Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

riku

Play : Muse - Supermassive Black Hole

Maeda Riku itu remaja barbar setengah gila. Seluruh sekolah juga tahu betapa kelakuannya itu seringkali memusingkan guru-guru. Terlibat perkelahian adalah hobinya tiap saat. Kalau berjalan di koridor sekolah sudah mirip seperti gangster. Pemukul baseball di tangannya adalah penggertak handal sehingga tidak ada yang berani maju melawan berandalan itu.

Bak lubang hitam supermasif, keberanian orang di sekitarnya seolah terserap habis dengan kehadirannya.

Beberapa waktu lalu Riku menyukai seseorang. Gadis manis dari kelas sebelah yang ia temui tidak sengaja setelah pulang dari tawuran. Tiga bulan dekat, ia akhirnya memacari gadis bernama Sora itu. Kegilaan lelaki itu bertambah. Ia tidak segan memukul siapa pun yang dekat dengan pacarnya.

"Bisa nggak, stop mukulin orang karena kamu cemburu?" kata Sora pada Riku. Geram dan muak.

Mereka berdua sedang duduk di tribun ruang teater, menghadap panggung luas tempat Sora baru saja latihan untuk drama musikal. Riku baru saja memberi satu bogem mentah pada Yushi, teman Sora yang akhir-akhir ini sering ia lihat bersama dengan pacarnya.

Kedua kaki Riku naik ke kursi di depannya, menoleh menatap Sora yang duduk di sebelahnya. "Nggak bisa. Kamu tahu kan dia bilang apa tentang aku di chat? Pacar toxic? Damn it, dia itu yang toxic deketin pacar orang."

"He's my friend, Riku."

Riku mengambil lolipop di saku, membuka lalu mengemutnya di mulut. Jika bukan karena sedang berhenti merokok—yang tentu saja adalah permintaan pacarnya, ia tidak akan membeli permen stroberi seperti anak kecil itu sekarang.

"You're crazy. Craziest person i've ever met."

Riku terkekeh. Ia menoleh, menatap gadisnya tepat di mata lalu tersenyum miring. "Yes, i am. I'm crazy because of you."

Sora memutar mata jengah ketika akhirnya Riku memberi kedipan sebelah mata. Gadis cantik dengan rambut panjang itu berdiri, meninggalkan Riku sendirian di dalam ruang teater yang sepi. Lelaki 17 tahun itu bersedekap dada, tersenyum lebar sebab tersadar tidak ada siapa pun yang bisa mengalahkannya.

Ia adalah orang paling ditakuti di sekolah ini. Lalu apa salahnya memukul orang yang macam-macam dengan pacarnya? Mendekati pacarnya berarti mencari gara-gara dengannya.

Riku tidak tahu hanya menunggu waktu semuanya berubah.

Hari itu matahari sedang beranjak naik ke atas. Sora baru saja selesai bermain bola voli. Riku bisa melihat gadis itu sebab ia sedang dihukum berjemur di lapangan. Sudah rencana sejak awal. Ia memang berniat dihukum agar bisa melihat pacarnya yang sedang olahraga di lapangan outdoor sekolah mereka.

Guru olahraga Sora sedang absen. Satu kelas itu bermain bebas dan mandiri.

Riku yang sedang bersandar pada tiang bendera mengemut permen lolipopnya. Ia mengernyitkan dahi ketika seseorang mendekati Sora.

Riku punya kriteria untuk memukul seseorang. Yushi, yang katanya teman pacarnya itu ia pukul karena menyuruh Sora agar memutuskannya. Selain itu, ia tahu mereka sering sekali bersama meski hanya mengobrol dan mengerjakan tugas.

Akan tetapi, seseorang yang sedang mendekati Sora kali ini agaknya berbeda. Kepalanya mendidih ketika lelaki itu datang tanpa obrolan dan langsung merangkul pacarnya. Garis bawahi, merangkul! Lebih sialnya pacarnya itu tampak nyaman, tersenyum manis pada lelaki di sebelahnya sebagai balasan.

Tanpa menunggu lama, Riku segera menghampiri lelaki yang ia ketahui bernama Sion itu. Ia menarik bahu lelaki itu berniat langsung memberi jotosan, tetapi reflek Sion terlampau cepat dan tidak terduga. Tangannya ditahan, membuat kepalan tangannya berhenti di udara tanpa mengenai sasaran.

"Ini yang namanya Maeda Riku? Pacar lo yang kalau cemburu itu mukul, Ra?" Sion tersenyum mengejek. Seperti hendak mengajak baku hantam saat itu juga.

Sora yang sejak tadi fokus mengobrol dengan temannya menoleh. Gadis itu melotot ketika menyadari apa yang sedang terjadi. "Riku, kamu barusan kemarin nonjok Yushi sekarang mau nonjok orang lagi?"

Riku menghempas kasar tangan Sion yang memegang lengannya.

"Kamu oke-oke aja dirangkul dia?" ia berkata tidak suka, menatap Sora meminta penjelasan.

Baru kali ini pacarnya itu sedekat itu dengan teman laki-lakinya dan seolah biasa saja saat ia marah. Padahal jelas-jelas itu salah. Siapa yang tidak cemburu seseorang menyentuh miliknya?

"Stop. You're childish. Aku cuma dirangkul."

"Cuma?"

Sion terkekeh.

Riku yang muak hendak memberi bogeman pada Sion, tetapi lelaki di depannya tiba-tiba berkata. "Bos gue mau ngajak duel lo. Males datengin lo jadinya gue ngerangkul Sora sekalian mau liat se-posesif apa yang namanya Maeda Riku itu.... Dan bener ... craziest. Kok lo kuat sih punya pacar kayak dia, Ra?"

"Shut the fuck up. Siapa bos lo?"

"Someone. Anak sini. Lo kenal dia. Dateng aja ke lapangan basket deket sekolah jam 8. Bos gue bilang mau ngajak duel di sana. Sendirian aja. Nanti gue dateng berdua sama dia."

"Apa jaminan gue nggak dikeroyok?"

"Sora knows me so well. Dia tahu gue bisa dipercaya. Lo percaya Sora kan?"

Riku mengernyitkan dahi, menatap Sora dan Sion bergantian. Sora adalah kelemahan Riku. Apa pun yang gadis itu katakan akan ia turuti, akan ia percayai dengan sepenuh hatinya. Hanya saja ada yang merasa mengganjal hatinya. Apa hubungan dua manusia di depannya sekarang?

"Lo siapanya pacar gue?" tanya Riku pada akhirnya.

"Nggak penting sekarang. Yang penting, lo terima tawaran duelnya nggak?"

Riku menatap pacarnya. Gadis itu langsung melotot, menggeleng kencang—dengan jelas melarangnya pergi. Riku tahu Sora adalah tipe gadis yang akan menentang segala urusan perihal baku hantam.

Tidak mungkin menolak sebuah duel, akhirnya Riku berkata, "Oke, gue tunggu jam delapan."

"Riku, what?!"

"Stop. You're childish. Aku cuma duel," katanya pada pacarnya, ikut mengulangi susunan kata yang sempat Sora ucapkan padanya tadi.

Gadis itu menghela napas panjang. Riku tahu Sora pada akhirnya akan pasrah.

Sion tersenyum lebar. Senang karena ajakannya—atau bosnya—disambut dengan cepat.

Riku berkata lagi menatap Sion penuh permusuhan, "Gue belum selesai sama lo."

"I know. Maybe kita bisa duel juga nanti malem? Tetep one by one. Tapi kalau lo nggak sanggup sparring dua kali, it's okay bisa lain hari."

Riku terkekeh karena Sion meremehkannya. Sudah lama ia tidak merasakan perasaan ini. Keadaan di mana ia ditantang. Adrenalinnya meningkat, membuat perasaanya kembali senang. Setelah dua tahun lamanya menjadi yang paling kuat dan ditakuti satu sekolah, akhirnya ada yang mengajak duel dirinya.

***

Pukul delapan malam kota masih sangat ramai seperti biasa. Berbelok ke arah sekolah menuju lapangan basket keramaian mulai berkurang. Masih ada beberapa orang yang berlalu lalang, tetapi tidak sepadat jalanan kota sebelumnya. Riku memarkirkan motornya, menyeringai ketika melihat Sion sedang bermain basket sendirian di sana.

"Mana bos lo?"

Sion dengan kaus hitam tanpa lengan itu menoleh. Bola yang ia lemparkan meleset memantul menjauhi ring. Lelaki itu tampak berkeringat banyak. Bajunya basah menunjukkan ia sudah bermain basket sejak lama.

"Oh, lo dah dateng?" tanyanya retoris.

Riku hanya berdeham. Ia mengeluarkan handwrap dari saku hoodie-nya, melilitkan ke tangan kiri dan kanan. Sebetulnya sejak tadi ia bertanya-tanya orang mana yang berani menantangnya duel. Ia bahkan tidak sempat bertanya apakah bos Sion itu dari sekolah yang sama atau tidak.

Pasalnya dua tahun bersekolah ia tidak punya musuh yang kuat untuk dijadikan saingan. Lalu, hari ini, tiba-tiba sekali seseorang mengajaknya baku hantam?

"Di mana bos lo?" Riku mengulangi pertanyaan yang sama.

Lelaki itu tampak mengambil handuk kecil, melap wajah yang berkeringat. Riku mengamati gerak-geriknya dari jauh, terdiam untuk merasakan sekitar. Ia khawatir tiba-tiba diserang. Ia tidak percaya pada lelaki di depannya.

Sion menunjuk dengan dagu. "Tuh, di belakang lo."

Riku mengernyitkan dahi kaget. Tidak menyangka jawaban itu karena ia tidak merasakan kehadiran siapa pun di belakangnya. Ia segera menoleh, mendapati seseorang  dengan hoodie warna sama sepertinya tersenyum tiga langkah di hadapannya. 

Otak Riku sesaat berhenti. Antara bingung, heran, dan kaget bercampur menjadi satu. Ia tidak pernah berekspektasi akan berdiri di depan seseorang yang ia kira sibuk dengan buku dan tugasnya malam ini. Riku bahkan sempat mengirimkan pesan padanya untuk tidak begadang dan tidur nyenyak sebelum berangkat.

Yang benar saja?

Sora menyapa, membuka penutup kepala hoodie miliknya memunculkan wajahnya dengan jelas. Gadis yang biasa ia lihat dengan rambut tergerai itu kali ini dikuncir kuda. Riku tidak salah lihat. Itu sungguhan pacarnya meskipun seperti orang yang berbeda.

Detik ini Riku baru menyadari ia tidak mengenali Sora sepenuhnya.

"Kok kamu bi—"

"I'm not his boss, tapi ya, aku yang ngajak duel," ujar Sora menginterupsi perkataan Riku.

Kali ini Riku tidak hanya bertanya-tanya mengapa pacarnya bisa berdiri di hadapannya malam-malam, tetapi juga apa hubungan Sion dan Sora sehingga mereka bedua bisa begitu dekat? Sora tidak pernah mau diajak jalan malam-malam, tapi ini?

Sial. Riku bisa gila sekarang.

"Kalian berdua punya hubungan apa?" tanyanya dengan nada gusar.

"Kamu pacar aku bukan sih?"

Riku menjawab cepat tanpa berpikir, "Of course. Semua orang juga tahu itu, Ra?"

"Tapi kamu bahkan nggak tahu aku punya kembaran?"

Detik itu juga rahang Riku jatuh ke bawah. Itu fakta baru yang ia ketahui. Tanpa basa-basi ia menoleh ke belakang, menatap Sion yang tersenyum ke arahnya. Lelaki itu duduk santai di lapangan sana seolah sedang menonton opera sabun antara Riku dan Sora.

Jadi Sion dan Sora itu kembar?

"It's okay, aku nggak marah. Sekarang kita lanjut duel—"

"No," sergah Riku cepat.

Sora terkekeh. "Kamu takut?"

"Bukan. Tapi nggak mungkin aku lawan cewek? Dan pacar aku sendiri?"

"Emang kenapa kalau cewek?"

Riku terdiam. Takut salah bicara. Ia memang sering membanggakan diri, mengatai orang lain yang tidak sekuat dirinya. Hanya saja memandang lemah perempuan di depannya sekarang bukanlah opsi yang tepat. Pasalnya belum juga melawan ia sendiri sudah kelabakan. Perasaannya teracak-acak.

"For your information nih, pacar Sora yang nggak tahu apa-apa tentang pacarnya," ujar Sion di belakang sana, membuat hatinya ikut tersentil. "Dia pemenang lomba taekwondo tingkat kota. Sabuk hitam. Secara teknis, penguasaan teknik bela diri dia lebih bagus daripada lo."

Itu kenyataan lain yang baru Riku ketahui. Ia menatap tidak mengerti gadis di depannya. "Sejak kapan kamu bisa taekwondo, Ra?"

"Aku atlet taekwondo, Riku. Bukan sekedar bisa."

Riku menyugar rambut ke belakang. Kepalanya mendadak pening. "Kenapa kamu nggak pernah bilang apa-apa sih? Hal sepenting itu kamu nggak kasih tahu ke aku?"

Sora terkekeh. "Kapan kamu bisa dengerin cerita aku? Kamu kan sibuk terus sama gengmu itu. Pukul sana, pukul sini. Gimana aku bisa cerita ke kamu?"

Tidak ada emosi di nada bicaranya. Seolah gadis itu hanya menyampaikan kenyataan. Hal itu benar. Riku tidak dapat membantahnya. Mereka memang tiga bulan berpacaran, tetapi selama ini ia lebih suka menghabiskan waktu bersama temannya alih-alih pacarnya sendiri.

"Terus sekarang kamu mau apa? Aku harus lawan kamu?"

"Makanya dengerin aku dulu," kata Sora sembari menyeka surai ke belakang. Rambutnya yang dikuncir membuat gadis itu terlihat lebih cantik dan segar dari biasanya. Bagaimana bisa Sora mengajak duel jika sekarang saja Riku salah fokus dengan kecantikannya? 

"Ini duel one by one. Dengan kesepakatan, kalau aku menang, kamu nggak boleh semena-mena lagi di sekolah, nggak boleh mukulin anak-anak."

"What?"

"Kenapa?"

"Kemarin kamu bilang stop ngerokok, aku turutin. Sekarang masa lagi, Ra?"

Tawa kencang Sion di belakang membuatnya ingin berlari lalu memberi bogem mentah. Sayangnya ia tidak mungkin memukul kembaran pacar sendiri. Lagi pula apa salahnya memukul jika ia punya alasan jelas di baliknya?

"Tinggal kalahin aku. Gampang kan?"

"Nggak mungkin, Ra...."

"Emang, nggak akan mungkin. Soalnya aku belum pernah kalah."

Riku tidak tahu sama sekali bagaimana kemampuan bela diri Sora sebenarnya. Akan tetapi pacarnya itu tampak percaya diri. Belum lagi ucapan Sion yang menguatkan kebenaran itu. Sora sungguhan atlet bela diri?

"Coba lawan aku sekarang. Percaya, aku bisa lawan, aku mampu."

"I can't."

"Bisa."

"Sora nggak selemah itu. Lo tinggal lawan kayak biasa. Dia emang keliatan kayak cewek biasa di sekolah, tapi kayak yang gue bilang, dia ahli bela diri. Hajar aja," ujar Sion tanpa beban. Orang mana yang dengan enteng menyuruh orang lain menghajar kembarannya?

"Sekarang banget?"

Gadis di depannya mengangguk.

Riku menghela napas pada akhirnya. Ia menyetujui dengan berat hati, mengepalkan tangan dalam posisi siap sedia. Ia berniat hanya memberi gerakan defensif saja. Itu pun tanpa kekuatan dan dengan enggan.

Hanya saja detik selanjutnya Riku sepertinya harus memikirkan ulang keputusannya. Dengan gerakan secapat kilat perutnya ditinju, kaki dijegal yang membuatnya jatuh berdebum ke tanah. Sora sudah ada di atas dengan siku tepat di depan wajahnya.

Hanya dalam waktu lima detik.

Sion bertepuk tangan, bersorak karena kembarannya berhasil menjatuhkan Riku dalam waktu singkat

Tidak bohong jika Sora sungguhan seorang atlet taekwondo. Ia bisa merasakan kekuatan dan kecepatan gadis itu. Gerakannya mantap. Sialan. Hebat sekali. Semua orang harus tahu pacar Maeda Riku seorang atlet bela diri!

"Oke, aku nyerah. Aku nggak bakal mukulin orang lagi. Janji." Riku yang masih dalam posisi rebah dengan Sora di atasnya berkata.

Ia bisa saja melawan pacarnya layaknya pertarungan sungguhan, tapi itu tidak mungkin. Sehebat apa pun Sora yang memungkinkan Riku kalah—atau justru malah kebalikannya—ia tetap tidak akan bertarung.

Sora menjauhkan tangan, bangkit berdiri. "No. Kamu bisa lawan aku lebih dari ini."

"Nggak. Aku lemah."

"Bohong."

"Tujuan kamu duel biar aku nggak mukulin orang lagi kan di sekolah? Aku kalah. Selesai. Kamu menang, Ra. Atau emang tujuan kamu mau baku hantam sama aku? Mukulin aku sampai wajahku yang ganteng babak belur?"

Di belakang sana Sion bersuara ingin muntah. Backsound yang jelek sejak tadi.

Sora tersenyum. Gadis itu mengulurkan tangan, yang langsung Riku gapai. Ia bangkit berdiri dengan bantuan Sora, lalu menatap pacarnya penuh dengan keheranan. 

Riku tahu hubungan mereka tidak biasa. Gadis itu seolah memiliki misi saat memacarinya. Buktinya sebulan setelah berpacaran Riku berubah mengerjakan tugas dengan benar di sekolah. Bulan kedua, ia tidak lagi merokok seperti kebiasaan sebelumnya. Lalu sekarang, bulan ketiga, ia disuruh berhenti memukuli orang.

Itu terlalu kentara. Hanya saja Riku justru senang. Ia harusnya mempertanyakan apakah Sora benar-benar menyukainya atau tidak; atau hanya membuatnya jauh dengan hobinya selama ini.

"Kamu hutang banyak cerita sama aku," kata Riku kemudian, memutuskan untuk tidak peduli perasaan asli gadis di depannya. Selagi Sora ada di sisinya, itu bukanlah masalah.

"Oke. Mungkin cerita sambil jalan malam Minggu besok?"

Riku menatap tidak percaya. Mulutnya terbuka membentuk huruf O saking kagetnya. Ini sungguhan? Sora mengajaknya jalan duluan?

"Oh, gosh. This lovebird."  Sion memasukkan handuk ke tasnya lalu bangkit berdiri. "Ayo balik, Ra. Pacarannya besok. Gue izin sama Papa cuma sampai jam sembilan malam."

Lelaki itu berjalan tiga langkah, kemudian berbalik lagi dan berkata, "Lo jadi sparring sama gue nggak sebelum gue balik ke rumah? Gue bukan atlet bela diri, tapi lumayan jago."

"No." Sora berkata dengan tegas.

"Gue ngikut Sora."

Sion terkekeh. "Bucin gila."

"I am."


I thought I was a fool for no one
Ooh baby, I'm a fool for you
Maeda Riku for Sora

END.

2352 words.
12 Mei 2024.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro