Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

File 93: Tired

Hypnosismic AU!
Pairing: Riou Mason Busujima x Yamada Saburo
Genre: Hurt,little fluff in the ending
Warn: OOC,Typo,Mature Containt,Violence scene,and others
Enjoy the story


"Riou-san,ayo sarapan dahulu. Aku sudah memasakkan udon buatmu."
"Maaf Saburo,aku buru-buru."

"Riou... a-"
"Maaf,aku harus segera berangkat."

"Ri-."
"Maaf,aku terlambat."

Sudah beberapa hari ini Riou tidak sarapan dirumah mereka. Saburo menghela napasnya lelah,ia menatap pintu apartemen yang sudah kembali tertutup rapat,pandangannya ia alihkan pada putranya,"Ryo,"ia tersenyum keibuan,"Habiskan dahulu sarapanmu,kaa-chan akan mengantarmu ke rumah paman Ichiro sebentar lagi."Ryoichi hanya mengangguk samar,ia segera menghabiskan sarapannya ketika sang ibu kembali menyibukkan diri dengan cucian piringnya.

Saburo menghela napasnya lelah,ia mencuci piringnya sembari melamun. Tatapannya pahit,hatinya serasa tertusuk. Mengingat bagaimana Riou memperlakukannya dan putra mereka dengan berbeda dari yang biasanya. Tak biasanya Riou tak mau sarapan bersama,karena biasanya,sesibuk apapun pria itu,ia pasti akan menyempatkan diri untuk sarapan bersama keluarganya. Interaksi keduanya pun hanya sebatas formalitas,tanpa ada kehangatan sedikitpun diantara satu persona dengan persona lainnya.

Saburo tertunduk,ia mencengkram pinggiran wastafel seolah mencegah dirinya terjatuh. Ia tidak boleh terlihat lemah didepan putranya. Pekerjaannya segera ia selesaikan, ia menghela napas setelah mengantar Ryoichi ke rumah kakak tertuanya. Saburo bahkan melamun di perjalanannya menuju kantor, memikirkan apakah ia memiliki kesalahan dengan suaminya yang tak pernah diberitahukan Riou atau tidak.

Netra hetero terasa memanas,ia tak sadar ketika satu titik air mata mengalir mulus begitu saja di pipi gembilnya. Saburo segera menyeka air matanya sebelum ada orang yang melihatnya menangis. Ia berjalan gontai diantara lautan manusia yang akan pergi ke tempat tujuan mereka masing-masing,hela napas lelah kembali ia keluarkan tatkala ia sampai di kantornya.

Sebuah kantor berbasis IT,di kota Tokyo.

Ia cukup bersyukur ia berhasil mendapatkan pekerjaan yang sesuai dengan passionnya didunia tekhnologi dan semacamnya. Sapaan singkat dari rekan sejawat hanya ditanggapi dengan senyum tipis,ia benar-benar sedang tak berada ditempatnya.

Saburo mengerjakan pekerjaannya sebisa mungkin,walau hanya separuh yang berhasil ia selesaikan,tapi itu bukan masalah. Jam makan siang ia habiskan dengan memakan bento yang ia bawa sembari memegang ponselnya guna menelepon seseorang.

Sementara itu,Riou yang sedang sibuk di kantornya,diganggu oleh sebuah panggilan masuk dari pasangannya. Ia menatap ponselnya dengan tatapan datar,lalu memutuskan untuk menonaktifkan ponselnya dan kembali melanjutkan pekerjaannya.

Saburo menghela napasnya lelah,ia merasa nafsu makannya menghilang begitu saja saat ia tahu Riou menonaktifkan ponselnya. Ia menutup kembali bento yang ia bawa, kemudian menyimpannya kembali pada ransel kantornya. Ia kembali menghabiskan waktunya dengan berusaha mengerjakan pekerjaannya sebagai pengalihan pikiran.

Malam hari ia habiskan dengan menemani Ryo hingga tertidur sembari terus berusaha menelepon pasangannya. Saburo menghela napasnya ketika jam dinding menunjukkan angka satu pagi,dan Riou belum juga pulang. Dengan perlahan,ia meninggalkan kamar putranya yang masih berumur tujuh tahun dan duduk di sofa ruang tengah, setia menunggu kepulangan pasangannya. Saburo berusaha menahan kantuknya ketika ia tengah menunggu kepulangan Riou,dan tepat di angka setengah dua,pria yang ditunggu baru pulang. Saburo segera bangkit dari posisinya dan menatap Riou,ia berusaha tersenyum,"Okaeri,"

Riou mengabaikannya,lagi.

Pria itu bahkan tidak berkata apapun ketika Saburo meraih tas kerjanya dan juga jasnya. Penampilannya nyaris acak-acakan,semakin membuat Saburo merasa khawatir atasnya. Saburo menatap punggung pasangannya dengan tatapan nanar, ia berusaha menanyakan apa ia memiliki kesalahan,namun yang terjadi berikutnya adalah Riou mengabaikannya lagi,lagi dan lagi.

Saat ia mengambil kotak bento milik Riou,ia terdiam sejenak dan membuka isinya. Ia tertunduk menyadari Riou tak memakan bekalnya sedikitpun seolah makanan buatan Saburo rasanya tidaklah enak. Mengesampingkan rasa sakit hati, pemuda bersurai jelaga itu memutuskan untuk membuang bekal itu ke dalam tempat sampah,ia menghela napasnya berat.

All he need is sleep,right now.

Saburo berjalan dengan langkah gontai ke kamar mereka,ia membaringkan tubuh mungilnya di sisi Riou yang sudah terlebih dahulu tertidur lalu memejamkan matanya dan ikut menyelam ke alam mimpi.

Siang harinya,Saburo menghabiskan waktu weekendnya dengan bermain bersama putranya,namun ketika sang putra bertanya akan eksistensi sang ayah,Saburo terdiam sejenak,ia berusaha memasang senyum sebelum menjawab lembut,"Ayahmu sedang sibuk,Ryo."Ryo mengerjap polos,"Lalu kenapa dia mengabaikan kita akhir-akhir ini?"Saburo terdiam seribu bahasa,ia tidak tahu harus menjawabnya seperti apa kepada putranya. Kekehan tipis ia keluarkan dari bibirnya,"Dia hanya lelah,"nada bicaranya mengecil kemudian,"Mungkin?"

Malam ini,sama seperti beberapa malam sebelumnya. Tak ada satupun chat Saburo yang dibalas juga telepon yang diangkat,saat ini Saburo sedang lelah,namun ia tetap,dengan setia menunggu kepulangan Riou dari tempat kerjanya. Ketika ia mendengar suara pintu dibuka,ia segera menyahut tanpa diminta,"Okaeri!"

Riou mengabaikannya,tentu saja.

Pria itu bahkan tidak berkata banyak ketika Saburo mulai bertanya apakah harinya di kantor baik-baik saja atau tidak. Saburo kembali diam ketika ia mendengar suara pintu kamar yang ditutup,ia meremat kemeja yang ia kenakan,tatapannya pahit menatap pintu cokelat yang sudah tertutup rapat. Tetes demi tetes air mata mengalir dari pelupuk matanya,ia tak tahan diabaikan seperti ini,apalagi yang mengabaikannya adalah orang yang ia cintai.

Sakit sekali,jauh lebih sakit daripada ketika ia menerima serangan Hypnosismic dengan sangat keras.

Ia segera menyeka air matanya dan mencuci wajahnya di wastafel kamar mandi,menatap refleksinya pada sebuah cermin dan tertegun. Siapakah pria yang berkantong mata super tebal,dengan mata memerah dan rambut yang acak-acakan serta wajah yang terlampau pucat itu? Saburo mencoba menaikkan kedua sudut bibirnya,sebelum kembali menurunkannya karena terlihat mengerikan.

Ia segera menyisir surai jelaganya, kantung mata diwajahnya tentu tak bisa ia abaikan,namun saat ini ia terlalu lelah untuk memerdulikan hal itu. Ia membuka pintu kamarnya dan lagi,menatap Riou yang sudah tertidur sembari memunggunginya dengan tatapan pahit. Ia merangkak dengan gontai,menaiki ranjang itu dan tertidur begitu ia melingkarkan tangannya pada pinggang orang terkasihnya.

Saburo menghela,lagi-lagi Riou mengabaikannya sepanjang hari. Ia bahkan tidak tahu kesalahan apa yang ia buat hingga Riou mengabaikannya seperti ini. Tak apa ia diabaikan,tapi tolong jangan putra mereka ikut diabaikan oleh sang ayah, Ryo tidak memiliki kesalahan apapun, Saburo tahu itu.

Malam ini Riou pulang dalam keadaan mabuk berat,ia diantarkan oleh rekan kerjanya yaitu Jyuto Iruma dan Samatoki Aohitsugi.

"Apa terjadi sesuatu di kantor?"tanya Saburo pada Samatoki yang tengah menjepit sebatang rokok diantara dua jarinya,Samatoki menatapnya datar lalu berkata,"Riou sedang mengerjakan projek,kalau dia berhasil, dia akan naik jabatan."Jyuto menatapnya setelah mendudukkan Riou di sofa,"Saburo-kun,"yang dipanggil mendongak,menatap dengan tatapan bertanya,"Kau lelah?"

Saburo tertawa kecil,lalu menggeleng sebagai jawaban. Manik emerald Jyuto menajam menatapnya,"Jangan berbohong,Saburo-kun. Beristirahatlah,dan bersabarlah."Samatoki hanya diam menyimak,tak banyak mengeluarkan suara bahkan ketika ia dan Jyuto pulang dari kediaman dua sejoli yang sedang berperang dingin itu.

Saburo menatap pasangannya dengan tatapan khawatir,ia takut Riou kenapa-kenapa. Tangan mungilnya mulai menjelajah, melepas satu demi satu kancing kemeja Riou. Ia cukup bersyukur kalau putranya sudah tertidur lebih dahulu. Namun tangannya ditepis Riou,pria itu bangkit tanpa memerdulikan Saburo,"Aku bisa sendiri,"katanya cuek. Saburo menatap nanar ketika Riou bangkit dan meninggalkannya dengan langkah gontai ke kamar, Saburo tahu,ia harus bertanya.

Ia mengejar Riou ke kamar,menatap punggung pria itu,"Apa terjadi sesuatu di kantor?"tanyanya khawatir,Riou mendengus kecil,lalu menjawab tanpa menoleh,"Bukan urusanmu."jawaban Riou membuat Saburo terdiam sejenak,"Tentu saja itu juga urusanku! Kau suamiku! Aku berhak mengkhawati-"sahut Saburo tak terima. Riou menoleh,"SHUT YOUR MOTHERFUCKER MOUTH UP,YOU SON OF A BITCH!"bentaknya sembari membanting pintu kamar mandi.

Oh,tidak.

Saburo trauma akan suara bentakan dan gebrakan.

Manik hetero itu mengecil, Saburo jatuh berlutut sembari menutup kedua telinganya sendiri. Ia berjongkok,menutup kedua telinganya sendiri dengan erat dan mulai menangis. Tak biasanya Riou membentaknya demikian kasar, membuatnya trauma karena terbayang bagaimana ia kehilangan kedua orang tuanya tak lama setelah itu. Tangisannya meledak,namun ia berusaha menahannya dengan cara menggigit bibir bawahnya,ia tanpa sadar terus menggumamkan nama Riou sebelum akhirnya memutuskan untuk pergi ke kamar putranya karena ia mendengar teriakan putranya.

Ryo menatap sang ibu yang tersenyum kepadanya sembari berjalan kearahnya,lalu memeluknya erat dan mengumamkan kalimat penenang yang juga digumamkan untuk dirinya sendiri. Dengan perlahan,ia membalas pelukan sang ibu dan berbisik,"Ryo disini,"senyum tipis terbit di wajah bocah itu,"Ryo tetap disini sekalipun otou-sama membenci kaa-chan."

Ia mengatakan hal itu karena faktanya,ia mendengar semua pertengkaran kedua orang tuanya.

Setelah pertengkaran hebat itu terjadi, selama beberapa hari Saburo nyaris tak tidur,pola makannya pun tak lagi sama karena ia hanya makan kalau ada yang mengingatkannya. Pikirannya pun tak fokus,ia beberapa kali membuat kesalahan ketika tengah bekerja.

Apa Riou peduli? Tentu saja...

...tidak.

Kantung mata di wajah Saburo semakin menebal dari hari ke hari, tubuhnya pun semakin mengurus seolah ia tak makan selama lebih dari satu minggu. Wajahnya pucat sangat, lebih pucat daripada saat ia melahirkan Ryo dahulu.

Sementara itu,pekerjaan Riou yang dikerjakannya di kantornya berhasil. Ia tersenyum tipis sembari bersalaman dengan atasannya,ia naik jabatan.

Saburo yang semakin melemah akhirnya jatuh pingsan ketika sang kakak menjemputnya karena ada yang harus mereka kerjakan. Jiro yang terkejut segera membopong sang adik untuk dibawa ke rumah sakit, beruntung Ryo sudah bersamanya karena ia menjemput keponakannya sebelum ia menjemput sang adik. Ryo akhirnya menceritakan semuanya pada pamannya,membuat Jiro naik pitam ketika ia tahu kalau Riou adalah penyebab ini semua. Rumah sakit yang ditujunya adalah tempat Jakurai bekerja,ia sengaja pergi kesana karena Jakurai tahu apa yang harus dan akan dilakukan kedepannya.

Setelah acara naik jabatan itu,Riou menerima telepon dari Jiro, membuatnya mengerinyit bingung karena tak biasanya kakak ipar -yang umurnya jauh lebih muda darinya itu- menelepon hingga hampir sepuluh kali. Ia segera mengangkat panggilan itu dan menunggu orang diseberang sana berbicara.

"Halo! Kau dimana?"

"Aniki... aku sedang di kantor."

"Rumah sakit [xx] sekarang juga."

"Kenapa? Ada apa?"perasaan khawatir menelusup ke hatinya ketika Jiro memintanya datang ke rumah sakit tempat Jakurai bekerja. Decihan samar didengarnya,ia terdiam dan firasatnya memburuk.

"Saburo pingsan."

Ia segera memutus telepon,kunci mobil diatas meja ia sambar dengan cepat. Firasatnya benar. Dengan cepat,ia melajukan kendaraannya membelah kota Tokyo untuk pergi ke distrik Shinjuku,dimana rumah sakit tempat Jakurai bekerja berada. Ia sampai di rumah sakit dengan penampilan yang sedikit acak-acakan, jas hitam yang tadinya rapi,kini sedikit berantakan namun ia tak memerdulikannya. Jiro menatapnya dengan tatapan membunuh, membuatnya mengerinyit bingung.

"Ryo,main sama Rie dulu ya. Kalian makan dulu di cafetaria,"beberapa lembar uang meluncur ke tangan Ryo yang melirik ayahnya sinis,anak itu mengangguk lalu pergi bersama sepupunya ke kafetaria rumah sakit. Jiro mencengkram kerah Riou,"KEPALA KELUARGA SAMPAH!"bentaknya sarkas,Riou yang dikatakan seperti itu langsung tersulut emosinya,"APA MAKSUDMU, ANIKI?!"ia balik mencengkram kerah Jiro yang hanya berbeda sebelas senti darinya,"KAU TAK ADA BEDA DENGAN REI! KALIAN SAMA-SAMA SAMPAH!"sebuah tinjuan menghantam pipi Riou telak, pelakunya tentu saja Jiro.

Untunglah koridor rumah sakit sedang sepi.

Riou menatap Jiro dengan tatapan berapi-api,ia mundur sejenak,"APA MAKSUDMU?!"ia bertanya,"APA MASALAHMU TIBA-TIBA MEMANGGILKU SAMPAH?!"Jiro menyerigai,"Bukannya kau yang membuat traumanya kambuh? Lihat, gara-gara siapa semua ini terjadi, huh?"Riou terdiam,menunggu,"Ryo sudah cerita semuanya. Bagaimana kau mengabaikan mereka berdua, bagaimana kau membentak Saburo dengan sangat kasar,juga membanting pintu dihadapannya."

Riou terdiam lagi,"Jadi,siapa yang dulu berjanji takkan membuat trauma adikku kambuh,hm? Bagiku,siapapun yang ingkar akan janjinya,tidak lebih dari seonggok sampah! Apalagi menyangkut adikku!"Riou menunduk, ia menghindari tatapan Jiro,"Kali ini kau kuberi kesempatan,tapi,kalau kau mengulanginya lagi,aku pastikan tubuhmu takkan lagi utuh."ancaman itu tidak main-main. Ia menatap ujung lorong,dimana putranya sedang berjalan bersama sepupunya dan jelas-jelas mengabaikannya ketika putranya masuk ke kamar rawat Saburo.

Saburo mengerinyit,ia menatap langit-langit rumah sakit ketika ia merasakan sebuah lengan kecil memeluk lengannya erat dan terasa basah karena ada yang menangis. Ia menatap lengannya dimana putranya tengah memeluk lengannya erat,"Kaa-chan,bangunlah... ayo kita pulang."dengan perlahan,Saburo mengelus surai hitam putranya,ia melirik seantero ruangan dan menemukan Riou tengah berdiri di sudut ruangan sembari menatapnya, ia melihat penampilan Riou yang sedikit acak-acakan dan pipinya terlihat lebam.

"Iya,kaa-chan akan pulang kok,tapi tak bisa hari ini. Ryo sabar ya,kamu sama paman Jiro dulu,kaa-chan janji kalau kaa-chan akan pulang besok."

Bujukan itu berhasil,Ryo mau pulang bersama sepupunya dan Jiro. Kini di ruangan itu hanya tersisa Saburo dan Riou,hanya mereka berdua. Riou mendekat perlahan,Saburo yang tak bisa mundur hanya bisa diam membeku,tangannya bergetar hebat mengingat pertengkaran itu,"K- kau mau cerai? Ti-tidak apa jika kau mau, a-aku tidak keberatan."kata Saburo gagap sebelum Riou berkata apapun, Riou langsung menggeleng,ia menggenggam tangan Saburo yang bergetar dengan lembut,"Maafkan aku,"katanya lirih,Saburo mengalihkan pandang,"Maaf karena aku abai padamu,maaf karena aku pernah kasar denganmu. Maaf aras semuanya."Saburo melirik tangan yang menggenggam tangannya,ia secara perlahan menatap Riou dan mengelus pipi pria itu lembut,"Jiro memukulmu ya?"tanya Saburo untuk mengalihkan pembicaraan,Riou mengangguk samar,"Aku.. sudah melupakan itu kok,sudah,tak apa. Aku harusnya tahu saat itu kau sedang lelah."

Riou secara perlahan memeluk Saburo-nya erat,mengusal di perut rata Saburo,"Baru kali ini anakku sendiri menatapku sinis dan mengabaikanku,"adunya pada Saburo dengan nada kecil,"Eh?"sedikit terkejut,Saburo tidak menyangka Ryo akan menatap ayahnya sinia bahkan mengabaikannya. Ia mengelus surai orange Riou,"Mungkin dia hanya lelah,"bela Saburo hati-hati. Riou manyun,"Tapi kau tidak akan mengabaikanku,'kan?"reflek,Saburo menjauhkan tangannya dari surai orange Riou,"Aku mengabaikanmu."

"Jangan abaikan aku!!"rengek Riou sembari mengeratkan pelukannya pada Saburo,"Aku mohon..."Saburo terkekeh,"Tentu saja tidak,aku tak akan sanggup mengabaikanmu,Riou-san."

End

[A/N]
Plot by me
Story by me
Ending by me

Dont forget to leave comment and vote

Regards
歩か 秋冬
Arka Akifuyu

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro