Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

lima


lima

in collaboration with anothermissjo 's story titled "One Last Game"

🧵

Please leave votes and comments❤

🧵

Keesokan harinya datang dengan amat cepat menyambut, seolah ingin mengerjai Michelle yang belum siap untuk bertemu secara langsung dengan Bianca. Namun paling tidak, Michelle berhasil menyeret dirinya dengan berat hati hingga tiba di show room salah satu desainer ternama di kota mereka yang nama, jam terbang, dan kualitasnya tidak perlu diragukan lagi.

Seakan tidak mengerti dengan kekhawatiran Michelle, Bianca sudah menampakkan batang hidungnya lima menit sebelum jam temu mereka. Saat Michelle mengedarkan pandangannya ke sekitar Bianca, ia menyadari jika kliennya itu datang sendirian tanpa ditemani oleh Ethan. "Hai," sapa Michelle terlebih dulu. Ia berjalan mendekati Bianca kemudian berjabat tangan.

"Hai, sudah menunggu lama? Maaf ya, aku baru bisa tinggalin kerjaanku di menit-menit terakhir. Gak tahu kenapa hari ini mendadak sibuk banget, padahal kalau dilihat dari jadwal, malah harusnya aku senggang banget hari ini," jelas Bianca panjang lebar. Raut penuh penyesalannya tidak luput dari pandangan Michelle.

Michelle langsung mengibaskan kedua tangannya di depan dada, "Tidak, sama sekali tidak menunggu. Malahan kamu gak terlambat sama sekali, masih lebih awal lima menit. Nih." Michelle menunjukkan jam tangan yang melingkari pergelangan tangan kirinya.

Bianca terlihat menarik napas lega sambil mengelus dadanya. "Syukurlah. Kukira sudah terlambat. Tidak enak jika sampai terlambat ketika untuk membuat janji di sini saja perlu mengantri cukup lama. Kalau bukan karena kalian, kurasa aku tidak bisa mendapat slot secepat ini."

Michelle tertawa ringan sambil berjalan mendekati front desk yang langsung mengarahkan mereka ke ruangan khusus. Sebelumnya, Michelle sudah memberitahukan preferensi Bianca kepada desainer sebagai database untuk efisiensi waktu.

Mereka menghabiskan waktu tidak lebih dari satu jam hingga mendapatkan desain kasar gaun pengantin yang diinginkan Bianca. Kliennya yang satu ini tidak sekalipun terlihat ragu dengan keinginannya sendiri. Bianca cukup tegas, tidak bertele-tele dalam menyampaikan keinginannya begitu juga dengan membuat keputusan. Tidak seperti yang sempat dikira oleh Michelle di pertemuan pertama mereka, karena keputusan lebih banyak dibuat oleh Ethan. Sepertinya kedua kliennya ini sama-sama tipe orang yang dominan.

Ketika mereka berdua keluar dari show room dan hendak berpamitan di area parkir, Michelle terlebih dulu menahan Bianca. Dilihat dari karakter Bianca yang cukup cerdas, sebaiknya Michelle mengutarakan kejadian hari itu pada Bianca.

"Ada waktu sebentar? Grab a coffee?" tanya Michelle yang langsung dijawab Bianca dengan anggukan kepala antusias.

"Sebenarnya aku berniat mengajakmu untuk makan siang, sebagai rasa terima kasih karena sudah menyempatkan waktu untuk menemaniku. Aku yakin kamu pasti sangat sibuk, mengingat wedding plannermu sedang menjadi incaran semua calon pengantin di kota." Bianca mengakhiri kalimatnya dengan tawa manis. Rambut sebahunya bergoyang pelan.

Tawa Bianca tidak berhasil membuat Michelle ikut tersenyum meskipun tipis. Ia sibuk dengan pikirannya sendiri yang sudah mulai berkecamuk. "Kafe di sekitar sini?"

Bianca menggeleng sambil memicingkan matanya. "No, no. Makan berat, jadi sebaiknya kita ke restoran kesukaanku dan Ethan. Kami sudah mulai makan di restoran ini sejak SMP dengan uang jajan kami yang pas-pasan. Tidak keberatan untuk pindah sedikit lebih jauh?"

Sebenarnya Michelle ingin menolak. Jika mereka pergi ke restoran untuk makan berat, itu artinya, waktu untuk mengungkapkan semua yang sudah mengganjal pikiran dan hatinya akan tertunda semakin lama. Serta, bagaimana dirinya bisa menikmati makanan, seenak apa pun itu... dengan segala kecemasan yang ada?

Namun, seperti biasa, pada akhirnya Michelle tetap menganggukkan kepalanya. Michelle paling tidak menyukai dirinya yang tidak memiliki keberanian untuk mengajukan penolakan.

●●

Sesuai prediksi Michelle barusan, mereka tidak langsung bisa membicarakan hal yang sudah mengganjal hatinya selama beberapa hari terakhir ini. Perjalanan menuju restoran saja memakan waktu tiga puluh menit, belum lagi sekarang mereka sudah menghabiskan waktu sekitar sepuluh menit untuk memilih menu. Tidak mungkin Michelle memberikan informasi yang akan berakhir kurang menyenangkan di saat mereka tengah menunggu makanan tiba, bisa-bisa malah mereka kehilangan napsu makan. Ditambah lagi, menu makanan yang mereka pesan tadi tidaklah murah.

Maka dari itu, Michelle terlebih dulu memilih untuk membahas hal-hal ringan yang mungkin bisa menjadi bahan pertimbangan baginya sebelum membuat keputusan penting. Lagi.

Baru saja Michelle hendak bicara, Bianca sudah terlebih dulu buka suara diawali dengan tawa ringan yang terdengar amat merdu. "Aku tidak menyangka bisa menggunakan Love Blooms yang menjadi incaran banyak wanita sebagai wedding planner pernikahanku. Aku saja harus menunggu hingga tiga hari sampai pesanku dibalas dan untung saja tanggal pernikahan kami masih belum terisi oleh pengantin lain. Aku tidak bisa membayangkan untuk menggunakan wedding planner lain untuk pesta pernikahanku."

Michelle tersenyum tipis. Dipuji oleh orang lain, kadang membuatnya mati kutu. Ia tidak tahu respon apa yang harus diberikannya ketika mendapatkan pujian. "Kami yang berterima kasih karena sudah dipercayai untuk mengatur pernikahan kalian, padahal kami terhitung baru di bidang ini. Kami masih memiliki banyak kekurangan, terlebih dari sisi pengalaman."

Bianca menggelengkan kepalanya kemudian tertawa ringan. "Kamu terlalu merendah," Bianca menyempatkan dirinya untuk membalik ponselnya setelah beberapa kali layar ponselnya menyala—menandakan ada pemberitahuan yang masuk. "Proyek pernikahan kalian yang terakhir, pernikahan Rumbai, sangatlah mengagumkan! Aku dan teman-temanku menonton video pesta pernikahannya berulang-ulang kali, bahkan hingga pagi tadi."

Michelle memainkan jari-jari tangannya karena gugup. "Terima kasih, itu juga karena kliennya yang memiliki selera menakjubkan. Photographer dan videographer yang dipakai juga sudah senior sehingga dapat mengabadikan setiap momen dengan sangat baik."

Bianca menganggukkan kepalanya setuju. "Benar. Tentunya juga bersedia mengeluarkan biaya besar untuk vendor. Aku yakin biaya yang mereka keluarkan untuk pesta pernikahan semewah dan semenakjubkan itu tidaklah kecil."

Minuman mereka diantar terlebih dulu, sehingga Michelle segera meneguk airnya hingga tersisa setengah. Dirinya mulai merasa tidak nyaman ketika kliennya yang lain mulai dibahas. Ia takut akan memberikan informasi yang seharusnya tidak diberikannya. Bagaimanapun juga informasi mengenai kliennya bersifat rahasia.

"Apa kamu dan pasanganmu—"

Kalimat Michelle langsung dipotong oleh Bianca. Ia memperbaiki cara Michelle memanggil Ethan yang kurang enak didengar telinganya. "Ethan, panggil Ethan saja. Jangan terlalu kaku. Kita bisa bicara dengan santai, lagipula sekarang kita sedang makan siang, bukannya meeting. Mungkin saja setelah ini, kita bisa menjadi teman."

"Baiklah," Michelle mengangguk setuju. "Apa kamu dan Ethan sudah punya hashtag untuk postingan sosial media kalian?"

"Wah! Benar sekali," Bianca menjentikkan jari tangannya, "ini yang sedari tadi ingin kutanyakan ke kamu!" Bianca terlihat antusias. "Aku bukan orang yang kreatif, by the way. Ethan memanggilku robot. Padahal dia juga sama-sama robot." Bianca mengeluh ringan atas sikap Ethan.

Michelle kembali tertawa ringan ketika mengingat Ethan yang lebih banyak mendengar pembicaraan mereka dan menyetujui atau bahkan tanpa pikir dua kali menolak keinginan Bianca waktu itu. "Pengantin pria memang kebanyakan begitu. Tidak ada yang abu-abu, hanya antara hitam atau putih."

"Oh iya? Klienmu yang lain juga ada yang seperti dirinya? Kukira hanya Ethan." Bianca berdecak sambil menggeleng.

"Tentu, ada yang tidak mau peduli sama sekali. Dan, tentu ada yang ikut campur terlalu berlebihan namun tidak memberikan solusi apa pun," jawab Michelle, mulai ringan mengikuti sikap santai Bianca.

"Berarti Ethan masih lebih baik. Dia sedikit peduli dan tidak hanya menolak tanpa solusi, seperti yang baru saja kamu sebutkan." Bianca memicingkan matanya menatap ibu jarinya yang ditempelkan pada ujung jari telunjuk, "namun sedikit cuek. Lebih sering menyerahkan semuanya padaku, meskipun pada akhirnya harus tetap laporan agar bisa dipertimbangkan Ethan lagi. Dia sangat cerdas, rasional, dan teliti, sehingga aku tidak masalah dengan itu." Bianca beralih mengangkat bahunya singkat, menjelaskan secara tidak langsung jika sebenarnya ia tidak keberatan dengan sikap Ethan itu.

Michelle mengangguk singkat.

Bianca menatap Michelle langsung tepat pada matanya, "Tentunya kamu juga merasa seperti itu."

Michelle yang langsung ditodong seperti itu, mendadak meluruskan punggungnya. "Seperti apa?"

Bianca menghela napas sebelum memulai kalimatnya. Ia bahkan sempat memutar bola matanya malas, "Bossy! Dia mendengar semuanya dalam diam, kemudian menyela di saat yang tepat ketika kesalahan terjadi, membuatku tidak bisa berkutik."

Michelle tidak bisa tidak mengangguk. Ia setuju dengan perkataan Bianca barusan, karena memang seperti itulah kesan Ethan pada pertemuan pertama mereka. Seperti singa yang tengah mengintai mangsa di balik semak-semak. Persis seperti Ethan yang duduk diam dengan mata tajamnya yang tidak pernah lepas mengamati gerak-gerik mereka, serta telinga yang amat tajam untuk mendengar perkataan mereka.

"And in the end, he is the one whom I'll spend the rest of my life with," keluh Bianca secara tidak langsung.

"Kamu tidak senang?" tanya Michelle. Dari yang ia dengar sedari tadi, Michelle hanya mendapati kesan-kesan kurang menyenangkan dari pembicaraan Bianca mengenai Ethan.

"Aku?" Bianca menunjuk dirinya sendiri. "Tentu saja senang." Ia berusaha menahan ekspresi wajah yang tengah menahan senyum.

"Lalu, kenapa kamu mengeluh tadi?" tanya Michelle, tidak mengerti dengan inti perkataan Bianca.

"Woman and her pride. Harga diri yang terkadang membuatku terlihat konyol." Masih dengan ekspresi wajah yang datar, Bianca melanjutkan kalimatnya, "He's my first love, actually."

"Woah." Michelle takjub dengan fakta mengagetkan itu.

"Saat SMP, aku bertemu pertama kali dengannya ketika ibunya meninggal. Bibi Lia yang merupakan teman baik ayahku, berlaku sangat baik terhadapku yang sudah tidak memiliki ibu. Sehingga hari itu, ayahku memintaku untuk menghiburnya." Bianca memandang jauh ke belakang tubuh Michelle, seperti sedang berusaha mengingat kembali kenangannya belasan tahun yang lalu.

Michelle diam, menunggu kelanjutan kalimat Bianca.

"Aku memberikannya gelang yang dibuat ibuku sebagai penghiburan. Lalu setelah itu kami tidak pernah bertemu lagi hingga aku tidak sengaja mendapatinya tidur di atap sekolah kami. Ternyata kami bersekolah di sekolah yang sama. Sejak saat itu kami berdua menjadi dekat dan memutuskan untuk berpacaran. Dan malah sebentar lagi kami akan resmi menjadi pasangan suami istri." Bianca terlihat malu-malu menceritakan kisah percintaannya dengan Ethan.

Michelle berdeham, berusaha untuk membersihkan tenggorokannya. "Sebenarnya aku ingin mengatakan sesuatu padamu, tapi kurasa, perkataanku ini akan terdengar kurang menyenangkan." Michelle mengamati setiap ekspresi Bianca ketika ia melontarkan kalimat itu dengan pelan.

Bianca terlihat santai menunggu Michelle mengungkapkan hal yang sudah mengganjal pikiran dan hatinya beberapa hari belakangan. "Kamu tidak ditraktir untuk membuatku penasaran," canda Bianca.

"Namun aku yakin aku berhak diam sampai selesai menikmati semua traktiranmu," kata Michelle berusaha untuk tenang. Ia sedang berusaha mengulur waktu lebih lama untuk membuat keputusan terakhir. Iya, benar-benar pertimbangan terakhir.

●●

"Terima kasih atas makan siangnya," kata Michelle setelah mereka menghabiskan makanan mereka masing-masing. Serta, setelah Bianca memaksa membayar tagihan makanan mereka. "Our next lunch is on me."

Bianca memasukkan kartunya yang baru saja diserahkan kembali oleh pelayan ke dalam dompet. "Traktiran hari ini tidak gratis tentunya. Aku mengharapkan ucapan terima kasihmu sedari tadi. You know what I mean right?"

"Tentu saja, aku akan menyampaikannya sekarang," kata Michelle setelah pelayan yang membantu transaksi mereka sudah pergi. Rautnya berubah serius. Ia juga kembali sibuk memainkan jari tangannya karena gugup.

"Apa?" Bianca menutup tas tangannya kemudian menaruh kembali di kursi kosong di sampingnya. Ia melipat kedua tangan di atas meja, menatap reaksi Michelle yang terlihat serius. "Kenapa serius sekali? Ada hal penting yang ingin kamu sampaikan? Apa ada vendorku yang mendadak batal? Atau kalian tidak bisa handle pesta pernikahanku? Aku sangat tidak mengharapkan refund."

Michelle menggeleng. "Bukan, aku tidak tahu apa aku ada di posisi yang tepat untuk mengatakan ini. Tapi, aku juga tidak ingin tutup mata." Michelle tidak berani menatap Bianca, keberanian yang sedari tadi dikumpulkannya entah menguap ke mana. "Kamu berhak memiliki kesempatan untuk mempertimbangkan segalanya."

"Katakan saja," kata Bianca dengan nada yang terdengar amat tegas.

Michelle menyalakan layar ponselnya kemudian menyerahkannya pada Bianca. "Beberapa saat setelah kita menyelesaikan meeting pertama kita, secara tidak sengaja aku melihat pria yang mirip dengan Ethan tengah berciuman dengan wanita lain di dalam mobil."

Bianca meraih ponsel Michelle kemudian menatapnya dengan intens. Ia bahkan memperbesar foto itu untuk mengamati dengan jelas pria yang ada di dalamnya. "Ini benar warna dan tipe mobil Ethan. Hari itu, kami berangkat secara terpisah. Tapi, masih ada satu kemungkinan pria ini bukanlah Ethan."

"Bagaimana bisa?" tanya Michelle yang langsung mengangkat kepalanya. Ia bertemu pandang dengan Bianca yang sudah terlihat seperti tengah menahan tangis.

●●

"Apa maksud kalimatmu tadi?" tanya Michelle. Ia menatap Ethan tidak percaya, kemudian mengulang kalimat Ethan yang berhasil ditangkapnya dengan tergagap-gagap. "Pembatalan pernikahanmu dan Bianca tidak sepenuhnya salahku?"

Ethan mengangguk. "Sebenarnya, Edward dan aku turut andil di dalamnya."

"How?" tanya Michelle lagi. Keningnya berkerut amat dalam menatap Ethan, secara tidak langsung menunjukkan bahwa ia tengah menuntut jawaban dari pria itu. "Bukan hanya Edward tapi dirimu juga?"

Ethan mengangguk. "Both of us did."

"How?" ulangMichelle lagi. Bibirnya tidak bisa terkatup rapat saking tidak percaya dengankalimat yang baru saja didengarnya dari Ethan. "Kenapa baru sekarang kamuberkata seperti ini? Setelah aku menjadi kambing hitam atas batalnya pernikahankalian berdua selama empat tahun lamanya. Tidak bisa tidur nyenyak akibat terusmerasa bersalah, malu menghadapi orang-orang akibat kesalahan yang bukan murnikesalahanku seorang?"

🧵

As I promised, update kedua hari ini ❤

Gimana menurut kalian? Apa ada detail2 yang membuat kalian punya teori tertentu? Atau sudah bisa tebak2 sedikit? ❤🐯

Terima kasih sudah baca ❤❤❤

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro