File 78: Dear dad,fuck you!
Hypnosismic AU!
Pairing: Riou Mason Busujima x Yamada Saburo
Daddy!Riou x Son!Saburo
Genre: Hurt,slight of violence
Warn: OOC,Typo and mature containt
"Saburo!! Les IPA mu satu jam lagi!!"teriakan itu sungguh membuat Saburo gusar,ia muak saat ini.
Oh ayolah,ia sudah berumur 16 tahun! Ia sudah bisa mengurus dirinya sendiri 'kan?
"Iya ayah,"jawabnya singkat,nadanya tetap datar. Sulit tumbuh besar di keluarga seperti ini,ayahnya,Riou Mason Busujima,selalu saja menuntut kesempurnaan bagi Saburo,ia diwajibkan les Bahasa Perancis, Belanda, Korea dan berbagai bahasa lainnya,les IPA dan IPS,les Ekonomi dan berbagai les ini dan les itu,
Saburo bahkan tak sempat mengisi hobinya bermain gitar sendirian. Ia selalu dituntut serba sempurna, hampir seperti robot,ia bahkan hampit tak punya waktu hanya untuk bermain dengan beberapa temannya selain diluar jam sekolah. Saburo menghela napasnya kasar,ia menutup buku Ekonomi Bisnis yang ia pegang sedari tadi sebelum beranjak dari kursi belajarnya ke ruang tengah.
Ia menatap sang ayah yang tampak sedang terburu-buru dengan tatapan jengah,"Ayah kemana?"tanyanya dingin,Riou menatapnya datar,"Jerman. Urusan bisnis,"
"-kapan pulang?"potong Saburo sebelum Riou menyelesaikan kalimatnya,"...ayah tidak tahu,"jawab Riou datar,membuat tawa sarkas keluar dari bibir Saburo,"Ya, terserahlah."sahutnya,Riou lalu mengusak surai hitam sang putra tunggal,"Belajar,jangan pergi main kemana-mana. Uang saku akan ayah transfer akhir bulan ini,untuk bulan depan."pesan Riou,Saburo diam-diam memutar bola matanya malas,"Tidak ada pengawalan ketat 'kan?"tanyanya tanpa memerdulikan pesan Riou, pria paruh baya itu mengangguk,"Ya, hanya ada beberapa pelayan dan supir."Saburo memutar bola matanya lagi,"Ya ya ya,terserahlah. Selamat jalan,"ia tersenyum sinis,"Ayah."
"Jaga dirimu baik-baik."pesan Riou lagi sebelum menaiki mobil yang berhenti didepan pintu utama kediaman mereka. Dengan langkah malas,Saburo kembali berjalan ke ruang belajar yang sudah hampir merangkap kamarnya karena ia seringkali tertidur disana karena kelelahan. Seorang maid bersurai hitam mendekatinya,"Saburo-sama, guru IPA anda sudah tiba,"kata maid itu hati-hati,membuat Saburo mendengus malas,"Ya,terima kasih atas infonya."sahutnya.
Saburo benar-benar harus belajar ekstra keras saat ini,ia nyaris saja turun dari ranking pertama menjadi ranking kedua. Kalau saja ia sampai ketahuan berada di rank kedua,entah apa yang akan terjadi padanya. Entah Riou akan mengurungnya dikamarnya selama hampir sebulan, mengawasinya setiap saat atau... menghukumnya dengan hukuman fisik.
Saburo menghela napasnya lelah,ia menatap jam sederhana yang tertempel manis di tembok kamarnya, jam sebelas malam. Ia meraih gitar akustiknya,memejamkan mata ketika jari rampingnya mulai memetik senar gitar,menikmati setiap alunan yang ia buat,serta sesekali menyanyikan bait lagu yang ia kenal. Para pelayan yang kebetulan saja sedang lalu-lalang di depan kamarnya menjadi sedikit tertegun,mereka hampir tidak pernah mendengar alunan merdu dari kamar Saburo,
Apalagi suara nyanyian Saburo yang bak nyanyian bidadari dari surga.
Alunan itu berhenti ketika jam di dinding menunjukkan angka dua pagi,Saburo meletakkan kembali gitarnya dibawah ranjangnya dan memilih tidur,menikmati waktu istirahatnya yang tidaklah banyak.
Akhir bulan pun tiba,saat ini Saburo tengah berada disebuah mesin ATM, ia sedang mengecek saldo tabungannya,
30.000.000¥
"Tumben dikirim tiga puluh juta,"ia menggumam sendirian,"Biasanya cuma dua puluhan. Entah sih, mungkin hanya lagi baik."gumamnya lagi,ia segera mentransfer sejumlah dua puluh juta yen ke rekening pribadinya yang ia buat sendiri,tentu saja tanpa sepengetahuan sang ayah. Saburo menatap sisa saldonya yang hanya tersisa tiga juta yen,ia menghela napasnya. Ia lalu mengecek isi saldo di rekening pribadinya,
200.000.000¥
"Tabungan dari jaman SD ternyata udah sebanyak ini ya,"gumamnya,"Apa aku beli apartemen aja kali ya? Sekalian isinya mungkin?"ia lalu menelepon sahabatnya dan meminta dicarikan apartemen yang lumayan bagus. Setelah ia meminta pertolongan dari sahabatnya,ia mendapat kabar kalau sang ayah sudah pulang dan kini mencarinya. Saburo mendengus,
Bisakah pria tua bangka itu tak memperlakukanku layaknya anak kecil atau robot? Tak tahukah pria brengsek itu kalau ia sudah lelah dengan segala tetek bengek perusahaan?
Saburo melangkahkan kaki jenjangnya menuju kediaman keluarganya yang berada ditengah kota Yokohama,ia tetap berjalan santai melewati gerbang raksasa didepan rumahnya,"Aku pulang,"kata Saburo datar,ia memasukkan kedua tangan mungilnya ke saku jaketnya,
Brakk!!
Untung saja Saburo segera menghindar,hampir saja ia terkena gitarnya sendiri,ia menatap sang ayah dengan tatapan datar,"Saburo!!"teriak pria itu,Saburo masih tetap setia dengan tatapan datarnya,"Ya ayah?"sahutnya bosan, ia menatap Riou yang tengah menggulung lengan kemejanya,
Hukuman fisik.
Harusnya ia ingat untuk meminta para pelayannya tutup mulut soal suaranya.
Riou mencengkram pipi Saburo dengan sebelah tangan,sementara sebelah tangan lagi bergerak sedemikian cepat,menampar pipi putih Saburo,"Apa yang ayah katakan soal gitar? Tidak ada gitar!! Kau hanya diwajibkan untuk belajar keras dan itu salah? Aku sudah susah payah mendidikmu dan kau lebih memilih suaramu keluar untuk nyanyian tak berguna?"bentak Riou,Saburo hanya diam,menanti. Riou kembali menatapnya tajam,"Apa gara-gara ini, rankingmu turun?"
Bolehkah Saburo tertawa sekarang?
Ranking pertama pararel masih tak cukup? Apa ia harus menjadi ranking pertama nasional baru sang ayah senang?
Saburo baru dilepaskan ketika anak itu sudah babak belur diatas karpet mewah diruang tengah. Para butler membawa dirinya yang sudah pingsan ke kamar untuk mengobati lukanya,saat ia sadar,ia mengerjap lalu menatap langit-langit kamarnya dengan tatapan kosong,ia bahkan lupa caranya menangis.
"Setidaknya aku bisa beristirahat,"ia berbisik pada dirinya sendiri,"Walau harus mengorbankan diri dan gitarku yang keseratus..."ia memejamkan mata ketika ia mendengar suara pintu dibuka,"Saburo,"suara itu sungguh membuat Saburo benci setengah mati,ia tak membuka matanya, bertindak layaknya ia tengah tertidur.
"Maafkan aku."
Suara pintu ditutup lalu suara langkah kaki,terakhir kali,ia merasakan ada orang asing duduk di tepi ranjangnya,"Maaf,tapi ini semua demi kebaikanmu."
Hampir saja Saburo mengeluarkan tawa sinisnya,ia benar-benar hampir tertawa mendengar perkataan sang ayah. Semudah itukah? Meminta maaf lalu mengulanginya suatu saat?
Saburo hanya menggerakkan tubuhnya,ia hanya merubah posisinya menjadi meringkuk membelakangi sang ayah,namun dapat ia rasakan sebuah tangan besar mengelus surai hitamnya,
Terasa lembut,juga penuh kasih sayang.
Membuatnya hampir saja menangis. Tapi sekali lagi,ia sudah lupa caranya menangis,mentalnya sudah mengeras layaknya es. Masuk akal,dituntut serba sempurna terkadang bisa membuat seseorang nyaris gila. Tanpa sang ayah tahu,Saburo sudah hampir kecanduan obat penenang,yang ia gunakan untuk menahan emosinya. Elusan itu berhenti,digantikan sebuah kecupan singkat,"Oyasumi,gomen nasai."bisik Riou sebelum keluar dari kamar sang putra tunggal.
Suara pintu tertutup membuat Saburo terbangun dari lamunan singkatnya, ia duduk diatas ranjangnya,sedikit abai pada rasa sakit dikepalanya. Ia menatap pintu kamarnya,"Ah, aku tak peduli."gumamnya sebelum kembali berbaring dan memutuskan untuk tertidur,ia hanya ingin menikmati waktu istirahatnya.
Dua bulan lagi adalah ulang tahunku, pikir Saburo. Mungkin sesekali bersenang-senang dan mengabaikan perintah 'ayah' adalah ide bagus. Tapi karena dua bulan itu waktu yang lama, Saburo memutuskan untuk hanya menikmati hari-hari yang ada. Seolah tak peduli pada sang ayah, atau memang seperti itu. Yang penting baginya adalah ia sudah melaksanakan semua perintah sang ayah,
Belajar hampir dua puluh empat jam? Sudah.
Mendapat nilai sempurna disemua mata pelajaran dan ranking pertama pararel? Sudah.
Berprestasi bidang akademik maupun non-akademik kecuali musik? Sudah.
Tidak keluar kemanapun tanpa pengawalan? Sudah.
Tidak pernah merayakan ulang tahun? Tak usah ditanya,tentu saja tak pernah.
Saburo menghela napasnya kasar,ia menatap pigura foto yang diletakkan diatas nakas disisi ranjangnya,itu adalah fotonya bersama sang ayah, dimasa lalu,diumurnya yang ke tujuh tahun. Hampir sepuluh tahun,dahulu ia adalah anak yang sangat menyayangi sang ayah,menganggap sang ayah adalah segalanya,tapi sekarang?
Tak usah ditanya,ia sangat membenci ayahnya. Ia muak dikekang tak boleh mengejar hobinya,tak boleh ini dan itu,hanya boleh ini dan ini,hanya bolej belajar.
Saburo muak mendengar perintah sang ayah,benci? Sangat malah.
Ia melempar pigura itu ke dinding di seberang kamarnya,hingga menimbulkan suara kaca pecah yang terdengar sangat keras,membuat para pelayan segera berdatangan ke kamarnya. Namun saat ia ditanya,ia hanya menjawab ada kucing yang menyenggolnya,dan masalah selesai.
Ia berusaha mengingat-ingat apa saja dosa sang ayah padanya,
Melakukan kekerasan fisik sebagai hukuman? Cek.
Mengekangnya terlalu keras? Cek.
Menghancurkan setiap mimpinya hanya demi kepentingan sang ayah? Cek.
Membuatnya stress berat bahkan sempat berpikir bunuh diri? Cek.
Dan banyak lagi.
Saburo menatap keluar jendela dengan tatapan bosan,ia menopang dagunya,melamun sebagai pengisi waktu luang dikala ia suntuk belajar terus menerus. Ia tak berani memainkan gitarnya,ada ayahnya disini,apalagi saat ayahnya pulang, mood pria itu sedang sangat tidak baik.
Dua bulan begitu cepat berlalu,kini sudah memasuki musim dingin. Dan ulang tahun Saburo yang ketujuh belas,ia merayakannya disekolahnya, beberapa sahabatnya memberikannya ucapan selamat dan kado kecil,yang ia minta drivernya untuk diantarkan ke rumah keluarganya.
Ini jam tiga sore,ia meraih helmnya dan memakai jaket,lalu menyambar kunci motor yang ia beli dengan uang sakunya sendiri,bukan motor ala kadarnya,tentu saja. Apalagi kalau bukan Ni**a? Ia membeli motor itu sebagai hadiah pribadi diumur enam belas. Dengan semangat,ia menaiki motornya dan berjalan-jalan di wilayah sekitaran Yokohama,ia menikmati ulang tahun ketujuh belasnya,makan di cafe,berjalan-jalan di pusat perbelanjaan,makan es krim dengan bebas,dan banyak lagi. Untuk kali ini,ia menghamburkan uang sakunya ini sekali saja.
Saburo baru pulang ketika hari sudah hampir larut malam,senyum bahagia terpatri di bibir manisnya,namun ia tahu,mungkin saja ayahnya sudah tahu dan akan memarahinya habis-habisan,dan benar saja.
Kerah jaketnya dicengkram sang ayah, wajah Riou terlihat sangat marah,"APA YANG AKU KATAKAN TENTANG JALAN-JALAN?! AKU BILANG TAK BOLEH JALAN-JALAN 'KAN! LALU KENAPA KAU MELANGGARNYA?!"
Saburo menatap ayahnya,manik hetero itu berkilat emosi dan,
PLAKK!!
Sebuah tamparan super keras melayang ke wajahnya,ia terkejut, lalu menatap sang ayah dengan tatapan benci,"BAJINGAN!!"makinya kasar,ia melepas cengkraman sang ayah,"AKU SUDAH TAK PEDULI,DASAR BAJINGAN!!"teriak Saburo sebelum berlari ke kamar pribadinya dan membanting pintu kamarnya. Manik heteronya berlinang,oh tak bisakah ia menikmati ulang tahunnya yang ketujuh belas?
Ayahnya tentu saja tak mengucapkan, karena pria itu sudah melupakan kapan ulang tahun Saburo.
"SABURO!! BUKA PINTUNYA!! APA YANG AKU KATAKAN TEN-"
"BAJINGAN!! DIAM SAJA KAU!!"teriak Saburo dengan suara bergetar,ia menangis dibalik pintu kamanrnya,
Untuk pertama kali dalam sepuluh tahun terakhir,ia menangis.
Gedoran itu masih terus terdengar, harusnya Saburo sadar kalau sang ayah takkan menyerah begitu saja. Dengan perlahan ia membuka pintunya,membiarkan air matanya terjun bebas dihadapan sang ayah. Riou tertegun melihat putra tunggalnya menangis,karena ia tahu, Saburo tak pernah lagi menangis semenjak beranjak remaja,
"Ma-"kata maaf seolah tertahan di tenggorokannya,ia ingin mengusap air mata putranya,namun tubuhnya terasa kaku. Saburo menatapnya dingin,walau air mata masih mengalir di pipinya yang memerah akibat tamparan sang ayah,"Terima kasih,"ia berkata,"Sudah melupakan ulang tahunku yang ketujuh belas dan menjadikannya ulang tahun terburuk sepanjang hidupku."
BRAK!
Saburo tak peduli lagi,ia tak mau tinggal di neraka ini lebih lama,ia juga tak peduli dengan ekspresi Riou ketika ia membanting pintu kamarnya dihadapan sang ayah,yang sebenarnya bisa membuatnya dihukum fisik lebih keras dua kali lipat daripada ketahuan bermain game konsol.
Riou menatap pintu cokelat yang baru saja dibanting Saburo,tatapannya pias,"..."ia menunduk,tangannya ia tatap dengan tatapan yang tak bisa diartikan,ia berusaha menghitung berapa kali ia menggunakan kedua tangannya untuk menampar Saburo dan menyakiti anak itu. Ia bahkan hampir sudah tak pernah mengucapkan selamat ulang tahun pada putranya,putra yang selalu berusaha menaati semua perintahnya apapun itu.
"Saburo,"panggilnya lembut,ia berusaha membuka pintu kamar Saburo,namun pintu itu sudah terkunci rapat,seolah menolak keberadaannya di ruang pribadi Saburo. Ia paham ia tak bisa memaksa Saburo untuk kali ini,ia akhirnya membiarkan sang putra menikmati waktunya sendirian.
Malam pun tiba,Saburo sudah mengepak sebagian pakaiannya ke sebuah ransel besar,ia meraih kunci motornya dan memakai jaket,lalu berjalan keluar kamar,sedikit berhati-hati khawatir berpapasan dengan salah satu pelayannya atau malah ayahnya. Ia menaiki motornya,lalu menyalakannya dan pergi dari kediaman keluarganya,
Pergi dari segala tetek bengek masalah yang menjadikan tempat itu bak neraka.
Saburo menjalankan motornya membelah kota Yokohama,plat motornya sudah ia ganti demi kelancaran rencananya. Ia pergi ke apartemen pribadinya diwilayah tengah kota. Ia memarkirkan motornya di bawah tanah,lalu menaiki lift untuk pergi ke kamar pribadinya dan menghabiskan waktu disana.
Paginya,Riou benar-benar panik ketika beberapa pelayan melaporkan kalau Saburo hilang. Ia mencoba menelepon semua teman anak itu, dan tak satupun yang berkata kalau mereka pernah melihat Saburo. Semua bodyguard dirumahnya ia kerahkan untuk mencari sang putra tunggal,pihak kepolisian pun ikut ambil andil dalam pencarian sang putra.
Untuk pertama kalinya,Riou merasa sangat menyesal.
Putranya tak kunjung ditemukan, sudah berbagai cara ia gunakan untuk mencari keberadaan sang putra dan tentu saja ia tak menemukannya sama sekali,Saburo sudah menonaktifkan semua ponsel yang ia rasa bisa diketahui ayahnya, mengganti alamat email dan lainnya, termasuk mengganti ponsel dan merubah beberapa identitasnya.
Ia menikmati waktunya,sunyi dan sendirian,ia meraih gitar yang dibelikan oleh sahabatnya sebagai kado,lalu memetik senarnya dan mulai bernyanyi.
Sudah dua bulan Saburo tak pulang ke rumahnya,ia melakukan aktifitas sekolahnya lewat online,dibantu oleh beberapa sahabatnya yang justru lebih seperti keluarga dibanding sahabat. Saat ini Saburo bosan,ia memutuskan untuk pergi ke taman dimana dahulu ia sering pergi ke sana bersama sang ayah.
Omong-omong soal Riou,saat ini pria itu hampir menyerah mencari putranya sendiri. Ia bahkan bertekad jika ia bertemu putranya,ia akan meminta maaf dan bersumpah takkan mengulangi perbuatannya, juga meminta Saburo pulang dengan baik-baik tentunya.
Saburo menjalankan motornya menuku taman itu,ia memarkirkan motornya di parkiran lalu melepas helm yang ia pakai. Manik hetero ia tutupi dengan kacamata hitam,ia berjalan santai di taman yang lumayan luas itu sembari memakan es krim,namun tiba-tiba saja ia tanpa sengaja menabrak seseorang hingga es krim ditangannya tanpa sengaja jatuh ke atas rumput,"Eh maaf,"kata Saburo singkat,ia menatap siapa orang yang tanpa sengaja menabraknya,
Ia terdiam,
Ayahnya.
Segera,ia berjalan cepat meninggalkan pria itu,ia tak mau lagi kembali ke neraka itu. Riou menoleh, menatap suara yang ia kenali sebagai suara putranya,"Saburo!"teriak pria itu,Saburo menoleh,lalu kembali berjalan seolah tak terjadi apapun. Namun Riou menarik tangannya, menahannya,"Maafkan aku!"kata Riou dengan nada sendu pada putra tunggalnya,"Aku menyesal."
Saburo mendecih,"Lupakan saja."ia menyahut dengan nada sarkas,ia sungguh masih membenci sang ayah,"Aku tahu aku bukanlah ayah yang baik,"kata Riou lagi,suaranya sedikit bergetar,"Aku terlalu kejam untuk disebut ayah,dan aku menyesal."
"Lalu?"potong Saburo,"Minta maaf, lalu beberapa bulan lagi akan mengulangi,begitu?"
Riou menggeleng,"Kali ini aku benar-benar menyesal,maukah kau pulang bersamaku?"
Disatu sisi,Saburo tak tega,tapi disisi lain ia tak ingin pulang,namun tiba-tiba saja Riou memeluknya demikian erat,"Maaf,ayolah,kita pulang bersama ya? Kita perbaiki hubungan keluarga yang rusak karena ulahku ini,ya?"suara itu membuat Saburo luluh,ia hanya mengangguk kecil,"Ya, ayo pulang,ayah."
End
[A/N]
Plot by me
Story by me
Ending by Rizukyu
Janlup voment
Regards
Ark Akifuyu
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro