Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

STARRAWS YOU | Menyingkap Rahasia Hati by Carroll13

| A Teenlit Romance Story |

"Penyuka Liverpool. Seneng dengerin Ameliangobrol." - The Rising Star,  

***

Star berada di sebuah ruangan gelap, tempat yang ia tidak tahu di mana. Star berusaha mengembalikan fokusnya dan teringat bahwa tadi ia pingsan. Ketika sedang mencari jalan keluar, ia menemukan kotak hitam kotor, besar, dan menunggu untuk dibuka terletak di sudut ruangan ....

Ternyata itu kotak yang menyimpan seluruh luka-lukanya.

Kejadian masa lalu langsung mengganggu benaknya sesaat ia melihat isi kotak tersebut. Isinya hanya tiga macam, tapi sudah cukup menguras emosi.

Pertama, foto-foto seorang gadis berambut hitam berbando kelinci. Warna bandonya kuning dan ada noda bulat cokelat di telinga bagian kiri. Bando kelincinya selalu ada hampir di semua cetakan foto. Kalau tidak sedang dipakai, paling dipegang oleh empunya atau digantung ke lehernya.

Hal kedua yang perlu dicatat, bentuk senyumnya. Wajahnya ceria, tapi bibirnya hanya berbentuk garis setiap tersenyum, bukan lengkungan seperti emoticon di ponsel. Star ikut tersenyum melihatnya. Sayang, itu semua foto yang diambil diam-diam. Tidak ada foto gadis itu yang sedang menoleh ke arah kamera.

Kemudian, foto tempat yang dilalui. Star tertawa miris melihatnya. Tangga dengan teralis kuning. Atap beton sekolah yang ada tempat penampungan air. Jendela kelas 9C yang memiliki dua garis retakan di sudut atas kanan. Kantin yang ada kolam ikan dengan jentik-jentik nyamuk. Semua dipotret untuk mengabadikan kenangan, begitu kata empunya.

Lalu, dua gelang berbandul menara Eiffel. Star menyentuh gelang berbahan kain itu. Permukaannya sudah kasar karena sering terhempas air dan kering. Begitu terus polanya. Ia pernah memakainya dulu. Kini, hanya dengan melihatnya saja membuat air mengembun di sudut matanya.

Star memegang benda terakhir. Jumlahnya delapan puluh sembilan. Surat-surat yang tak pernah ia kirim. Tak pernah dibuka. Dulu, Star bisa percaya diri dengan menyimpannya saja. Sekarang, ia muak dengan dirinya tempo dahulu. Pengecut. Mementingkan perasaan sendiri dibanding orang lain. Star tertawa kering. Ia tidak akan memahami budaya alturisme jika bersikap seperti itu terus.

Sampai detik ini, Star masih berharap bisa memperbaiki masa lalu. Ia akan mengendalikan perasaannya. Tapi jika itu terjadi, pasti ia tidak akan berada di loteng dan termenung-menung seperti sekarang. Dengan konyolnya, ia pingsan karena tidak kuat berlama-lama di tempat sempit.

Star mengembuskan napas. Barang-barang yang sudah tidak terpakai memang sebaiknya disimpan di loteng. Kesibukan akan membuat distraksi dan itulah yang membuatnya lupa bahwa ia pernah meletakkan kotak besar di sana.

Namun, acara bakti sosial di sekolah menghancurkannya. Ia ke loteng untuk mencari barang bekas layak pakai untuk disumbangkan. Ibu sudah melarangnya. Takut Star panik dan pingsan lagi di tempat sempit. Star membandel.

Ia bersyukur bisa bertahan tanpa terserang panik. Itu karena ia mencoba mengontrol dan membiarkan pintu loteng dalam keadaan terbuka. Tapi usahanya tak bertahan lama. Selesai mencari-cari dan mematikan lampunya. Perasaan khawatir, cemas dan takut bercampur aduk.

Lalu, kesadarannya hilang dan beberapa menit kemudian pulih. Saat beranjak ke pintu untuk keluar, matanya melihat kotak besar mencolok. Sulit untuk mengabaikan kotak itu begitu saja.

Star menutup kotak itu dan meletakkannya kembali ke tempat semula. Sebaiknya ia tidak perlu mengenang hal yang sudah berlalu. Biar menjadi masa lalu, pikirnya sambil menuruni tangga. Ia meletakkan barang bekas layak pakai ke kamar.

Tidak semudah itu melupakan. Apalagi jika merasa bersalah. Mata Star sedikit basah. Ada getir sarkas yang diam-diam menggendor pertahannya dari dalam. Ical sudah tenang di sisinya. Ikhlaskan, kata Ibu selalu.

Namun Star tidak pernah ikhlas apalagi tenang. Ia merasa bersalah. Penyesalannya seakan menggerogoti dari dalam serupa tumor. Bahkan sampai tutup usia sahabatnya itu, Star tidak pernah memberitahu kebenarannya ke Ical.

"Star, kapan kamu mau antar kue ini?" teriak Ibu dari dapur di lantai dasar. Suara Ibu memang serupa toa yang menjangkau seluruh lapisan pintu.

Ya ampun. Star menepuk keningnya dan menghapus air mata yang nyaris bermuara ke pipi secara terburu-buru. Dengan cekatan, Star menyusun barang bekas dengan cepat ke kardus. Komik, novel dan cerita bergambar disusun di dasar. Lalu, baju yang sablonan tulisannya sudah copot di atasnya. Terakhir, mainan mobil pick up sebesar kotak odol. Setelah selesai, Star menutup kardus dengan lakban.

Ia beranjak ke lantai dasar. Di dapur, tangan Ibu sibuk mengaduk adonan di mangkuk. Star tersenyum melihatnya. Ibunya seorang wanita bertubuh besar dan rambutnya mulai dipenuhi uban, ia sibuk membuat klepon.

Penampilan ibunya berbeda jauh dari Star. Ia tak suka mengaca tapi ia ingat. Tubuh kurus. Rambut ikal merah yang terlalu mencolok untuk anak seusianya. Kulit putih yang akan memerah jika kepanasan. Ditambah iris mata abu-abu. Ibu bilang itu karena almarhum Ayah yang keturunan Eropa Utara, tepatnya Skotlandia.

Star percaya saja. Sebab ia sama sekali tidak mengingat rupa Ayah. Beliau meninggal sebelum Star dilahirkan. Ibu tak pernah berbicara dengan bahasa Inggris, bahasa sehari-hari Skotlandia. Parahnya, Ibu tidak memiliki foto Ayah sama sekali. Lalu mereka pindah rumah ke Komplek Nav.

Komplek Nav tidak cocok untuk Ibu yang ceria. Rumah-rumah di sini begitu sepi. Sesekali hanya suara anak-anak berceloteh. Decitan ban mobil. Sisanya seakan tidak ada tanda kehidupan.

"Bu, tetangga baru kita cuma satu keluarga. Kok masak kue kayak buat orang sekampung?" cetus Star geli.

"Hush!" tegur Ibu. Matanya tak teralihkan dari adonan kue. "Kita bisa ajak mereka untuk makan malam. Penyambutan tetangga baru. Kita bisa kasih hadiah kue lagi untuk mereka nanti malam."

"Tapi, mereka juga butuh istirahat. Baru tadi pagi pindah. Pasti siang ini mereka sedang repot bebenah. Mana kepikir untuk makan malam ke rumah tetangga," kilah Star sambil mencomot klepon yang sudah berbaris rapi di nampan.

Rasa kue buatan Ibu selalu enak. Aromanya mengunggah selera. Saat digigit, rasanya manis dan gurih di lidah Star. Dulu Ibunya buka katering khusus makanan tradisional. Tapi karena pindah rumah, katering diberhentikan sejenak. Padahal kue buatan Ibu sudah lumayan terkenal di kalangan warga dulu.

"Justru karena mereka repot. Pasti mereka tidak sempat menyiapkan makan siang atau makan malam," jelas Ibunya sambil terus mengaduk.

"Mereka bisa pesan makanan, Bu. Zaman modern kan praktis," jawab Star.

"Sudahlah, kamu kan tinggal mengantarnya saja Star bukan membuatnya," seru Ibu, "oh, ya, udah kamu siapkan barang-barang untuk acara bakti sosial besok?"

"Sudah. Tinggal dibawa. Kenapa? Oh, jangan melihatku seperti itu, Bu. Tidak. Aku tidak mau bawa kue ke sekolah baru," kata Star sambil geleng-geleng kepala.

"Loh? Kenapa? Malu? Justru kamu bisa dapatkan teman dari memberi makanan. Atau kamu bawa kue untuk acara bakti sosial saja."

"Nanti kalau mereka pesan, Ibu juga yang repot kayak waktu dulu."

Star menyinggung kejadian di sekolah lama dahulu, yakni saat kali pertama Star membawa kue. Almarhum Ical yang menjadi pemesan pertama. Lalu, ia mempromosikan pada teman-teman. Sejak itu, setiap hari ada saja yang memesan kue ke Star. Ibu sampai kewalahan. Star ikut membantu.

Star senang-senang saja karena biasanya Ibu suka memberinya uang saku lebih. Ia tahu Ical juga ikut senang, karena biasanya Ibu juga memberi ia beberapa potong kue gratis. Meski sesekali Ical membayarnya juga.

Lalu, Star mendapat teguran dari sekolah karena menjual tanpa izin. Ical juga yang ikut bantu menjelaskan ke guru dan kepala sekolah. Akhirnya, malah guru-guru ikut memesan. Itu kenangan menegangkan sekaligus mengharukan yang berhubungan dengan kue dan Ical.

Ibu menghela napas. "Ical benar-benar berjasa buat Ibu karena membantu kita. Tapi Ibu juga sudah menganggapnya seperti anak sendiri karena kegaduhannya kali pertama datang ke rumah."

Star tertawa. "Ia memang anaknya rame dan seru. Semua dianggapnya bercanda padahal cara bicaranya saja formal banget. Oh, ya, waktu itu sebenarnya Ical malu saat pertama kali datang ke rumah dan tersandung di teras."

"Benarkah? Wah, tidak Ibu sangka," sahut Ibu terkikik geli, "sekarang, ia sudah tenang di Surga. Ibu bersyukur kamu bisa mengingatnya dengan senang... Itu artinya kamu bisa mulai belajar mengikhlaskannya."

Tawa Star seketika surut. Benarkah ia sudah mengikhlaskannya? Seingatnya, ia tidak pernah belajar memaafkan dirinya sendiri. Seandainya ia mawas diri. Bukan sibuk mengobrol dengan seorang gadis. Ia mungkin bisa melihat saat Ical berjalan menuju pendopo. Ical pasti salah paham dan marah sampai tidak hati-hati. Dan kecelakaan itu mungkin tidak akan pernah terjadi....

"Takdir seseorang sudah ditulis sebelum ruhnya ditiup ke tubuh. Tidak ada yang bisa mengendalikannya, Star. Betapa pun kamu mencoba mencegahnya," cerocos Ibu saat atmosfer mendadak mendung.

"Mungkin lebih baik aku antar makananya sekarang, Bu," kata Star datar sambil mengambil baki yang sudah disiapkan Ibunya.

Ibu hendak mencegahnya pergi untuk berbicara lebih banyak. Tapi Star enggan mendengarkan lebih. Ia sudah mencapai fase di mana nasihat sama sekali tidak memenangkan gemelut di dadanya.

Setelah berpamitan, Star bergegas ke luar. Ia menyebrang ke rumah tetangga baru. Menekan bel di samping kanan pagar berwarna coklat itu. Star pikir akan disambut perempuan empat puluhan tahun. Karena sejak pagi, yang dilihatnya hanya perempuan itu dan mobil pick up pengantar barang. Tak disangka yang menyambutnya adalah seorang gadis seumurannya.

"Halo," sapanya riang.

"Hai," balas Star. Ia lupa menyusun kalimat pembuka untuk menyambut tetangga barunya. Star menimbang-nimbang kalimat yang tepat ketika matanya berfokus ke si gadis itu. Ia mulai tersadar. Ada yang mencolok dan menganggu konsentrasinya. Di helai rambut hitam berkilau gadis itu tersemat bando kelinci berwarna kuning. Ada noda bulat coklat di telinga bagian kiri. "Kamu... Anastasya?"

Ia tersenyum. "Ya. Kok bisa tahu?"

Star tak menjawab. Ia masih tercengang-cengang. Saat pindah rumah, Star pikir ia bisa meninggalkan masa lalunya. Tidak ia sangka. Orang yang paling dihindarinya justru kembali hadir. Menjadi tetangga pula. Itu artinya mereka bisa bertemu tiap hari.

Mendadak tangan Star berkeringat dingin. Rasa panas menjalar ke pipinya. Tidak. Ia tidak bisa bertemu Anastasya lagi setelah apa yang terjadi. Star yakin, menjauhi Anastasya adalah keinginan Ical yang tak pernah disampaikanya.

Star berbalik badan dan berusaha menghindar. Usahanya itu segera dicegah oleh Anastasya karena jemari gadis itu menahan pundaknya.

"Aku bercanda. Kamu Star, kan? Aku gak lupa. Bagaimana bisa melupakan orang seperti kamu? Dengan rambut ikal merah mencolok. Seolah kamu ingin semua orang lihat. Ya, apalagi kamu selalu ada di setiap sudut tempatku berpijak," jelas Anastasya ringan.

Star tidak tahu pilihan terbaik antara berbalik badan atau langsung pulang. Sebelum sempat memilih, Anastasya sudah berdiri di depannya. "Aku senang kita bertetangga. Apa kamu bawa makanan itu untukku dan keluarga? Hore. Kebetulan Bunda gak sempat masak buat makan siang."

Dengan hati-hati, Star mengulurkan baki berisi makanan itu ke Anastasya. Gadis itu menyambutnya dengan riang sambil mengucapkan terima kasih.

"Mau masuk dulu?" tanya Anastasya.

Star menggeleng. Ia bersiap untuk beranjak pergi ketika ucapan Anastasya menghentikan langkahnya lagi.

"Aku turut berduka cita atas kecelakaan mobil yang dialami Ical. Aku gak liat kamu lagi sejak saat itu. Padahal kita lagi ngobrol di pendopo sekolah. Aku tahu kalian bersahabat dan kamu pasti sangat terpukul karenanya," seru Anastasya. Nadanya lembut tapi mengguncang pertahanan Star.

Star membalik badan. Anastasya berdiri sepuluh senti darinya. Iris matanya jernih. Tapi juga sedalam laut dan menyiratkan bela sungkawa dengan sungguh-sungguh. Tanpa bisa ditahan, gemuruh rasa bersalah membuat dada Star sesak. Seakan mengerti, Anastasya bergerak mendekatinya. Tingkahnya seakan ingin memeluk. Lalu berubah di menit terakhir menjadi usapan lembut di punggung.

Entah kenapa, usapan itu membuat Star lebih ringan. Ia menghirup oksigen banyak-banyak. Pikirannya menjadi lebih jernih dan rasional.

"Kalau lagi sedih, Bunda suka ngusap punggung aku. Terbukti ampuh buat aku tenang," kata Anastasya masih mengusap punggung Star.

Star menggangguk. "Kamu tunggu sini. Aku mau ambil sesuatu."

"Ah? Oke, deh."

Star beranjak kembali ke rumahnya. Dengan kemantapan hati, ia menuju loteng dan mengambil kotak hitam besar. Lalu, ia segera keluar rumah lagi menuju Anastasya. Untung Ibu tidak melihatnya masuk keluar rumah sehingga tidak bertanya macam-macam.

"Aku mau kasih sesuatu untuk kamu," katanya saat sampai di depan Anastasya.

"Apa ini? Harta karun?" tanya Anastasya sambil tersenyum. "Masuk dulu, yuk. Duduk teras. Masa kita ngobrol depan pagar gini."

Kali ini Star menurut. Ia tidak bisa mundur lagi. Sekarang atau tidak selamanya. Perasaannya dulu ke Anastasya adalah kesalahan. Star memang tidak bisa mengatur jatuh cinta pada siapa. Tapi sepatutnya ia mengontrol perasaannya jika orang itu Anastasya.

Anastasya mempersilakan Star duduk. Dengan perasaan campur aduk, Star menurut. Sekarang, posisi duduk mereka dipisahkan meja dengan permukaan kaca. Ada vas dengan tumbuhan bunga-bunga kuning plastik. Di taman, beragam tumbuhan asli berjajar diagonal rapi dengan pot coklat.

"Mungkin sudah terlampau terlambat," kata Star membuka percakapan. "Tapi aku akan memberitahumu. Isi kotak itu sebenarnya barang-barang milik Ical. Di SMP, Ical suka sama kamu. Ia nulis surat buat kamu. Tapi nggak berani kirim. Ia minta tolong aku buat kirim ke kamu. Makanya aku selalu masuk kelas 9C buat meletakkan surat itu ke kolong mejamu di dekat jendela."

Star diam sejenak memastikan Anastasya mencerna informasi perlahan. Anastasya tak banyak bicara. Gadis itu setia menunggu cerita tanpa mendesak.

"Ical akhirnya ngajak aku kalau lagi ngelihatin kamu. Bahkan saat di tangga teralis kuning, di atap beton sekolah dan kantin yang ada kolam dengan jentik nyamuk. Tiga tempat yang selalu kamu datangi jika di sekolah. Kami juga suka 'mengantar' kamu ke sekolah dengan naik bus. Kamu gak pernah tahu, tentu saja," kata Star tertawa, "konyol. Padahal aku bawa sepeda saat itu. Tapi Ical bersikeras untuk naik bus yang sama dengan kamu. Hanya untuk memastikan kamu aman sampai rumah."

"Oh. Maaf kalau waktu itu aku gak tahu," sahut Anastasya lemah.

"Bukan salahmu. Malah justru aku yang salah di sini. Perlahan, aku mulai menyukaimu. Aku nggak lagi mengirimkan surat dari Ical ke kamu. Aku nyimpen surat-surat Ical. Aku juga mencetak foto yang dipotret oleh Ical. Ical gak pernah tahu," jelas Star. "Sekarang, kamu boleh baca surat di dalam kotak itu. Ical pasti senang."

Anastasya tersenyum. Ia membuka kotak, mengambil satu surat secara sembarang dan membacanya sekilas. Lalu, kepalanya berpaling ke Star. "Kamu pernah buka surat ini?"

Star menggeleng.

Senyum Anastasya semakin lebar. "Kalau begitu, coba kamu baca surat-surat ini."

Star mengambil surat yang diulurkan Anastasya padanya. Di kata pertama, ia langsung terkesiap. Dengan segera, Star membaca seluruh isinya.

Star,

Saya tahu kamu nggak pernah kirim surat bikinan saya ke Anastasya. Kamu pakai jadi apa suratnya? Ganjelan pintu kamarmu yang warna hijaunya bikin sakit mata? Atau... Tidak... Jangan-jangan kamu pakai buat coret-coretan. Huh! Benar-benar tidak berperikesuratan. Hahaha. Bercanda.

Sebenarnya saya udah prediksi akan begini akhirnya. Kita jadi sama-sama suka orang yang sama. Ya, karena kita sama-sama stalking orang yang itu. Si Bando Kelinci. Itu panggilan saya ke dia. Kira-kira panggilan kamu ke dia apa? Si Senyum Segaris? Hahaha. Beruntung orangnya gak baca.

Saya mengerti. Memang selalu begitu. Dua orang yang bersahabat pasti memiliki kesamaan walau sekecil apa pun. Termasuk bisa menyukai orang yang sama.

Star membuka surat lainnya secara acak ....

Star,

Untuk kesekian kalinya, kamu nggak kirim surat saya ke Anastasya. Benar, kan? Jadi sudah saya putuskan. Saya akan nulis surat untukmu saja. Hahaha. Iya, saya emang keren. Tapi masalahnya, kapan kamu bakal sadar surat ini untukmu, ya?

Dan surat lainnya ....

Star,

Saya lihat kamu kenalan sama Anastasya. Saya bangga karena kamu udah berani. Kalau jadian, jangan lupa traktir bakso. Oh, ya, sekalian kerupuk kampungnya biar mantap.

Lalu yang lainnya ....

Star,

Saya sengaja foto-foto tempat bersejarah kita. Supaya kamu simpan dan ingat. Saya bilang kenangan karena kita kan nggak tahu apa yang bakal terjadi ke depannya.

Star berhenti membaca surat-surat itu. Surat yang terakhir ia baca membuatnya luluh lantak. Kertas itu tergelincir jatuh ke pangkuannya. Untuk pertama kali di hidupnya sejak Ical pergi, Star menangis tak berdaya. Ia mendengar sendiri isaknya begitu memilukan. Bagai serigala terluka.

Di tengah kepedihannya, Anastasya berbicara. Star enggan mendengarkan, tapi suara itu masuk juga ke telinganya. Anastasya bilang sudah sejak dulu tahu isi surat itu bukan untuknya. Awalnya memang ditujukan untuknya.

Namun perlahan nama penerimanya berubah dan berbeda. Anastasya pikir itu pasti salah kirim. Lalu, bebeberapa hari kemudian Ical ngajak ketemuan di pendopo sejam setelah pulang sekolah. Star juga akan datang, kata Anastasya meniru cara bicara Ical yang kelewat formal.

"Bukan salahmu kalau ia datang ke pendopo. Itu memang terencana. Kamu pasti berpikir ia menuju ke pendopo karena cemburu melihat kita berbicara, kan? Kecelakaan mobil itu murni kecelakaan karena kurang berhati-hati. Sejak awal, Ical sudah tulus," ujar Anastasya lembut.

***

K O L O M N U T R I S I

1. Kalau kamu dan sahabatmu menyukai orang yang sama, apa yang akan kamu lakukan?

2. Apakah kamu punya kotak kenangan di rumahmu? Apa isinya?

3. Apa pendapatmu terhadap cerita Menyingkap Rahasia Hati?

***

Jika tertarik berpartisipasi dalam antologi ini, silakan publikasikan karyamu di Wattpad pribadi, sertakan tagar #STARRAWSInAction, satu cerita terbaik akan dipublikasikan ulang di work ini (lihat keterangan lebih jelas di bab "WATTPAD TODAY: STARRAWS ZONE").

***

Mari terapkan budaya baca cermat, memberi masukan dengan santun juga bijak, serta menghargai keberagaman dalam berkarya dan perbedaan pendapat, seperti yang terdapat dalam aturan dasar RAWS Community. Be wise.

***

Sudahkah kamu vote cerita dan follow penulisnya?

Scroll/Swipe untuk membaca bab selanjutnya dari antologi cerpen Once Upon A Time in STARRAWS

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro