Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Encounter

Pegunungan Arktik bukan medan yang asing bagi burung hantu salju milik Zayne. Terbang tinggi di langit pegunungan Arktik, ia dengan setia mengawal Zayne dan ksatrianya, Dean, berkuda di tengah hujan salju yang turun tanpa henti sejak dua malam terakhir. Jejak kaki kuda putih milik Zayne dan kuda hitam milik Dean membentuk garis panjang di belakang derap keduanya. Tinggal menunggu sampai salju yang terus turun untuk mengaburkan jejak-jejak mereka.

Pegunungan Arktik juga bukan medan yang asing bagi Zayne. Bahkan di tengah badai salju sekalipun, ia berani bertaruh tidak akan tersesat saat melintas Pegunungan Arktik. Ia mengenalnya sampai ke jantung-jantung hutan pinus yang tumbuh makin lebat seiring berjalannya waktu. Ia tahu bagaimana menangani udara dingin menusuk Arktik, bahkan apabila mantel yang dikenakannya saat ini harus ia tanggalkan beberapa lapis, Arktik tidak akan membuatnya mati membeku kedinginan. Ia sudah melewati malam paling dingin di Arktik—yang tentu saja jauh lebih hangat dari pada malam terdingin yang pernah ia lewati—dan ia berhasil bertahan hidup sampai detik ini.

Zayne menengok sedikit ke belakang, mengisyaratkan Dean untuk mendekat kepadanya. Dean yang menangkap sinyal itu dengan sigap memacu kudanya untuk mendekat pada Zayne. Begitu Dean sudah berkuda hampir sejajar dengannya, Zayne pun berujar, “Butuh sehari semalam lagi untuk tiba di pantai jika menempuh perjalanan penuh di tanah terbuka,” tutur Zayne dengan sesekali mengalihkan pandangan dari jalur yang ia tempuh kepada Dean. “Kau sudah pernah berkuda di hutan Arktik, kan?” lanjut Zayne, melontarkan pertanyaan retorik yang sebetulnya tidak perlu Dean jawab dengan literal.

Pertanyaan itu hanya perlu sedikit penerjemahan oleh Dean. Zayne sudah mengkalkulasi bahwa perjalanan mereka memang lebih aman jika melewati tanah terbuka Pegunungan Arktik. Sayangnya, perjalanan itu membutuhkan waktu sehari semalam lagi sebelum akhirnya mereka tiba di tempat tujuan. Mempertimbangkan sedikitnya waktu yang mereka miliki, Zayne pun mengambil keputusan untuk mengubah rute. Sedikit lebih berisiko karena mereka harus menempuh hutan Arktik di malam hari, namun akan menghemat waktu hingga setengah perjalanan.

Dean mengangguk singkat dengan tatapan bertekad yang kemudian juga dibalas Zayne dengan anggukkan kecil. Sudah diputuskan, mereka berdua akan mengambil jalur pintas. Zayne membuat siulan panjang, mengisyaratkan pada burung hantu miliknya untuk menempuh medan baru, ke hutan pinus. Ia sedikit menggali ingatan mengenai hal-hal apa saja yang mungkin ia temui saat melintasi hutan Arktik. Seperti hewan-hewan buas yang tidak bisa diprediksi secara pasti kapan kemunculannya, rute-rute jebakan yang mungkin bertahun-tahun lalu dirinya juga ikut andil dalam pembuatannya, atau hal-hal tidak terduga lain seperti kemunculan tiba-tiba sesosok manusia dari dalam hutan yang berlari tanpa memperhatikan arah dan hampir saja mencelakai dirinya sendiri kalau saja Zayne tidak sigap mengontrol kudanya.

Zayne menarik tali kekang dengan sekuat tenaga, membuat kuda putihnya meringkik nyaring dan medepak-depakkan kedua kaki depannya karena dipaksa berhenti secara tiba-tiba. Dalam waktu sekian detik kudanya hampir hilang kendali, Zayne menyaksikan orang asing tadi—yang kini ia ketahui adalah seorang wanita—juga sama-sama hilang kendali atas dirinya. Tubuh wanita itu oleng setelah nyaris menabrak kuda putih milik Zayne, kemudian dalam sepersekian detik berada dalam kengerian hampir celaka karena ada kuda putih yang hilang kendali tepat di atasnya, lalu kehilangan jarak pandang karena salju-salju yang berterbangan akibat depakan kaki kuda putih Zayne, dan berakhir jatuh terjerembab di tanah penuh salju. Gaun putihnya lusuh, menyatu dengan hamparan salju di sekelilingnya. Sementara rambut hitam panjang kusutnya berurai tidak karuan menutupi wajah wanita itu. Meski demikian, nasib baik kembali memihaknya. Sebab, Dean yang berkuda di belakang Zayne dengan cepat mengambil keputusan untuk membelokkan kudanya menghindari arah jatuh wanita itu.

Kuda putih Zayne sudah lebih tenang, meskipun masih berjalan mondar mandir dan beberapa kali meringkik agak nyaring. Zayne masih belum bisa melihat dengan jelas wajah wanita itu. Ia terjatuh membelakanginya dan hampir seluruh wajahnya tertutup oleh rambutnya yang berantakan. Hanya tarikan nafas terengah-engah dari si wanita yang terlihat dengan sangat jelas dari sekujur tubuhnya.

Zayne tentu sudah memiliki dua pilihan di dalam kepalanya. Membantu wanita itu dengan segera, atau menunggu sampai wanita itu menampakkan diri dengan lebih jelas sehingga Zayne tahu apakah ia merupakan warga biasa ataukah jebakan lain yang dengan sengaja dikirimkan untuknya entah dari siapa. Namun, begitu melihat ada sesosok pria paruh baya keluar dari hutan dengan tatapan nyalang, dan aura kepanikan semakin terpancar dari wanita tadi, Zanye langsung melompat dari atas kudanya untuk menghalau langkah pria paruh baya tadi.

Langkah pria itu terhenti. Ia melirik ke arah Zayne dan wanita yang masih terjatuh di belakang Zayne. Tujuannya hanya satu, mendapatkan kembali wanita itu. Sehingga, ketika melihat Zayne tidak bergeming dari hadapannya, ia pun langsung mengacungkan belati dan bersiap untuk menyerbu Zayne. Sayangnya, pria itu harus mengurungkan niatnya untuk menyerbu Zayne setelah sebilah pedang panjang milik Dean terulur tepat di depan lehernya.

Pria itu mundur beberapa langkah, menghindari pedang panjang milik Dean. Namun, tentu saja Dean tidak tinggal diam. Ia mengikuti kemana pria itu melangkah sembari terus mengacungkan pedangnya.

“Berhenti mencampuri urusanku dengan istriku, Tuan. Atau aku akan menuntut dan mencelakai kalian!” Laki-laki itu mengancam dengan logat yang terdengar aneh.

Jelas dia berasal dari wilayah lain, pikir Zayne.

“Kau bisa bicara dalam bahasa kami, Nona? Apakah benar yang dia katakan, kau … istrinya?” tanya Zayne pada wanita tadi.

“Tidak!” Wanita itu memekik dengan suara parau. “Tidak,” ujarnya lagi dengan nafas masih terengah. Kepanikan dan ketakutan terdengar jelas dari suaranya saat ia melanjutkan, “budak … dia menjual budak.”

Ada sesuatu dalam suara wanita itu yang membuat alis Zayne bertaut kecil. Membuat memorinya terusik dan emosinya menghenyak tidak nyaman di tenggorokannya. Namun, ia harus buru-buru menghilangkan emosi itu dari dalam dirinya. Ia tidak memiliki waktu untuk meladeni emosi asing yang muncul tiba-tiba dalam waktu seperti sekarang ini.

“Wanita sialan!” Laki-laki tadi mengerang dan tanpa berpikir panjang merangsek maju. Jelas ia sedang dalam pengaruh minuman keras. Semuanya terlihat dari tanda-tanda fisik di wajahnya. Terlebih, orang waras mana yang justru menghampiri dua pria dengan sekali lihat sudah terlihat jelas mahir dalam menggunakan senjata.

Hanya butuh sepersekian detik sampai akhirnya ia harus berurusan dengan hunusan  pedang tajam milik Dean. Laki-laki itu mengerang dalam beberapa waktu. Lalu, dalam beberapa saat kemudian, semuanya berubah menjadi keheningan kembali.

Ketika tanda-tanda kehidupan sudah menghilang dari laki-laki itu, Zayne memalingkan tubuhnya kepada si wanita di belakangnya. Dalam benaknya, ia masih waspada kalau-kalau secara tiba-tiba si wanita tadi sudah bangkit dan mengacungkan senjata tajam tepat di lehernya. Lalu, apabila ternyata wanita itu masih tidak bergeming di tanah penuh salju, ia mungkin akan memerintahkan Dean untuk mengantar wanita itu ke kabin di kaki Pegunungan Arktik untuk mendapatkan perawatan.

“Nona—”

Kalimat Zayne terhenti di udara ketika pandangannya berserobok dengan wanita tadi. Detik itu, tenggorokannya tercekat dan ia tidak sadar tengah menahan nafasnya.

Wanita itu masih terjatuh di tanah penuh salju. Pakaian putihnya benar-benar lusuh. Sekujur tubuhnya penuh luka, terlebih kedua kakinya yang tidak mengenakan alas apapun, masih terlihat luka dengan darah segar di sana. Hanya bedanya, kini rambut panjang yang terlihat sangat kusut sudah tidak lagi menutupi wajahnya. Wajah yang dalam beberapa tahun terakhir hanya bisa Zayne lihat di dalam memorinya yang begitu dingin. Begitu jelas menghantui setiap detik dalam harinya.

Kini, wajah itu, wanita itu, nyata ada di hadapannya.

Setelah satu helaan nafas singkat, dan seolah ada beban yang hilang dari pundaknya, Zayne berlari ke arah si wanita. Ia menjatuhkan diri dan memeluk tubuh wanita itu erat-erat. Tubuh wanita itu begitu ringkih dan dingin. Lalu, dengan terburu-buru, Zayne melepaskan beberapa lapis mantel miliknya. Ia menyelimuti tubuh wanita itu dan kembali memeluknya erat-erat. Berharap bisa menggantikan hawa dingin yang dirasakan si wanita.

“Dean?” panggil Zayne setelah beberapa saat.

“Ya, Tuan,” sahut Dean sembari berjalan mendekat. Ia bersimpuh di belakang Zayne.

“Lanjutkan perjalanan, aku harus mengantar ia ke kabin.”

Tentu saja Dean ingin membantah. Bagaimana mungkin Duke nya berubah pikiran dan mendelegasikan dirinya seorang diri untuk misi penting yang sedang mereka lakukan. Bahkan mulanya, ia menyangka tuannya akan memerintahkan dirinya untuk mengantar wanita asing ini. Namun, ia dengan sekuat tenaga menahan diri.

“Baik, Tuan,” ujar Dean seraya menundukkan kepalanya

Zayne bangkit sambil terus mendekap wanita itu erat-erat dalam gendongannya.

“Zayne?” ucap wanita itu lirih. Ia bahkan sudah tidak memiliki tenaga untuk membalas pelukan Zayne.

Hanya satu panggilan nama dari wanita itu, menyadarkan Zayne bahwa wanita di dekapannya benar-benar nyata. Kini malam dinginnya sudah berakhir. Keyakinan yang sudah lama terkubur dalam dirinya, bahwa ia berdusta tidak ingin bertemu wanita ini lagi dan sudah melupakannya, kembali menyeruak.

“Yes, my love,” sahut Zayne tanpa mendapat balasan apapun. Wanita itu sudah tertidur.

Zayne berujar tidak ingin bertemu dengan wanita ini, jika pada akhirnya hanya menyisakan kemalangan dalam sisa hidupnya. Namun, kini saat ia kembali dipertemukan dengan kekasihnya, ia bersumpah untuk menarik kembali semua ucapan dusta yang pernah terlontar dari mulutnya. Bahwa ia tidak pernah benar-benar melupakan wanita yang kini ada dalam pelukannya. Bahwa meskipun ia harus melewati hari-hari yang sangat dingin dan menyesakkan, ia tidak menyesal pernah bertemu dengannya di pesta dansa, di berbagai seremoni formal para aristokrat, di akademi para bangsawan, di berbagai sudut kota dengan pemandangan menakjubkan, atau bahkan di sudut kota paling kumuh. Ia, dengan segenap hatinya, sama sekali tidak pernah menyesali satupun pertemuannya dengan wanita ini. []

♤♡♤♡♤♡♤♡♤♡♤♡♤♡♤♡♤


Catatan kecil,

Demi apa aku beneran nulis lagi, hahaha! Awalnya cuma iseng karena fomo pengen ikut MWM aka Marathon Writing Month punya NPC. Lalu tepat hari ini, statusku berubah jadi endangered member karena udah sekian lama nggak nulis (⁠‘⁠◉⁠⌓⁠◉⁠’⁠)!

Sebetulnya aku beneran masih bingung mau nulis apa di detik aku daftar MWM. Sampai akhirnya kepikiran fanfic Rei Sensei aka Doctor Zayne lalu terbit dukungan para lads girlies—

dan oh, awalnya aku pengen pakai nama versi JP, Rei, tapi ya udah lah ya pakai nama dia versi EN aja.

Lalu, emang aku lagi in the mood for angst, jadi ya udah mari menjadi bagian dari manusia-manusia Menulis With (kak)Mela selama Agustus bersama Zayne.

Hari ini baru selesai nulis premis, plot kasar, etc. Jadi, please keep u all expectations as low as possible. Jangan jadi kecewa karena aku dan tulisan ini, dan aku akan berusaha nulis tanpa beban supaya di kemudian hari, aku bisa balik ke tulisan ini buat reminiscing good old days.

with much much joy and love, qanturis
—4 Agustus 2024.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro