apa, kejar dia. Aku yakin aku mampu bertahan." Sudah dipastikan seberapa muram wajah seorang Rio.
"Siapa yang harus aku kejar?!" Abby memekik kesal.
"Sam. Kamu cintanya sama dia ya kan?" jawab Rio usai mengambil napas dalam-dalam dan memberanikan diri menatap mata Abby.
Penuduhan Rio jelas bagaikan teflon panas yang menampar pipi Abby. "You are right," ucapnya dengan pandangan nanar.
Langkah Abby yang kian menjauh pun menghancurkan rencana Rio untuk bisa bersama gadis berambut brunette itu sampai maut memisahkan mereka. Kenyataan memang pahit, ia kembali berlutut dan tenggelam dalam kekecewaan.
"Sahabat selamanya, gue pengen ngejar," katanya penuh kemirisan.
Ingatannya kembali pada bagaimana cara Abby menatap Sam yang memakan makanannya dengan lahap di kantin. Datang berdua ke parkiran dengan muka bantal. Abby yang meneriaki nama Sam dan meninggalkannya menendang pelek motor saking cemburunya.
Lalu...
"Dasar kutu kupret! Siput paling lemot! Setan dodol! Rio bego!" teriak seseorang yang berdiri di ambang pintu dengan mata memerah, "Kenapa ga ngejar, RiRi setan!"
Seketika itu juga Rio yakin bahwa setiap rencana yang telah ia persiapkan akan berjalan lancar selancar hujan yang membasahi bumi.
Rio tak bisa menyembunyikan senyumnya, kemudian ia berteriak, "Don't call me RiRi!!" Ia mengejar Abby yang wajahnya langsung merona-rona.
"Aaaaaaaaaaa...!" Abby menjerit senang sembari dikejar oleh Rio.
Abby tahu apa yang terjadi jika ia memanggil Rio dengan sebutan itu.
Pasangan ini bukanlah pasangan yang mengumbar keromantisan lewat cara-cara klise seperti bermulut manis dan terus-terusan mengumbar janji. Mereka menikmati kisah manis mereka dengan berteriak, bertengkar, dan sekarang mereka mulai mempercayai yang namanya kata hati.
++++++
Sam menyusuri lorong demi lorong gedung SMA Nusantara dengan sesekali tersenyum. Ia mengingat betapa malas dirinya menjejakkan kaki di sini usai mengalami yang namanya patah hati. Ia berdiri di depan pintu kelasnya dan mengamati bangku di mana ia biasa duduk lalu dihampiri Alden yang menawarinya pertemanan. Kemudian matanya menghambur ke balkon, biasanya ia, Rio dan Alden berkumpul di sini dan berbagi cerita. Kakinya melangkah menjauhi kelas untuk pergi ke tempat yang lebih banyak memiliki kenangan bahagia di sekolah ini. Sam tersenyum saat ia mengingat bagaimana wajah Abby dengan jari telunjuk yang mengacung padanya.
"Cowok berbadan mesumable." kata Abby waktu itu.
Sam mengusap sudut bibirnya yang menyunggingkan senyum. Tak dipungkiri kalau berada sebentar di Indonesia lalu bertemu sekumpulan anak-anak aneh itu bisa membuatnya berat hati untuk kembali bersama keluarganya di Amerika.
Langkah kaki cowok berjaket jeans itu berhenti sebelum menggapai gagang pintu UKS. Ia berhenti karena melihat sekumpulan anak-anak aneh itu berlari mendekatinya.
"SAM! AYO KITA BOLOS BERJAMAAH!" teriak mereka serentak tanpa mempedulikan tatapan sinis orang-orang sekitar.
Sam tergelak dan berdecak tak percaya.
Kemudian setelah setengah jam berlalu usai mengiyakan permintaan teman-temannya, ia benar-benar bersama seorang anak yang nyatanya masih kecil.
Anak yang memakai topi SD miring itu menatap cuek wajah kesal Sam. "Ngapain lihat-lihat? Kakak yang ga lebih ganteng daripada Kak Rio."
Mereka tengah berada di depan gerbang sebuah sekolah dasar. Abby mengambil inisiatif ini saat mengingat seberapa manyunnya bibir adiknya itu.
Kalau Rio dan Alden dipeluk mesra oleh pacarnya dari belakang, lain halnya dengan Sam yang tahu-tahu harus memboncengi Lita.
"Kenapa gue harus sama dia, Abby!" Sam menunjuk Lita tepat di hidung bocah itu.
Abby terkekeh dan mengulas seringaian yang sama seperti tiga orang lainnya. "Kan triple date, Samuel!" katanya tak mempedulikan kedongkolan hati Sam dan Lita.
"Bro, sebelum pergi. Seenggaknya kita buat memori yang menyenangkan," ucap Rio.
Sam hendak menimpali ucapan Rio tapi keduluan oleh Alden.
"Lo sendiri dulu pernah nawarin diri buat bikin triple date. Nah, sekarang harusnya lo ga usah nolak, bro," kata Alden yang berusaha mati-matian menahan tawa.
"Tapi pasangannya ga dia juga kali! Gue bisa nyari sendiri pe'a!" seru Sam geregetan. Ingin rasanya ia menoyor kepala sahabatnya satu persatu.
Atha merasa benar-benar bahagia dengan waktu yang ia miliki.
Rio tersenyum setan. "May be she is your happy ending, Sam."
Sam mendelik lalu menoleh ke wajah sewot Lita sebelum mengutuki para sahabatnya dalam hati.
~to be continue~
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro