IL-22B-Motif Mereka [Abigail]
IL-22B-Motif Mereka [Abigail]
"Ada manfaatnya baca buku-buku koleksi orangtua gue di sini." Aku memandangi rak-rak buku di sekitar kami.
Atha ber-oh ria. "Pantesan Al bisa pinter. Lo ... juga ... ternyata."
Melihat wajah kurang percaya diri Atha, aku mencolek tangannya.
"Asal lo rajin belajar, nilai lo mesti naik. Daftar les bisa bantu, kayak si Al. Dia ada les di luar," kataku setengah berbisik pada Atha.
Atha menyengir. "Gue juga baru daftar les sama guru ganteng." Dia ikutan berbisik.
Kami berdua cekikikan.
Cekikikanku berhenti, penyebabnya adalah makhluk hidup yang tiba-tiba duduk di sebelahku.
Kenapa Alden tidak duduk di sebelah Atha? Atau duduk di sebelahku, kenapa harus Rio?!
Alden duduk di ujung meja dan langsung membaca buku Sejarah.
"Udah sampe mana belajarnya?" tanya Rio, dia mengambil lembar soalku. Rio menganggut-anggut, berubah menggeleng, dan mulutnya berkomat-kamit. Dia meletakkan lembar soal itu. "Ini mah gampang! Mana pensil? Mana pensil? Gue bisa jawab semuanya!"
Sok pintar banget si Rio.
Aku menjauhkan alat tulisku darinya saat tangannya akan menyentuh pensilku. Aku menatap Rio garang dan sadis.
Rio ber-cih, tangannya berpindah mengambil kertas folioku yang sudah bertuliskan lima jawaban soal-soal hukuman itu.
Rio, makhluk hidup yang terus merecokiku. Hari ini, aku sangat ingin membunuhnya. Mencolok kedua matanya menggunakan bolpion yang sedang kupegang.
"Abby, gue kira jawabannya bakal, ah... oh... no, yes, fas-"
Aku pukul kepala Rio memakai penggaris besi sebelum meneruskan suaranya yang dibuat agak mendesah. Perkataan Rio menyerempet masalah hobi membaca novel dewasaku.
Alden dan Atha menatap kami heran. Beruntunglah otak mereka sepertinya masih jernih. Otak Alden dan Altha belum kotor seperti milikku. Ehm, kayaknya kalau Alden agak kotor sih. Dia yang berpikiran aku sudah kissing sama Sam. Oh, Alden mungkin belum paham betul soal "gituan", dan tidak hobi menonton video porno.
"Sakit Abby! Itu penggaris besi gila! Sakit!" Rio manyun, dia mengusap kepalanya.
Aku rebut lembar soalku. "Gue juga sakit, tolol!" ucapku.
Mulutku tiba-tiba tidak bisa direm. Bibir ini mengucapkan isi hatiku secara reflek.
Sip, aku harus mencari alasan kalau Rio memborbardirku dengan berbagai pertanyaan. Terutama pertanyaan, "sakit kenapa?"
"Ehm, Atha. Gue mau ke luar beliin Lita pulsa buat internetan. Temenin gue, mau? Gue traktir lo es krim stroberi." Alden mendapatkan kesempatannya dalam kesempitan.
Sialan, tapi tidak begini juga!
Maksudnya aku ditinggal berdua sama kutu kupret bernama Rio ini?!
Tentunya kedua mata Atha berbinar, dia mengangguk cepat.
"Stroberi! Ya mau, Al! Dengan senang hati gue nemenin lo. Hehehe...."
Sikap sok cool tetap Alden pertahankan. Mereka berdua berdiri dan tanpa basa-basi keluar dari perpustakaan.
Rasanya ingin menimpakan almari kepada kedua orang itu.
Ya! Mereka berdua kenapa jadi pengkhianat?! Terutama Alden! Tahu-tahu mengajak Atha membeli es krim. Itu cuma modus! Kode keras!
"Sakit kenapa?" Nah loh! Pertanyaan itu benar-benar diluncurkan dari mulut Rio.
Perpustakaan jadi terasa hening, panas dan seakan mempenjarakanku.
"Menurut lo? Gue sakit karena apa?" Aku menggeser pantatku, aku duduk menjauhi Rio.
"Maag?" Rio menoleh ke arahku.
Kutu kupret idiot.
"Up to you, RiRi," gumamku yang kembali mengerjakan soal.
BPUPKI dibentuk kapan?
Pastinya dibentuk sebelum aku dibuat, bahkan kehadiran Papah dan Mamah belum direncanakan penggarapannya oleh para kakek dan nenekku.
Pikiranku kacau! Pikiranku berpencar ke mana-mana. Kenapa aku jadi nervous?!
"Don't call me RiRi." Rio kesal.
Namanya menggali lubang sendiri, aku baru ingat penyebab Rio mengambil first kiss milikku. Penyebabnya adalah... nama RiRi.
Ingatan yang dulu mati-matian aku kubur, kini semuanya timbul lagi.
Kenapa, perpustakaanku jadi terasa mencekam?
Aku menunduk, tidak mau melihat ekspresi mesum Rio seperti di masa lalu.
"Abby." Rio meyebut namaku setelah menghela napas panjang.
"Gue minta maaf." Hal yang paling tidak terduga hari ini. Rio minta maaf? Rio yang sudah kuanggap setan, barusan meminta maaf?
Aku meliriknya. "Untuk apa?" Nada bicaraku sengaja datar.
Saatnya membalas dendam! Aku ingin Rio mengingat kembali kalimat-kalimatnya yang menyakitiku. Kalimat yang dia ucapkan saat di apartemen.
Jika dia punya hati dan otaknya yang pintar itu memang jalan, maka dia akan berbicara sesuai keinginanku.
"Untuk yang di apartemen itu."
Hore! Rio menyadari kesalahannya.
"Gue bercanda soal jawaban gue buat kalimat lo. Lo bukan sakit maag, tapi sakit hati karena perkataan brengsek gue waktu itu."
Aku diam saja, aku masih ingin mendengarkan penjelasan Rio. Wajah mengesalkannya terganti dengan wajah serius nan bersalah.
"Dan masalah...." Rio terlihat ragu. Dia menggaruk lehernya, itu yang biasanya dia lakukan jika ragu atau gugup.
"Masalah?" Aku memancing dia.
Rio duduk menghadapku, dia menarik tanganku, dan mengenggamnya. Tidak ada aura mesum terpancar darinya. Cengengesannya tidak muncul, Rio benar-benar sedang serius.
Aku melotot, hendak menyolot. Tapi... aku penasaran mendengar lanjutan kalimatnya.
"Masalah ciuman kita yang dulu."
Oh tidak Tuhan! Kenapa jantungku seperti mau keluar buat ikutan lari marathon saking cepat detaknya!
Rio akan membahas masa lalu kami.
"Ciuman kayak dulu itu... kita bakal ngelakuinnya lagi saat gue siap."
"HAAAH?!" Aku melongo lebar. Cengo, takjub, bingung, kesal, kecewa, marah, pengin nebas kepalanya Rio tapi juga pengin dia mengucapkan kalimatnya lagi. Takut aku salah dengar!
Rio melepaskan tanganku, dia berdiri, menggaruk kepalanya dan bersikap seperti orang grogi.
Rio tidak mau menatapku, dia memalingkan wajahnya. "A ... a ... ah! Intinya! Ciuman kita waktu itu bukan kesalahan atau ketidaksengajaan!"
Aku masih melongo. Rio kabur dari perpustakaan.
Aku masih sibuk melongo.
Melongo lebar.
Diam, membisu.
Perutku sekarang seperti digelitiki.
Aku masih cengo tapi hari ini, aku maafkan si Playboy yang wajah groginya lucu.
~°°~
Alden sungguh-sungguh membelikan Lita pulsa dan anak itu bersorak kegirangan.
"Makasih Bang, pulsa sama es krimnya!!!!" Lita menarik tangan Alden, jadi Alden sekarang membungkuk. Lita mencium kedua pipi Alden bergantian, "Lita sayang Abang!"
Kita berempat bertemu di lantai dua, aku mau ke kamar untuk melakukan sesuatu.
Alden tersenyum sambil mengacak-acak rambut Lita.
"Kak Atha, Lita tinggal dulu ya. Oh, dan selamat belajar!" ucap Lita yang berlari gembira menuju kamarnya.
"Bukannya tadi dia merengut ngelihatin Atha, ya Al?" Aku menepuk pundak Alden.
Atha memberikanku es krim rasa cokelat, di tangannya ada es krim rasa stroberi.
"Tadi kita ketemu di jalanan kompleks, biasa lagi main bola sama anak-anak laki, gue ajak dia beli es krim dan gitulah, By." Alden tersenyum senang, dia tidak memakan es krim. Dia mengunyah cokelat batangan.
"By, tadi gue lihat Rio pergi pake motornya. Masih marahan? Gue tinggal biar lo bisa ngobrol empat mata," ucap Alden.
Kedua tanganku kulipat di bawah dada. "Oh, jadi motif lo minta temenin Atha ke luar biar bisa bikin gue baikan sama Rio?"
Alden dan Atha kompak menyengir dan mengangguk.
"Tch, udah baikan. Tapi kutu kupret itu...." Sebaiknya tidak usah kuceritakan kepada mereka berdua. Alasannya, Alden bisa-bisa ngakak habis-habisan di lantai kalau aku ceritakan masalah antara aku dan Rio. Masalah kita berdua juga agak memalukan.
"Rio kenapa?" Alden tahu siapa yang kusebut kutu kupret.
"Dia udah minta maaf sama gue. Udah gitu doang. Atha, lo duluan ke perpusnya ya? Gue mau poop dulu." Kutunjukkan deretan gigi putihku.
Alden mendesis karena alasan yang kuucapkan dan Atha mengangguk patuh.
Aku masuk ke dalam kamar sementara dua orang itu?
Aku sempat melihat mereka melempar tawa dan berjalan beriringingan menuju lantai tiga.
Mereka sudah dekat.
Aku masuk ke kamar, membanting tubuhku ke atas kasur yang berantakan. Sementara es krim pemberian Atha, kugeletakkan di nakas. Aku membuka lock-screen ponselku, ponselku memang kutinggalkan di ranjang.
Nomor Sam yang Alden kirimkan, aku simpan atas nama Dewa Ambigu.
Aku memang suka mengubah nama orang di kontak ponselku.
Aku menelepon Sam.
Tak berapa lama, suara cowok menyambutku. Bukan cuma suara cowok, tapi juga musik barat yang bertempo cepat sedang mengalun.
"Sam here."
"Lo lagi party, Sam?" Aku memeluk gulingku.
"Gue di rumah. Siapa nih? Ah, sori. Gue lagi ga mau nge-date sama siapa-siapa-"
Aku potong kalimatnya. "Ini gue, nyuk. Abigail! Abby!!!!"
"Elsa! Kecilin musik lo! Oh, elo Ab. Ada apa? Kangen?"
Sam berteriak mengucapkan nama seorang cewek. Apa itu nama pacarnya?
"Najis gue kangen sama lo! Elsa siapa tuh?"
Ada suara dentingan sendok. Kayaknya Sam lagi mengaduk sesuatu di seberang sana. "Kakak gue. Harus ada musik kalo dia lagi kerja, bikin desain baju. Kerjaan Elsa, salah satu alasan gue balik ke Indo."
"Wah... gue ga ngiraaaa! Lo cuma tinggal sama Kakak lo?"
"Duh Ab. Langsung ke pokoknya aja. Ngapain lo nelpon gue... Elsa! Jangan ganggu gue!"
"Siapa yang nelpon? Cewek huh, siapa? Udah move on nih dari Zoey?" Samar-samar aku dengar suara Elsa.
"Berisik lo! Ini temen gue! Cewek, tapi cewek jadi-jadian! Udah sono lo, go away!"
Kalau dekat, sudah kulempar Sam menggunakan vas bunga. Abby yang cantik ini disebut cewek jadi-jadian?!
"Heh kunyuk! Gue cewek tulen." aku terduduk, "oke, ini langsung ke pokoknya. Tch, tapi gue masih kesel disebut cewek jadi-jadian!"
Sam tergelak. "Gue kan ga bohong, Ab. Lo emang jadi-jadian. Jadi ada apa? Mau curhat?"
Aku kembali tiduran. "Gue sama Rio udah baikan."
"Bagus itu! Salah pahamnya udah selesai?"
"Kalo udah baikan berarti udah selesai, pe'a!" aku berguling ke samping, "Sam, gue minta bantuan lo boleh ga? Tentang gue sama Rio."
"Boleh apa? Bantu apa? Gue siap bantu apa pun."
"Ah, ga jadi deh."
"Loh kenapa?"
Aku menggaruk kepalaku. Mengupil sedikit dan meper ke celana. Tidak ada yang lihat ini, jadi santai saja mengeluarkan kejorokanku.
"Abis lo gampang banget ngeiyain permintaan gue! Gue cu-ri-ga! Lo pasti punya motif tersembunyi?"
Sam mendesah di seberang, tapi bukan mendesah mesum.
"Motif gue ga jahat, Ab. Gue cuma ga mau aja, salah satu dari kalian ada yang berakhir kayak gue."
Aku terduduk lagi.
Berakhir seperti dia?
"Cepetan ngomongnya, Ab. Bantu apa? Gue ada tugas cuci piring sama ngepel hari ini."
"Ehm... bantu gue peka sama perasaan gue. Bisa?"
Tidak ada suara yang menyambutku dari nomor Sam.
"Itu hal yang pengen gue lakuin sejak ketemu sama lo."
"Lo penuh rahasia. Sam, kalo lo ada masalah, ceritain juga sama gue. Oke?"
"Udah, Ab? Udah telponnya ya. Gue putus nih, cucian piring gue banyak."
Tut-tut-tut
Telponnya sudah terputus.
Sam tidak mengiyakan tawaranku. Aku menguap setelah itu memijat pelipisku.
"A ... a ... ah! Intinya! Ciuman kita waktu itu bukan kesalahan atau ketidaksengajaan."
Aku tersenyum mengingat perkataan Rio.
"Ciuman kayak dulu itu ... kita bakal ngelakuinnya lagi saat gue siap,"
Kalimat itu membekas di otakku. Aku belum sepenuhnya yakin bahwa Rio menyukaiku, dia 'kan pacarnya ada di mana-mana.
Aku tidak mau dipermainkan.
Entah kenapa, aku senang melihat tingkah Rio hari ini. Mamah suka nyebut Lita unyu.
Ya, hari ini aku bisa sebut tingkah Rio unyu banget.
Selesai menelepon Sam yang sekarang sedang cuci piring, aku keluar kamar untuk balik ke perpustakaan.
Mengerjakan soal sebanyak seratus dan harus di kumpulkan besok pagi.
~•••~
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro