STARRAWS YOU | The Wolf's Partner by Multa022_
| A Werewolf-Action Story |
"Penulis yang sedang berusaha nggak gantungin pembaca di tengah jalan. Suka nikmatin pethricore, nonton film genre fantasi-aksi, dan maniak makanan pedas." - The Rising Star, Multa022_
***
Sebuah kotak hitam, besar, kotor di pojok ruangan itu menarik perhatianku untuk membukanya. Sejenak, kulupakan bahwa aku harus keluar dari ruangan gelap ini.
Aku meneliti, mengendus, dan memutari kotak hitam besar itu. Bau bahan kimia tercium amat pekat dari dalam sana. Tidak ingin lama-lama penasaran, kubongkar kotak kayu itu dengan paksa hingga bagian pintunya terlepas dari kerangka.
Aku mengernyit heran.
Sebuah peti mati? Untuk apa Fraksi Lofoten menyimpan, bahkan mengawetkan seorang mayat?
Bukan apa-apa, hanya saja Fraksi Lofoten terkenal dengan kekejamannya terhadap semua orang—bahkan pada kaumku—yang jika mati dalam pertarungan, mayatnya akan dibakar begitu saja tanpa rasa iba.
Aku menyeringai. Terbesit pemikiran licik bersarang di otakku ....
Tn. Grecky pasti senang jika aku membawakan sesuatu yang bisa membantu menghancurkan Fraksi Lofoten, dengan cara yang sedikit lebih halus, bahkan lebih efektif dari gerakan spionase.
Kubuka peti itu pelan hingga terlihat seorang mayat perempuan yang masih cukup terawat di dalam sana. Mayat itu bersidekap dengan wajah tertutup kain putih transparan. Kupandangi wajah oval-nya yang samar-samar terlihat dari sini. Jika dikira-kira, usia mayat itu mungkin masih sekitar 40-an, seumuran dengan Ny. Beatrice—seorang psikolog di fraksiku.
"STAR!"
Teriakan dari luar membuatku terlonjak kaget. Hampir saja aku menendang peti mati di depanku ini karena kukira yang meneriakkan namaku adalah mayat perempuan yang ada di dalam peti.
Aku kembali berdiri, melihat atap yang sudah tidak berupa bentuknya dan tembok yang kini sudah berbentuk jendela abstrak sebab ledakan bom yang sengaja aku lemparkan tadi. Yah, tidak buruk. Aku bisa dengan mudah keluar dari celah-celah reruntuhan bangunan itu.
Aku melompat ke salah satu sisi tembok, membogemnya beberapa kali hingga hancur membentuk sebuah pintu dan segera melompat keluar dari dalam sana.
"STAR!"
Aku mendesis mendengar teriakan Aurora untuk yang kedua kalinya. Asap hitam dan tebal masih menyelimuti lingkungan tribun, membuat penglihatanku tidak jelas dan susah menemukan Aurora yang entah sedang berada dimana.
Aku melompat ke bangunan yang lebih tinggi agar penglihatanku bisa segera menemukan keberadaan rekan kerjaku itu. Manik mataku masih terus mencari Aurora di setiap jengkal bangunan, sampai akhirnya penglihatanku berhasil menangkap Aurora di bawah sana. Gadis mungil berpakaian seragam sekolah lengkap itu sedang berlari dengan membawa tas kecil di punggung dan pedang yang panjangnya setengah dari tinggi tubuhnya.
Baiklah, gadis sosiopat itu memang sudah kehilangan akal sehat!
Aku melompat menghampiri Aurora yang berjarak 100 meter dari tempatku. Melihatku yang tiba-tiba menghalangi langkahnya, membuatnya hampir menghunuskan pedang yang dia bawa ke arahku.
Aurora melenguh dan menurunkan pedangnya. "Cepat keluar dari sini! Musuh ada di belakang!"
Tanpa banyak berpikir, aku merubah wujudku menjadi serigala seutuhnya agar Aurora bisa naik ke punggungku dan lebih cepat keluar dari sini.
"Ayo, naik!" perintahku ke Aurora saat dia masih memandang ke dalam lorong dengan wajah ragu.
"Uncle Edmund ...." Aurora menggumam.
"Jangan pikirkan dia! Dia bukan bodyguard-mu lagi!"
Aurora masih pada posisi. Sial! dia tidak mendengarkanku. Aku mulai was-was sebab di tikungan lorong, musuh sudah mulai terlihat berlari mengejar kami.
"Tidak ada waktu lagi!" Aku menggigit tas kecil yang dibawa Aurora di punggungnya, membuatnya mau tidak mau ikut terseret sesuai tarikanku, "pegangan, Ra!"
Aku berlari dan menggonggong keras-keras sebagai aba-aba agar para manusia serigala lain yang awalnya menjadi tawanan Fraksi Lofoten bisa keluar membebaskan diri. Para manusia serigala mulai berhamburan dari lantai bawah dengan jumlah yang banyak hingga sanggup memenuhi lapangan Garena.
"Tutup gerbangnya!" teriak seorang dari Fraksi Lofoten kepada para penjaga gerbang. Namun sayang, mereka telat. Kaumku sudah terlebih dahulu sampai di sana dan mendobrak gerbang itu secara brutal. Tatapan mereka bengis, seolah-olah menjamin bahwa gerbang milik Fraksi Lofoten itu tidak akan bisa tertutup lagi untuk kembali menyekap mereka dan menjadikan mereka sebagai petarung ilegal.
Purnama sudah menyambut kami dari luar markas Fraksi Lofoten. Kami semua berpencar. Aku masih terus berlari sampai ke ujung hutan, di mana ada sungai kecil di sana untuk aku dan Aurora membersihkan diri dan menunggu Fraksi Luciore—fraksi kami menjemput. Aku menurunkan Aurora saat kami sudah sampai di tepi sungai yang airnya mengalir deras. Di sini penerangannya cukup untuk Fraksi Luciore lebih mudah menemukan kami— ada purnama yang bersinar terang dan beberapa kunang-kunang yang berterbangan di sekitar.
Aku menatap Aurora tak habis pikir. Dia masih bersikukuh dengan pedang di tangannya yang kuyakin sangat berat dibawa seukuran manusia dengan tinggi 158 cm itu—maksudku, itu terlalu besar untuknya, atau ... apalah kalimat yang pas menggambarkan kondisinya saat ini. Walaupun begitu, aku yakin dia berhasil menghabisi musuh sebab noda darah di seragam sekolahnya cukup menggambarkan aksi nekatnya tadi.
"Bodoh! Bagaimana kalau kau celaka karena memainkan pedang itu, Ra?!" Aku mulai mengomeli gadis berambut hitam sebahu itu. Tentu saja aku khawatir terjadi apa-apa padanya. Mengingat aku yang sempat pingsan di ruangan gelap tadi ... kuakui aku memang tidak becus menjaganya.
"Kamu bahkan belum pernah belajar menggunakan pedang sebelu—akh!" Aku memekik saat Aurora melemparkan tas kecilnya yang tepat mengenai perutku.
"Berubah jadi manusia dan pakai baju! Aku gak paham kalau kau pakai bahasa serigala yang cuman bisa menggonggong gak jelas," ucapnya ketus khas Aurora.
Oh, jadi itu yang membuatnya diam saja dan tidak menyahuti perkataanku dari tadi?
Kadang aku heran, kenapa hanya di depan Aurora saja aku bisa terkesan sebagai manusia serigala yang bodoh?
Aku menggigit tas kecil yang dilemparkan Aurora dan membawanya ke balik semak-semak untuk memakai pakaian di sana. Kulihat Aurora berjalan pelan ke tepi sungai dan menghunuskan pedangnya ke tanah. Dia membersihkan noda darah di tubuhnya menggunakan air di sungai kecil itu. Aku masih bisa memantau pergerakannya dari sini.
"Kau dari mana saja? Kau mau aku mati gara-gara ngebiarin aku ngehabisin sisa musuh sendiri?!" tanya Aurora sembari membasuh pelan noda darah di pipinya.
"Aku sempat pingsan tadi. Terpental. Kena bom yang tadi aku lempar di sudut tribun," jawabku agak telat beberapa detik karena harus berubah jadi manusia kembali. Merepotkan!
"Kau ... ceroboh lagi? Tn. Grecky pasti marah kalau tahu hal ini."
"Nggak kalau kau tidak mengatakannya. Bukan sepenuhnya salahku, Ra. Tn. Grecky juga tidak memberitahuku seberapa jarak bom itu sanggup menghancurkan benda yang ada di sekitarnya."
"Tch! Alasan! Kupikir, kau gak bakalan lupa pepatah yang bilang 'sedia payung sebelum hujan', 'kan, Star? Belum genap setahun masuk sekolah kau bisa menguasai semua mata pelajaran, jadi kebanggaan sekolah. Tapi, cara memasang bom begitu saja tidak becus?!"
Aku keluar dari semak-semak setelah selesai memakai pakaian dan menghampiri Aurora yang entah sejak kapan sudah duduk dengan tenang di sebongkah kayu besar di pinggir sungai. Aku duduk di sampingnya. Aurora menatap lurus, aku pun juga mengikuti arah pandangnya yang sedang menatap sebuah tembok besar. Sebuah tembok yang menjulang tinggi seolah-olah menembus langit. Tembok itu berdiri kokoh jauh dari tempat kami, namun masih bisa terlihat dengan jelas dari sini. Tembok itu adalah penyekat dunia fraksi tempat di mana mahluk semacam aku bersembunyi dengan dunia manusia biasa, tempat dimana hiruk-pikuk khas ibu kota tersedia dan tempat dimana Aurora tinggal sebelum aku ditugaskan Tn. Grecky untuk membujuk Aurora agar dia berhenti membiayai gengster ibukota yang diketuai Edmund—bodyguard Aurora. Tak lupa, Tn. Grecky juga menugaskanku untuk mengajak Aurora agar mau bergabung dengan Fraksi Luciore waktu itu.
Soal uang yang diberikan Aurora, kabarnya uang dengan jumlah yang tidak sedikit itu akan ditransfer oleh Edmund kepada pemimpin Fraksi Lofoten, kemudian uang itu digunakan sebagai pendorong kegiatan Garena—sebuah ajang taruhan para konglomerat dengan mempergunakan manusia serigala sebagai barangnya. Dan dalam setengah tahun, akhirnya aku berhasil membujuk anak yang berasal dari ibu kota ini supaya berhenti memberikan uang kepada Edmund, dan kegiatan Garena itu tidak akan berjalan mulus lagi.
"Maaf soal itu. Ada hal penting yang mau aku tanyain ke kamu," ucapku.
"Hm?"
"Soal Fraksi Lofoten. Mayat perempuan yang ada di Basement bagian selatan itu mayat siapa? Kenapa Fraksi Lofoten mengawetkan mayat?"
Aurora menatapku, membuang muka, lalu mengangkat pundak sekilas. "Gak tahu."
"Ck, lupakan! Kamu tau apa soal itu."
"Ya, terserah, sih."
"Eh, ngomong-ngomong kau manusia pertama yang lihat aku berubah jadi serigala tadi. Apa kesanmu? Keren gak?" tanyaku sambil nyengir, menampilkan kedua gigi taringku.
Aurora menoleh dan melihat ke arahku sebentar, lalu kembali memandang air sungai yang mengalir. "Tak! Rambutmu ikal berwarna merah. Kau lebih mirip musang," jawabnya dengan wajah tanpa dosa.
Aku menghela napas. "Bisa gak ngulek sambel pada tempatnya?" sindirku.
"Tidak. Sambel bikinanku tanpa micin. Tidak akan membuatmu jadi tambah bodoh. Malah bikin tambah pintar. Jadi, tenang saja."
"Kau memanggilku bodoh?"
"Aku sedang mengataimu, bukan sedang memanggilmu."
"Sama saja!"
"Aku tidak sepenuhnya salah. Mana ada manusia serigala yang suka pake kacamata tanpa lensa kalau lagi gak ada tugas dinas kayak kamu? Dasar aneh!"
"Mana ada gengster tubuhnya kecil, boncel, kerdil, kuntet kayak kamu?!" balasku tak kalah pedas. Aurora berdiri dari duduk dan menendang kakiku dengan kasar, membuatku berteriak kesakitan.
"Mana ada manusia serigala takut sama ruangan sempit?!"
"Mana ada cewek takut sama cermin?!"
"Mana ada manusia serigala tengil kayak kamu?!"
Detik-detik berikutnya, aku dan Aurora masih terus bertengkar, seolah-olah memanfaatkan waktu ini semaksimal mungkin. Sebab, jika sedang di markas, pasti akan ada Ny. Beatrice di sana. Jika aku mengatai Aurora dengan sebutan kecil, boncel, kerdil, atau kuntet di depan Ny. Beatrice, dia akan sangat marah karena dalam kamus pendidikannya hal itu termasuk body shaming dan hal itu tidak baik dilakukan karena bisa menurunkan kepercayaan diri seseorang.
Mengingat juga, Aurora adalah pasien dari Ny. Beatrice—yang didiagnosa beresiko tumbuh menjadi gadis sosiopat kedepannya. Hal itu masih hipotesa, sebab Aurora masih berumur 17 tahun, sedangkan seseorang bisa dikatakan benar-benar mempunyai kelainan sosiopat saat dia berumur 18 tahun ditinjau dari tindak kriminal yang pernah dia lakukan. Sebenarnya juga Aurora masih dalam proses penyembuhan, namun dalam kasus ini mau tidak mau harus melibatkan Aurora di dalamnya.
10 menit kemudian, pertengkaran kami mereda. Aku dan Aurora kembali duduk. Kulihat, bibir Aurora masih mengerucut karena sebal. Padahal, dia sendiri yang menyebalkan!
Sempat hening beberapa saat. Aurora kembali membuka pembicaraan, "Star, kamu masih ingat pendapatnya J.J. Rosseau di pelajaran sosiologi, yang di ajarkan Mrs. Carroll bab konflik tidak?"
Aku mengangguk. "Ingat. Pada dasarnya manusia itu polos, mencintai diri sendiri secara spontan, serta tidak egois. Peradaban serta kebudayaanlah yang menjadikan manusia kehilangan sifat aslinya. Manusia menjadi kasar dan kejam terhadap orang lain. Dengan kata lain, kekerasan yang dilakukan bukan merupakan sifat murni manusia. Yang itu, 'kan?"
"Apa kau setuju dengan pendapat itu?"
"Yah ... bisa jadi iya."
"Star, aku boleh cerita tidak?"
Aku menatap Aurora yang ternyata juga sedang menatapku, "Curhat maksudmu?"
"Iya ...."
"Boleh. Ny. Beatrice kan memang menyuruhmu untuk tidak menyimpan masalahmu sendirian."
"Oke. Mulai ya." Kulihat Aurora menghela napas berat. Sepertinya dia memang tidak pernah menceritakan masalahnya dengan orang lain sebelumnya.
"Iya ... aku bantu hitung, deh. Satu ... dua ... tiga! Aku siap mendengarkan."
"Huft. Oke. Dulu, awalnya aku berontak sama keadaan dan jadi keterusan sampai sekarang, Star. Ayah dan Bundaku masih ada. Tapi ... terakhir kali aku lihat mereka saat kematian eyang dulu waktu aku kecil. Setelah itu aku cuman bisa lihat mereka lewat vidio call dan itu pun jarang. Kak Jansen dan Kak Liora, awalnya kami tinggal satu rumah. Semakin mereka tumbuh dewasa, satu persatu dari mereka menyusul Ayah dan Bunda ke luar negeri mengurus bisnis keluarga. Dari situ ... aku sadar bahwa aku akan hidup seperti kedua kakakku yang mau gak mau akhirnya nanti cuman jadi aset penerus bisnis keluarga. Tanpa pernah dirawat sebagai anak di waktu kecil."
Aku mengangguk. "Oke, lanjut."
"Waktu mendengar aku yang semakin berontak di sekolah, Kak Jansen memberiku seorang bodyguard yang suatu hari menculikku demi uang. Aku tertawa keras-keras waktu itu, sebab ia percuma menculikku, tidak ada yang peduli! Iya, aku tau ini seperti kisah di film-film, tapi begitulah kenyataannya.
"Akhirnya aku memberikan Bodyguard-ku itu sebuah kesepakatan. Melepaskanku, memberikannya banyak uang dari transfer-an orang tuaku setiap bulannya, dan dia harus mengizinkanku untuk bergabung ke dalam geng-nya. Uncle Edmund—bodyguardku itulah yang merawatku selama ini.
"Aku berkumpul dengan mereka—para gengster, preman, dan wanita malam yang lebih peduli padaku daripada ibuku sendiri, mungkin ...."
Aurora bercerita dengan wajahnya yang tetap datar menatap aliran sungai, tawanya pun terdengar sumbang. Sedangkan aku, sudah terenyuh masuk ke dalam ceritanya.
"Bahkan, dulu waktu kecil, aku kira penyebab orang tuaku tidak pernah mau bertemu denganku sebab aku punya kutukan. Yah, aku termakan dongeng Beauty and The Beast yang sering dibacakan Eyangku sebelum tidur." Setelah bercerita, Aurora menatapku dan tersenyum simpul.
Klap klap klap
Suara tepuk tangan itu membuatku berdiri dan menoleh ke belakang. Sebuah bayangan seorang pria dengan topi fedora berdiri tegak di depanku dan Aurora.
"Kau menjalankan tugas dengan baik tuan putri ... senang bekerja sama denganmu," ucap pria itu.
"Lari, Ra!" Aku mendorong-dorong tubuh Aurora agar dia bisa lari dari sini karena suasananya mulai tidak nyaman. Di luar dugaan, Aurora berjalan pelan menghampiri pria itu—dan di belakang pria itu ada Edmund yang segera mendekap tubuh Aurora saat Aurora sudah sampai di dekatnya.
"Aurora lari-aakh!" Sebuah tali tambang mengikat leherku dan menariknya, membuatku tercekik. Saat aku ingin berubah menjadi serigala untuk mengumpulkan kekuatan, tangan dan kakiku kembali terikat.
Pria itu berangsut menghampiriku. Dia menyeringai, mengangkat tangannya, dan melambai—memperlihatkan ibu jari, jari telunjuk, dan jari tengahnya yang menggunakan jari palsu berwarna hitam, senada dengan jaket kulit yang dipakainya.
"Hello, Benedict Amstar. Nice to meet you again."
Oh, aku ingat siapa dia. Dialah yang membawa ibuku pergi waktu aku kecil. Dan akulah yang membuat ketiga jarinya putus.
"Ketua Fraksi Lofoten," gumamku.
"Hoho, kau ingat denganku rupanya." Dia menoleh ke kanan dan ke kiri, seperti mencari sesuatu, "siapapun, tolong pasangkan chocker ke leher keturunan Benedict ini!" titahnya kepada suruhannya. Aku meronta saat ingin dipasangkan kalung berkekuatan tegangan listrik tinggi itu. Aku menatap Aurora yang sedang berada di rangkulan Edmund.
"Hei, tuan putri. Kau mau ingin aku apakan peliharaanmu ini?" tanya Pria itu.
Aurora menatapku, "Maaf, Star. Tapi dunia ini memang penuh dengan drama. Akan sangat rugi kalau sampai aku tidak menampilkan drama terbaikku di depanmu," ucap Aurora jauh dari dugaanku sebelumnya. Seharusnya aku mendengarkan Ny. Beatrice yang berpesan padaku untuk tidak terlalu mempercayai Aurora. Bagaimanapun, gadis itu sudah didiagnosa mengidap kelainan sosiopat. Ny. Beatrice benar, gadis itu adalah seseorang yang sangat manipulatif.
"Aku ingin dia bertanding untukku, Tuan. Berikan dia pemacu dan pertandingan dia sampai tewas," lanjut Aurora.
Setelah Aurora mengatakan itu, listrik bertegangan tinggi merasuk ke dalam tubuhku hingga membuatku tidak sadarkan diri. Pada saat aku membuka mata dan rasa sakit dari sengatan listrik itu mereda, aku menyaksikan keanehan lain. Rasa sakit yang sebelumnya menghilang, berganti dengan rasa sakit yang lain. Aku melihat Aurora terkapar di depanku dengan lehernya bersimbah darah.
Aku mulai mengenali keadaan. Edmund ada di tribun penonton, wajahnya kusut dan menyedihkan. Ketua Fraksi Lofoten tersenyum puas, sedangkan sisanya menyorakiku. Aku melihat ke seluruh tubuhku, tanpa pakaian, dan berlumuran darah.
Sebentar ....
Aku dan Aurora sedang dipertandingkan di dalam Garena!
Aku menepuk-nepuk pipi Aurora berharap dia sadar, "Ra, bangun Ra! Aurora! Bangun! Kumohon! Hei! Astaga, Ra!"
"Tidak apa-apa. Aku senang punya Kakak lagi ... semoga kematianku adalah pilihan yang benar. Aku ingin ber-buat baik sa-tu ka-li sa-ja, Star ...." ucap Aurora terbata-bata seperti menahan sakit.
Aurora terkulai di depanku dan sudah tidak bernapas lagi. "Astaga! Aku membunuhnya. AURORA BANGUN! PICIK! KALIAN SEMUA PICIK! SIAPA YANG SEBENARNYA BINATANG DI SINI, HAH?! AAARGHHH!"
Aku memeluk Aurora, menggoyang- goyangkan tubuhnya namun Aurora tak kunjung bangun, "Rora ... kumohon bangunlah ...."
Kenyataannya ... apa yang aku lakukan hanya sia-sia.
Saturday hari kemudian Aurora dimakamkan, dengan waktu yang bersamaan dengan mayat perempuan yang kutemukan kemarin di Basement Fraksi Lofoten. Dan yang lebih mengagetkanku, mayat perempuan itu adalah Ibu kandungku yang selama ini kucari.
Tn. Grecky bilang bahwa aku tidak boleh merasa aku yang membunuh Aurora. Karena Aurora bilang itu bukan pembunuhan atau pun dia yang bunuh diri. Katanya dia hanya ingin berkorban untukku agar mayat ibuku kembali padaku dengan cara dibayar dengan nyawanya. Urusan lain yang berhubungan dengan kejadian itu aku juga dilarang untuk ikut campur karena itu urusan pimpinan fraksi.
Aku berdiri di samping Ny. Beatrice yang sedang melihat kedua orang tua dan kedua kakak Aurora yang sedang menangisi kepergian anggota keluarganya yang paling muda itu. Ny. Beatrice yang lebih tahu tangis mereka itu palsu atau tidak, sebab beliau adalah seorang pakar mikro ekspresi. Di samping itu, yang kuketahui tentang Aurora saat ini hanya satu: keinginan Aurora sudah terwujud, seluruh keluarganya berkumpul dan berada di dekatnya.
"Star! Ke mobil sekarang!" titah Tn. Grecky dari jauh.
"Baiklah, Tuan." Aku menghampiri Tn. Grecky yang sudah di dalam mobil hitamnya dan meninggalkan Ny. Beatrice yang masih memandang keluarga Aurora dengan tangan bersidekap.
"Ada apa, Tuan?" tanyaku saat sudah duduk di jok belakang mobil Tn. Grecky.
"Ada surat dari rekan kerja sosiopatmu, Star." Aku menerima surat berwarna putih yang diberikan Tn. Grecky itu. "Bukalah!" lanjut Tn. Grecky.
Aku membuka amplop putih itu dan melihat isi surat yang ditulis Aurora untukku.
Hallo, Star.
Apa kabar? Kuharap, kau baik-baik saja. Kuharap juga Tn. Grecky sudah menyampaikan semua kebenarannya padamu. Jangan sedih atau merasa bersalah atas kematianku. Aku memang sudah merencanakan semua jauh sebelum kita menjalankan aksi di markas musuh.
Star, ini yang terbaik. Aku hanya tidak mau mengkhianati Fraksi Luciore ataupun Uncle Edmund. Dengan kematianku, aku tidak akan dipergunakan lagi untuk membiayai kepentingan mereka. Ketahuilah, aku ini pembunuh. Hatiku mati rasa. Ny. Beatrice benar, aku memang Sosiopat karena tidak bisa merasakan belas kasihan apapun saat menyakiti orang lain. Akan ada saatnya nanti aku ditolak oleh keluarga ataupun manusia-manusia normal lain karena kelainanku ini. Kejadian Garena itu, anggaplah aku sedang berkorban untukmu. Aku ingin Ibumu kembali karena perjanjian dengan Fraksi Lofoten, mayat harus dibayar dengan mayat. Terimakasih waktu itu sudah berbagi pesan dari Ibumu padaku ....
"Jadilah bintang yang tidak hanya menyinari diri sendiri, namun juga menyinari orang lain yang ada disekitarmu."
Kamu berhasil, Star! Hidupku jadi lebih berwarna saat pertama kali kamu jadi pengacau hari-hariku di sekolah ataupun menjemputku dengan berani di markas geng Uncle Edmund. Tugasmu belum selesai. Lanjutkan hidupmu, lanjutkan pesan dari Ibumu itu!
-Aurora Mezzaluna Mayuri
***END OF THE WOLF's PARTNER***
K O L O M N U T R I S I
1. Apakah kamu percaya werewolf?
2. Menurut kamu werewolf dalam bayanganmu itu punya rupa seperti apa?
3. Apa pendapatmu terhadap cerita The Wolf's Partner?
***
Mari terapkan budaya baca cermat, memberi masukan dengan santun juga bijak, serta menghargai keberagaman dalam berkarya dan perbedaan pendapat, seperti yang terdapat dalam aturan dasar RAWS Community. Be wise.
***
Sudahkah kamu vote cerita dan follow penulisnya?
Scroll/Swipe untuk membaca bab selanjutnya dari antologi cerpen Once Upon A Time in STARRAWS
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro