Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bonus: Panjat & Wes

Yuhuuu update🥰🥰🥰😘

Komen yang banyak🥰🥰 sapa tau niat beneran bikin kisah mereka🤣

Ini bonus iseng doang sih🤣🤣

#Playlist: Doja Cat - Boss Bitch

Suara embusan napas memenuhi ruang kamar. Tak perlu ditebak Wesmilia langsung tahu. Suaminya yang tampan baru saja masuk ke dalam kamar dengan wajah yang tidak bisa ditebak.

"Aku pikir kamu pulang berdarah-darah," kata Wesmilia.

"Kok, kamu ngomong gitu?" Panjat duduk di sofa kamar seraya melonggarkan dasi yang hampir mencekiknya.

"Kirain Rumbai mukul kamu pakai botol beling. Soalnya kalo aku jadi dia, aku akan pukul kamu pakai botol. Tapi kayaknya dia cuma nolak kedatangan kamu. Am I right?" Wesmilia bertanya seraya mengunyah buah kiwi yang dipotong rapi. 

Panjat mengangguk pelan. Dia baru saja menemui Rumbai di bar tempat ayahnya bekerja. Adiknya marah-marah.

"I'll do the same thing as her. Siapa yang nggak emosi kakaknya baru datang sekarang?" Wesmilia menatap layar televisi, menonton serial barat favoritnya yang sedang tayang, sambil mengunyah buah kiwi yang tersisa beberapa potong.

"Kamu sendiri tau kalo aku nggak bisa menemui Rumbai karena mata-matanya kakek tuh––"

"Iya, banyak. Aku tau. Tapi sekali-kali kamu harus menentang kakek kamu. Rumbai itu adik kamu, lho. Kalian satu darah. Mana ada yang tau kalo tiba-tiba kamu kecelakaan terus butuh darah, Rumbai yang donorin darahnya. Siapa yang tau, kan?" 

"Perumpamaannya nggak usah kayak gitu, dong, Wes. Itu sama aja kayak doa tau," protes Panjat.

"Ini cuma contoh. Aku doain kamu baik-baik aja. Tapi musibah mana ada yang tau." 

Panjat geleng-geleng kepala. "Terus gimana? Aku bilang sama Joval kalo Rumbai marah sama aku."

"Huuuu! Pengaduan. Apa-apa ngadu sama Joval. Dia, kan, adik kamu. Harusnya dia yang ngadu sama kamu, ini malah sebaliknya." Wesmilia memutar bola matanya.

"Soalnya cuma Joval yang masih mau tau tentang Rumbai. Kak Tren, Brave, dan Pery nggak ada yang mau tau soal dia. Wajar aja aku ngadu sama Joval," jelas Panjat.

"Dengar, ya, Suamiku. Kalo Rumbai marah itu wajar. Jangan patah semangat, kamu coba temui lagi. Dia belum terbiasa ketemu kamu. Kalian ketemu sepuluh tahun sekali kayaknya, itu pun kalo aku nggak nyuruh, mana ada kamu memberanikan diri. Mantan istri kamu yang lama pasti jiwanya jiwa-jiwa jalang yang jahat dan nggak pernah nyuruh ketemu sama Rumbai. Kamu dibutain sama mantan kamu yang iblis itu," ucapnya. Heboh dan penuh nyinyiran––begitulah cara Wesmilia bicara. 

Kalimat terakhir Wesmilia benar. Selama Panjat menikah dengan mantan istrinya, tidak pernah sekali pun disuruh menemui Rumbai. Justru mantan istri lebih pro kepada kakeknya. Lain halnya dengan Wesmilia yang terus-menerus mendesaknya untuk menemui Rumbai. Padahal mereka baru satu tahun menikah, tapi hampir setiap hari Wesmilia menanyakan keberaniannya untuk menemui Rumbai. Istrinya yang satu ini memang berbeda, lebih berani dan blak-blakan. Kalau yang dulu lebih kalem, Wesmilia lebih suka menyindir dan ceriwis.

"Kenapa kamu nyuruh aku ketemu Rumbai?"

"Kamu masih nanya? Nggak mau aku bego-begoin, kan?" 

"Bukan gitu. Kamu selalu desak aku untuk ketemu Rumbai dan provokasi aku biar nentang kakek sekali-kali."

"Karena bagaimana pun Rumbai adalah adik kamu. She needs you. Kamu bisa bayangin nggak sih seberapa terlukanya dia selama dua puluh tahun ini? Keluargaku nggak penuh drama kayak keluarga Prambadi, kami semua mementingkan keluarga di atas segalanya. Kami nggak pernah mau ninggalin satu sama lain." Wesmilia meletakkan piring di atas nakas, lalu turun dari tempat tidur dan duduk di samping sang suami.

Tangan lembut Wesmilia mendarat di pundak Panjat, mengusapnya dengan lembut. "Waktu Doni pernah kasar sama perempuan, aku sama sepupu yang lain omelin dia habis-habisan, nasihatin tujuh hari tujuh malam. Karena kesalahan nggak bisa didiemin gitu aja, harus dikasih tau kalo itu salah. Kita sebagai manusia harus kasih tau kalo tindakan keluarga salah. Kamu harusnya bisa kasih tau kakek kalo tindakannya salah. Nggak peduli kamu lebih muda, kita berhak menegur kalo orang itu salah," lanjutnya.

"But, I'm not that brave."

Wesmilia mendesah kasar. "Kamu tuh bukan nggak berani, kamu takut dimusuhin semua keluarga Prambadi. Apa sepenting itu? Kalo dimusuhin biarin aja. Ini bukan aku menghasut, kamu bisa lebih baik dari ini. Kamu bisa bujuk kakek untuk menerima Papa kamu. Apa kamu nggak kasihan sama Rumbai dan Papa?"

"Ya, kasihan ..." Panjat menggantung kalimatnya.

"Look at me." Wesmilia menangkup wajah Panjat dengan senyum manis yang dimiliki. "Jangan takut apa pun. You have me. Aku akan dukung kamu dan menemani dalam keadaan apa pun. Aku menikah dengan kamu karena aku yakin kamu beda dari yang lain. Kamu baik."

Panjat menyunggingkan senyum, mengangguk pelan. "Nanti aku coba temui Rumbai lagi. Makasih udah selalu yakinin aku untuk lebih berani dan nentang kakek. I just need a ..."

"Motivation?" Wesmilia berpindah posisi, duduk di atas pangkuan Panjat seraya mengalungkan kedua tangan di leher suaminya. "Maybe you need something better. How about touch my body?"

Panjat memeluk pinggang ramping Wesmilia, menahannya agar tetap di pangkuan. "Aku mau mandi dulu. Sebentar aja."

"Yakin bisa menunggu?" Wesmilia menurunkan tali lingerie seksi yang dipakai, memperlihatkan bagian dada yang terekspos.

"Nakal." Panjat menepuk pelan bokong sang istri bahkan meremasnya dengan gemas.

Wesmilia menahan tawa. Sementara itu, Panjat mulai mencium leher Wesmilia secara perlahan sampai turun menuju bagian dada Wesmilia yang telah dipamerkan.

Dan selanjutnya mereka mengawali malam dengan permainan penuh gairah.

🍓🍓🍓

Panjat melirik istrinya. Acara yang paling dibenci sang istri adalah makan malam bersama keluarga Prambadi. Beberapa kali dia melihat Wesmilia menunjukkan wajah bete secara terang-terangan gara-gara obrolan sensitif. Iya, soal anak. Baik dia maupun Wesmilia belum berkeinginan memiliki anak. Mereka masih menikmati masa-masa berdua saja.

"Kalo nanti kamu mau ketus, nggak apa-apa. Jangan ditahan," ucap Panjat.

"Beneran boleh?" Wajah Wesmilia langsung cerah.

"Dari kapan tau aku nggak pernah larang."

"Oke, kamu nggak bisa tarik ucapan, ya. Jangan nyesel kalo aku udah mulai menguliti omongan istri-istri dari semua om kamu yang resek itu." Wesmilia mengecu pipi suaminya dengan senang. "Makasih, Sayang."

"Tapi ingat, jangan pakai bahasa kasar."

"Iya, Sayang. Paling cuma bitch, fuck, atau shit. Seputaran itu aja. Kalo tiba-tiba keluar monyet, itu opsi paling terakhir."

Panjat terkekeh. Satu tangannya mengusap kepala Wesmilia. "Iya, iya. Aku nanti pura-pura kaget aja."

Wesmilia mengangguk setuju seraya memeluk lengan sang suami. Kemudian, melangkah masuk bersama suaminya untuk menghadiri acara makan malam bersama.

Di dalam ruang makan masing-masing kursi sudah dituliskan nama. Panjat dan Wesmilia berkesempatan duduk di samping kiri Yastomo Prambadi. Sementara samping kanannya ada Yanti Prambadi, istri dari Yastomo. Banyak yang berlomba-lomba ingin duduk di dekat Yastomo dan ujung-ujungnya selalu Panjat. Hal ini meningkatkan kecemburuan dari semua menantu Yastomo. Karena Panjat rutin duduk di samping Yastomo, cucu lain yang diinginkan orangtuanya duduk di posisi itu menjadi iri dan kesal––seperti sekarang.

"Panjat, kamu nggak mau tukar tempat duduk sama Ireland? Nggak bosan dapat di situ terus?" tegur Santi Prambadi, ibunda Ireland.

"Nggak, Tante. Saya udah nyaman duduk di sini," balas Panjat santai.

"Nyaman, ya? Biar sekalian rayu untuk usaha baru kamu, kan?" sindir Santi.

Wesmilia ingin mengguyur manusia yang satu itu. Dia tahu posisi Panjat di mata Yastomo adalah cucu yang paling disayang––melebihi cucu lainnya. Panjat dan Brave merupakan cucu emas Yastomo. Namun, ada saja yang membuat kesal gara-gara iri dan dengki. Wesmilia sudah cukup sabar menahan diri tidak ikut campur drama sialan keluarga Prambadi.

"Tante bisa nggak mulutnya dijaga? Kakak saya nggak suka bahas usaha saat makan. Beda sama anak Tante yang kalo bisa jilat pantat langsung dijilat," sela Joval. Suaranya tenang, tapi tersirat rasa muak yang sudah mencapai tahap akhir.

Santi berdecak kecil. "Begini kalo punya bapak berubah jadi ibu. Anak-anaknya kurang ajar."

"Seenggaknya ayah saya nggak pernah bunuh orang karena cuma nggak dilayani pelayan," sahut Panjat sekenanya.

Dari bawah meja Wesmilia menggenggam tangan suaminya dan menggerakkan dengan senang.

"Kamu ya ..." Santi melotot kesal. Ketika hendak membalas lagi, tiba-tiba Yastomo dan Yanti Prambadi memasuki ruang makan. Semua mendadak sunyi.

Begitu Yastomo dan Yanti duduk, mereka mulai berdoa sebelum makan. Mereka menunggu Yastomo menyuap nasi atau minimal makan sesendok apa pun itu, barulah mereka mengikuti. Mereka sepatuh itu menunggu Yastomo, tidak asal makan duluan. Setelah Yastomo menyuap nasi ke dalam mulut, barulah yang lain mulai makan.

"Pa, sebentar lagi Wely melahirkan anak pertama. Boleh nggak dibuat acara penyambutan di rumah Papa?" tanya Denis, putra kedua Yastomo sekaligus suami Santi.

"Boleh. Adakan aja. Nanti kabari Papa," jawab Yastomo.

"Makasih, Pa." Denis tersenyum senang. Pandangannya segera tertuju pada salah satu keponakannya. "Oh, iya, Om dengar Herina lagi hamil. Betul ya, Rifan?"

"Betul, Om. Akhirnya kami dikasih kesempatan untuk memiliki anak," jawab Rifan Prambadi, sepupu Panjat.

Sahut-sahutan memberi selamat terdengar. Yastomo ikut mengucapkan selamat dan bilang akan mengirimkan hadiah. Seperti biasa jika ada kabar hamil, maka Yastomo akan memberikan hadiah fantastis.

"Wesmilia kapan nyusul? Kalian nggak berkeinginan punya anak? Umur udah tua banget, lho!" tanya Ilea memulai sindiran halus.

Pertanyaan yang dibenci Wesmilia akhirnya terdengar juga. Bukan sekali atau dua kali, berulang kali pertanyaan yang sama ditanyakan. Di keluarga Subroto sendiri, tidak ada pertanyaan seperti itu. Keluarga Subroto lebih fokus menanyakan kabar dan segala macam, bukan sesuatu yang membuat kurang nyaman.

"Iya, nih. Kalian udah setahun menikah, masa belum ada hasil? Apa mau nunggu umur makin tua dulu, ya?" sambung Santi dengan senyum miring, mengejek keduanya.

Dari bawah meja Panjat mengusap punggung tangan Wesmilia, mencoba menenangkan agar tidak termakan emosi. Sebelum istrinya menjawab, dia lebih dulu menggenggam tangan Wesmilia.

"Kami berdua sepakat untuk menunda. Kami masih ingin berduaan," balas Panjat, diakhiri dengan kecupan manis di punggung tangan Wesmilia yang digenggamnya tadi.

"Berduaan mulu. Setahun cukup lah. Nggak usah ditunda. Hamil di umur tua rentan, lho. Bisa-bisa keguguran," kata Santi, masih dengan gaya bicara sinis yang kental.

Wesmilia mengulas senyum manis. "Tante perhatian banget. Tapi saya rasa nggak perlu mengurusi saya dan Panjat. Kami tau kapan harus punya anak. Urus aja cucu yang baru lahir. Bayi yang baru lahir bisa aja meninggal, lho," balasnya tak kalah nyinyir.

Panjat menahan tawa. Santi tampak kesal––dapat dilihat dari rahang yang mengeras. Siapa suruh melawan istrinya? Sudah tahu mulut Wesmilia se-bar-bar itu.

"Omong-omong, itu tato baru, Wes? Di dekat dada kamu?" tanya Miranti Prambadi, istri dari omnya Panjat yang lain.

"Oh, ini?" Wesmilia menunjuk tato baru yang menyembul dari balik dress. "Iya, Tante."

"Ditato mulu, Wes. Kamu mau saingan sama preman?" celetuk Ilea. Suaranya lebih sinis, begitu pula senyum miring yang mengejek Wesmilia.

"Nggak, dong. Ini tato yang aku buat untuk Oma Yanti sebagai bukti cinta aku. Biar aku selalu ingat dan sayang sama Oma." Wesmilia menurunkan sedikit bagian atas dress-nya––tidak sampai menunjukkan dada––untuk memamerkan tato baru bergambar bentuk hati. Ada huruf Y dan P yang menyatu di dalam bentuk hati tersebut. "Cantik, kan, Oma? Ini untuk Oma."

Yanti menyentuh dadanya merasa tersentuh. "Ya, ampun ... Wesmilia. Pasti sakit, kan, buat tato seperti itu? Harusnya jangan dibuat tato, tubuh kamu sakit. Terima kasih, ya."

"Buat Oma apa sih yang nggak? Ini nggak sakit, kok. Aku udah biasa ditato." Wesmilia tersenyum lebar saat menatap nenek dari suaminya.

"Kenapa cuma nama Oma? Kamu nggak sayang sama Opa?" sela Yastomo.

"Sayang, Opa. Tapi kalo aku buat tato nama Opa, nanti laki-laki ganteng di sebelahku iri." Wesmilia bersikap manis dengan menyentuh dada suaminya, tetap mempertahankan senyum.

"Betul juga, sih." Yastomo tertawa kecil.

"Kalo gitu besok Wes temani Oma pergi ke pameran seni, ya. Nggak sibuk, kan?" Yanti bertanya seraya menatap Panjat. "Istrimu mau Oma culik dulu. Boleh, ya?"

"Boleh, Oma, silahkan. Asal dipulangin aja. Nanti saya kangen," sahut Panjat, diikuti kekehan kecil.

Yanti ikut terkekeh. "Pasti, dong. Nanti kamu guling-guling lagi kalo Wes nggak dipulangin."

"Lho? Nggak jadi pergi sama aku, Ma?" sela Ilea.

"Mama pergi sama Wes aja. Lain kali baru sama kamu," kata Yanti.

Wesmilia tersenyum penuh kemenangan. Dia memamerkan senyum bahagianya saat menatap Ilea. Setelah cukup puas meledek, dia menatap Yanti, masih dengan senyum yang sama. "Siap, Oma. Aku siap menemani. Nanti aku ajak ke tempat-tempat hits."

Panjat mengamati Ilea dan Santi. Wajah mereka semua tampak kesal. Sepertinya usaha mereka mengambil hati Yanti dan Yastomo selalu berakhir kacau. Di keluarga Prambadi, tidak ada yang berani sok akrab dengan Yastomo––kecuali kalau dipilih menemani pergi atau mengurus usaha bisnis––barulah bisa mengobrol dengan Yastomo dan Yanti.

Panjat pun berbisik di telinga sang istri. "Tato baru itu bukan buat omaku, kan? Soalnya nama lengkap nenek kamu Yehana Poetri."

"Kamu tau aja. Aku sengaja pengin bikin tante-tante kamu kebakaran jenggot. Eh, berhasil. Untung aja mereka semua nggak tau nama lengkap nenekku," balas Wesmilia berbisik.

Panjat beruntung memiliki istri secerdik Wesmilia. Karena gemas, dia mengecup samping kepala Wesmilia. "Good job, Wife."

Jika hidup Rumbai dipenuhi kesedihan, maka hidup di antara keluarga Prambadi yang lain harus penuh siasat. Sebenarnya bukan om-om-nya Panjat yang licik dan rese melainkan istri mereka yang haus harta dan gila pengakuan dari Yastomo.

Hidup di keluarga Prambadi tidak pernah mudah. Panjat berusaha melawan, tapi mantan istrinya terlalu berpihak pada tante-tante itu––yang mana berakhir menghinanya secara tidak langsung. Untung saja Wesmilia berpihak padanya sehingga harga diri Panjat tidak pernah merasa dijatuhkan di depan para penjilat kakeknya.

🍓🍓🍓

Jangan lupa vote dan komen kalian😘😘🥰🤗

Ini kalo bikin cerita Wesmilia sama Panjat pasti diisi sama debat nyinyir Wes melawan keluarga Prambadi🤣🤣 nanti penuh drama 🤣🤣

Follow IG: anothermissjo

Salam dari pasangan favoritku🥰🥰

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro