Chapter 7
Yuhuuu update lagi🤗🤗❤
Btw umur Rumbai itu 27 tahun, First 35 tahun ^^
#Playlist: Avril Lavigne - What The Hell
•
•
Rumbai makan es krim beli di mini market dekat rumah, sedangkan First--si womanizer yang super kaya itu makan es krim di Singapura. Dia bisa memahami kegabutan First. Kalau banyak uang pasti bingung.
Di depan patung merlion, dia menikmati es krim potong Singapura. Bosnya yang tampan turut menikmati es krim. Pemandangan indah yang terbentang berhasil memukau mata. Singapura memang tempat yang tepat untuk jalan-jalan menghilangkan penat.
"Setelah ini kita pulang, Pak?" tanya Rumbai.
"Iya."
"Gabut banget, ya, Pak?"
"Nggak gabut, sih. Hari ini saya libur. Jadinya pergi ke sini untuk makan siang dan makan es krim. Pengin menikmati pemandangan di sini." First menggigit es krimnya tanpa merasa ngilu. Dia mengunyah rotinya sekalian yang menyatu dengan es krim.
"Oh, mau jalan-jalan syantik doang."
"Sekalian gosip cantik."
Rumbai menoleh ke samping dengan cepat. "Gosip cantik? Kita gosip cantik? Perasaan belum ngomongin siapa-siapa."
"Nanti gosipin orang terkenal." First memperhatikan Rumbai yang menatapnya balik. Dia menyeka sisa es krim di ujung bibir Rumbai dengan ibu jarinya. "Kamu mirip bocah aja. Berantakan."
"Makasih, Pa." Rumbai menyentuh bibirnya untuk menyeka sekali lagi agar tidak ada sisa-sisa es krim.
First sudah kembali menatap lurus ke depan. Udara sejuk, pemandangan indah, sukses membuat hatinya tenang. Kalau ada waktu libur, dia sering pergi ke sini untuk menghilangkan penat walau cuma sekadar jalan-jalan atau makan siang saja.
"Rumbai?"
"Ya?"
"Setiap hubungan, biasanya ada perasaan yang ikut campur. Kalo nanti saya atau kamu menaruh rasa, kita harus hentikan hubungan jenis ini. Saya nggak bisa memberikan hubungan yang lebih serius."
Rumbai menoleh ke samping, memperhatikan raut wajah First yang membingungkan. Laki-laki itu terlihat serius. Ini pertama kalinya dia melihat First tanpa senyum nakal atau seringaian mesumnya.
"Kamu nggak perlu khawatir saya nularin penyakit. Saya rutin periksa HIV dan IMS. Semua baik-baik aja," lanjut First.
Rumbai sama seperti First. Sejak mantan suaminya rajin jajan alias selingkuh, dia disuruh Duchess untuk memeriksakan kesehatan diri, takut mantan suaminya menularkan penyakit karena gonta-ganri pasangan. Setelah datang ke Love and Dust dan bermain dengan First, dia juga memeriksakan diri. Dia takut akan hal-hal yang tidak diinginkan. Apalagi waktu itu dia main asal bercinta dengan orang asing.
"Saya juga rajin periksa kesehatan, kok. Kamu tenang aja," balas Rumbai.
"Saya nggak khawatir soal kamu, kok. Soalnya saya tau perempuan sepolos kamu nggak mungkin nemplok ke mana-mana sama laki-laki lain. Saya cuma bilang hal yang tadi karena ingin bilang kalo saya orangnya bersih."
"Saya percaya sama kamu." Rumbai menanggapi dengan mantap.
"Satu hal lagi." First menghadap Rumbai sampai perempuan itu ikut melakukan hal yang sama. "Saat bercinta dibutuhkan consent dua belah pihak. Saya menjunjung tinggi hal itu. Kalo kamu nggak ingin melakukan, bilang aja. Saya nggak akan melakukan kalo kamu nggak mau. Kalo kamu mau dan saya mau, kita baru bisa bercinta. Saya nggak akan memaksa," ucapnya serius.
Rumbai mengangguk. Dia tidak tahu First memikirkan hal itu segala. Baru sekalinya dia mendengar suara First yang serius dan tenang. Tatap mata laki-laki itu pun lebih menenangkan. Dia tidak tahu kenapa First bisa mengatakan beberapa ucapan seperti sekarang terutama soal hubungan yang lebih serius. Padahal dia tidak mengharapkan apa-apa. Hanya ingin belajar lebih hebat dalam urusan yang selalu diremehkan mantan suaminya.
"Ayo, kita keliling, Rabbit." First mengacak rambut Rumbai sebelum akhirnya meninggalkan sang asisten di belakang sana.
Rumbai sibuk merapikan rambutnya karena First terniat merusak tatanan rambutnya yang rapi dan cantik. Kemudian, dia menoleh ke belakang dan terbelalak. First sudah lumayan jauh meninggalkannya. Ternyata merapikan rambut menyita banyak waktu.
"Tunggu, Pak!" teriaknya dari belakang seraya menyusul dengan berlari.
First yang mendengar panggilan itu segera berhenti. Satu-satunya perempuan yang tidak takut hak heels-nya patah mungkin cuma asistennya. Sebab perempuan itu berlari mengejar langkah yang tertinggal dengan heels yang masih melekat. Dia menemukan satu sisi lagi yang menarik dari diri Rumbai.
"Hati-hati nanti kamu jatuh." First mengingatkan.
Rumbai tidak menjawab dan fokus berlari sampai akhirnya berhenti di depan First. Dia mengatur napasnya yang terengah-engah. "Saya udah expert lari-larian pakai heels, Pak. Kalo ada Satpol PP ngejar jadi bisa lari kenceng."
"Satpol PP? Emangnya kamu ngapain sampai harus dikejar Satpol PP?"
Rumbai nyengir. "Nggak ngapa-ngapain, sih. Itu cuma perumpamaan absurd aja, Pak."
First terkekeh dibuatnya. "Baiklah, Mrs. Absurd. Kita lanjutin jalan-jalan cantiknya."
Rumbai tidak lagi ditinggal First. Dia berjalan bersisian dengan bosnya, sambil menikmati es krim yang mulai mencair membasahi tangan.
🍓🍓🍓
Sore ini komunitas The Broken Hearts Club berkumpul di salah satu restoran ternama milik sepupu Permata. Tidak semua anggota datang, hanya beberapa saja. Mereka duduk di dalam ruang khusus yang dapat ditempati lebih dari 25 orang. Mereka sengaja menggunakan tempat khusus itu agar tidak bercampur dengan keramaian pengunjung di luar sana.
"Gimana waktu itu skidipapap di Love and Dust, Rum?" Zedin membuka obrolan baru setelah sebelumnya sudah membahas seputar pekerjaan dan hari-hari melelahkan.
"Itu bukan buat konsumsi publik." Permata menoyor kepala Zedin. Dia hendak keluar untuk pergi ke kamar mandi. "Jangan lo ceritain, Rumbai. Biar aja Zedin bayangin dalam pikiran kotornya."
"Duh, tangan lo enteng banget!" Zedin protes, berpura-pura sebal, padahal tidak. "Lagian berfantasi bisa lebih bahaya daripada nonton, lho! Nanti ada yang ditambahin dalam fantasi kotor gue."
Rumbai menyela, "Baik-baik aja, Kak."
"Laki-laki itu nggak bikin lo susah jalan, kan?" celetuk Kaning.
"Nggak, Kak." Rumbai menggeleng.
"Berarti lo menik--"
"Cukup. Jangan nanyain soal hubungan seks seseorang. Kalian kurang kerjaan banget. Biar itu jadi bahan yang disimpan Rumbai. Bukan buat konsumsi publik," potong Pertama. Suara sudah menunjukkan sisi galaknya.
"Ampun, Kanjeng Ratu." Zedin menundukkan kepala, seolah ingin menyembah sekalian.
"Kak Duchess nggak datang, Kak?" Rumbai mengalihkan pembicaraan dengan bertanya kepada Permata. Dia berterima kasih karena Permata menolongnya dari pertanyaan yang kurang nyaman untuk dibahas.
"Duchy lagi ke Seoul. Katanya mau healing. Tau, deh, gabut banget dia," jawab Permata.
"Pergi sama siapa, Kak?" tanya Rumbai lagi.
"Preventi. Biasa, deh, duo patah hati kalo jalan lebih seru." Permata mengambil sabun portabel dari dalam tasnya dan memasukkan ke dalam saku celana jeans. "Gue mau buang kotoran dulu, deh. Bye!"
Zedin berteriak, "Bae-bae ada yang nyentuh pundak lo kalo sendirian."
Permata membalas teriakan itu dengan jari tengah yang dinaikkan ke udara. Hal itu berhasil membuat Zedin tertawa, begitu pula Kaning. Berbeda dengan Rumbai yang merasa asing karena tidak ada Duchess.
Ketika Rumbai sedang mengedarkan pandangan, dia melihat sosok yang ingin dia pukul pakai cambukan. Mantan suaminya tersenyum lebar dengan menggandeng tangan selingkuhannya. Dia marah bukan main. Hubungan suaminya dan pelakor itu berjalan sampai sekarang. Dia harus memberi pelajaran. Tidak pernah sekalipun dia marah. Rumbai ingin melakukannya sekarang meskipun terlambat.
"Aku pamit ke kamar mandi dulu, Kak," pamit Rumbai.
Dengan langkah mantap Rumbai menghampiri tempat duduk Loma yang berada di pojok ruangan. Dia mengepal tangannya. Walau sudah berpisah, ada rasa dendam dan kesal yang masih menjalar dalam diri. Sakit dan luka tidak bisa hilang begitu saja.
"Ternyata kalian awet, ya. Setelah tidur di kasur yang aku beli, kalian nggak punya malu," sindir Rumbai setelah berdiri di samping meja Loma.
Sosok yang disindir mendongak. Loma tampak kesal, begitu pula perempuan di sampingnya.
"Kamu lagi. Kok, ada di restoran mahal ini? Jadi tukang cuci piring?" balas Loma tak mau kalah.
"Maaf, ya, aku makan di sini. Emangnya kamu mampu makan di restoran ini? Dulu aja aku yang biayain semua kebutuhan kamu." Rumbai menatap tajam, tidak mau kalah lagi dari mantannya. Lalu, dia melirik perempuan cantik di samping sang mantan. "Oh, aku lupa. Kamu punya tante-tante berjalan yang bisa kasih apa pun."
"Heh! Perempuan sinting! Jaga, ya, mulut lo!" Perempuan itu tersulut emosi. Alhasil meja menjadi sasaran gebrakan dan suara tinggi meminta perhatian lolos begitu saja.
"Tenang, Sayang, tenang. Nggak untungnya ngomong sama perempuan nggak guna kayak dia." Loma mengusap-usap pundak pasangannya dengan lembut.
Rumbai memang belum bisa melupakan Loma karena perasaan masih tetap ada. Namun, melihat Loma sebegitu lembutnya dengan perempuan lain ketimbang dirinya, ada perasaan kesal yang semakin tercipta.
"Nggak guna?" Rumbai menarik senyum miring saat memandangi mantan suaminya. "Bukannya kamu yang nggak guna? Uang gaji dihamburkan buat jajan di luar. Aku nggak pernah dikasih uang bulanan. Apa itu yang kamu sebut berguna? Semua keperluan di rumah aku yang beli. Kamu yang nggak berguna."
"Perempuan sialan ini..." Loma bangun dari tempat duduknya, mengepal tangan kesal. Rahangnya sudah mengeras pertanda kekesalan muncul. "Jaga mulut sialan kamu, ya. Aku udah kerja buat kamu, tapi nggak dihargai. Jangan sok pintar kamu. Apa karena cumlaude jadi merasa hebat?"
"Kamu kerja untuk memenuhi hasrat kamu, bukan untuk aku. Jangan mengatasnamakan buat aku. Nggak pernah sekali pun aku nerima uang kamu setelah kita nikah. Sekali pun nggak pernah!" Rumbai menahan diri agar suaranya tidak begitu meninggi.
"Berarti bukan salah aku kalo begitu. Kamu nggak bisa memenuhi hasrat aku. Kamu payah! Kuliah aja cumlaude, tapi memuaskan di ranjang aja nggak bisa," desis Loma sinis.
"Masih mending nggak bisa memuaskan di ranjang daripada otaknya kopong kayak kamu. Udah tolol, sok paling hebat, dan manipulatif lagi. Kamu yang sampah, bukan aku."
Setelah kalimat itu diucapkan, satu tamparan kencang mendarat di pipi Rumbai. Orang-orang di restoran sampai menoleh ke arah mereka karena suara nyaring yang ditimbulkan. Tak hanya Loma yang menampar, perempuan di sampingnya ikut menampar dengan keras.
"Sampah teriak sampah. Kamu sampah dan akan selalu begitu. Nggak ada laki-laki yang mau sama perempuan payah kayak kamu," ucap Loma dengan senyum mengejek.
Rumbai diam menyentuh pipinya. Biarpun sakit, tapi tidak sesakit melihat suaminya bercinta dengan perempuan lain.
"Heh! Beraninya lo nampar perempuan!" tegur Zedin, yang segera menarik Rumbai sampai berdiri di belakangnya.
"Apa lo? Nggak usah ikut campur," sahut Loma angkuh.
Zedin mengabaikan kata-kata itu, memilih berbalik badan untuk memastikan keadaan Rumbai. Pipi Rumbai merah dan bibirnya berdarah. Dua orang itu pasti menampar Rumbai dengan keras.
"Gue akan nuntut lo karena udah buat--"
"Nggak usah, Kak," potong Rumbai seraya memegang lengan Zedin, berusaha menghentikan pertengkaran.
"Nggak bisa gitu, Rumbai. Mereka udah nampar kamu. Ini bisa dipidanain tau," ucap Zedin kesal.
"Ayo, Kak. Biarin aja." Rumbai menarik tangan Zedin agar pergi dari sana. Bukan dia tidak mau mempersalahkan, dia malu. Loma bisa sangat manipulatif dan pasti akan belagak sok-sok disakiti olehnya.
Hari ini Rumbai mengalah, lain kali dia akan menunjukkan sisi gahar untuk membalas semua perlakuan Loma padanya.
Zedin tidak bisa membantah selain mengikuti permintaan Rumbai meninggalkan dua orang itu.
Di dalam ruangan serba kaca Kaning diam-diam merekam seluruh kejadian itu. Sejak Zedin mengatakan Rumbai menghampiri orang, dia menjadi penasaran. Tak lupa dia menyorot bibir Rumbai yang berdarah. Setelah itu Kaning mengirimkan pesan dan videonya kepada First.
🍓🍓🍓
Jangan lupa vote dan komen😘😘❤🤗
Jangan lupa baca One Last Knot punya Kak Lyan 🤗🤗🤗 lyanchan
Follow IG: anothermissjo
Salam dari Rumbai😍😍😍
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro