🌻 Chapter 9 🌻
Man shabara zhafira
"siapa yang bersabar akan beruntung"
Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar. (QS. Al-Anfal : 46)
_One More Chance_
Satu jam berbaring di ruang kesehatan, Baim merasa badannya sudah agak enakan. Mual dan pusing sudah berangsur menghilang. Tadi Ananta juga sempat kembali membawakan segelas teh hangat untuknya.
Baim menyesap habis teh dari Ananta. Ulasan senyum terbit di bibirnya bersamaan dengan tanda tanya dalam benak. Kenapa justru saat seperti tadi, Anantari yang ada di sisinya, bukan Sintya. Kemana gadis itu? Baim bahkan belum melihatnya lagi sejak di ruangannya tadi.
Duduk bersila di atas bed, otak Baim sibuk memutar kembali rangkai kejadian saat dirinya tumbang. Dia meremas kasar rambutnya sendiri dengan decak sebal. Kenapa selalu seperti ini?!
Di dunia ini banyak sekali orang-orang yang pernah mengalami patah hati. Putus cinta adalah wajar. Malah ada istilah, patah satu tumbuh seribu. Tetapi, kenapa Baim harus mengalami trauma psikis yang membuatnya tersiksa?
Lihat saja sahabatnya, Arshaka. Lelaki itu pernah patah hati, tapi tidak mengalami apa yang Baim alami. Shaka malah cenderung lampiaskan rasa kecewanya dengan banyak memacari perempuan, dulu sebelum menikah.
"Jangan menyimpan sakit hati atau dendam. Saat kita tidak memaafkan dan menyimpan luka, sebenarnya kita sedang menyakiti diri sendiri."
Kalimat wejangan dari pakar psikologi saat Baim melakukan sesi konsultasi kembali memenuhi pikirannya. Apa itu artinya dia masih menyimpan dendam dan sakit hati pada masa lalunya? Baim sendiri bingung. Padahal dia sudah memaafkan, hanya kadang terbesit kecewa saat ingatan itu kembali.
"Ikhlas, maafkan, bersyukur. Jalani hidup baru dengan spirit dan semangat baru. Jatuh tidak masalah, bangkit dan tetap tersenyum, kalau ingin menangis pun tidak apa-apa, manusiawi, karena pada dasarnya setiap orang memiliki ego untuk bersedih. Ingatlah seperti saat kita kecil. Dari bayi yang nggak bisa apa-apa, kemudian belajar tengkurap, merangkak, belajar jalan. Tidak ada yang instan, pasti ada perjuangan yang dilalui. Jatuh, bangkit lagi, jatuh lagi, berdiri lagi, terus sampai kedua kaki kuat dan yakin untuk melangkah."
"Suatu hari nanti, jika kita merasakan kehilangan, percayalah, bahwa pertemuan bukanlah suatu kebetulan. Itu sudah menjadi garis Tuhan, takdir yang harus dijalani dengan penuh keikhlasan."
Helaan napas Baim terdengar berat. Kalimat-kalimat sugesti dari Pak Daud, pakar psikologi tempatnya konsultasi, kembali terus mengitari batok kepala. Dia harus berubah. Masa iya, selamanya akan begini terus. Ibrahim selalu lemah jika berurusan dengan masalah perasaan.
Memejamkan mata sejenak untuk meresapi setiap kejadian dan hikmah yang dapat dipetik. Baim merekam dalam sugestinya, bahwa benar, siklusnya akan selalu begitu; Ada yang datang dan ada yang pergi. Ada pertemuan, selalu akan ada perpisahan. Itu sudah menjadi hukum alam yang pakem, dan dirasakan semua manusia. Saat bayi dilahirkan sesungguhnya dia sudah membuat perjanjian dengan Tuhan, bahwa dia akan sanggup menjalani hidup di dunia. Termasuk menghadapi saat-saat kehilangan.
Baim menurunkan kaki, sengaja melepas kaus kaki yang melekat, telapaknya menapakdi lantai dingin sejenak. Merasa raganya sudah lebih baik, dia berniat kembali ke ruangan. Sebelum itu satu tarikan napas dalam-dalam kemudian mengembuskannya perlahan.
"Pak, sudah sehat?" Risma menyambut Baim. Staff admin satu itu memancarkan wajah khawatir saat melihat Baim muncul di ambang pintu.
Baim mengangguk sekaligus merapal hamdalah.
"Pada ke mana, kok sepi?" Mata Baim mengedar ke segala penjuru ruangan. Hanya ada Risma. Sintya dan Ferdi yang biasanya menghuni ruang staff keuangan tidak ada di kubikel mereka.
"Pak Shaka mengadakan meeting. Membahas soal rencana pembukaan cabang restoran baru di lima kota dalam waktu dekat, Pak." Risma menjelaskan. Baim menepuk pelan dahinya. Dia lupa kalau pagi harusnya menghadiri meeting rutin. Apalagi progres soal pembukaan cabang restoran baru akan dibuka di lima kota di Jawa Tengah, sudah lama menjadi wacana, sebentar lagi akan teralisasikan.
Ayam Geprek Sehati. Brand franchise makanan siap saji yang berhasil dibesarkan oleh dua sahabat, Arshaka dan Ibrahim Al Mufti. Restoran yang menganut paham, murah, enak, tapi tidak murahan. Menu yang disajikan juga beragam dan selalu banyak promo spesial. Sampai saat ini restoran sudah memilik banyak cabang di berbagai kota besar. Selain itu juga beberapa gerai restoran khas makanan Jepang, dan beberapa gerai minuman Boba kekinian.
"Pak Baim istirahat aja, kata Pak Shaka kalau ga kuat disuruh pulang aja, diantar sama sopir kantor." Risma berbicara dengan mata melirik cemas. Meski sering adu debat dan argumen, tapi gadis itu dan Pak Baim juga merupakan teman baik.
"Lebay. Gue ga pa-pa, kali!" Sahut Baim.
"Beneran ga pa-pa, Pak?"
"Iyee, Ris, nggak pa-pa." Risma mengedikkan bahu mendengar pernyataan Baim.
"Lo kenapa ga ikut meeting, Ris?"
"Udah diwakili sama Sintya dan Ferdi, Pak." Risma menjawab dengan mata fokus ke layar komputernya.
Baim beranjak lagi, ingin menuju ruang rapat. Meski telat dia harus hadir di sana. Apalagi kemarin sudah membicarakan dengan Shaka tentang rapat ini, dia harus profesional.
"Ke mana, Pak?"
"Nyusul rapat."
Memasuki ruang meeting, setelah sebelumnya mengetuk dua kali, Baim langsung menjadi pusat perhatian semua orang. Arshaka yang sedang presentasi sejenak menjeda ucapannya. Di kursi sebelah kiri ada Ananta yang meliriknya dengan tatapan khawatir. Di sisi kanan, Sintya bahkan tidak menyadari kedatangannya. Gadis itu sibuk dengan laptop.
"Silakan masuk, Pak Baim," titah Shaka profesional. Baim mengangguk dan duduk di kursi. Shaka melanjutkan pembicaraan.
"Jadi, kita akan kirim beberapa perwakilan untuk masing-masing kota nanti, karena cabang baru akan dibuka serentak. Saya sendiri akan berangkat ke Solo. Pak Iswan ke Salatiga. Ferdi berangkat ke cabang Kudus. Dan, satu lagi." Shaka melirik Baim. Memastikan rekannya sudah benar-benar sehat. "Pak Baim ke Semarang, gimana?" Lanjutnya. Baim reflek mengangguk.
"Siap, Pak." Baim menjawab penuh yakin. Dia merasa siap kapanpun akan ditugaskan ke luar kota. Hitung-hitung refreshing sejenak dari padatnya ibukota.
Meeting ditutup dengan doa singkat dan hamdalah sebelum semua yang hadir membubarkan diri.
"Oppa, udah enakan?" Sintya hampiri Baim. Menarik kursi agar duduk berhadapan dengan lelaki itu. Baim mengangguk disertai senyuman. "Syukurlah, aku khawatir, takut banget kamu kenapa-napa," sambung Sintya.
Suara langkah mendekat, Ananta menyapa sebelum beranjak dari ruang rapat, "Pak Baim sudah lebih baik?"
Baim mendongak, menatap Ananta dari tempatnya duduk, "Hmm, makasih ya," ucapnya tersenyum. Ananta embuskan napas lega melihat Baim sudah baik-baik saja, sejurus dia pamit kembali ke kubikel.
"Oppa, aku balik ke ruangan dulu ya." Sintya pamit. Baim mengangguk, tapi baru beberapa langkah Sintya, lelaki itu menginterupsi, "Sintya," panggilnya.
Sintya menoleh Baim, "Iya?"
"Nanti pulang kerja mau jalan, nggak?" Tawarnya. Sintya mengangguk senang. Baim sudah berpikir, dia harus berbicara serius dengan Sintya. Statusnya belum jelas, dia dan Sintya apakah akan mencoba menjalani relationship atau, entah bagaimana nanti. Mengingat Baim masih suka kambuh anxiety-nya, mau tidak mau, jika Sintya benar serius ingin bersamanya, dia harus mulai membuat kesepakatan dengan gadis itu.
Ruang rapat sudah sepi, menyisakan Baim dan Pak Shaka yang sibuk memeriksa data di laptopnya, "Kuat ga, Lo? Kalau ga bisa, ga usah dipaksain, nanti biar gue atur ulang jadwal pembukaan yang di Semarang." Shaka berbicara. Baim duduk bertopang kaki dengan jemari mengetuk-ngetuk meja.
"Insya Allah, kuat. Nggak pa-pa, biar gue yang pergi."
Shaka mengangguk singkat, "Jadi, gimana?" Baim mengernyit dengan pertanyaan Shaka.
"Gimana apanya?"
"Lo,sama Sintya?" Baim tertawa sumbang. Lelaki itu mengangkat kedua bahu.
"Entah ...." Jawaban singkat diselipi gelengan kepala.
"Ya, semoga Lo bisa ambil keputusan terbaik. Kalau yakin jalani, kalau nggak yakin, lepasin. Jangan kasih harapan palsu sama anak orang." Baim hanya angut-angut mendengar nasihat sahabatnya.
"Gue mau makan siang," pamit Shaka usai memberesi kerjaannya.
"Ikut."
Shaka berdecih dengan tatapan malas, "Yakali Lo mau jadi obat nyamuk antara gue sama bini. Gue mau makan siang bareng istri tercinta. Udah janjian di resto dekat sini." Arshaka berlalu usai menjabarkan kalau siang ini dia sudah janji makan siang bersama Siena. Maklum, pengantin baru, apa-apa inginnya selalu berdua. Masih terasa rindu yang membuat berat. Nanti kalau sudah punya anak, bukan rindu lagi yang terasa sangat berat, tapi mengurus rumah dan anak-anak. Meski berat kalau diimbangi dengan saling perhatian dan kerjasama, pasti akan jauh terasa ringan.
***
Jam pulang kantor, Baim menepati janji, membawa Sintya ke mall yang dekat dengan perkantoran. Sintya mengeluh haus, Baim membawanya memasuki kafe. Duduk berhadapan dengan meja sebagai pemisah, Baim ingin mulai membahas hal yang sejak tadi menyesak di kepalanya. Diamatinya Sintya yang sedang menyesap jusnya.
"Sintya, menurut kamu, apa sih, pernikahan itu?"
Baim rasa dia sudah harus membahas soal yang lebih serius. Usainya mendekati kepala tiga, meski banyak orang bilang umur segitu laki-laki masih bisa santai, tetapi menurut Baim, saat ini bukan lagi fase untuk main-main. Jika dia mendekati perempuan, apa lagi tujuannya kalau bukan untuk serius. Baim ingin tahu pendapat Sintya tentang pernikahan dan berumah tangga. Karena baginya, wajib mengetahui visi dan misi pasangan sebelum melangkah ke jenjang serius.
Pernikahan bukanlah ajang perlombaan, untuk mulai start harus benar-benar menyiapkan segala kesiapan lahir dan batin. Kata pakar pernikahan, rumah tangga itu manisnya hanya bertahan di tahun pertama dan kedua. Setelahnya adalah fase adaptasi satu sama lain. Salah menyikapi, masalah handuk basah diletakkan di atas kasur saja bisa menjadi masalah besar kalau tidak ada kesiapan mental.
Sintya tersenyum rikuh, gadis itu memainkan sedotan dari gelas jus-nya, "Hmm, kenapa Oppa tiba-tiba nanya soal itu?" Baim memerhatikan Sintya. Gadis itu tidak menatap ke arahnya saat berbicara. Sibuk mengedarkan pandangan ke segala penjuru kafe, atau kadang menatap layar ponselnya.
"Sintya, kalau boleh aku tanya sekali lagi. Apa yang bikin kamu mau sama aku?"
"Karena Oppa ganteng dan baik." Jawaban spontan Sintya. Baim menggeleng. Kurang puas dengan jawaban gadis di seberangnya itu.
Dia inginnya mendengar jawaban lain yang lebih meyakinkan hatinya.
"Kamu lihat sendiri kan, gimana kondisi aku, apa kamu siap kalau suatu saat aku bakal ngalamin kejadian kayak tadi?" Sintya mengangguk. Tangan gadis itu bergerak, menggenggam jemari Baim yang bertengger di meja.
"Oppa, aku pasti maklum. Aku udah ga kaget kayak kemarin." Sintya meyakinkan.
Baim menyelam ke dalam kedua netra gadis di depannya tersebut. Sintya tidak berani menatapnya balik. Apa Baim bisa mempercayainya?
"Hmm, kalau soal pernikahan, bagaimana?"
Sintya tertawa kecil, "Oppa, itu terlalu buru-buru. Aku maunya nih, kita jalan aja dulu. Pacaran kayak teman-teman aku. Senang-senang kalau malam minggu ada yang ngajak jalan. Hang out bareng pacar, kan seru."
"Jadi, tujuannya cuma untuk pacaran. Dijalani saja dulu, kalau cocok, kalau misal ada nggak cocoknya gimana?" Nada bicara Baim kali ini terdengar lebih tegas.
"Ya putus, cari yang lain, yang sekiranya cocok." Enteng sekali Sintya menjawab. "Oppa jangan pesimis dong. Berdoa aja semoga kita memang cocok, ya." Kerlingan lucu dari mata cantik Sintya meluluhkan Baim. Tadinya dia ingin menyela. Tidak setuju dengan pendapat Sintya soal tidak cocok, dan putus. Kalau seperti itu konsepnya, dari awal tidak usah dijalani saja.
"Jadi, sekarang kita jadian kan, Oppa?" Baim reflek mengangguk dengan kalimat Sintya. Gadis itu tersenyum manis dengan menampilkan deretan gigi putihnya.
🌻🌻🌻
Cieee jadian.
Pak Aim lupa ya, dalam Islam dilarang pacaran. 🤐
Nanti malam ketemu sama Dek Sya dan Pak Raga.
Tabik
Kachan
1800
Repost 03-02-2022
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro