ONESHOOT-ImPerfect
Terinspirasi dari lagu favoritku; Charlie Puth~One Call Away
Happy reading!
Oneshoot: ImPerfect
Ada tiga kata yang mencakup seluruh desas-desus maupun fakta di Asthama Interhigh untuk menggambarkan sosok itu.
Keren.
Tampan.
Kaya.
Sosok itu selalu berjalan sendirian dengan kedua tangan di saku celana, lalu earphone hitam sengaja disumpal di kedua telinganya. Setiap kali ia berjalan di koridor sekolah, para siswi tak henti-hentinya menatap Dylan penuh pemujaan karena wajah bule yang ia miliki terlalu mempesona.
Dylan Reene, he is jerk type and filthy rich.
Setidaknya itu yang ada di otak kebanyakan orang, namun tidak tahu untuk cewek berkulit sawo matang bernama Zefanya Larasati. Zefa, begitu panggilannya. Ia tak peduli mau seberapa nakal, garang ataupun kaya seorang Dylan karena dirinya pun sama seperti Dylan.
Bitch type and super smart, itulah penggambaran diri Zefa menurut cewek yang tengah mengejarnya.
"Hahaha...." Zefa terbahak sembari berlari mundur menjauhi seorang cewek yang jadi korban kejailannya siang ini, "Mampus lo Vi! Haha...."
Viviana Lesmana tak tahu jika jus tomat kesukaannya telah diberi saus tomat serta sambal terpedas di kantin oleh Zefa. Mereka berdua merupakan Tom dan Jerry yang perseteruannya sudah terkenal sejak Vivi merasa kalau gebetannya direbut oleh Zefa.
"ANJING! ZEFANYA ANJING! BERENTI LO CABE!!" pekik Vivi di sela-sela larinya. Ia mengejar Zefa untuk menuntut rasa terbakar di lidah dan perutnya. Biarpun kepedasan, ia harus tetap mendapatkan Zefa secepatnya. Zefa harus lebih menderita dari apa yang ia rasakan sekarang. Ia ingin sekali menjambak rambut Zefa sampai tercabut hingga gundul.
"Ha! CABE TERIAK CABE!!" sahut Zefa nyaring. Di tangannya ada jus tomat asli yang ia minum sesekali untuk meminimalisir dahaganya.
"ZEFANYA!" Vivi menjerit geram, ia tak kuasa lagi untuk berlari. Ia butuh air putih!
Banyak pasang mata yang berdecak melihat kelakuan mereka berdua; kelakuan yang sudah biasa mereka lihat.
Inilah hari kesialan bagi Zefanya, mungkin itu yang ada di otak Vivi saat ia menyaksikan kecerobohan Zefa. Zefa menabrak Dylan dari belakang dan membuat cowok pembangkang itu terjatuh hingga hidungnya membentur lantai; cukup keras.
Malu, sakit, geram, Dylan merasakan itu semua dan ia menengok ke belakang sembari memegangi hidungnya yang mengucurkan darah.
Zefa yang sudah bangkit dari posisi tidak etisnya yaitu terjungkal ke lantai pun mencoba bangkit. "Oh, my Jesus Christ," gumamnya menyadari kalau ia telah mengkeramasi kepala Dylan menggunakan jus yang manis itu.
Bunyi suara khas pemakaman terngiang di telinga Zefa tepat saat menerima tatapan membunuh Dylan.
"You are dead meat, Zef." Vivi tersenyum lebar sebelum pergi berlalu dari pemandangan mencengangkan itu. Sebenarnya Vivi belum puas melihat wajah syok Zefa serta kegeraman Dylan, tapi hasratnya untuk pergi ke toilet tak terelakan. Vivi, gadis populer di SMA Internasional Asthama sedang mati-matian menahan mulas di perutnya.
++++++
Zefa sudah selesai mengobati sikunya yang sedikit memar akibat jatuh menggunakan salep. Ia duduk sembari meringis-ringis memperhatikan keadaan siku kanannya.
"Heh, perasaan gue yang sampe di plester! Kenapa lo yang ngerintih? Dasar cengeng!"
Bibir Zefa manyun; tak suka dengan cibiran Dylan yang sedang duduk di sebelah. Batang hidung Dylan memang diberi plester bergambar bola serta satu lubang hidungnya disumpal kapas.
Dylan tentu mengobati dirinya sendiri, ia tidak mau ada seseorang yang menyentuh dirinya dan Zefa pun tak mau bertanggung jawab atas kesalahannya.
"Cih. Ini gara-gara lo yang selalu nyumpel telinga pake earphone. Gue kan udah teriak supaya lo tuh minggir!" Zefa tetap membela diri walaupun harus berbohong.
Dylan tersenyum kecut mendengar Zefa menyalahkan sepasang earphone kesayangannya yang tersambung ke i-pod. "Hah? Maksud lo ini?" Ia menunjuk benda itu; yang tergeletak di sampingnya.
Zefa mengangguk. "Sok misterius lo, Dyl. Cari ketenaran!"
Jika mengira kalau Zefa dan Dylan tidak saling mengenal, maka itu salah. Mereka lumayan saling mengacuhkan semenjak terlalu sering sama-sama di panggil Kepala Sekolah akibat akumulasi poin pelanggaran mereka yang begitu menakjubkan. Hanya, memang keduanya jarang menunjukkan gelagat saling kenal di depan umum. Bukan apa-apa, mereka memang begitu; terkunci di dalam dunia mereka masing-masing.
"Rokok, bro?" tawar Zefa usai merogoh saku roknya yang terisi dua batang benda jahanam itu.
Pertama-tama Dylan tampak ragu menerima rokok dari Zefa karena ia tak menyangka kalau Zefa sebegitu nakalnya. "Gue terima rasa bersalah lo," kata Dylan mengambil batang rokok itu.
"Terlalu percaya diri. Zefanya gak pernah merasa bersalah, Dylan Reene. Iam always right." Zefa bersandar di kepala ranjang menyilangkan kakinya.
Tadinya ada dua anggota PMR yang bertugas hari ini, tapi dua murid itu lebih suka dimarahi guru daripada harus melihat senyum sinis Dylan kalau mereka tak mengizinkan ia mem-booking ruang UKS selama yang ia mau. Mereka juga tidak mau jadi bahan kejailan Ms. Pranks sesekolahan yaitu Zefa.
"I should be alright," kata Zefa dalam pandangan nanarnya ke arah jendela. Ia mengira Dylan tidak akan mendengar ucapannya karena ia melihat Dylan memakai earphone lagi.
Dylan mendengar semuanya. Kegusaran Zefa dan senandung cewek berambut hitam panjang ikal yang di ujungnya berwarna biru langit. Zefa melantunkan lagu asal-asalan, tapi entah kenapa menurut Dylan suara senandung Zefa lebih menghanyutkan daripada lagu galau buatan penyanyi manapun. Tak ada orang yang tahu kalau i-pod Dylan Reene tidak ada isinya, alias ia hanya berpura-pura mendengarkan musik.
"Damn. This is my favourite song," ucap Dylan dan ia pun tersenyum.
++++++
Lagi-lagi mereka berdua duduk bersebelahan sembari ditatap tajam oleh Bu Atika, Guru Bimbingan Konseling yang terkenal disiplin. Tapi dasarnya sudah tidak punya rasa takut atau memang sudah saking kebiasaannya mencari masalah, mereka berdua tidak berkeringat dingin.
Bu Atika memijit pelipisnya, ia lelah menghadapi dua perusuh di hadapannya. "Ibu capek. Kalian berdua tulis: Saya tidak akan mengulanginya lagi. Sebanyak tiga lembar kertas folio," ia mengeluarkan enam lembar kertas folio dari dalam laci meja kerjanya, "Pokoknya saat Ibu balik ke sini, harus udah selesai!"
Keduanya hanya mengangguk tapi enggan menyentuh kertas kosong itu.
Zefa asik memutar kursi yang ia duduki dan Dylan memejamkan matanya berpura-pura menikmati lantunan lagu lewat earphone.
Bu Atika mengeratkan kedua rahangnya dan keluarlah desisan amarahnya. Kedua tangan beliau pun terkepal geram. "Zefa! Dylan!!" Ia geregetan.
Sayangnya kedua anak pembuat onar ini tidak bisa didepak dari sekolah karena mereka berdua sama-sama punya kekuasan di sekolah ini. Zefa adalah cucu pemilik sekolah sementara Dylan memiliki orangtua yang suka menyumbang dana ke sekolahan ini. Paling ya hanya begini hukumannya, mereka disuruh mengakui kesalahan mereka dengan menulis berjam-jam di ruang BK. Soal poin, tentu saja dicatat namun tak pernah benar-benar dipermasalahkan.
Dengan malas Zefa menjawab, "Iya Bu Atika yang perawan tua."
Bu Atika harus ekstra sabar mendengar setiap ledekan yang keluar dari mulut Zefa, terutama masalah statusnya.
Dylan hendak terkekeh tapi ia stay jaim dan tuli.
"Gue ngantuk. Hoaaam...." Dylan sengaja menguap saat mendengar suara sepatu Bu Atika mendekat ke pintu. Mereka benar-benar kompak membuat emosi guru naik ke level teratas.
"Hahaha...." tawa Zefa pecah hingga ia memegangi perutnya, "Gue suka! Gue suka banget lihat Bu Atika dongkol!"
Dylan membebaskan telinganya dari earphone itu. Ia terdiam sejenak, tidak tahu sejak kapan; ia terpesona oleh Zefa. Entah penyebabnya apa, ia juga tidak tahu.
"Lo masuk BK karena apa, eh?" Dylan mengambil bolpoin dan satu lembar kertas folio.
Zefa melirik Dylan heran. "Lo ... lo beneran mau nulis? Ah, payah lo." Ia menepuk pundak Dylan; meremehkannya.
Dylan mengetuk kening Zefa menggunakan ujung bolpoin merah itu. "Jawab pertanyaan gue dulu, Prankster!"
Zefa bertopang dagu seraya mengingat kesalahan apa yang membuatnya bisa duduk di ruangan ini. "Lagi hari sial gue aja kali. Gue ketahuan pas mau kasih lem di kursi Bu Lena." Ia menyengir kuda.
"Ck. Ceroboh as always. Sloopy Zefa." Dylan tersenyum sebelum memilih pindah tempat duduk di singgasana Bu Atika.
Disebut ceroboh, Zefa tersenyum samar tanpa ketahuan oleh Dylan karena cowok itu sibuk dengan kertas folionya.
"Kalo lo kenapa, Dyl?" tanya Zefa yang kembali bermain dengan kursi putarnya. Kursi yang benar-benar nyaman.
Dylan mendongak kemudian balik mengurusi kerjaannya. "Biasa. Ngerokok dan ketahuan gitulah. Gara-gara Seno ketahuannya."
Zefa mulai tertarik dengan topik pembicaraan ini. "Seno? Kenapa?"
Bego, tolol. Batin Dylan. Ia mengucapkan nama yang seharusnya tak perlu ia jelaskan. Semua orang tahu ada hubungan apa antara Seno Adipati, Zefa dan Vivi. Vivi bilang hubungan mereka adalah kisah cinta segitiga. Seno juga mengiyakan tapi tidak tahu menurut Zefa apaan.
Kepalang tanggung, Dylan menjelaskan sekalian. Kapan lagi bisa bicara lama-lama dengan Zefa, cewek yang hatinya ingin ia jangkau. "Dia hampir bakar gorden lab Biologi. Pe'a banget tuh anak kan Zef?" Dylan lagi-lagi terpana melihat cara Zefa tertawa, "Udah aman-aman sembunyi dari Atikong itu, tapi ketangkep juga."
Zefa perlahan mengurangi tawanya. Ia membayangkan bagaimana konyolnya Dylan, Seno serta preman sekolah lainnya berusaha mematikan api yang menjalar itu. "Terus, terus, kok cuma lo yang di sini? Yang lain ke mana?"
Tangan Dylan berhenti menggambar, ia menghela napas pasrah. "Loncat dari lantai dua." Ia pasrah karena merasa Zefa mengkhawatirkan Seno.
"Hm," Zefa menganggut-anggut, "Baguslah kalo lo gak ikutan loncat. Kalo lo patah-patah kakinya bisa berabe."
"Hah? Maksud lo?" tanya Dylan yang kembali fokus menggambar.
Cepat-cepat Zefa menggeleng. "Nothing."
Setengah jam sudah mereka berdua terdiam dan berkutat dengan satu lembar kertas folio masing-masing. Selain karena bingung mau mengangkat topik apa, Dylan juga bingung mengatasi jantungnya yang ajeb-ajeb disko.
Suara bolpoin terjatuh membuat Dylan langsung mendongakkan kepala.
"Ah, jatuh." Zefa membungkuk untuk mengambil bolpoin yang menggelinding ke bawah meja. Tanpa diketahui siapapun, Zefa meringis memegangi perutnya.
Sebentar lagi, tahan Zef. Selesai membatin, Zefa kembali ke posisi semula dan melipat kertas folionya menjadi kecil.
"Lo bikin apaan sih?" Dylan penasaran kenapa Zefa melipat-lipat kertas itu lalu memasukkannya ke dalam saku kemeja.
Senyum manis terulas di wajah Zefa. "Nothing. Lo sendiri lagi ngapain?"
Belum bersuara, Dylan sudah gelagapan mencari-cari jawaban atas pertanyaan Zefa. "Ehm..., nothing."
Zefa bersandar di kursi dan berputar lagi. "Boooooseeeeeen...."
Seperti dapat pencerahan, Dylan bangkit dari kursi. Ia mengantongi kertas dan i-pod miliknya. "Lo bosen, Zef?"
Zefa mengangguk tanda mengiyakan.
Dylan mengedipkan sebelah matanya lalu mengulurkan tangan. "Bolos yuk?"
Gayung ternyata bersambut, kedua murid nakal itu pun memilih bolos daripada harus melaksanakan hukuman yang tak berpengaruh terhadap poin jelek mereka.
++++++
Seno, cowok yang punya tato jangkar di tengkuknya mendekati Zefa. Di balik punggungnya, ia memegang sebatang cokelat. Hari ini adalah hari kasih sayang dan ia pikir kalau cewek semacam Zefa pasti tidak akan memiliki banyak kiriman.
Koridor sekolah dihiasi pita-pita merah jambu serta banyak murid yang wajahnya berseri-seri. Adegan tembak menembak juga paling banyak terjadi hari ini, alhasil lahirlah puluhan pasang kekasih akibat cinta monyet anak ingusan tahun 2008 di sekolah ini. Adapula yang ditolak dan menolak, kelompok semacam itu pasti enggan muncul di koridor. Kelompok yang ditolak tentu memilih menggalau ria, tidak sedikit murid cewek yang termehek-mehek di rest room.
Saat Zefa membuka lokernya, tak disangka kalau banyak batang cokelat serta beberapa tangkai bunga mawar merah berjatuhan dari dalam sana. "Apaan nih?" Zefa sendiri sampai heran, ia bahkan menengok kanan dan kiri sebagai reflek mencari pelaku kejutan yang tiba-tiba ini.
Zefa berjongkok memunguti batangan cokelat yang berjumlah enambelas sama seperti jumlah tangkai mawar. "Prank atau real?" Zefa si Ratu Jail tentu merasa waswas kalau semua ini kerjaan orang yang tak menyukainya.
Tidak mungkin ada orang yang mengirimi Zefa cokelat padahal semua orang tahu semenyebalkan dan sepreman apa Zefanya Larasati.
"Eh cieeee, ada yang berbunga-bunga nih," celetuk Seno yang berdiri di sebelah Zefa.
Zefa menatap Seno sinis. "Ini kerjaan elo pasti!" ia mencubit perut Seno, "Gue gak butuh ginian bangke!"
Seharusnya yang namanya diberi cokelat dan bunga mawar, wajah seorang gadis akan merona-rona saking senangnya namun tidak untuk Zefa. Wajahnya memang memerah, tapi merah yang menunjukkan amarah.
"Jangan bikin gue seneng Seno! gue gak butuh! Gue gak mau Seno!" Ia memukuli dada bidang cowok yang menerima kemarahan mendadak seorang Zefa.
Seno mengangguk paham, ia menarik Zefa ke dalam pelukannya. "Gue tau, Zef. Gue tau. Udah," ia mengusap lembut kepala Zefa, berusaha menenangkan gadis itu. "Gue tau." Kemudian penglihatan Seno menangkap raut kekecewaan si pengirim enambelas batang cokelat serta enambelas tangkai mawar itu, yang tak lain adalah...
Seno menyunggingkan tersenyum sebelum mengecup puncak kepala Zefa dengan mata yang tak beralih dari Dylan. "He is watching at us, Sister," bisiknya.
Rasa sakit tiba-tiba mendera ketiganya, Zefa, Dylan dan Vivi.
"Cabe murahan!" Vivi tak bisa lagi menahan kecemburuannya melihat Zefa memeluk cowok yang disukainya. Ia menabok pilar tempat ia bersembunyi sebelum menghentakkan kaki dan mendatangi Seno dari arah belakang cowok itu berdiri.
Zefa mendesah melihat kedatangan Vivi yang jika di dalam kartun, maka Vivi memiliki tombak bermata tiga dan mengenakan pakaian serba merah ala iblis wanita.
Kenyamanan Zefa berada di pelukan Seno terganti dengan rasa sakit akibat jambakan Vivi.
"Dasar cabe murahan! Jauhin gebetan gue cabe!" seru Vivi yang kalap terbakar kecemburuan.
Zefa meringis sembari memegangi rambutnya dan tingkah keduanya jadi hiburan gratis para jomblo yang tengah menggalau. "Lepasin bangsat!" hardik Zefa.
Seno tidak tinggal diam, ia berusaha menghentikan Vivi. "Lepas Vi. Zefa kesakitan!"
Semakin Seno membela Zefa, semakin kencang jambakan Vivi. "Huh? Sakit?" ia tersenyum kecut, "Lebih sakit siapa?! Dia atau gue Seno!"
Diputar kedua bola matanya sendiri saat ia merasa kalau aktingnya telah mencapai batas. "Lepasin Vivi!" Zefa mencubit tangan Vivi semampunya.
Kedua pasang mata Vivi membulat sempurna sebelum mulutnya sempat mengeluarkan pertanyaan. "Kok ... kok banyak banget?"
Saat itulah Dylan melihat helaian rambut Zefa berjatuhan dari jemari Vivi.
Helaian yang sangat banyak. Sangat amat banyak.
Seno mengusap wajahnya kasar. "Zef. Gue sukanya sama Vivi."
Vivi tambah terpaku usai mendengar pengakuan Seno, sementara Dylan berhenti melangkah untuk mencerna semuanya.
Zefa tersenyum manis untuk terakhir kalinya. "Kalian berdua cocok. Sempurna."
Dua tahun berikutnya Dylan Reene lulus dari Asthama Interhigh tanpa mau mencari dan memiliki teman. Ia membuang i-pod, membakar gambar pujaan hatinya serta kunci dunianya usai mematung di peristirahatan terakhir Zefanya Larasati. She died because of her blood cancer.
Kini, Dylan memakai tuxedo mahal dan sedang berdiri di depan loker milik Zefa. Malam pesta kelulusan, Dylan memilih menyingkir dari pesta yang menurutnya tidak penting lagi. Sebelum ia pergi meninggalkan sekolah ini, Dylan menguatkan hatinya untuk menaruh dua tangkai mawar guna menggenapi enambelas tangkai mawar dua tahun yang lalu itu di dalam loker milik Zefa. Loker yang tidak boleh dimiliki siapa pun. Saat Dylan membuka loker itu, ia menemukan lipatan kertas folio yang ditempel menggunakan plester luka motif bola di balik pintu loker milik Zefa.
"Everything will be perfect, Dylan. Meskipun bukan aku yang akan menyempurnakan duniamu." Tulisan tangan Zefa meruntuhkan pertahanan Dylan Reene yang kehilangan banyak pemujanya karena kenakalannya semakin menjadi-jadi usai ditinggal Zefa pergi.
Dylan Reene adalah satu dari sekian orang yang tak mampu berakhir bersama pilihannya. Pilihan yang dirasa bisa menyempurnakan hidupmu.
Kata orang banyak jalan menuju Roma dan banyak pilihan untuk mencapai kebahagiaan.
~Zefa's ending, fin.~
Entahlah berasa feelnya atau enggak karena aku nulis ini gak coba naro feel, tapi naro luapan² rasa bersalah. *elap ingus*
So... For jomblo-ers like me! Stay strong babe! *ketawa galau terus cium wallpaper fotonya Choi Siwon pake baju polisi di hape*
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro