Destined Encounter
The most living moment
comes when those who love each other
meet each other's eyes
and in what flows between them.
To see your face
in a crowd of others, or
alone on a frightening street,
I weep for that.
•••
-Rumi.
♤♡♤♡♤♡♤♡♤♡♤♡♤♡♤♡♤
Perayaan festival lantern akan mencapai puncaknya malam ini. Perayaan tahunan Imperium Otsuri yang sangat dinantikan bahkan sampai ke negeri seberang. Biasanya para pedagang dari seluruh penjuru negeri akan berdatangan dan membuka lapak mereka di sepanjang Sungai Han. Mulai dari pernak pernik festival, pakaian khas dari berbagai suku, perhiasan-perhiasan cantik, juga makanan dari berbagai daerah. Pemerintah ibu kota menyediakan kurang lebih seribu lantern gratis yang bisa diambil dan dilarung di sungai pada saat puncak malam festival.
Hari besar seperti ini sudah ditetapkan sebagai hari libur nasional warga Otsuri. Umumnya akademi akan diliburkan selama tiga minggu. Sehingga para siswa punya kesempatan untuk pulang ke rumah. Kesempatan ini juga dimanfaatkan oleh Zayne yang tengah menempuh pendidikan di akademi. Namun, alih-alih pulang ke kastil tempat ia tinggal di Kinkan, bawah kaki pegunungan Arktik, tahun ini ia lebih memilih untuk melancong ke ibu kota.
"Duchess Isabel benar tidak akan mengkhawatirkanmu?" tanya Dean, ketika keduanya keluar dari salah satu kedai makanan berat di pasar.
"Ibu sudah mengirimkan surat, menanyakan kabarku. Kau juga tahu suratnya, kan? Harusnya surat balasan dariku sudah sampai di kastil sehari yang lalu," jawab Zayne.
"Sehari yang lalu kalau burung hantu putihmu itu tidak tersesat, kan?" goda Dean.
Zayne mendengus kecil. "Kemampuan navigasinya mungkin lebih bagus darimu," ejeknya.
"Berani bertaruh?" tantang Dean, ia menghentikan langkah dan mengulurkan tangannya kepada Zayne.
Zanye bergantian mengamati tangan dan mata Dean yang berkilat-kilat. Kemudian, dengan tanpa ragu ia menjabat tangan Dengan dengan mantap. "Malam ia dia pasti sudah kembali ke penginapan," ujarnya yakin.
Dean menelengkan kepalanya ke samping.
"Bahkan sepertinya kau lebih mempercayai kemampuan makhluk itu dibanding kemampuanku ya," ujar Dean.
Zayne melepaskan jabatan tangannya sembari tersenyum kecil, kemudian melanjutkan langkah untuk melihat-lihat sekeliling pasar, meninggalkan Dean yang masih bergeming di tempatnya berdiri.
"Ngomong-ngomong," ujar Dean kala berhasil menyejajarkan langkahnya dengan Zayne. "Kira-kira, apa balasan surat dari orang tuamu? Pengumuman kalau kau akan segera diangkat menjadi Duke setelah tamat pendidikan di akademi?"
Kerutan tidak kentara muncul di dahi Zayne. "Siapa juga yang mau jadi Duke di umur 18 tahun?"
"Hah! Kau semacam asing dengan pengangkatan para bangsawan yang usianya belasan. Lagi pula, sewaktu kita lulus dari akademi nanti, usiamu sudah 19 tahun. Tiga tahun dari jarak peringatan coming of age. Oh, atau jangan-jangan, mereka masih membahas rencana perjodohanmu ya?"
Zayne memicingkan kecil kedua matanya, masih sembari berjalan menyusuri lapak-lapak pedagang di pasar. Biasanya dia sangat ahli bersikap acuh tak acuh dengan kesabaran melebihi luasnya lautan yang mengepung Imperium Otsuri. Namun, terkadang tingkah kawan dekatnya mampu menyusutkan luas kesabarannya dari seluas lautan menjadi seluas lebar Sungai Han.
Zayne hanya menggeleng-gelengkan kepalanya. Ia tahu kalau rumor perjodohannya sudah menyebar ke beberapa orang. Dean termasuk di dalamnya. Ia memang tidak bisa seratus persen menyebutnya sebagai rumor, sebab ibunya memang sudah beberapa kali menyinggung perjodohan ini dan membicarakannya kepada beberapa orang. Tentu saja beberapa orang di sini tidak termasuk Zayne. Sebab, ibunya melihat putra semata wayangnya itu masih tidak tertarik dengan topik pernikahan. Seringnya, Zayne akan mengubah topik pembicaraan apabila sang ibu mulai menyinggung tentang topik itu.
Sebetulnya Zayne tidak seratus persen menolak terkait usulan perjodohan yang sedang hangat diusung oleh sang ibu. Terlebih, mendengar desas-desus gadis yang mungkin akan dijodohkan dengannya, membuat Zayne sedikit tergelitik. Ibunya beberapa kali mengirimkan beberapa lukisan gadis cantik dari berbagai penjuru Otsuri kepadanya, dan pada suatu waktu, sang ibu pernah sama sekali tidak mengirimkan lukisan seorang gadis, namun langsung menyebutkan nama si gadis di dalam suratnya.
"Aku dengar, banyak gadis cantik dan terhormat yang dijodohkan denganmu, kan?" tanya Dean antusias.
"Menikah dengan banyak gadis sekaligus, maksudmu?" tanya Zayne.
Dean refleks memukul lengan Zayne. "Bukan seperti itu. Maksudku, ada banyak kandidat calon yang sudah dipilihkan oleh Duchess untukmu."
"Aku tidak tahu kenapa seolah-olah kau tidak melihat lukisan gadis-gadis yang dikirimkan oleh ibuku dalam suratnya selama di akademi," jawab Zayne.
"Bukan, maksudku, yang ini lebih spesifik."
Zayne masih dengan sabar menunggu penjelasan dari Dean.
"Puteri Otsuri," ujar Dean setengah berbisik. Seolah kalau orang lain yang tengah berlalu-lalang di sekitar mereka sampai mendengar pembicaraan ini, Dean dan Zayne akan ditahan oleh aparat. "Kudengar Puteri Otsuri juga masuk ke dalam kandidat gadis yang akan dijodohkan denganmu."
Zayne tertawa kecil sembari menggelengkan kepalanya beberapa kali. Ternyata rumor yang ini juga sudah sampai kepada Dean. Bahkan ketika Ibunya, Duchess Isabel, tidak mengirimkan lukisan sang puteri. Duchess Isabel hanya pernah menyebutkan nama sang puteri satu kali di dalam surat. Surat paling terbaru yang diterima Zayne sehari sebelum ia berangkat melancong dari akademi.
"Aduh kenapa aku lupa namanya ya," ujar Dean kepada dirinya sendiri.
"Siapa?" tanya Zayne yang baru saja keluar dari lamunannya.
"Puteri Otsuri, bagaimana bisa aku lupa namanya. Aku hanya ingat nama Pangeran Seiya, tapi tidak dengan nama adiknya.
"Oh," ujar Zayne sambil tersenyum kecil.
"Kau ingat namanya, kan?" todong Dean.
"Nama Puteri Otsuri? Tentu saja. Kalau aku mau naik tahta menjabat sebagai seorang duke suatu hari nanti, aku sudah harus menghafal nama-nama orang penting di Otsuri bahkan di usiaku yang ke tujuh," ujar Zayne.
"Dan kau pasti tidak mau memberitahuku siapa nama sang puteri, kan?"
Zayne terkekeh sebelum berbelok ke sebuah jalanan kecil seraya berujar, "Tentu saja."
Sementara itu, tidak jauh dari lokasi Zayne dan Dean, lampu-lampu lantern sudah ditata di sepanjang sungai Han. Beberapa orang sudah memadati area itu untuk melihat lebih dekat persiapan yang dilakukan otoritas Otsuri. Mereka sudah tidak sabar menyambut malam puncak nanti. Terbukti dari berjubelnya orang yang memadati kawasan itu, yang bahkan tanpa sadar meninggalkan rekannya jauh di belakang.
"Nona!" pekik seorang gadis.
Merasa familiar dengan warna suara tadi, seorang gadis lain menghentikan langkah antusiasnya dan berbalik ke arah sumber suara. Gadis yang baru saja berteriak, tergopoh-gopoh berlari ke arahnya. "Rui ...." ujarnya sembari mengulurkan tangan. "Aku pikir kau tepat di belakangku," sesalnya sembari meraih lengan gadis bernama Rui.
"Kenapa langkah Nona begitu cepat," ujar Rui.
Gadis yang dipanggil Nona tadi tertawa kecil. "Aku tidak mau ketinggalan persiapan festival nanti malam," ujarnya sambil memukul kecil ujung hidung Rui dengan jari telunjuknya. "Ayo, orang-orang sudah berkumpul di sana. Kita tidak boleh ketinggalan," ujarnya sembari menarik Rui untuk berjalan mendekat ke kerumunan orang.
"Nona, Tuan Seiya mungkin sedang mencarimu sekarang. Sore ini jadwal belajar Nona dengan Tuan Seiya, kan?"
"Kau mau kita pulang?"
"Sebelum hari semakin gelap," ujar Rui.
"Oh, Rui, matahari masih tinggi dan kakakku pasti tahu kemana aku pergi. Lagi pula Haka ikut bersama kita, kan. Jadi, kau tidak perlu khawatir, oke?"
Sembari terus diseret menuju kerumunan, Rui menoleh ke belakang. Dari kejauhan ia melihat Haka, pengawal pribadi sang puteri, berjalan santai membaur dengan orang lain. Membaur sebagai warga biasa, sama seperti yang ia dan Puteri Sofiya lakukan.
"Nona Sofiya ..." protes Rui.
"Ssh, ayo, sedikit lagi kita sampai."
Beberapa meter kemudian, Sofiya dan Rui berhasil mendekat ke kerumunan orang di sekeliling Sungai Han. Terlihat sejumlah petugas pemerintahan masih sibuk menata lampu di sepanjang pinggir sungai. Sofiya dengan susah payah berjinjit untuk melihat lampu-lampu yang sudah ditata. Namun, banyaknya orang di depannya membuat ia sulit untuk melihat di kejauhan.
Akhirnya ia menyerah. Setelah menghela napas kecil, ia berujar kepada dayangnya, "Kita pergi saja ke area lain. Baru malam nanti kita harus cepat-cepat kemari, oke?" ujar Sofiya antusias. "Ayo!" ajak Sofiya.
Rui tidak punya pilihan lain selain menuruti sang puteri.
"Aku dengar, mereka punya banyak pernak-pernik perhiasan bagus yang dijual di pasar. Katanya, orang-orang paling suka berburu perhiasan dari Kinkan. Sebab, pahatan perhiasan emas dan perak mereka sangat kompleks dan cantik," terang Sofiya yang masih mengapit lengan Rui.
"Nona mau mencari perhiasan dari Kinkan?" tanya Rui.
Sofiya mengangguk. "Akan aku belikan juga beberapa untukmu. Hadiah, tidak boleh menolak," ujar Sofiya buru-buru sebelum Rui sempat menyela. Sofiya tersenyum simpul kepada Rui sebelum melanjutkan, "Hm, kira-kira dimana kedai para pedagang dari Kinkan, ya?"
Sofiya dan Rui kembali berjalan ke area para pedagang. Mereka sudah menelusuri jalan-jalan kecil tempat para pedagang menggelar lapak. Namun, keduanya belum melihat tanda-tanda pedagang perhiasan dari Kinkan.
"Sepertinya mereka-"
Kalimat Rui terpotong oleh gemuruh suara benda berat berjatuhan dan teriakan beberapa orang tidak jauh dari tempat mereka. Setelah ditelusuri, ternyata suara tadi berasal dari deretan kedai semi permanen yang rubuh. Beberapa orang sudah mendekat untuk membantu mengevakuasi orang-orang di sana. Termasuk Sofiya yang juga berlari mendekat.
Keberuntungan mungkin sedang berpihak kepada Zayne dan Dean hari ini. Keduanya beruntung karena tidak masuk ke kedai yang baru saja rubuh. Hanya berjarak satu kedai dari tempat mereka berada, Zayne dan Dean buru-buru memeriksa keadaan dan membantu mengevakuasi orang-orang yang mungkin terjebak di kedai semi permanen itu.
Satu dua laki-laki sudah bersusah payah menyingkirkan puing kedai yang mayoritas terbuat dari kayu dan jerami. Beberapa yang lain hanya melihat dari kejauhan, dan mayoritas wanita berteriak-teriak penuh kepanikan. Zayne berharap ada satu petugas pemerintahan yang sedang berpatroli di sekitar tempat kejadian, sehingga orang-orang yang terluka bisa segera mendapatkan perawatan.
Zayne dan Dean sudah berhasil menolong dua orang dewasa keluar dari rubuhan kedai. Keduanya tidak terlihat memiliki luka berat. Setelahnya, Zayne berhasil menyelamatkan seorang anak laki-laki dengan dahi dan lengan terhias luka dan darah. Anak usia kurang lebih enam sampai tujuh tahun itu menangis cukup kencang. Antara terkejut, takut, dan sudah merasakan sakit. Ia menggendong anak itu menjauh dari kedai yang rubuh.
"Rebahkan saja di sini," sahut seseorang saat Zayne menurunkan bocah tadi dari gendongannya. Orang itu, gadis itu lebih tepatnya, membantu merebahkan si bocah di lantai kayu sebuah kedai.
Sedikit terdistraksi, Zayne berjalan seperti auto pilot, merebahkan si bocah ke lantai sembari mengamati si gadis yang sudah mulai sibuk memeriksa si bocah.
"Apakah bibi punya air dan kain bersih? Akan sangat membantu untuk merawat anak ini," ujar gadis itu kepada bibi pemilik kedai yang mereka tumpangi. "Rui, coba kau periksa korban lain, ya?" lanjut gadis itu saat berbicara pada kawannya. "Haka sudah pergi melapor, kan?" sambungnya.
"Sudah, Nona," sahut Rui.
"Bagus," ujarnya yang kemudian mengalihkan perhatian kepada si bocah kembali. Namun, menyadari satu bayangan manusia yang masih berada di dekatnya sedari tadi, gadis itu kembali berujar, "Aku akan merawatnya, Tuan."
Gadis itu mendongak, dan tatapannya bertemu dengan Zayne. Untuk beberapa detik, gadis itu, Sofiya, lupa caranya bernapas. Kemudian ada suatu perasaan yang begejolak dalam dirinya. Mode siaga dan awas yang sedari tadi menyelimutinya, tiba-tiba saja menghilang dan tergantikan oleh perasaan lain. Perasaan lega seperti saat dirimu akhirnya menemukan kawan lama, dan seolah semua adrenalin serta kepanikan yang membuatnya terjaga kini tergantikan oleh ketenangan dan perasaan ingin tahu yang aneh.
"Aku akan merawat anak ini," Sofiya mengulang kalimatnya kembali. "Kau bisa kembali membantu korban lain."
Zayne mengerjap, kemudian mengangguk sekali seraya berucap, "Tentu." Ia bergegas kembali ke tempat Dean berada.
Senyuman kecil yang lolos dari bibirnya memang tidak tepat di situasi genting seperti sekarang. Hanya saja, ia tidak bisa menahan senyuman itu saat menyadari bahwa gadis yang sesaat tadi hanya dapat ia baca namanya di dalam surat kiriman sang ibu, namun kini muncul langsung di hadapannya. []
♤♡♤♡♤♡♤♡♤♡♤♡♤♡♤♡♤
to my surprise, writing this piece give me so much fun. dan not so kebetulannya, playlist shuffle pas selesai nulis ini langsung keputer lagu Wide Awake-anthem Zayne girlies, HAHAHA!ノ('_`。)゙ Pengingat kalau fuwa-fuwa di chapter ini cuma intermezzo sebelum plot angst beliau masuk.
setengah dari chapter ini baru ditulis semalem, hasil dari tawuranmasaluhuk di NPC demi merebutkan poin yang ternyata ghaib. lalu setelah dibaca, ternyata singkat juga ya.
akhir kata, semoga anakku yang satu ini nggak mandeg di tengah jalan. soalnya kalau mandeg, eksistensiku di NPC bisa terancam. semoga kalian juga selalu senang ketemu Zayne dan kawan-kawan di sini ya!
see ya! with much much joy and love, qanturis ♡
-11 Agustus 2024.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro