STARRAWS YOU | Who Are You? by Cheniema
| A Teenlit-Romance Story |
"Suka drakor, K-pop. Ngaku jadi istri oppa Korea padahal istri penjaga alfa. Hobinya minum kopi, baca novel dan nulis novel. Tapi, ceritanya selalu mandek di tengah jalan. Impian ke Korea naek sepeda." - The Rising Star, Cheniema
***
Seorang gadis berambut ikal kemerahan berjalan di trotoar melewati jalan raya yang sepi dan gelap. Ia baru saja pulang dari kelas drama. Tidak ada rasa takut sedikitpun dari gadis ini menelusuri kegelapan malam.
Langkahnya terhenti ketika melihat seorang laki-laki seumuran dengannya keluar rumah dengan mengangkat sebuah karung berukuran cukup besar dan memindahkannya kedalam mobil.
Matanya terbelalak ketika melihat sebuah tangan menggantung keluar dari dalam karung itu. Gadis itu langsung mengumpat di belakang pohon cukup besar dan menggigiti telunjuk jarinya, hal ini tidak biasa di lihatnya.
Apa dia seorang pembunuh? Atau jangan-jangan dia seorang psikopat yang yang tega memutilasi korbannya? Batin gadis itu.
Gadis itu mengintip dari balik pohon. Sial, laki-laki itu mengetahui jika ada orang lain selain dirinya. Laki-laki dengan tinggi 178cm itu menatap datar ke arah persembunyian gadis berkacamata itu, kemudian masuk kedalam mobil dan mengemudikannya.
Setelah mobil itu menjauh dan lenyap dari pandangannya, gadis itu baru keluar dari persembunyiannya. Dia berjalan cepat dan menoleh sesaat ka arah rumah laki-laki tadi. Gelap, banyak rumput liar di halaman rumahnya dan pohon jambu yang sedang berbuah.
Gadis itu masuk ke dalam rumahnya yang terletak tiga pintu sesudah rumah laki-laki misterius itu.
"Assalamualaikum," salam Gadis dengan napas yang memburu.
Seorang wanita paruh baya menyambut kedatangan anak tunggalnya. "Waalaikumsalam," jawab Yuni. "Wajah kamu kenapa, Star? Kok kelihatan panik kayak gitu sih?"
Star segera melepas sepatunya, bukannya di simpan dengan rapih dia justru melemparkan sepatu yang baru saja dia pakai ke sembarang tempat.
Star dengan cepat mengunci pintu dan menggandeng tangan Ibunya, agar segera masuk ke dalam. "Ada apa, sih?" tanya Yuni heran.
Star tidak menjawab, dia menggandeng Yuni masuk ke kamarnya dan duduk di atas kasur. "Ibu. Kita harus dengan segera pindah dari sini!" ucap Star tiba-tiba.
Yuni mengerutkan dahi, bingung dengan ucapan anaknya. "Kenapa, sih? Ada apa?"
"Lingkungan kita sudah tidak aman, Ibu." jelas Star menurut pemikirannya. "Ibu tau gak rumah kosong dekat pertigaan jalan."
Yuni mencoba mengingatnya. Pertigaan jalan mana? Sedangkan rumah mereka juga dekat pertigaan jalan. Star berdecak kesal, karena tidak ada sahutan dari Yuni. "Itu loh, Bu, rumah yang di halamannya ada pohon jambu. Yang jamnya seringbm Star petikin," jelas Star antusias.
Yuni akhirnya tahu rumah yang di maksud Star. "Oh, rumah nomor 32 itu?"
Star mengangguk cepat. "Emang ada apa sama rumah itu?"
Star menceritakan semua yang dia lihat tadi. Yuni yang mendengar cerita anaknya jadi merinding sendiri. Bagaimana bisa mereka tinggal satu lingkungan dengan seorang psikopat. Tapi, mereka juga tidak bisa pindah dari sana karena rumah tempat tinggal mereka yang sekarang adalah warisan dari orang tua Yuni yang telah meninggal. Mau tidak mau mereka harus tetap tinggal di sana.
Sore hari saat Star berada di kelas Drama, seorang mentor memperkenalkan seorang siswa baru. Dia tampan, putih dan tinggi. Tapi saat Star melihat ke arahnya, matanya membulat sempurna yang diikuti dengan mulut yang terbuka.
Namanya Rafael, dia murid baru pindahan dari SMA Cendana. Dia mengikuti kelas drama karena keinginannya sebagai seorang aktor sama seperti Star. Yang ingin menjadi bintang dan bersinar di dunia.
Setelah memperkenalkan diri, Rafael duduk di samping Star karena kebetulan bangku di sebelah Star kosong. Star selalu memalingkan wajahnya, agar Rafael tidak mengenali kalau dia yang ada di malam itu.
Kelas drama akan menampilkan pertunjukkan akhir musim gugur ini, mentor mereka bernama pedro menunjuk Star dan Raffael sebagai peran utama. Awalnya mereka semua komplain kepada Pedro. Bagaimana bisa? Rafael baru saja masuk, kenapa dia yang akan menjadi peran utama laki-lakinya?
Pedro menjelaskan ke semua murid. Sebelum Rafael masuk, Pedro telah melihat kemampuannya dalam berakting. Aktingnya bagus, seperti seorang profesional, tidak salah jika Pedro merekrutnya sebagai pemeran utama. Star tidak bisa berbicara lagi, karena ini sudah keputusan yang telah di buat oleh Pedro.
Star membaca dialog yang telah di buat oleh Pedro di atas amfiteater, dia terkejut saat tahu kalau dirinya di pasangkan sebagai seorang kekasih yang saling mencintai. Tidak mungkin.
Star menghampiri Pedro yang sedang berbicara dengan Rafael. "Kak, bisa bicara sebentar?" ajak Star, sedikit memicingkan mata ke arah Rafael.
"Mau bicara soal, apa?" tanya Pedro.
"Soal naskah!" jawabnya ketus.
Star membawa Pedro ke belakang amfiteater, agar dia bisa leluasa berbicara dengannya.
"Aku kurang setuju dengan naskah yang Kakak buat," komplain Star dengan menunjukkan naskah di tangannya.
"Kenapa?" tanya Pedro terlihat santai. "Cewek lain justru iri dengan posisi kamu yang memerankan Jenni. Kenapa kamu menolaknya?"
"Kakak gak tahu Rafael, sih!" Star mendekatkan diri ke Pedro. "Aku mau sedikit cerita ke Kakak. Rafael itu bahaya, kemarin malam aku melihat dia membawa karung berisi potongan tubuh manusia! Dia itu psikopat, Kak. Kita harus hati-hati sama dia, jangan sampai di antara kita jadi korbannya."
Pedro terkekeh, karena menurut Pedro cerita Star sangat tidak masuk akal. "Kamu terlalu banyak nonton film pembunuhan, jadi efek sampingnya kayak gini kan! Gak bisa ngebedain antara nyata dan fiksi."
Star berdecak kesal karena Pedro tidak mempercayainya. "Tapi, Kak, a...."
"Kakak gak mau dengar alasan kamu," tegas Pedro memotong ucapan Star. "Naskah itu tidak akan Kakak rubah dan pemeran utamanya masih tetap kamu dan Rafael. Kamu tahu kan, Kakak paling gak suka di TENTANG!" Pedro meninggalkan Star dalam keadaan kesal.
Star melewati hari-hari untuk berlatih drama bersama Rafael, meskipun masih terlihat canggung di antara mereka, Star dan Rafael masih bersikap profesional.
Sore ini Star tidak memiliki jadwal untuk latihan drama, dia berjalan-jalan untuk menikmati udara di musim gugur. Star melewati rumah no. 32 dan berhenti sesaat untuk mengamatinya. Seperti biasa, sepi dan tidak ada kehidupan di dalamnya.
"Ngapain kamu di sini?" suara itu, Star mengenalnya. Star menoleh dan mendapati Rafael berada di belakangnya.
Star gugup dan tidak tahu harus berbicara apa. Dia menggigit jari telunjuknya dengan kaki yang di goyangkan. "Itu... anuu... mmm."
Star tidak mampu berbicara kepada Rafael. Rafael hanya menggeleng dan masuk ke dalam rumah usang itu. Star bernapas lega saat Rafael sudah lenyap dari pandangannya.
Star berlari menuju kelas drama. Ia terlambat karena habis mendapat hukuman dari guru Fisika. Saat di belakang amfiteater, Star tidak sengaja mendengar percakapan Rafael di telepon.
"Kamu kirim barangnya, nanti pulang langsung saya eksekusi. Kamu mau dipotong berapa bagian?" tanya Rafael di pasa seseorang di dalam telepon.
Star menutup mulutnya yang menganga. Jadi bener dugaanku selama ini, kalo dia seorang psikopat. Star melanjutkan menguping pembicaraan Rafael.
"Kamu jangan minta aneh-aneh. Jangan sampai kamu yang saya potong!" suara Rafael terdengar marah. "Nanti malam, kamu sekalian bawa orang-orang gak guna di rumah." Rafael menghampiri teleponnya dan kembali ke amfiteater.
Star gemetar mendengar pembicaraan Rafael. Bagaimana bisa dia satu lingkungan dengan orang berbahaya seperti Rafael?
Rafael melingkarkan tangan dipinggang Star, lalu menarik dan mendekatkan ke tubuhnya. "Aku sayang sama kamu. Aku hanya milik kamu,"
"Tapi aku gak bisa terima kamu, kalau kamu selingkuh!" sahut star dengan emosi.
"Aku tidak selingkuh, dia hanya sepupuku yang baru saja pulang dari Singapura."
"Benar?"
Rafael mendekatkan wajahnya seperti ingin mencium Star. Star yang mengingat pembicaraan Rafael tadi, reflek menampar pipinya.
"Tunggu, tunggu!!" Pedro menghampiri Star dan Rafael. "Di dalam naskah ini, seharusnya kalian berdua berciuman. Bukan kamu nampar Rafael. Kamu baca gak sih dialognya?" cerca Pedro pada Star.
"Maaf Ka, tapi aku gak bisa dicium sama cowok psikopat kayak dia," kesal Star menunjuk Rafael.
Pedro bersedekap. "Tau dari mana kamu kalau Rafael, psikopat?"
"Aku tadi denger percakapan Rafael sama seseorang di telepon. Dia bilang nanti malam mau eksekusi, terus Rafael nanya sama orang di telepon kalo dia bakal motong orang yang di teleponnya juga."
"Kamu nguping pembicaraan aku tadi?" sahut Rafael.
"Bukan nguping, tapi gak sengaja denger," cerosos Star.
"Sama aja. Yang jelas kamu sudah mengganggu privasi aku!" Rafael tidak mau kalah.
"Sudah, sudah!" Pedro berdiri di antara keduanya. "Saya tidak mau ada keributan di kelas saya. Jadi Star, kamu jangan mengansumsi kalo Rafael itu seorang psikopat karena dia sepupu saya."
Kedua alis Star terangkat. Dia tidak percaya dengan apa yang dia dengar kalau psikopat yang di maksud Star adalah sepupu mentornya.
Star merasa malu karena sudah menuduh Rafael yang tidak-tidak. Tapi, Star masih penasaran dengan obrolan Rafael di telepon dan dia akan menyelidikinya hingga Star benar-benar percaya bahwa Rafael bukan psikopat seperti yang di pikirkannya.
Star melepaskan lensa kacamatanya karena sudah banyak goresan dan itu sangat mengganggu pemandangannya. Kacamata yang dipakai oleh Star sebenarnya bukan kacamata minus, melainkan kacamata pemberian dari almarhum ayahnya dan Star sangat menyayangi kacamata itu seperti ia menyayangi Ayahnya.
Star mengepang rambut ikal kemerahannya, tanpa di sadari waktu menunjukkan pukul 06:45 sedangkan pelajaran pertama di mulai pukul 07:00. Ia bergegas berangkat sekolah tanpa sarapan dan memakai sepatu dengan terburu-buru sehingga dia tidak mempedulikan sepatu itu pasangannya atau bukan.
Star membuka pintu kelas dengan napas yang terengah-engah, murid dan guru serentak mengarahkan pandangannya ke arah Star yang berdiri di ambang pintu dengan rambut yang cukup berantakan, kacamata tanpa lensa dan sepatu yang kanan dan kirinya berbeda.
"Maaf, Bu. Saya telat," ucap Star dengan wajah polosnya.
"Star, penampilan kamu tambah kacau aja," celetuk seorang siswa terbahak melihat penampilan Star.
Siswa yang lain pun ikut terbahak, kecuali Rafael yang memandangnya dengan tatapan datar. "Star!" panggil Bu Nina dengan suara tinggi.
"Iya, Bu," sahut Star.
"Kamu berdiri di koridor, sekarang!" perintah Bu Nina.
"Saya cuma telat lima menit, Bu. Masa iya saya dihukum, sih," bela Star.
"Berani menentang Ibu, kamu ya!" tegas Bu Nina membuat Star menunduk dan keluar kelas.
Waktu terus bergulir, tiba saatnya Star berada di kelas drama. Star di perintahkan oleh Pedro untuk mengambil properti ringan yang ada di gudang. Star masuk ke dalam gudang untuk mengambil properti yang ada di pojok ruangan.
Star sengaja tidak menutup rapat pintu tersebut, karena ia memiliki phobia ruang sempit. Saat ingin kembali ke amfiteater dengan membawa properti, Tali sepatunya lepas dan ia menyandarkan propeti berupa triplek ringan di pintu.
Pintu gudang tertutup rapat sehingga membuat Star reflek membuka pintu itu. Matanya melebar ketika tahu pintu tidak bisa di buka. Star meminta tolong, tapi tidak ada yang mendengarnya karena sekolah telah sepi.
Tubuhnya mulai gemetar, denyut jantung semakin cepat dan telinganya berdengung. Star tidak bisa di dalam ruangan seperti ini, yang ada dipikirannya ia akan mati jika berada di ruangan sempit seperti ini.
Star menggedor-gedor pintu gudang selama beberapa menit tapi tidak ada yang mendengar. Tubuhnya mulai kedinginan dan dadanya terasa sakit, dia meringkuk sambil menggedor-gedor pintu.
"Tolong. Siapa aja tolong aku," rintih Star dengan tubuh yang semakin lemas.
Dengan wajah pucat, tubuh yang menggigil dan mati rasa, Star mendengar suara langkah seseorang. Star langsung menggedor pintu dan meminta tolong. Meskipun suaranya sudah tidak memiliki tenaga.
Orang yang berjalan itu adalah Rafael yang ingin ke toilet, ia mendengar suara rintihan dari dalam gudang. Saat itu Rafael tidak tahu kalau di dalam sana Star, dia memperjelas pendengarannya dan langsung membuka ointubgudang tersebut.
Ia terkejut melihat Star di pojok pintu dengan wajah pucat, dan tubuh yang menggigil. Rafael menghampiri dan memeriksa suhu tubuh Star. Dia meletakkan punggung tangan di dahi Star. Demam. Itulah yang terjadi pada Star saat ini. Star kehilangan kesadarannya dan Rafael membopongnya ke ruang UKS.
Setelah di periksa dokter, Rafael akhirnya tahu penyebab Star tidak berdaya seperti itu. Setelah beberapa jam Star tidak sadarkan diri, akhirnya dia sadar dan melihat Rafael duduk di kursi sampingnya.
"Kamu udah sadar?" tanya Rafael menatap wajah Star.
Kepala Star masih terasa pusing tapi dia memaksakan diri untuk duduk, dia takut karena di sampingnya adalah Rafael.
"Kalau masih pusing jangan bangun dulu," ucap Rafael terlihat khawatir.
"Aku udah gapapa, kok," ucap Star terlihat takut.
Rafael tersenyum. "Oke. Kalau kamu udah gapapa. Aku pulang, ya! Soalnya kelas drama udah selesai." Rafael beranjak dari kursi dan pergi meninggalkan ruang UKS.
Star pulang dengan menaiki taxi dan dia menveritakan apa yang terjadi disekolah tadi kepada Ibunya. Ibunya sangat khawatir dengan puterinya, di lain sisi Star juga terkena omelan ringan dari sang Ibu karena tidak mengucapkan terima kasih kepada Rafael yang telah menolongnya.
Star kembali masuk sekolah setelah dua hari tidak masuk. Dia duduk di samping Rafael dan melirik canggung. "Makasih, ya," ucap Star tanpa menatap ke arah Rafael.
"Buat apa?"
"Udah nolongin aku kemarin."
Rafael hanya mengangguk dan tersenyum tipis. "Masih takut? Masih beransumsi kalau aku, psikopat?"
Star menggigit bibirnya, ia ragu apakah Rafael benar seorang psikopat atau tidak.
Saat di kelas drama, Rafael mengajak Star ke pojok amfiteater. Rafael mengundang Star untuk makan malam di rumahnya. Hanya berdua dan Rafael ingin menunjukkan sesuatu kepada Star. Star mengiyakan ajakan Rafael, walaupun dalam hati gadis itu merasa takut.
"Star," panggil Yuni memberikan tumpukan rantang yang berisi makanan.
"Ini apa, Bu?" tanya Star bingung.
Yuni tersenyum. "Tolong kamu berikan ini kepada, Rafael. Bilang sama dia kalau ini bentuk rasa terima kasih Ibu, karena dia sudah menolong kamu saat kamu terjebak di gudang."
"Ih, Ibu mah ganggu aja deh. Aku kan lagi nonton tv, Bu. Lagipula besok Rafael ngundang aku buat makan malam dirumahnya," ucapnya dengan suara malas.
"Star Felicia!" tegur Yuni. "Ibu mau, kamu sekarang anterin makanan ini atau uang saku kamu ibu potong!"
Star langsung duduk tegap dan menoleh ke arah Ibunya. "Tega banget sih!"
"Tega gak tega. Kamunya gak nurut ucapan Ibu."
Star mengembuskan napas malas, dan berdiri mengambil rantang makanan dari tangan Yuni. "Aku pergi. Assalamualaikum."
"Waalaikumsalam." Yuni menyeringai puas.
Star memasuki halaman keluarga Rafael, dia mengetuk pintu dan mengucapkan salam. Seseorang membuka pintu tersebut dan membuat Star terlonjak kaget, mendapati Rafael dengan pisau daging dan apron yang berlumur darah.
Star melepas rantang tersebut dan menutup mulutnya yang menganga lebar. "Kamu?" Napas Star memburu cepat, dia mundur agar jarak dengan Rafael tidak terlalu dekat.
Saat berjalan mundur, kakinya menyandung batu yang cukup besar sehingga membuatnya jatuh dan tidak sadarkan diri. Rafael tidak diam saja melihat Star pingsan, ia menaruh pisau daging, melepaskan apron lalu membopong Star ke dalam.
Star berada di sebuah ruangan gelap, tempat yang ia tidak tahu di mana. Star berusaha mengembalikan fokusnya dan teringat bahwa tadi ia pingsan. Ketika sedang mencari jalan keluar, ia menemukan kotak hitam kotor, besar, dan menunggu untuk dibuka terletak di sudut ruangan. Ternyata kotak itu berisi sekumpulan foto lama dan orang yang ada difoto itu adalah Rafael dan beberapa orang lainnya, yang di yakini keluarganya.
"Kamu sudah sadar?" tanya Rafael dari balik pintu kemudian menyalakan lampu kamar.
Star kikuk saat melihat kedatangan Rafael. Dia kembali memasukkan foto-foto yang di pegangnya ke dalam kotak. "Jangan mendekat! Atau aku akan teriak," icapnya terdengar panik.
Rafael tersenyum tidak menghiraukan ucapan Star, dia masih terus melangkah mendekat dan duduk di pinggir kasur samping Star. "Jangan takut. Aku gak gigit, kok."
"Gimana gak takut. Pertama aku lihat kamu masukin karung besar berisi mayat. Terus yang kedua aku dengar, kamu mau motong-motong tubuh orang menjadi beberapa bagian dan yang ketiga aku lihat pakai mataku sendiri, di tangan kamu ada pisau yang untuk memotong daging tambah darah dimana-mana." Star mengembuskan napas berat.
Rafael terkekeh mendengar perkataan Star. Rafael akhirnya menceritakan semua termasuk kotak besar yang di temui Star secara detail. Setelah mendengar semua cerita Rafael, Star merasa lega karena selama ini dia salah sangka dan hanya mengambil kesimpulannya sendiri.
"Jadi karung itu isinya patung lilin? Terus kamu bekerja sambilan jadi pemotong daging?" tanya Star.
Rafael mengangguk. "Semenjak rumah aku kebakaran dan orang tuaku terjebak di dalamnya. Aku gak punya siapa-siapa lagi, selain Pedro dan keluarganya. Jadinya aku pindah kesini, meskipun rumah ini kelihatan tua, tapi aku merasa nyaman."
"Terus sebenarnya ini rumah siapa? Soalnya aku gak pernah liat ada orang lain yang tinggal di sini."
"Rumah Kakek dan Nenek aku. Mereka pengrajin patung lilin. Mereka meninggal udah lama banget. Kira-kira saat aku berumur 4 tahun."
Star terharu mendengar cerita Rafael. Dia sudah tidak takut lagi dengan cowok yang ada di sampingnya. Dia berjanji kepada dirinya sendiri dan Rafael kalau Star akan membantunya membereskan rumah yang di tinggali Rafael dan juga akan menjadi sahabatnya, agar Rafael tidak merasa kesepian.
Semenjak itu Star dan Rafael menjadi dekat. Hari-hari pun ia lewati bersama, bahkan Star sering membantu Rafael saat Rafael sedang mendapatkan orderan memotong daging.
Pertunjukkan teater yang diadakan SMA Taruna telah di mulai. Star, Rafael dan teman lainnya bersiap di belakang amfiteater menunggu kelompok mereka di panggil.
Star merasa gugup. Ia menggigiti ujung kukunya dengan raut cemas, ia takut aktingnya jelek dan Ibunya akan kecewa melihat aktingnya. Rafael yang memperhatikan kepanikan Star, meraih tangan dan melepaskan jari yang sedang ia gigiti. "Aku percaya kita bisa berakting sempurna sore ini. Jadi jangan khawatir ataupun cemas."
Genggaman tangan Rafael semakin erat, membuat Star menatap dalam ke arahnya. "Kamu yakin kalau aku bisa?" tanya Star.
Rafael memberikan senyuman hangat ke arah Star. "Yakin. Karena kamu adalah Star Felicia. Bintang yang mampu mengubah zat menjadi sumber tenaga. Kamu adalah sumber tenaga aku, kamu mampu masuk dan menyinari kehidupan aku yang hampa dan gelap." Star tersenyum kaku, barangkali ini ada seorang cowok yang memujinya.
"Kelompok Star," panggilan dari pembawa acara menyelamatkan Star dari keterhanyutannya terhadap Rafael.
"Kita berikan yang terbaik untuk mereka," ucap Star beralih mengepal tangan Rafael.
Raefel mengembangkan senyumnya. "Oke."
Mereka naik ke atas amfiteater dengan berpegangan tangan, setelah itu membuat ke posisi yang akan di perankan masing-masing. Mereka benar-benar seperti aktor yang profesional, akting mereka seperti tidak di buat-buta dan para penonton yang menyaksikan kedua sejoli itu di buatnya terpanah.
Hingga pasa akhir cerita yang seharusmya Rafael mencium bibir Star, mengalihkannya dengan kecupan di dahi. "Belum saatnya aku mencium bibir kamu, karena kita masih SMA. Aku takut kamu nafsu sama aku."
Star tersenyum malu dan mencubit pinggang Rafael. "Iiih, apaan sih."
Rafael meringis sambil terkekeh lalu menarik lengan Star mendekat dan memeluknya.
Meskipun mereka melenceng dari naskah yang di buat Pedro, Pedro tidak masalah saat melihatnya. Bahkan menurutnya akting terakhir mereka lebih bagus daripada naskah asli yang di buat Pedro.
***END OF WHO ARE YOU***
K O L O M N U T R I S I
1. Apa kamu pernah punya pengalaman berprasangka buruk pada seseorang tapi ternyata dia baik? Coba ceritakan, dong?
2. Apa kamu pernah main drama? Ceritakan pengalamanmu yang paling menarik saat main drama (judulnya, perannya, lawan mainnya, penonton, dll)!
3. Apa pendapatmu terhadap cerita Who Are You?
***
Terima kasih kepada seluruh partisipan yang sudah menulis cerita dengan KARAKTER STAR (batas submit hari Rabu, 20 Maret 2019, pk 13.13 WIB). Cerita terbaik akan ditayangkan di work ini paling lambat akhir Maret 2019.
***
Mari terapkan budaya baca cermat, memberi masukan dengan santun juga bijak, serta menghargai keberagaman dalam berkarya dan perbedaan pendapat, seperti yang terdapat dalam aturan dasar RAWS Community. Be wise.
***
Sudahkah kamu vote cerita dan follow penulisnya?
Scroll/Swipe untuk membaca bab selanjutnya dari antologi cerpen Once Upon A Time in STARRAWS
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro