File 117: Family Puppet
ヒプノシシマイクーAU
Pairing: Riou Mason Busujima x Yamada Saburo
Saburo as Riou son
Genre: Hurt and Angst
Warn: Typo, Suicide Containt, Mature Containt and others.
Enjoy...
"Haa...,"Saburo menatap sendu pada gambar yang ia buat untuk sang Ayah, yang kini berada dibawah kakinya dalam kondisi hancur dirobek-robek. Ia memungutnya, satu demi satu kepingan, kemudian menyimpannya didalam buku sketsanya.
Sudah kesekian kalinya ia begini.
"Ayah...,"Saburo memutuskan untuk mendatangi sang Ayah yang sedang memasak. Takut-takut, ia menatap Ayahnya. Riou menoleh padanya dan menatap lurus matanya,"Apa?"tanya pria itu, tanpa ada ramah tamah didalamnya,"Mau meminta tambahan uang saku? Bukannya nilaimu turun, ya?"
Saburo menggeleng kecil, ia tak perlu tambahan uang saku. Ia hanya ingin Ayahnya memperhatikannya.
"Aku...,"
"Cukup Saburo. Aku sedang lelah sekali dan aku rasa matamu tidak buta. Kau bisa lihat aku sedang memasak,'kan?"Saburo hanya mengangguk. Tanpa menoleh lagi, ia pergi ke kamarnya dan berdiam diri disana hampir sepanjang waktu sembari membaca buku pelajaran. Saburo menguap kecil, ia ingin memberitahu sang Ayah kalau ia sedang flu tetapi bayangan mengerikan sang Ayah selalu menghantui, membuatnya lebih suka tutup mulut daripada jujur tentang apa yang ia alami dan rasakan.
Saburo membaringkan kepalanya diatas buku yang tengah ia baca, rasa kantuk dan pusing yang sedari tadi ditahannya, kini semakin tidak tertahankan dan akhirnya ia pun jatuh tertidur diatas buku pelajarannya.
Berapa jam Saburo tertidur, ia pun tak tahu. Ia terbangun karena sang Ayah menyipratinya dengan air es, membuatnya mengerang pelan sebelum akhirnya terbangun,"Ada apa, Ayah?"tanyanya dengan nada sengau. Riou meletakkan mangkuk air dingin itu disisi sang putra,"Tidur itu di kasur,"katanya dingin,"Bukan disini. Aku mau pergi kerja. Bereskan rumah ini, paham?"Saburo hanya mengangguk ketika ia mendapat perintah itu, ia takkan melawan lagi.
"Bagus,"kata sang Ayah lagi,"Memang kau seharusnya patuh dan tidak melawanku."
"...iya, Ayah."Saburo sedikit tak rela ketika menyahuti omongan sang Ayah. Toh ia tak pernah benar-benar melawan selama ini.
Setelah Riou pergi, sembari terus menahan pusing yang semakin menyiksanya, Saburo terus membersihkan isi rumahnya. Entah tiga atau empat kali, ia nyaris terjungkal atau mengacaukan hasil pekerjaannya sendiri akibat pusing yang ia rasakan. Dan ketika Saburo sedang mengepel kamar Ayahnya, rasa pusing itu menguasainya dan membuatnya jatuh pingsan. Begitu saja tanpa seorangpun tahu.
Ketika Riou kembali, pria itu mengerinyit bingung saat ia tak melihat putranya. Ia pun memanggil putranya beberapa kali, namun tak kunjung ada jawaban dari Saburo. Memang rumahnya sudah bersih nan mengilap, namun salah satu kewajiban wajib Saburo juga untuk menyambut sang Ayah apapun keadaannya.
"Saburo?! Dimana kau?!"teriak pria itu beberapa kali, namun tak kunjung ada jawaban dan rumah itu tetap hening. Riou pun berjalan ke kamarnya, ketika ia membuka pintunya, ia menatap sang putra yang terbaring pingsan di lantai, wajah Saburo memerah dan napasnya cepat. Anak itu flu berat.
Beberapa hari berlalu semenjak Saburo terkena flu dan pingsan di kamar Ayahnya, kini ia sedang bersama Paman-Pamannya dan Sepupu-Sepupunya, sedang makan malam bersama untuk merayakan ulang tahun sang Ayah.
"Saburo-kun,"Jyuto menatapnya penuh arti,"Aku dengar kau tak pernah memenangkan pertandingan olahraga sama sekali, ya? Yang paling ringan, juga kau tak pernah menang, ya?"
"Begitulah ia, Jyuto."Riou menyahut sembari menatap putranya penuh arti,"Dia memang tidak pernah berguna."
"Contohlah sepupumu! Jiro-kun selalu menang dalam kompetisi olahraga di bidang apapun!"Jyuto menyahut sembari meminum kopi yang disajikan Saburo.
Saburo hanya bisa tersenyum pahit, kemudian menutupinya dengan tawa canggung,"Y-ya paman, aku akan berjuang lagi, lebih keras."
"Memang seharusnya begitu,"sahut Riou tanpa memerdulikan perasaan putranya sendiri.
Lagi-lagi Saburo hanya memasang senyum pahit, ia kemudian tertawa canggung untuk menutupi rasa sedihnya.
Sepulangnya Samatoki dan Jyuto dari kediaman mereka berdua, Saburo kembali harus membereskan rumah yang berantakan karena kedua Pamannya. Ketika ia tengah mencuci piring, ia kembali memikirkan kata-kata Ayah dan Pamannya tadi berulang-ulang hingga ia kehilangan fokus.
Prang!!!
Piring kaca yang ia pegang meluncur bebas, jatuh hingga pecah berderai di lantai keramik. Riou mendatanginya karena suara itu, ia menatap putranya dingin,"Memang,"kata Riou memulai,"Selain tidak berguna, kau hanya bisa mengacau."ia meraih surai jelaga putranya, yang sewarna dengan surai sang istri dahulu, kemudian menghantamkannya beberapa kali keatas pecahan kaca yang belum sempat dibersihkan Saburo. Saburo hanya bisa diam dan pasrah, menahan ringisan dan rasa sakit yang ia rasakan. Barulah setelah beberapa saat, sang Ayah melepaskannya,"Bersihkan itu atau kau takkan mendapat makan malam, dan tidur di gudang."Saburo hanya mengangguk, dahinya terasa perih sekarang. Beberapa tetes darah jatuh dan membasahi pecahan kaca itu.
Setelah selesai membersihkan pecahan kaca dan melanjutkan tugasnya mencuci piring, Saburo pergi ke kamarnya dan duduk didepan sebuah cermin. Tak terlalu terkejut ketika ia mendapati dahinya lebam dan robek, lagi dan lagi, ia kembali harus mengobatinya sendiri.
Pantas saja Ibunya tidak tahan dan akhirnya meninggalkan Ayahnya.
Menatap gunting di tangannya, Saburo meraba gunting itu dan mendekatkanya ke lehernya sendiri, merasakan permukaan dingin gunting bertemu dengan kulit hangatnya. Gunting itu berhenti di titik nadi leher Saburo. Dibukanyalah gunting itu, kemudian digoreskannya beberapa kali. Menahan rasa perih yang tercipta, Saburo terus melukai lehernya.
Ia ingin bunuh diri.
Sayang sekali, kecerobohannya adalah ia lupa menutup dan mengunci pintu kamarnya. Ayahnya lewat, dan menyaksikan percobaan bunuh diri Saburo. Tanpa menimbulkan suara langkah, Riou mendekati sang anak kemudian merebut gunting itu,"Apa maksud semua ini, hah?!"
Saburo menoleh dengan perasaan terkejut, ia menatap sang Ayah.
"A-ayah... i-ini tidak seperti yang kau kira...,"Saburo tetap berusaha menjelaskan walau sang Ayah memarahinya habis-habisan. Bahkan memakinya dan menyebutnya 'anak pelacur' dan semacamnya.
"Makanya!"bentak Riou,"Ibadah! Jangan bermain ponsel terus! Contohlah sepupumu Ichiro! Dia tak pernah tidak beribadah, prestasinya bagus dalam bidang apapun! Kalau aku bisa memilih, tentu saja aku ingin putra seperti Ichiro-kun! Bukan putra tak tahu diri sepertimu!"
Saburo memilih diam dan menunduk, perih di lehernya semakin terasa menyakitkan ditambah lagi hatinya terus tergores dan tercabik akibat bentakan Riou.
"Ayah,"bisiknya lirih,"Jika aku anak pelacur, mengapa kau dulu menikahi Ibu?"
Saburo akhirnya dibawa ke psikiater. Sepanjang sesi konsultasi itu, Saburo hanya diam dan menjawab pertanyaan yang diajukan dengan sedikit ogah-ogahan dan malas, ia tak menangis, tak berteriak, namun tetap tenang dengan mata yang terlihat kosong. Sekosong sebuah rumah kuno yang ditinggalkan.
Atau lebih kosong dari apapun.
Riou akhirnya memutuskan untuk mengambil alih, pria itu berkata pada psikiaternya,"Saburo ini hebat! Ia tak pernah menangis bahkan ketika ia menerima hukuman. Dia ga pernah nangis, ga pernah teriak dan cuma diam membisu jika aku tidak mengajaknya bicara."
"Tuan,"psikiater bernama Ryuuichi itu memulai,"Itu bukan sesuatu yang bagus."
"Itu artinya perasaan Saburo-kun sudah mati, atau ia berhasil menjadi boneka yang baik dan tidak melawan."Ryuuichi menuliskan sesuatu di berkas Saburo, kemudian memberikan sebotol obat penenang ringan,"Minumlah ini, aku tahu Saburo-kun terus menahan amarah dan banyak hal lainnya."
Riou kemudian menatap psikiater dan putranya bergantian, ia kemudian memeluk bahu Saburo yang hanya menatap kosong pada botol obat di tangannya,"Maafkan aku."Riou berkata dengan nada penyesalan yang mendalam, walau itu hanya sebuah kepura-puraan sejati yang sengaja ia bangun agar tak seorangpun tahu apa yang sebenarnya terjadi.
"Maafkan Ayah, Saburo. Ayah gagal menjadi Ayah yang baik untukmu."diam-diam Saburo merasa senang, ia berharap hubungannya dengan sang Ayah membaik karena ini. Sebenarnya, ia sangat berharap sang Ayah akan memperhatikannya.
Sayangnya tidak begitu yang ia rasakan.
Obat penenang miliknya dirampas dan dibuang. Alasan Riou sungguh tak masuk akal, dimana ia mengira kelak Saburo akan menjadi pecandu obat akibat obat penenang yang diberikan kepadanya.
Saburo hanya bisa pasrah, menatap ke luar jendela dan mulai berangan-angan. Berangan hubungan keluarganya akan membaik dan banyak lagi.
Ia kembali menjadi seperti boneka. Hanya diam, menatap kosong, sesekali tertawa ketika ia dibanding-bandingkan dan dijelek-jelekkan oleh Ayah dan kedua Pamannya, sesekali meringis ketika Riou memberinya hukuman fisik. Dan diam. Menatap kosong. Matanya lebih kosong dari apapun.
Saburo mati.
Begitu saja setelah menahan semua bebannya selama ini.
Tentu saja Riou tidak tahu. Pria itu hanya peduli akan prestasi Saburo, tanpa mau tahu betapa kerasnya Saburo berjuang mencetak nilai sempurna, memenangkan lomba, mendapat medali dan pernghargaan, dan banyak lagi.
Setiap hal kecil yang diberikan Saburo hanya diterima, kemudian sebagian berakhir di tempat sampah, dan sebagian lagi ia simpan di gudang.
Tentu saja ia tidak memikirkan perasaan Saburo. Toh, sepanjang penglihatannya, Saburo baik-baik saja. Anak itu tetap tidak menangis, tidak berteriak, tidak tertawa dan hanya diam membisu.
Boneka.
Layaknya sebuah boneka kecil.
Saburo diam.
Bergerak sesuai perintah.
Diam sesuai perintah.
Tertawa sesuai perintah.
Menangis sesuai perintah.
Menatap sesuai perintah.
Dan seterusnya.
Perasaan yang ia tahan selama ini akhirnya bertindak layaknya bom waktu, akan meledak jika waktunya tepat dan sudah dapat dipastikan juga akan menghancurkan Saburo juga.
Mungkin lebih tepat jika disebut bunuh diri.
Perasaan amarah dan stress yang berujung bunuh diri.
Saburo terus menyimpan bebannya sendirian. Bahkan jikalaupun ia diajak bercerita, tentu saja ia selalu menghindar jika pembicaraannya mulai menyinggung soal mental atau semacamnya.
Saburo akan melakukan 1001 cara agar tak seorangpun mengetahui beban yang ia simpan seorang diri, ia akan menghindar jika seseorang mengajaknya ke psikiater dan beranggapan ia baik-baik saja jika ia masih bisa berjalan dan bergerak semaunya.
Dan abai pada perasaan serta mentalnya yang semakin hancur setiap harinya.
Puncak segalanya adalah ketika Riou membentaknya didepan pintu kediaman mereka ketika Saburo baru pulang sekolah dalam keadaan sangat-sangat lelah.
Pria itu menamparnya, mencaci maki dirinya, menyiksanya dan semacamnya.
Saburo akhirnya meledak, ia tidak tahan lagi diperlakukan lebih hina daripada pelacur.
Saburo melempar tasnya, kemudian berlari sembari menangis dari sang Ayah tercinta. Ia terus berlari, dan menangis hingga pandangannya sedikit mengabur. Teriakan sang Ayah adalah pengiringnya ketika berlari, namun Saburo tidak menoleh dan terus berlari.
Lari.
Berlari.
Naik.
Terus naik.
Hingga ia sampai di atap sekolahnya. Ketika ia menoleh ke belakang, Ayahnya baru saja muncul dari balik pintu. Saburo tersenyum hangat, menaiki pagar pembatas, kemudian berdiri dibalik pagar pembatas. Ia menoleh, menatap Ayahnya yang berusaha menahannya, kemudian lagi-lagi tersenyum hangat.
Menyiratkan perpisahan.
"さよならせかい。さよなら父!"
Saburo meloncat ke bawah, sembari terus tersenyum bahkan ketika kepalanya menyentuh tanah dan menghamburkan isi kepalanya. Bahkan ketika tangannya patah, kakinya remuk, dan rusuknya patah, ia tetap tersenyum mengiringi kematiannya sendiri.
Riou berlari turun secepat yang ia bisa, terus berlari hingga ia sampai di lapangan sekolah putranya. Ragu, ia mendekati putranya yang sudah menjadi mayat, Riou kemudian memeluk mayat itu dan dengan sia-sia meminta maaf serta menyampaikan segala penyesalannya.
Dengan sia-sia, ia meminta putranya kembali.
Sebuah kalung yang dilapisi sebuah kertas jatuh dari saku gakuran Saburo, Riou memungut kalung dan kertas itu, dengan air mata berlinang, ia membacanya.
Sejujurnya aku selama ini sudah tahu, betapa aku terlalu menyusahkan Ayah selama ini.
Sejujurnya aku juga tahu betapa aku tidak pernah membuat Ayahku bangga.
Sejujurnya aku tahu beberapa hal kecil yang kubuat dengan penuh perhitungan dan perasaan, sebagian besar akan berakhir di tempat sampah.
Sejujurnya aku tahu betapa diriku sangat tidak bersyukur, sangat tidak tahu diri dan semacamnya.
Tetapi untuk kali ini, aku ingin berharap hubungan kami membaik. Ayah tidak lagi mengabaikanku, dan aku bisa mengeluarkan segala perasaanku dengan sebebas-bebasnya. Tanpa perlu takut dimarahi, tanpa perlu takut disiksa dan semacamnya.
Selamat ulang tahun, diriku.
Dari Saburo Busujima.
Untuk diriku sendiri.
Riou menatap kalung yang terlihat basah oleh merahnya darah. Pria itu kemudian memungutnya, dan membuka liontin itu. Ia menatap foto mereka ketika mereka bertiga masih merupakan keluarga utuh dan foto kelahiran Saburo.
Semenjak saat itu, Riou berusaha menyelamatkan sisa-sisa seorang Saburo. Ia tak memperbolehkan siapapun masuk ke kamar putranya, ia merawat segala hal kecil tentang putranya sebaik mungkin, ia terus mengenang putranya bahkan setelah hampir sepuluh tahun semenjak kematian Saburo, ia terus melakukan hal yang sama.
Seolah berusaha menebus penyesalan dan kesalahannya selama ini.
Dan berharap Saburo akan kembali walau hanya sebentar, untuknya.
Sayang sekali, Saburo tidak akan pernah kembali.
Dan semua itu karena kesalahannya sendiri.
Beribu andai pun takkan mengembalikan Saburo ke sisinya. Beratus tangkai bunga, beribu origami, berliter-liter air mata tetap takkan mengembalikan Saburo ke sisinya.
Dan itu karena kesalahannya sendiri.
End
Plot by me
Story by me
Ending by me
Regards
歩か秋冬
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro