Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

IL-34-Remember When [Agatha]

Saatnya, POVnya Atha. Well silahkan baca jati dirinya Ms. Oones satu ini.


HAPPY READING ^_^

----

IL-34-Remember When [Agatha]

Aku berusaha konsentrasi mengerjakan soal-soal yang diberikan Alden. Tapi bagaimana mau mengerjakannya sampai tuntas?

Alasan pertama yaitu otakku, otak yang sangat tidak terlalu pintar menangkap pelajaran. Benar, kenyataannya seumur hidupku aku mengesampingkan belajar dan apa yang semestinya seorang pelajar lakukan.

Belajar? Huh, apa itu belajar?

Belajar hanya menyia-nyiakan waktuku saja.

"Berhenti na ... natap aku kayak gitu." Alasan kedua ialah tatapan Alden yang seakan menelanjangiku.

"Gimana sih? Ditatap cowok sendiri ga mau, eh?" Alden meledekku.

Tidak kusangka, Alden bisa duduk di sebelahku dan menyebut dirinya sebagai kekasihku.

Rasanya ingin menampar pipiku menggunakan raket nyamuk. Ya Tuhan, ini bukan sekedar bunga tidur, 'kan?

"Bukan gitu. Tatapanmu selalu bikin melting, Alden."

Kedua bola mata yang memancarkan kepedulian, hangat, sekaligus menyejukkan.

Tiba-tiba telunjuknya menurunkan buku tulis yang kugunakan untuk menutupi wajahku. "Kalo begitu tatapanku harus gimana? Ehm... guru killer?"

Dia menirukan ekspresi Pak Sidik, ekspresi beliau jika sedang marah. Guru yang terkenal galak di sekolah kami. Alisnya ditautkan, mata yang dibuat mendelik sembari bersedekap dada.

Bagiku tidak menyeramkan, Alden malah membuatku geli. Aku jadi tertawa menanggapi leluconnya ini.

"JANGAN BERISIK!" bentak Bu Amy lantang.

Aku langsung menghentikan tawaku, menutup mulutku menggunakan buku lagi.

"Maaf, Bu!" kata Alden yang biasa-biasa saja menanggapi amarah Bu Amy.

Dibalik kesempurnaan fisik, otak, dan sikap gentleman-nya. Dia ini bandel!

Semua orang tahu siapa itu Alden. Dia dan Rio sudah jadi bahan perbincangan nomor satu di ruang BK karena kenakalan mereka semenjak masuk SMA. Aku juga, tapi aku diperbincangkan karena otakku yang kelewat bodoh.

Kucubit paha kanannya saking geregetan menyaksikan betapa santainya dia membalas bentakan guru. "Jangan suka begitu!" Aku memperingatinya.

"Nurun sayang, nurun sifat Papahku," timpalnya lebih santai lagi diawali dengan sebuah senyuman.

Aku menggeleng sambil ber-cih.

Kulirik jam tangan yang menunjukkan bahwa jam istirahat tinggal tersisa sepuluh menit lagi. Istirahat... waktu istirahat kami habiskan untuk berduaan di perpustakaan, bukannya berduaan di kantin seperti kebanyakan pasangan.

Aku tahu, dia peduli padaku. Peduli pada kebodohan seorang Agatha Kusuma yang belum berani mengingatkannya tentang...

"Tha, boleh tanya sesuatu ga?"

Aku kembali berhenti menulis demi mendengarkan apa yang Alden hendak tanyakan. "Tanya apa, Al?"

"Hm...." Alden sedang berpikir dengan matanya yang tidak lepas dari mataku. Kelakuannya yang begini sering membuatku jadi salah tingkah.

"Kamu pernah kenal aku?" Pertanyaan yang tidak aku tunggu namun pertanyaan itu sudah kusiapkan jawabannya.

Aku membeku untuk beberapa saat.

"Pernah," jawabku. Jawaban yang berdasarkan fakta, ya, kami memang pernah bertemu.

"Aku pernah kenal kamu?" Dia menaikkan satu alisnya. Dia tidak puas dengan satu kata barusan sebagai jawabannya.

"Pernah. Kamu tuh tega, Al. Aku dilupain gitu aja." Aku berpura-pura ceria.

Dari gestur tubuhnya, aku menyatakan dia sedang kebingungan dan berusaha mengingat-ingat. "Seriusan! Atha! Kok aku bisa ga inget?"

"Kamu percaya cinta pada pandangan pertama, itu yang aku rasain saat pertama kalinya ngelihat kamu."

"Dan kapan pertama kalinya kamu ketemu aku?" Alden masih gencar memberondongku dengan pertanyaan-pertanyaan yang semua jawabannya masih kusembunyikan.

Aku menggerakkan bahuku ke atas lalu ke bawah. "Aku lupa."

"Astaga! Argh! Rahasia lagi! Semua orang kenapa punya rahasia!" Alden menjadi frustrasi akibat jawaban ganjilku.

Tiba-tiba dia mendapat hadiah dari Bu Amy. Kepalanya yang berotak encer dilempar spidol dari belakang. Aku jadi menertawainya.


"Seneng ya pacarnya disiksa, eh?" Dia manyun.

Aku terkekeh seraya mencolek punggung tangannya. "Ya enggalah, sayang."

Hembusan angin yang menerebos lewat jendela menerbangkan lembaran kertas yang kurobek dari buku sketsa. Aku melangkah di atas sampah rautan pensil menuju balkon kamarku. Aku mulai menatap nyalang langit malam yang tidak ada penyinaran dari benda langit satupun. Dalam balutan jeans robek dan kaos hitam, aku berkata, "Ma, Pa. Tau ga, hari ini Atha diejek lagi. Atha disebut anak berandalan, cewek bego ... ga ada yang mau ngertiin Atha!"

Di sekolah, akulah cewek yang lebih pantas disebut cowok. Rambutku sangat pendek, penyendiri, dan terkadang mencicipi rokok.

Aku tersenyum kecut, merasa tambah bodoh karena mengoceh sendirian. "Kalo kalian ada di sini, mungkin Atha ga jadi murid pembangkang."

Kenyataan pahit harus kujalani selama hampir dua tahun ini. Dua tahun aku hidup sendirian di rumah yang besar tanpa adanya orangtua yang menjagaku.

Mereka pergi, tanpa membawaku.

Aku membenturkan keningku ke pagar balkon. Awalnya pelan tapi lama-kelamaan semakin kencang hingga benturannya menimbulkan bunyi.

"ATHA GA KUAT, MA! PA!" Jeritan nyaring terlepas dariku.

Air mata sudah jatuh ke pipi, kupastikan keningku memerah.

Tidak! Tidak bisa begini! Bagaimanapun aku harus menghargai hidupku.

Tidak! Tidak bisa begini! Bagaimanapun aku sudah bosan hidup sendirian!

"Atha pengen nyusul kalian." Aku melongok ke bawah, menatap nanar halaman rumah yang ditumbuhi rerumputan.

"Nona Agatha!"

Bahuku ditarik oleh Yurike yang entah kapan memasuki kamarku.

Aku berusaha mendorongnya. "Lepasin, Yurike! Buat apa aku hidup di dunia ini! Aku bosen! Aku bosen! Aku pengen nyusul Mama sama Papa!"

Yurike tidak mengindahkan perlawananku. Dia menarikku dalam dekapannya, mengelus punggungku yang gemetar karena menangis. "Masih ada saya, Non. Saya ga bakal ninggalin Nona Agatha," katanya.

Yurike hanyalah seorang pembantu di rumah ini, dia jelas bukan keluargaku. Yurike adalah wanita yang ditugaskan menjagaku.

"Kenapa aku ga diambil juga nyawanya? Ke ... kenapa bukan aku aja yang kena kanker, atau ... atau ... Yurike...!" Butuh waktu lama supaya pikiranku kembali tenang.

Aku terpuruk, di usiaku yang ke-empatbelas, aku tidak punya seorang pun yang bisa disebut sebagai anggota keluarga.

Fakta yang tidak dapat kuterima, semua anggota keluargaku sudah tersenyum bahagia di atas sana, bersama-Nya.

Membalas pelukan Yurike yang bisa meredakan amarahku, aku mengantuk.

"Atha, hari ini aku ga bisa nganterin kamu pulang. Ga apa-apa 'kan? Aku ada les."

"Hm? Oh..., iya ga masalah." Aku melihat Alden betah menggenggam tanganku sepanjang koridor. Gara-gara dia menggenggam tanganku, aku tersentak dari lamunanku.

Lama-lama aku menyadari jika banyak pasang mata yang menatap ke arah gandengan Alden penuh selidik.

Sesekolahan tentu tahu tentang kelakuan anehku yang begitu memuja Alden. Aku bertindak seperti orang tidak punya muka, dan tidak tahu situasi.

"Ga usah malu dilihatin orang, biasanya juga ga pake malu-malu gini," ujarnya sambil mengeratkan genggamannya.

Mesra.

Alden rupanya cowok yang romantis. Semakin luluh lantahlah hatiku di dekatnya.

Hari ini pengumuman hasil UN sudah dilaksanakan. Aku pulang ditemani kata 'Lulus', sekarang umurku jalan enambelas tahun. Sebelum aku pulang ke rumah, aku harus mampir ke Psikiater. Mennyeramkan memang, masih dibilang muda tetapi aku sudah sering berbincang dengan seorang Psikolog. Aku tidak gila, aku hanya ingin beban psikisku berkurang. Aku hanya anak kecil yang hidup sendirian sembari dibayang-bayangi bisnis Papaku. Suka tidak suka suatu hari perusahaan Papa akan dibebankan padaku. Padahal aku yakin otakku tidak sanggup menyelesaikan persoalan itu. Walaupun Yurike bisa menanganinya, tetapi aku tidak suka bisnis. Aku tidak mengerti bisnis, aku lebih suka menggambar.

"Alden! Tungguin, nyet!"

Telingaku sudah tersumpal earphone, tetapi aku masih bisa mendengar teriakan seseorang di lorong rumah sakit.

"Ga usah pake teriak kenapa, By. Gue ga budeg, oke!"

Sekilas aku mengangkat wajahku, aku melihat wajah cowok yang...

Mereka kembar?

Aku tersenyum melihat kelakuan seorang anak cowok yang terlihat kesal karena ulah anak cewek di belakangnya. Wajah cowok dan cewek itu mirip, hampir mirip. Mereka juga mengenakan pakaian seragam yang sama pula.

Cowok yang diteriaki itu berhenti di depanku. Aku sedang duduk di ruang tunggu rumah sakit.

"Tuh. Gara-gara elo, kita diketawain, By."

"Siapa yang ngetawain emang?" Si Cewek berambut hitam ikal tiba di depanku

"Cowok ini." Tunjuk si Cowok padaku.

Aku hendak menurunkan kerudung jaketku sekaligus meralat ucapannya.

"Alden Pradipta yang ganteng, lo buta ya? Dia cewek, nyet. Noh, buktinya dia punya dada." Giliran si Cewek yang bicara, dan aku tidak jadi menurunkan kerudung jaket hitamku.

Wow! Aku tidak menyangka jika cewek ini menyadari bahwa aku... HAH?! Punya dada?

"Hush! Abby lo kalo ngomong tuh dijaga! Gue jewer juga bibir lo, Abby!"

"Lo berani jewer bibir gue, gue bales lo pake gagang sapu! Ah, udah deh, lo minta maaf sama cewek ini yang udah lo hina. Gue duluan ke ruangannya Kak Shay. Dek Bay! I"m coming!"

Aku mendengarnya mendengus, dia ditinggalkan kembarannya yang lari sambil bersiul.

"Hm." Detik selanjutnya, si Cowok yang menyebutku cowok, dia berjongkok di depanku.

Aku semakin menunduk, aku merasa gugup.

"Ini, sebagai permintaan maaf gue. Juga maafin ucapan kembaran gue yang kurang sopan. Ehm... gue ga bermasud ngehina atau ngejek elo, gue beneran ngira elo tuh cowok." Ada sebungkus roti yang berbentuk lonjong ditaruh di pangkuanku.

Aku tidak mengelak, aku memang cewek tomboy.

"Roti pesanannya kembaran gue sih, semoga lo suka. Hehehe...." Dia terkekeh pelan.

"Sekali lagi, omongan gue jangan lo ambil hati. Mau elo tomboy atau girly, gimanapun semua cewek pasti cantik." Tiba-tiba tangannya ditumpangkan di atas kepalaku, "Terutama hati mereka."

Aku lumayan terkejut mendengar perkataannya. Masih ada ya, cowok seperti itu di dunia ini?

Siapa namanya tadi? Al ... Alden siapa?

Saat aku sudah berani mengangkat wajahku, cowok tadi menghilang ditelan belokan.

"Alden Pradipta yang ganteng?" Tak terasa, aku mengulas senyum sebanyak dua kali.

Roti pemberiannya kubuka. "Rasa stroberi? Gue suka."

Air keran membasahi wajahku sekaligus menyudahi ingatan masa laluku dengan Alden. Semenjak pertemuan di rumah sakit, itulah awalnya aku menjadi seorang stalker.

Maaf Alden, aku belum mau mengingatkanmu tentang awal pertemuan kita. Di mana dan saat kapan kita bertemu. Aku tidak mau kamu menjauhiku setelah kamu mengetahui seperti apa aku dulu. Aku tidak mau ditinggalkan orang yang kusayangi lagi.

Aku takut, dia menjauhiku.

~~~~~~

TBC!!!!

VOMMENT!

Absurd ya kisahnya? Hehehe...

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro