🌻 Chapter 10🌻
"Beneran kita jadian, Oppa?" Mata Sintya berbinar cerah dengan wajah semringah menunggu jawaban Baim. Yang diajak bicara hanya angut-angut dengan senyum tipis di bibir.
Anggukan Baim yang sekilas tadi berubah menjadi gelengan keras. Sontak senyum di wajah Sintya enyah. Baim terkekeh, sengaja agar suasana tidak kaku.
"Aku cuma angguk-angguk dengerin kamu ngomong, tapi belum bilang apa-apa lho, sama kamu, Sint." Sintya sontak melepas tautan tangannya pada genggaman Baim. Wajahnya merah menahan malu.
"Ish, Oppa!" Sintya berdecak, merasa sebal dan salah tingkah. "Oppa ngerjain aku, ya?!" Imbuhnya dengan airmuka masam. Baim malah tertawa ngakak. Bukan maksudnya untuk mempermainkan Sintya. Dia sangat menghargai ungkapan perasaan gadis itu. Tetapi setelah Baim berpikir seribu kali, dia juga teringat nasihat Abah, bahwa jangan pacaran, kalau sudah ketemu yang cocok, paling tidak, ta'aruf saja kisaraan sebulan, langsung dipinang. Apalagi dia lihat mata Sintya bukan memancarkan cinta. Itu hanya kolerasi dari rasa kesepian serta pelampiasan karena gagal mendekati sahabatnya, Arshaka. Mungkin Sintya pikir, tidak dapat Shaka, dia raih teman dekatnya, Baim.
"Maaf ya, untuk saat ini, kayaknya lebih baik kita seperti ini. Teman baik." Tatapan Baim berubah serius. Sintya meringis. Sejurus pejamkan mata sembari bergumam,
"Mama ... Aku ditolak cowo." Sintya menangkup kedua tangan di wajah. Malu.
"Ga usah malu, biasanya juga malu-maluin," ledek Baim.
"Oppa! Kalau ngomong jangan selalu benar, dong." Sintya terkikik. Tidak ada rasa sakit hati atau marah mendapati kenyataan bahwa Baim belum menerima ungkapan perasannya. Sintya embuskan napas, lega. Apapun jawaban Baim, yang penting dia sudah mengungkapkan, tidak dipendam lagi. Dengan begitu rasa penasarannya terjawab.
"Tapi, kita masih teman, kan, Oppa?"
"Ya masih dong. Lagipula enak jadi teman, kalau jadi pacar, nanti kalau putus pasti serba salah, Awkward. Lagian aku ga mau pacaran, dosanya ga main-main, Sintya. Nanti maunya langsung nikah kalau sudah ketemu yang seirama."
"Hmm, aku hargai keputusan Oppa, mungkin kita memang cocoknya jadi teman. Oppa tau, nggak?" Baim menoleh, perhatikan wajah Sintya. Gadis itu lebih bijak dan dewasa sekarang. Jauh lebih baik dari awal dia mengenal Sintya dulu.
"Apa?"
"Hmm, tadi pas Oppa pingsan, aku juga sempat berpikir, apa aku beneran suka sama kamu, atau cuma karena ngerasa, pernah gagal dapetin Shaka, jadinya mau sama Oppa. Ternyata aku sadar, kalau apa yang aku rasain ke Oppa itu bukan jatuh cinta, cuma sekadar suka sesaat." Menggebu Sintya berkisah soal apa yang dia rasakan. Baim mengangguk setuju.
"Percaya deh, nanti kamu bakal dapat laki-laki yang jauh lebih baik dari aku, Sint. Kamu gadis yang baik, meskipun kadang ga tau diri," canda Baim. Satu pukulan kecil mendarat di lengannya dari Sintya. Keduanya sama-sama terkikik. Menjadi teman jauh lebih menyangkan, bukan.
"Oppa, aku juga yakin, kamu pasti bakal baik-baik aja. Oppa bisa melewati 'trauma' itu." Mata Sintya menumbuk dalam tatapannya pada Baim. Dia merasa ikut prihatin dengan keadaan Baim. "Ga kebayang, pasti waktu itu kamu menjalani hari-hari terburuk. Aku mungkin ga akan sanggup kalau jadi kamu," sambung Sintya.
"Jangan berandai-andai, ga ada yang kebetulan di dunia ini, Sintya. Allah kadang sengaja mendatangkan yang buruk lebih dulu, untuk kita mendapat yang jauh lebih baik nantinya."
"Hmm, aku setuju. Hah! Keknya aku harus pesan makanan, aku mau makan yang banyak, patah hati butuh asupan gizi, kan." Sintya tertawa sumbang. Baru kali ini dia patah hati tapi masih bisa tertawa dan bercanda.
"Pesan gih, yang banyak. Nanti biar Oppa yang bayarin," sahut Baim. "Oh iya Sintya, aku ada satu pesan buat kamu. Jangan diet-diet lagi, ya. Badan kamu ini udah langsing, tinggi juga proposional, jangan siksa tubuh kamu hanya karena mengikuti trend mode. Ga akan ada habisnya." Tulus Baim memberi wejangan. Dia Paing tidak suka perempuan yang tidak menghargai dirinya sendiri. Mencintai diri sendiri itu wajib, sebelum melabuhkan cinta pada orang lain. Kalau kekurangan sendiri bisa diterima dengan senyum dan sabar, pasti suatu saat jika punya pasangan juga akan melakukan hal sama.
"Kamu lihat Anantari, dia mungil, ga terlalu tinggi, pipinya chubby, tapi dia terlihat cantik karena dia menghargai dirinya sendiri." Baim reflek, yang melintasi pikirannya pertama kali memang nama Ananta.
Sintya menatap penuh selidik pada Baim, "Kenapa harus Ananta yang jadi perbandingan, Oppa? Hayoo?" Cetus Sintya. "Oppa suka ya sama dia?" Goda Sintya.
Baim seketika salah tingkah. Matanya berkedip beberapa kali, tidak berani menatap balik pada Sintya. Baim meraih gelas berisi strawberry splash yang dipesan. Disesapnya sampai bersisa sedikit, "Buruan sama pesan makan yang banyak. Aku yang traktir," ucapnya mengalihkan pembicaraan.
"Idih, Oppa pipinya merah." Sintya masih terus merapal godaan. Baim tidak peduli dengan ledekan Sintya, dia mengalihkan fokus pada layar ponsel pintarnya.
**
Sabtu ini sesuai jadwal kunjungan visit, Baim mendapat tugas untuk menghadiri pembukaan cabang restoran baru di kota Semarang. Berangkat dengan penerbangan pukul empat sore. Melirik pada jam dinding, pukul sepuluh lebih beberapa menit, Baim masih punya waktu beberapa jam untuk istirahat sebelum berangkat nanti.
Tetapi matanya enggan terpejam saat mendengar suara celoteh dari kamar Zhivanna yang berada persis di sebelah kamarnya. Suara adiknya itu melengking, heboh sendiri sampai menembus tembok kamar Baim. Baim berdecak. Berisik sekali. Urung rebahan, Baim melengang ke kamar Zhi, memperingatkan adiknya agar tidak keras-keras saat tertawa.
"Zhi, berisik banget sih," teriak Baim sembari menekan handel pintu kamar Zhivana yang kebetulan tidak dikunci.
Zhi melongok, menatap malas kakaknya, "Bentar ya Kak, Ta. Ada pengganggu kecil!" Zhi berbicara dengan seseorang, sejurus melangkah hampiri Baim di ambang pintu.
"Kak Baim apa sih? Ganggu aja! Zhi lagi nonton film bareng Kak Tata." Bibir Zhi mencebik lucu saat merasa diganggu kakaknya. Baim melongo mendengar nama yang disebut Zhi.
"Sama siapa, Zhi?" Tanyanya ingin memastikan.
"Kak Tata!" Sahut Zhi singkat.
"Teman kamu?"
"Bukan cuma teman Zhi, teman Kak Baim juga."
"Ananta?" Zhi mengangguk. Mata Baim mengedar ke penjuru ruang pribadi adiknya. "Mana? Boong kamu, Zhi."
"Yee ga percaya. Kak Ananta lagi ke kamar kecil sebentar. Nah, itu dia." Zhi menunjuk sosok yang baru saja menutup pintu kamar mandi di dalam kamarnya. Ananta benar ada di kamar adiknya, dan Baim mendadak salah tingkah. Apalagi memonitor dirinya sendiri hanya mengenakan kaus oblong serta boxer pendek. Secepat kilat lelaki itu melesat kembali ke kamarnya. Dari tempatnya berdiri Ananta memindai Baim dengan senyum tertahan.
Kenapa dia tidak tahu kalau hari ini Ananta ada di rumahnya. Kenapa gadis itu tidak bilang? Batin Baim bergumam sendiri. Gegas dia ingin menukar pakaian dengan yang lebih sopan. Beberapa menit kemudian Ibrahim kembali ke kamar Zhi yang masih terbuka lebar pintunya.
"Apa lagi, sih, Kak?" Zhi mencak-mencak. Tidak terima dengan gangguan kakaknya. Baim meringis dengan dua jari terangkat ke udara.
"Punten Ning Geulis, Aak bade nyapa Ananta."
"Ish, geli banget sih, Kak!" Protes Zhi mendengar kakaknya menirukan logat Sunda seperti yang biasanya mamanya ucapkan. Ananta yang duduk di sofa tunggal tertawa pelan mendapati perdebatan adik-kakak tersebut. Zhi yang berdiri di ambang pintu menggeser tubuh, Baim gegas melesat hampiri Ananta.
"Ta, nggak bilang mau ke sini?" Tanyanya langsung pada Ananta. Yang ditanya hanya mengerutkan kening.
"Memangnya harus bilang dulu ya, Pak? Kan saya janjiannya sama Zhi, bukan sama Pak Baim."
"Iya bener, ngapain harus bilang sama Kak Baim. Orang Kak Ananta ke sini janjiannya sama Zhi, bukan Kak Aim." Zhivana menimpali.
Baim menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Salah tingkah. "Maksudnya, kalau bilang, kan bisa saya jemput."
"Nggak perlu, Pak. Dari Minggu kemarin sudah janji sama Zhi mau ke sini, mau pinjam buku yang Zhi janjiin."
"Kak, pindah ke ruang tengah aja yok! Ga enak ada Kak Baim." Zhi mendengkus. Ananta mengangguk, mengikuti langkah Zhi ke ruang tengah. Baim turut mengekori. Sampai di ruang tengah Zhi pamit ke dapur membuat minuman, meninggalkan Ananta dengan Baim. Karena mama sedang tidak di rumah, pagi sekali sudah pergi dengan Abbah ke rumah saudara, ada undangan, jadi Ananta belum sempat dibuatkan minuman.
Sepeninggal Zhi, keduanya larut dalam hening masing-masing. Ananta terlihat fokus menekuri buku yang dipinjam dari kamar Zhi. Baim diam memerhatikan dari seberang tempatnya duduk.
"Ta." Ananta mendongak.
"Iya, Pak?"
"Oh syukur, kirain lagi sariawan sampai ga mau ngomong." Canda Baim. Ananta tertawa dengan gelengan pelan. Sengaja diam sebelum diajak bicara, karena Ananta tidak tahu harus membahas apa. Terasa canggung karena hanya berdua.
"Ta, lagi baca apa?"
Ananta mengangkat buku di tangan, memperlihatkan pada Baim, "Laila-Majnun," jawab Ananta singkat. Baim ber-oh-ria.
"Oh iya, Pak Baim nanti jadi berangkat ke Semarang?"
"Hmm, nanti jam dua berangkat ke bandara. Ikut yuk!"
"Ikut ke Semarang?"
"Ke bandara maksudnya."
Wajah Ananta membias merah. Kenapa jadi salah tingkah sendiri. Dia merutuk, ke mana Zhivana, kenapa lama sekali belum kembali. Lidah Ananta terasa kelu, jadi susah berkata-kata.
"Hati-hati ya, Pak. Semoga selamat sampai tujuan." Baim mengamini kalimat Ananta. "Hmm, selamat juga Pak Baim sama Mbak Sintya udah jadian. Semoga langgeng." Rapalan selamat Ananta menggema untuk Baim. Mata Baim membulat mendengarnya. Ananta salah terka rupanya. Baru Baim akan angkat suara meluruskan, bahwa dia dan Sintya tidak jadian, tapi Zhi datang lebih dulu, mengurungkan niat Baim.
"Kak Ananta, maaf ya baru dibuatkan minum. Ayo, Kak, diminum ya, es sirup spesial. Ini Zhi sendiri yang buatin." Zhi mengangsurkan gelas berisi orange sirup pada Ananta. Usai mengucap terima kasih, Ananta langsung meneguk sampai tinggal separuh. Lega rasanya usai membasahi tenggorokan dengan air es.
"Kak Baim ngapain sih, ngintilin kita terus, siap-siap sana! Bentar lagi mau berangkat, kan," Protes Zhi. Baim melempar bantalan sofa pada adiknya karena terus saja protes.
"Ananta itu temannya Kak Baim, ga masalah dong, kalau kakak ikutan ngobrol. Kamu jangan semena-mena, Zhi."
"Yeee, iri bilang Bos! Kak Aim cuma teman, kalau Zhi sama Kak Ananta udah jadi sahabat. Jadi jangan ada protes di antara kita. Lagian Kak Baim sudah punya cewe, itu, Kak Sintya. Jadi ga usah sok-sokan mau deketin Kak Ananta." Baim mendelik dengan kalimat sang adik, mendekat pada Zhi, langsung membekap mulut adiknya yang super super bawel menurutnya. Zhi sampai gelagapan kekurangan oksigen akibat ulah kakaknya.
"Mau bunuh gue, Lo, Kak!" Napas Zhi putus-putus usai lepas dari bekapan kakaknya.
Baim tak acuh dengan rengekan Zhi. Baginya bisa menjalili adik semata wayang sangat menyenangkan rasanya.
"Jangan kaget ya, Ta. Zhi ini selain manjanya tingkat kayangan, bawelnya juga level boncabe, bikin panas kuping." Bantal sofa di tangan Zhi siap melayang, tapi Baim melesat cepat dari tempatnya duduk, sembari menggumam pelan pada Ananta untuk pamit.
"Ta, jangan kangen nanti ya, kalau saya udah berangkat."
🌻🌻🌻
Tabik
Chan
1693
Vote 200 ya, baru lanjut. Wkwkwk
Repost 03-02-2022
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro