STARRAWS YOU | Radio dan Sepotong Ubi by LangitRenjani
| A Historical fiction story |
"Pecandu malam yang sering tersandung diksi lalu jatuh ke lubang logika. Menulis untuk menjawab pertanyaan gadis kecilnya, 'Ibuk mau jadi apa kalo sudah besar?'." - Mother of The Stars, LangitRenjani
***
"Sersan Star Paterson!"
"Sir!" Star menegakkan tubuhnya ketika Letnan William Bigford mendekat.
"Star, bagaimana kondisimu?"
Star tersenyum kaku, merasa pertanyaan atasannya itu lebih sebagai basa basi yang tidak memerlukan jawaban.
"Tentang penolakanmu melawan gerilyawan dan permintaanmu untuk dipindahkan...." Letnan Bigford membiarkan ucapannya menggantung.
Star menahan napas, rasanya mustahil jika permintaannya dikabulkan begitu saja, tapi siapa tahu, kadang-kadang harapan bisa jadi kenyataan.
"Kita semua prajurit, Star! Kita menjalankan apa yang sudah diperintahkan oleh Komandan Tertinggi, paham?" pertanyaan Letnan Bigford lebih sebagai perintah.
Harapannya kandas, Star tersenyum kecut, "Yes, Sir!"
Letnan Bigford mengangguk-angguk puas, menganggap Star setuju pada ucapannya.
"Tapi, Sir, di sini kita adalah prajurit yang memerangi penduduk sipil bersenjatakan bambu."
"Sersan, jangan lupa bahwa mereka meruncingi ujung bambu, mengolesinya dengan tahi kuda dan menjadikannya senjata biologis dengan virus tetanus!"
"For God's sake, Letnan! Mereka menubrukkan diri ke tank-tank kita! Itu menghantuiku! Kita pernah berjuang merebut kebebasan kita dari Nazi. Kenapa sekarang kita menjadi Nazi bagi mereka?"
"Cukup, Sersan!"
"Seharusnya kita langsung kembali ke Inggris dan membiarkan Belanda menyelesaikan sendiri urusan di tanah koloninya. Adalah konyol untuk ambil bagian dalam pertempuran yang bukan bagian dari tugas kita. Bukankah tugas kita hanya melucuti Jepang?"
"CUKUP, SERSAN!"
Letnan Bigford berusaha keras menahan amarahnya lalu melanjutkan, "Tugasmu berikutnya adalah menyusup ke daerah gerilyawan untuk melumpuhkan pemancar radio para pemberontak."
"Sir, stasiun radio itu kemungkinan besar hanya dikelola oleh rakyat sipil."
"Ingat, Star! Di masa perang yang kacau seperti ini radio adalah alat berbahaya yang patut diperhitungkan. Jika berada pihak kita, radio bisa menjadi alat komunikasi yang bermanfaat. Tapi di tangan musuh, pemegang siaran radio bisa mempengaruhi opini siapa pun, mulai dari para pemimpin negara sampai rakyat jelata."
"Sir..."
"Hitler memenangkan perang bukan semata-mata karena kekuatan militer tapi juga karena kekuatan propagandanya. Kita pun harus menghentikan omong kosong tentang republik yang mereka siarkan di radio sebelum mereka menghasut lebih banyak pemuda bumiputera melemparkan diri ke depan tank dengan badan terbalut dinamit!"
"Sir..."
"Tugas ini mungkin bisa jadi pertimbanganku untuk meluluskan permintaan pindah tugasmu, Star! Good luck, Sersan!"
Letnan Bigford beranjak tanpa memberi ruang bicara lagi pada Star.
Jika permintaanku untuk tidak menodongkan senjata pada para pejuang kemerdekaan ditolak, maka mungkin satu-satunya jalan adalah....
Star tercenung memikirkan skenario terburuk dari sebuah operasi militer di area yang gerilya.
Menjalankan operasi militer di area yang dikuasai gerilyawan sama saja bunuh diri, Star mengerti hal itu. Dan seperti yang dikhawatirkan oleh Star di awal, dia dan ketiga rekannya disergap oleh serombongan orang bersenjata tajam. Kalah dengan jumlah penyerangnya, Star mencoba bertahan namun terpaksa menyerah ketika sebuah pukulan menghantam kepalanya.
Berada di sebuah tempat yang dia tidak tahu di mana, Star berusaha mengembalikan fokusnya. Dia tergeletak di sebuah tempat yang sepi cahaya meski pendar-pendar cahaya menerobos melalui dinding. Samar-samar Star ingat bahwa tadi ia pingsan. Pelan-pelan Star berusaha mengingat lebih banyak....
Hari ini kami telah gegabah mengambil resiko besar demi menghancurkan pemancar radio pemberontak yang diduga berada tiga kilometer di luar kota Surabaya.
Star merasa sekujur tubuhnya dihinggapi rasa nyeri yang teramat sangat, kepalanya berdenyut-denyut. Digerakkannya tangannya. Lalu kakinya. Kemudian ia perlahan-lahan berdiri.
Bagus, kaki dan tanganku bisa berfungsi. Kuatkan dirimu, Star! Ini bukan jebakan parit seperti yang kau alami saat bertempur melawan pasukan Jepang di hutan belantara Burma.
Star menarik napas panjang dan memilih berkonsentrasi untuk menghilangkan ingatannya terperangkap dalam parit sempit berbau anyir selama berhari-hari. Ketika Star menyeka kening, tersentuh olehnya lapisan kain yang membalut kepala.
Mengapa mereka repot-repot membalut kepalaku? Lebih mudah membiarkan aku begitu saja karena toh tak akan ada yang berani menolong Anjing NICA yang tergeletak di jalanan.
Star memutuskan untuk memikirkan balutan di kepalanya lain kali. Saat ini ada yang lebih mendesak. Yaitu menemukan jalan keluar dan meninggalkan tempat ini. Ketika menyusuri dinding mencari jalan keluar, Star menemukan kotak hitam, kotor, besar, dan menunggu untuk dibuka terletak di sudut ruangan. Dibukanya kotak itu lalu dia terkesiap. TERNYATA DI SINILAH TEMPATNYA! Star nyaris gila karena kegirangan. Kotak itu berisi alat propaganda musuh yang sedang mereka cari-cari untuk dihancurkan. RADIO!
Jadi aku disergap, dipukuli, lalu disekap di markas pemancar radio pemberontak yang menjadi targetku! Ini benar-benar ironis sekaligus menggelikan!
Seluruh energi Star terpompa kembali. Tugasnya akan segera tuntas. Matanya menyisir segenap isi ruangan. Mencari apa pun yang bisa dipakai Star untuk lari dan menghancurkan peralatan radio dalam kotak itu.
Star mengernyit memandangi dinding yang ditempel poster besar bertuliskan 'Awas Anjing NICA!' Itu adalah poster yang paling sering dilihatnya di jalanan Surabaya. Star mengetahui arti ucapan itu dari seorang tentara Belanda yang ditemuinya di pelabuhan Tanjung Perak. Dari tentara Belanda itu, Star mempelajari bahasa setempat.
Tangan Star menjangkau sebuah meja. Di atasnya bertumpuk-tumpuk poster dengan kata-kata yang berasal dari pidato Jefferson, Washington, dan banyak lagi semboyan dari sejarah Amerika dan Inggris.
Orang-orang ini bukan bandit-bandit biasa. Mereka cerdas dan berpendidikan. Jika mereka memang ingin merdeka, lalu apa yang kulakukan bersama teman-teman Inggris-ku di sini?
Star mulai gelisah. Apa yang baru saja dia baca telah menguatkan keraguannya selama ini. Diangkatnya selembar kertas dengan tulisan besar-besar berbunyi 'The Voice of Free Indonesia'.
Mendadak Star mendengar deru napas tertahan di belakang punggungnya. Star tahu, dia harus segera berbalik dan melancarkan serangan kejutan. Namun ketika Star berbalik, dia membeku tak sanggup bergerak.
Matanya terpaku pada seraut wajah. Dan dari sekian wajah coklat bumiputera yang pernah melintas di depannya... wajah ini begitu... cantik?
Jeritan pelan terdengar dan Star nyaris terhempas ke lantai.
"ANGKAT TANGAN!"
Tanpa sadar Star meremas kertas di tangannya dengan gugup, dikoyakkannya buntalan kertas itu dengan giginya, dikunyah, lalu cepat-cepat ditelan. Perbuatan Star ini membuat penodongnya hilang akal dan memilih menurunkan senjata.
"Heh, Rambut Merah, kau ini kelaparan atau gila? Kenapa kau makan kertas itu? Arek iki edan, gak waras! Apa luka di kepalamu sudah bikin kamu jadi gila?" tanya si penodong.
"Mas Waluku, sudahlah! Lukanya parah, dia tidak berbahaya," terdengar sebuah suara lembut.
Inilah suara dengan wajah yang dilihat Star tadi. Jika kata 'beautiful' dilekatkan untuk segala yang cantik, maka kata itu akan kehilangan makna di hadapan gadis itu.
She's breathtakingly gorgeous!
Star belum pernah melihat dari dekat sosok seorang gadis dari negeri ini. Dilihat dari perawakannya yang mungil, gadis itu lebih mirip murid sekolah menengah dengan rambut ekor kudanya. Saat dia mendekat, hidung Star menghidu wangi minyak kelapa. Star menatap lekat wajah gadis penyelamatnya, terperangkap dalam manik hitamnya.
Astaga! Apa yang kupikirkan?
Star mengerjap berusaha mengembalikan fungsi otaknya ke arah yang benar. Oh, mungkin kertas propaganda yang dimakannya tadi mengandung sejenis racun tropis.
Gadis itu dan si penodong beradu lidah.
"Kenapa kamu tadi menolongnya?"
"Mas Waluku! Dia pingsan, luka parah di kepala, tergeletak di tengah jalan tanpa senjata! Mas Waluku juga tahu, dengan kondisi rakyat yang marah seperti saat ini tidak ada orang kulit putih yang bisa selamat jika berkeliaran di luar kota Surabaya. Kalau dia mati di jalanan, patroli NICA bakal menyisir tempat ini."
"Lalu apa maumu? Mau bawa Si Rambut Merah Pemakan Kertas ini ke persembunyian kita?"
"Kita bawa dia sampai pos NICA terdekat, lalu kita tinggalkan dia di sana."
Si penodong mendengkus. Star mencoba menerjemahkan perdebatan itu di dalam kepalanya.
Laki-laki itu ingin membunuhku. Sementara gadis itu melindungiku.
Si penodong nampak gusar. Dia mendekati Star lalu mengikat kedua tangan Star sebelum melangkah ke luar. Sementara itu, si gadis tenggelam dalam kesibukannya; memasukkan lebih banyak barang lagi ke dalam kotak-kotak. Diam-diam mata Star tak bisa lepas darinya.
Star menghitung jumlah cahaya yang masuk ke dalam rumah melalui lubang-lubang kecil di dinding. Sebentar lagi hari benar-benar gelap, Si Gadis menyalakan sebatang lilin. Selama itu Star hanya duduk sambil berusaha mengembalikan tenaganya. Dua orang yang dilihatnya ini tidak tampak melakukan sesuatu yang lain selain berjaga-jaga... dan berkemas?
Ah, itu sebabnya semua peralatan radio dimasukkan ke dalam kotak! Mereka berniat memindahkannya! Pasti mereka sudah tahu bahwa pemancar radionya menjadi sasaran operasi militer.
Entah pada pukul berapa si gadis mendekati Star dan menyodorkan segelas air.
Star meneguk air yang terasa paling manis seumur hidupnya. "Terima kasih."
Gadis itu terperanjat. Mungkin dia tidak mengira Star bisa berkata-kata dalam bahasanya.
"Nama aku Star. Nama kamu?"
Si Gadis melempar senyum canggung sebelum berkata, "Namaku Lintang."
"Dan itu kakakku, Waluku," sambung gadis tepat saat si penodong masuk. Waluku menatap tajam pada Star tapi tidak melakukan apa-apa selain menyerahkan sepotong besar ubi rebus pada adiknya.
Lintang meneruskan ubi pemberian kakaknya pada Star. "Kamu terluka. Dan kamu kelaparan sampai-sampai mau makan kertas."
Star tidak mungkin bisa mengatakan pada gadis manis itu bahwa kebiasaannya makan kertas saat panik adalah akibat pengalamannya tertangkap oleh tentara Jepang. Saat itu demi melindungi dokumen penting di kesatuannya, Star menelan bulat-bulat semua kertas yang dibawanya.
Sepotong ubi itu adalah satu-satunya makanan yang dibawa Waluku, pasti tidak mudah memperolehnya. Star meringis, menerima pemberian dari orang-orang yang menjadi target operasinya hanya akan menambah goresan rasa bersalah. Star membagi ubi itu menjadi tiga bagian, melahap satu bagian lalu menyerahkan kembali dua bagian yang lain pada Lintang. Pertama kalinya sejak Waluku menjumpai Star, bibir Waluku menyunggingkan senyum.
Lalu meluncurlah kisah pertemuan mereka dari mulut Lintang, "Kami menemukanmu pingsan di jalanan dengan luka menganga di kepala. Sepertinya pasukanmu diserang gerombolan perampok, Raja Lele, yang membunuhi orang berkulit putih tanpa pandang bulu."
"Aku berangkat bersama tiga kawan. Mereka...?" tanya Star.
Lintang dan Waluku mengangkat bahu.
Masing-masing terdiam dalam pikiran masing-masing sampai sesuatu mengusik benak Star, "Kalian yang membuat poster-poster itu? Kalian mengerti bahasa Inggris?"
Lintang tersenyum lebar, nampak jelas dia menahan geli saat menjawab, "Aku belajar bahasa Belanda dan Inggris dari Mas Waluku."
Waluku mendengkus keras, "Kalian orang kulit putih selalu memandang kulit cokelat itu bangsa yang bodoh, ya? Bodoh dan kotor!"
Star membantah, "Tidak! Menurutku tak mungkin kalian orang bodoh! Teknik perang kalian setara dengan Jepang dan kalian pasukan paling pemberani yang pernah kulihat. Selain itu menurutku kulit cokelat juga... well... gorgeous!" Perkataan terakhir Star diucapkannya sambil menerawang ke arah Lintang.
Waluku menyemburkan air yang diminumnya lalu terbatuk-batuk. Star menangkap semburat merah sebelum Lintang memalingkan wajahnya.
"Dik, mungkin luka di kepalanya itu membuatnya otaknya terganggu," bisik Waluku setengah tertawa pada Lintang dan langsung mendapat balasan pelototan mata.
Waluku melepaskan ikatan Star, menyodorinya rokok seraya berujar, "Kita masih harus menunggu lama. Lebih baik kita menunggu dengan tenang."
"Pertempuran ini seharusnya tak perlu terjadi bukan, Star? Apa kau tak ingin segera pulang? Ada yang menunggumu di Inggris?" Waluku menikmati rokoknya sambil melontarkan pertanyaan tanpa benar-benar menunggu jawaban.
Star menghisap rokoknya. "Hanya kuburan ayah ibuku yang menungguku. Aku pun merasa pertempuran ini bukan milik kami. Seharusnya kami...."
Star memilih tidak meneruskan kata-katanya, hanya menghembuskan asap rokoknya lalu melanjutkan, "Ada sesuatu di sini yang mirip dengan tempat asalku. Sarung kalian mengingatkanku pada kilt, kain tradisional Skotlandia bermotif garis-garis yang kami pakai dengan melilitkannya di pinggang."
Waluku tertawa. "Bukan main, ternyata ada orang Inggris yang suka pakai sarung seperti bumiputera."
Sekilas Star melihat senyum terulas di wajah Lintang yang membuatnya melupakan sejenak rasa sakit di kepalanya.
Tawa Waluku terhenti saat terdengar bunyi kendaraan mendekat. Waluku dan Lintang saling melempar senyum penuh kelegaan. Penantian mereka akhirnya usai sudah. Bergegas mereka menyiapkan kotak-kotak yang akan dipindahkan. Waluku keluar untuk menyambut para penjemput.
Namun sejurus kemudian, Waluku tergopoh-gopoh masuk. "Matikan lilin!"
Lintang mematikan lilin lalu berbisik takut-takut, "Ada apa?"
Waluku hanya menjawab pendek, "Patroli. Kita kabur lewat jalan belakang."
Lintang menggeleng-geleng menolak. "Kita tidak bisa meninggalkan peralatan radio ini!"
Waluku menggeleng tegas. "Kita harus pergi sekarang! Radio bisa kita ambil lain waktu!"
Lintang tetap bersikukuh, "Kita harus bawa radionya, Mas! Kita harus tetap mengudara!"
Waluku habis kesabaran dan hendak menyeret adiknya pergi.
"Kalian... apa percaya padaku?" Kedua kakak beradik itu terlonjak kaget, mereka melupakan Star karena panik. Waluku menggeleng. Lintang mengangguk dan Star tersenyum padanya. Waluku kembali menggeleng dan Star berkata, "Aku berhutang nyawa pada kalian. Aku akan membalasnya sekarang."
Lintang mengguncang lengan kakaknya, "Mas, aku percaya pada Star." Akhirnya Waluku menggangguk ragu.
Star tersenyum lembut. "Sebelumnya aku minta maaf, tapi..."
Tanpa menunggu ucapannya berakhir, Star merebut senjata dari tangan Waluku dan memukul Waluku dengan sepenuh tenaganya yang tersisa, "INI BALASAN UNTUK PUKULANMU!"
Waluku melolong murka, "DASAR ANJING NICA!"
Lintang menjerit-jerit ketakutan, tidak menyangka bahwa Star akan memukul kakaknya.
"SIAPA DI SANA?" Serombongan pasukan NICA mendobrak pintu, mengobrak-abrik dan mengepung. Star berdiri dengan tenang, mengarahkan pucuk senjata pada Waluku dan Lintang.
"SERSAN STAR PATERSON! Thanks God! Anda selamat!" seru Letnan Bigford.
"Letnan Bigford, Sir! Lapor, Sir! Kita berhasil mendapatkan radio pemberontak!" Star memberi laporan pada atasannya.
Letnan Bigford memandang sekeliling lalu memperhatikan prajuritnya yang penuh luka dengan balutan di kepala. "Selamat, Sersan! Misimu berhasil, good job! Bersiaplah pindah tugas sesuai harapanmu."
"Thank you, Sir! Minta izin membawa tawanan dan barang bukti radionya ke markas kita, Sir!"
Letnan Bigford mengangguk, "Benar, kau perlu perawatan. Lebih baik kau segera kembali sementara aku akan meneruskan patroli."
"Masukkan kotak-kotak besar itu ke dalam truk, lalu naikkan tawanan!" ujar Letnan Bigford memberi perintah pada pasukan patrolinya.
Kedua tawanan itu diikat tangannya lalu dinaikkan ke atas truk mini Dodge beratap kanvas, bersama dengan peralatan radio mereka. Waluku terus mengucapkan sumpah serapah sementara Lintang tak bisa berhenti terisak. Star bergegas naik ke belakang kemudi.
"Sersan!" kening Letnan Bigford berkerut, ketika Star menyalakan mesin truk.
Star mematikan mesin truknya, sedikit was-was, "Yes, Sir?"
"Kepalamu luka parah. Biar Kopral Smith yang pegang kemudi!"
"Yes, Sir!"
Truk berjalan pelan menuju kota Surabaya. Tentara Inggris telah menempatkan berbagai rintangan di jalanan menuju gerbang masuk kota. Setengah kilometer mendekati gerbang Surabaya, Star berkata dengan nada mendesak pada supir truknya, "Berhenti di sini, Kopral!"
"Ada apa, Sersan?" Kopral Smith menanyakan maksud Star.
Dengan tenang Star mengacungkan senjatanya, "Serahkan senjatamu, Kopral."
"Apa kau gila?"
"SEKARANG!"
Tergesa-gesa Kopral Smith melucuti senjatanya sendiri.
"Sekarang keluar dari truk, hitung hingga tiga puluh langkah lalu larilah menuju pos jaga terdekat, Kopral!"
"Apa yang...?"
"KOPRAL SMITH! Lakukan saja! Laporkan pada Letnan Bigford, dia akan paham."
Setelah nama Letnan Bigford disebut, Kopral Smith yakin bahwa tindakan ini pasti berhubungan dengan operasi militer rahasia. Maka dia mengikuti sesuai apa yang dikatakan Star, meninggalkan dua orang tawanan beserta peralatan radionya ditambah dengan truk yang barusan dikendarainya.
Star memindahkan duduknya ke belakang kemudi truk, memutar arah menjauhi kota Surabaya.
Jika permintaanku untuk tidak menodongkan senjata pada para pejuang kemerdekaan ditolak, maka mungkin satu-satunya jalan adalah menyerahkan diri ke pihak mereka.
Truk yang dikemudikan Star bergegas menembus malam, menuju daerah gerilya. Sepotong kecil ubi yang ditelan Star tadi sore masih menyisakan legit di lidahnya.
***END OF RADIO DAN SEPOTONG UBI***
Catatan:
Nama-nama dalam kisah ini adalah fiktif.
Fakta sejarah:
· Pasukan Inggris yang tergabung dalam NICA menggempur kota Surabaya dengan bom udara pada tanggal 10 November 1945. Siaran radio BPRI (Barisan Pemberontakan Republik Indonesia) yang digawangi oleh Bung Tomo memberi dorongan semangat kepada rakyat Surabaya untuk terus melawan.
· "Penggunaan Bambu Runcing yang Pucuknya Diberi Tahi Kuda untuk People Defense dan Attack serta Biological War Fare" adalah disertasi Mayor Jenderal Moestopo yang mendapat penghargaan dari komandan PETA (Pembela Tanah Air – tentara bikinan Jepang saat masa pendudukannya di Indonesia).
· Selama periode 1945-1948 tercatat ratusan tentara asing membelot ke kubu Indonesia karena bersimpati pada perjuangan Indonesia. Yang terbanyak adalah 600 orang tentara Inggris dari Divisi India ke-23.
***
K O L O M N U T R I S I
1. Sebutkan tokoh Indonesia yang kamu suka dan alasannya (dilarang menyebut yg masih hidup)!
2. Kalo kamu jadi STAR, instead of ubi rebus, kamu pengen dikasih apa sama gebetanmu?
3. Apa pendapatmu terhadap cerita Radio dan Sepotong Ubi?
***
Jika tertarik berpartisipasi dalam antologi ini, silakan publikasikan karyamu di Wattpad pribadi, sertakan tagar #STARRAWSInAction, satu cerita terbaik akan dipublikasikan ulang di work ini (lihat keterangan lebih jelas di bab "WATTPAD TODAY: STARRAWS ZONE").
***
Mari terapkan budaya baca cermat, memberi masukan dengan santun juga bijak, serta menghargai keberagaman dalam berkarya dan perbedaan pendapat, seperti yang terdapat dalam aturan dasar RAWS Community. Be wise.
***
Sudahkah kamu vote cerita dan follow penulisnya?
Scroll/Swipe untuk membaca bab selanjutnya dari antologi cerpen Once Upon A Time in STARRAWS
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro