Rain 1: Raikialen
"Kau tahu akan apa yang selalu kutunggu? Hujan yang takkan kunjung datang padahal sudah waktunya tiba."
-Rain-
***
"Rainnnn, bangun!"
Seruan itu membangunkan Rain yang sebelumnya telah masuk ke alam mimpi yang sangat gersang. Gadis itu benar-benar mengingat dunianya sendiri, yang sering dikunjunginya di saat semua orang tertidur lelap.
"Iya iya, Bu. Bentar ah!" sahut Rain sambil menutup telinganya dengan bantal, secara sadar. Sepertinya gadis itu masih ingin masuk ke alam mimpinya, namun, misinya gagal ketika seorang wanita paruh baya tiba-tiba masuk ke kamar dan menggoyang-goyangkan tubuh anaknya secara paksa.
"Bangun, Rain! Ini sudah jam berapa? Mau kapan lagi kamu bangunnya hah?! Bentar lagi waktu sekolah lho!" lanjut ibunya itu lagi, sehingga Rain pun terbangun secara tiba-tiba. Dilihatnya jam yang berdiri tegak di laci samping tempat tidur. Ternyata, memang benar bahwa dari jam tersebut, tampak jarum jam yang menunjukkan satu jam lagi menuju waktu belajar dimulai.
"Astaga, jam berapa ini?!" seru Rain ketika masih terdapat seorang ibu kandung di sebelahnya.
"Makanya siap-siap kamu! Jangan menghancurkan nama baik dong, masa seorang gadis tak bisa bangun pagi. Huh!" balas ibunya, tak kalah berseru.
"Iya, Bu. Iya!" Lantas, Rain segera bersiap-siap untuk pergi ke sekolah.
***
Sesampainya di sekolah, Rain bertemu dengan teman-teman di kelasnya. Namun, gadis itu hanya menganggap teman satu meja sebagai seseorang yang paling dekat di hidupnya. Siapa? Ternyata, namanya adalah Kiara. "Hai, Rain! Apa kabar? Tumben datangnya pas mau masuk begini," sapa Kiara kepada Rain.
"Juga, Kiara. Baik kok. Tadi aku bangun kesiangan. Untung saja belum masuk waktu pelajaran," balas Rain kepada Kiara, apa adanya. Kiara hanya manggut-manggut dalam mencerna setiap kata yang diucapkan oleh teman satu mejanya.
"Oh begitu. Semangat ya, Rain. Jangan bangun kesiangan mulu," ujar Kiara itu kemudian, menasehati temannya agar tidak bangun terlambat untuk kesekian kalinya. Rain pun mengangguk dan mengucapkan "terima kasih" kepada Kiara. Hingga bel masuk pun berbunyi, keduanya sepakat untuk menghentikan obrolan apa pun sampai seorang guru tiba di kelas.
***
Sepulang sekolah, Rain hanya mendengus kesal. Dia menunggu sesuatu yang tak kunjung tiba. Gadis tersebut benar-benar sangat kesal saat ini. Itulah yang membuat Kiara kebingungan. Maka, gadis itu bertanya kepada Rain sekaligus mengajaknya untuk pulang ke rumah. "Rain, apa yang kau tunggu? Kita pulang yuk."
Rain hanya menggeleng pelan. Dia tak tahu harus menjawab apa.
Melihat respon dari teman sebangkunya, Kiara bertanya lagi, "Ada apa sih, Rain? Kenapa kamu kesal seperti itu? Cerita dong." Ya, Kiara akui bahwa dirinya sedikit memaksa Rain untuk bercerita. Itulah yang membuat gadis penyuka hujan itu akhirnya menjawab, "Sebenarnya begini, Kiara. Kau tahu akan apa yang selalu kutunggu? Hujan yang takkan kunjung tiba padahal sudah waktunya tiba."
"Apa maksudmu, Rain? Waktu apa yang kau maksud?" Kiara tak paham akan apa yang Rain ucapkan.
Rain menghela napas sejenak, lalu dia berkata, "Ini musim hujan 'kan? Aku iri akan apa yang kulihat di televisi. Di kota lain sudah pada turun hujan, sedangkan di sini belum sama sekali."
"Lah, dikira apaan. Sabar saja, Rain. Semua akan terjadi pada waktunya kok. Tak harus sekarang juga," ucap Kiara sambil mengelus rambut Rain.
Rain tak membalas perkataan Kiara. Justru, giliran dialah yang bertanya kepada Kiara mengenai suatu hal dan harus dibicarakan saat itu juga, "Kau tahu akan apa yang harus kita bicarakan sekarang 'kan? Hari ini mengenai sesuatu yang harus dikumpulkan pada esok harinya."
"Betul. Tugas untuk besok. Bagaimana ini, Rain?" balas Kiara, seraya tak yakin akan tugas yang akan selesai pada keesokan harinya.
Rain pun bergumam sejenak. Mereka baru saja dikasih tugas untuk mengerjakan lima puluh soal yang ada, dan untungnya itu dikerjakan berkelompok, hanya saja satu meja adalah satu kelompok. Lalu pertanyaannya, soal apakah yang harus dikerjakan?
Soal-soal Matematika.
Mereka tak begitu paham dengan yang namanya hitungan. Selalu saja banyak yang tak suka akan hal itu 'kan? Makanya Rain dan Kiara benar-benar ketakutan karena di antara mereka tak ada yang sama sekali paham soal itu.
Apa yang harus dilakukan? Mereka harus minta bantuan dengan teman-teman lainnya, terutama dari yang pandai Matematika sama sekali, misalnya Lenia.
Beruntungnya, Lenia masih ada di dalam kelas, selain mereka. Maka, Rain dan Kiara langsung menghampiri Lenia yang tengah mengemasi barang-barang yang dibawanya sedari tadi. "Permisi, Len ... mau tanya, boleh?" ucap Kiara ketika memulai pembicaraan.
Lenia hanya mengangguk riang seraya berkata, "Boleh kok. Silakan." Dia benar-benar gadis yang pemurah dan semua orang merasa sangat senang ketika berteman dengannya.
"Kau pandai Matematika, 'kan? Bolehkah kau mengajarkan pada kami soal itu? Pasalnya, kami berdua tak paham sama sekali ...," ujar Rain lirih, setelah dipersilakan bicara oleh Kiara dan juga Lenia.
Sifat Lenia selama ini cenderung tetap alias tak berubah. Gadis itu menganggukkan kepala, menyetujui permintaan dari Rain dan Kiara. Dia berkata, "Boleh kok. Nanti kalian ke rumahku saja. Kebetulan aku di sini mengerjakan soal-soalnya sendirian."
"Lah, kenapa sendirian, Len? Tak ada teman sebangku?" tanya Kiara kebingungan. Bukan bingung, tetapi heran karena Lenia tak mendapat teman untuk dijadikan partnernya.
Lenia menghela napas berat. Mungkin saja terasa sangat berat baginya untuk bercerita pada Kiara dan Rain, yang selama ini duduk di barisan paling belakang, sehingga mereka tak tahu apa pun.
Namun beberapa saat kemudian, barulah dia berkata, "Aku tahu, ini semua terjadi secara tiba-tiba. Aku ini sekretaris, selalu menerima surat yang datang dari guru-guru piket. Kudapat tiga surat untuk hari ini, berarti tiga murid tak masuk." Setelah itu, ucapan Lenia terhenti sejenak.
Kiara dan Rain hanya menyimak tentang apa yang diceritakan oleh Lenia. Setelah satu menit kemudian, barulah cerita itu kembali dilanjutkan.
"Aku baca semua suratnya, dan yang paling membuatku sedih adalah satu surat dari teman sebangku diriku, Wanda. Dia di rumah sakit karena sakit tifus, dan harus beristirahat selama seminggu lebih. Sedangkan dua orang lainnya kuanggap aman karena mereka itu duduk berdua dalam satu meja.
"Sungguh, ini sangat menyedihkan. Aku tak tahu lagi harus berkata apa," ujar Lenia yang telah menyelesaikan ceritanya.
Lantas, timbullah rasa iba pada Kiara dan Rain. Wanda dirawat di rumah sakit, dan hal itu pasti membuat keduanya sangat terluka, terlebih lagi Lenia. Sebagai pelampiasan dari rasa iba yang muncul, Rain langsung memeluk Lenia seraya berkata, "Yang sabar ya, Len. Kita doakan saja supaya Wanda baik-baik saja, sehingga dia cepat sembuh dan dapat kembali pada kita semua."
Namun Lenia tak membalas, melainkan hanya mengangguk-angguk, seraya mengeluarkan airmata yang sedari tadi ingin keluar lepas begitu saja. Sedangkan Kiara hanya terdiam kaku dan merasa ketakutan akan apa yang akan terjadi nantinya, dan beberapa saat kemudian, sesuatu yang buruk pun terjadi ....
Terutama di dalam pelukan Lenia dengan Rain.
***
To be Continued.
Mind to Vote and Comment?
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro