Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

STARRAWS YOU | Kemarin by Zulfa_Afinz

| A Thriller-Song Fiction Story |

| Disclaimer:
Mengandung konten dewasa, memuat tindak kejahatan
Batasan umur minimal untuk membaca: 18 tahun |

"Penulis amatir dan coffee addict yang maniak thriller. Berusaha nulis macam-macam genre, meski kiblatnya lebih ke teenlit. Suka tantangan dan penyuka semua jenis musik" - The Rising Star, zulfa_afinz

***
"Syukuri apa pun yang kau miliki, sebelum kau kehilangan mereka."

Aku seperti menonton sebuah film tentangku dan Marcel saat ini. Waktu seakan berputar mundur di saat pertama kali aku bertemu dengannya. Pertemuan aneh pertama kami malam itu, yang berlanjut pada pertemuan-pertemuan aneh lainnya ketika jam kerja telah usai.

Aku sadar diri, bahwa aku hanya cleaning service di perusahaan yang dia pimpin. Tapi sikap terbuka dan kesederhanaannya, membuatku tak bisa membiarkannya begitu saja. Dia seorang yang cukup bisa bergaul untuk ukuran seorang direktur yang tegas dan disiplin. Meski banyak rumor beredar bahwa dia pemimpin yang diktator, kurasa itu salah. Dia hanya berusaha mendisiplinkan karyawannya.

Di tengah kegelisahannya yang sedang menikmati kejahilan orang tak dikenal tiap malam, aku seperti bertemu dengan seorang teman. Ya, keadaan kami hampir sama, meski berbeda. Ia mendapat masalah tiap sepulang kerja, sedangkan aku menerima gangguan sepanjang pekerjaanku dimulai ketika pagi, hingga jam kerja usai. Namun yang aku kagumi darinya adalah, ia seperti tidak berniat ingin tahu siapa sosok orang-orang yang tiap malam merusakkan mobilnya, atau bahkan balas dendam dan memberi pelajaran pada mereka. Dia hanya diam dan mengamati semuanya.

"Kita akan tahu siapa pelakunya kalau kenyataan sudah memperlihatkan semuanya."

Jawabnya santai, ketika aku bertanya mengapa ia hanya diam. Seketika aku malu dengan diriku sendiri. Dia yang seorang direktur, pemimpin sebuah perusahaan yang harusnya dihormati, bisa bersikap tenang dan bijak ketika menghadapi perlakuan memamlukan seperti ini. Sedangkan aku, yang hanya gadis kotor, mantan narapidana, pegawai rendahan, bisa-bisanya berpikir untuk membalas perlakuan orang lain yang tidak menyenangkan padaku. Bisa jadi itu semua adalah balasan atas sikapku di masa lalu. Aku merutuki niatku yang ingin membalas sikap rekan kerjaku yang setiap hari mengejek, menghina, dan menyindirku yang seorang narapidana. Sungguh tidak pantas.

Aku sangat berharap aku bisa hidup lebih lama dengan orang sepertinya. Kenyataan itu seperti dikabulkan Tuhan ketika Marcel memindahkan area kerjaku di lantai yang sama di tempatnya bekerja. Aku sungguh bersyukur bisa bertemu Marcel tiap pagi dan siang ketika jam makan siang tiba. Kami sering makan di luar bersama sejak saat itu. Dia sering membesarkan hatiku agar aku tidak terpancing amarah ketika rekan kerjaku menghina atau mengejekku. Sebagai balasan atas nasehat-nasehat yang amat kuperlukan, aku menawarkan diri untuk mencari tahu siapa orang-orang yang menjahilinya setiap malam.

Dia belum memberi jawaban hingga peristiwa malam ini datang. Peristiwa yang tidak pernah kuduga akan terjadi, peristiwa yang mungkin akan merubah hidupku selamanya.

Samar-samar, aku seperti mendengar sebuah ledakan keras. Ledakan itu membuat potongan adegan-adegan film tadi menghilang satu-persatu. Segalanya tiba-tiba menjadi gelap, dan Marcel...

"Star!"

Aku masih bisa mendengar suaranya yang memanggil namaku ketika gelap bertambah pekat.

Marcel, aku baru ingat, aku sedang dalam perjalanan mengejarnya yang sedang diculik oleh lelaki berpakaian gelap. Awalnya aku yakin Marcel bisa mengalahkan mereka dalam perdebatan sengit di depan kantor tadi. Namun aku baru sadar jumlah mereka terlalu banyak untuk Marcel, hingga ia tumbang dan mereka membawanya ke sebuah tempat yang sunyi dan gelap. Tempatku menemukannya sesaat lalu, sebelum aku tumbang karena mencoba melawan lelaki gempal yang ingin menyakiti Marcel.

Seketika mataku terbuka. Marcel dalam bahaya. Aku berteriak dalam hati

Aku menangkap gelap. Gelap tak bertepi ketika aku melebarkan mataku. Ruangan remang-remang ini menjadi gelap gulita. Kegelapan ini membuatku lupa akan semuanya. Mengapa aku di sini, apa yang kulakukan, dan jam berapa sekarang. "Arghhh..." sekali lagi aku memijit pelipisku yang berdenyut. Aku ingat, aku baru saja pingsan ketika membantu Marcel melawan penculik-penculik itu sesaat lalu. Sekeliling seakan berputar ketika aku mencoba bangkit dan berdiri mencari jalan keluar.

Aku ingin keluar dari sini. Kegelapan mengingatkaku pada masa ketika aku mendekam di balik jeruji besi. Kegelapan yang amat mencekam dan membuatku sesak. Kegelapan yang membuatku ingin mati dan segera mengakhiri hidupku kalau saja para polisi penjaga lapas tidak mencegahku. Semakin lama di sini, semakin membuatku merasa kembali ke masa itu. masa kehancuranku sebelum bertemu Marcel.

Tiba-tiba langkahku yang tak lebar terhenti. Dengan diterangi sinar rembulan yang berasal dari jendela yang berlubang, aku melihat ruangan kotor di depanku. Sebuah benda mencuri perhatianku. Benda kotak yang besar dna kotor, seperti menungguku membukanya.

Kotak besar itu diam teronggok sekitar lima langkah di depanku. Kediamannya justru membuatku tergugah untuk mendekatinya dan mengetahui isi di dalamnya. Udara dingin malam hari membelai rambutku yang ikal kemerahan ketika aku mendekatinya. Dengan kuat aku membuta kotak itu, dan ternyata...

Tubuhku membeku, tanganku mengambang di udara. Layaknya sebuah mesin, tubuhku seperti sedang di-pause. Dihentikan dari segala aktifitas yang bekerja. Mataku membulat selebar-lebarnya, seperti ingin benar-benar memastikan bahwa pemandangan di depanku bukanlah ilusi, bukan mimpi buruk, dan bukan imajinasi liarku. Baru setelah sebuah suara berisik tertangkap telingaku, aku terduduk lemas.

Aku berkedip beberapa kali sambil menatap mata bulat yang sedang menatap kosong ke arahku. Seketika tubuhku diserang gemetar hebat. Di tengah alisnya yang hitam, sebuah lubang hitam dengan rembesan merah tercetak nyata. Se-nyata, kenyataan bahwa lelaki di depanku ini tak lagi bernapas. Selain lubang hitam, lebam dan memar biru dengan bercak merah sudah menghiasi wajahnya lebih banyak dari sesaat lalu, sebelum aku tak sadarkan diri.

Rasanya baru beberapa detik lalu dia menyuruhku pergi dari tempat ini, dan berjanji bahwa ia akan baik-baik saja dna akan mengabariku secepatnya. Tapi dalam sekejap, kenyataan berubah. Diaa meninggalkanku sendiri. Aku akan sendiri lagi.

Rasanya baru kemarin, baru kemarin aku bertemu dengannya dan melalui masa-masa sulit bersama. Membenarkan segala kesalahan yang kubuat, membuatku sadar bahwa dunia masih memiliki hal-hal menyenangkan yang patut kusyukuri. Menyadarkanku bahwa aku juga berhak bahagia dna menikmati kehidupan.

Rasanya baru kemarin, aku menemukan sosok kakak dalam dirinya, dan aku berjanji akan mempertahankan dna menjaganya sampai kapanpun. Rasanya baru kemarin, aku menemukan semangat baru dalam kehidupanku.

Tapi kini segalanya musnah. Hanya keping kenangan dan janji yang tersisa.

"Hei, kau?" sebuah suara terdengar bersamaan dengan suara pintu yang terbuka. Seseorang berdiri di ambang pintu sambil mengatakan sesuatu ke arah lain. Tiba-tiba saja, terdengar langkah kaki terburu-buru berjalan ke arahku. Suara itu berhenti ketika cahaya temaram menyala di ruangan itu.

Aku terlonjak. Sebuah kotak yang tadi kubuka adalah sebuah koper super besar yang cukup untuk menampung tubuh Marcel. Siapa yang tega melakukan hal keji pada orang sebaik Marcel.

Aku menatap garang pada beberapa lelaki berpakaian gelap di depanku. "apa yang telah kalian lakukan padanya?"

Mereka terdiam. Beberapa saling berpandangan, sementara seseorag yang berdiri paling dean hanya emnatapku datar.

"siapa yang telah melakukan ini padanya?' tanyaku geram.

Mereka tetap bergeming hingga aku kehilangan kesabaran dan merangsek ke arahnya. Aku mendaratkan beberapa pukulan ke wajah dan perut orang yang tadi hanya menatap, seolah sedang mengejekku. Ia berusaha melawan, namun langsung kutepis lengannya yang kuat. Entah roh jahat apa yang merasukiku saat ini. yang jelas, aku tak bisa mengendalikan diriku yang terus memukuli mereka hingga mereka tak berdaya, seperti yang telah mereka lakukan pada Marcel.

Sudah ada empat orang yang tumbang di depanku, namun lagi-lagi kepalaku dipukul dari belakang. Kali ini lebih keras hingga kurasakan sebuah cairan mengalir melewati tengkukku. Aku baru mengetahui bahwa cairan itu adalah darah ketika aku mengusapnya. Sambil menahan rasa pening di kepala, aku kembali bangkit dan berusaha melumpuhkan mereka kembali. Meski aku berusaha memukul dan membuat mereka tumbang, nyatanya tenagaku tidak cukup kuat. Aku butuh sesuatu untuk memberi mereka pelajaran. Aku butuh senjata. Ketika mereka menghantamkan tubuhku ke dinding, saat itu aku melihat sebilah pisau berlumuran darah tergeletak di meja. Mungkin pisau itu adalah pisau yang mereka gunakan untuk melukai Marcel. Aku sangat yakin, karena kemeja putih Marcel penuh sayatan pisau.

Dengan cepat aku meraih dan menodongkan benda mengkilap itu ke arah mereka. Seketika mereka mundur bersamaan. Sambil maju selangkah demi selangkah, Aku mengarahkan benda itu ke wajah mereka satu persatu.

"aku tau, pasti pisau ini yang kalian gunakan untuk melukai Marcel." kataku lirih. "aku tidak akan membiarkan kalian hidup dengan tenang. Kalian tau siapa aku sebenarnya? " seketika wajah mereka membeku. Mereka saling berpandangan setelah aku menyeringai ke arah mereka.

Ya, aku tidak main-main dengan kata-kataku. Membereskan preman pasar yang bangkotan saja aku bisa, apalagi preman jelmaan pegawai kantor seperti mereka. Dalam sekali aksi, aku pasti bisa melumpuhkan dan membinasakan mereka berempat.

Aku memegang erat pisau di tanganku sambil mengayunkannya hingga mengenai bagian tubuh lelaki di depanku. Lelaki berambut cepak itu tumbang setelah kakinya terkena sabetan pisauku. Ia terduduk tanpa bisa bangkit lagi. Wajahnya bergetar dan terlihat ketakutan ketika aku kembali mengarahkan pisau itu ke satu bila matanya.

Aku menyeringai puas melihat wajahnya yang pucat pasi. Kulirik sisi kiriku, tiga lelaki berdiri mematung menunggu aksiku selanjutnya.

"kalian  juga harus merasakan apa yang Marcel rasakan!" kataku sambil berjalan ke arah mereka.

Aku menatap mata lelaki gempal yang kuduga, adalah orang yang membunuh Marcel. Di pinggangnya ada sebuah gagang pistol kecil yang diselipkan di sela-sela celananya. Lagipula, dari keempat laki-laki ini, cuma pria di depanku ini yang punya cukup nyali untuk menghadapiku. Kupegang erat pisau di tanganku untuk segera menghabisinya. Dia tak patut di maafkan. Dia harus bernasib sama seperti Marcel, bahkan harus lebih buruk.

Aku mengayunkan pisau sekuat tenaga ke arah tubuhnya yang lebar, sayangnya dia bisa menghindar. Kuayunkan sekali lagi agar pisau itu memotong perutnya, namun ia hanya merobek kaus kelabu milik lelaki itu. Ketika ia mengeringai dan menertawakan seranganku, gerakan tanganku semakin membabi buta hingga ketika aku mengayunkan pisau itu dengan kuat ke arah dada si lelaki, aku teringat perkataan Marcel.

"Kau boleh merasa sakit hati dengan perlakuan orang lain kepadamu, namun jangan biarkan rasa sakit hati itu berkembang biak lebih besar hingga menyakiti dirimu sendiri"

Masih lekat di ingatanku, Marcel mengatakan kalimat itu ketika aku, lagi-lagi merasa kesal dengan sikap cleanjng service lain yang mengejekku. Rasanya baru kemarin kalimat itu terngiang keras di telingaku. Tapi kini dia...

"Arghh...!" aku memekik ketika lelaki itu telah melipat satu tanganku yang bebas ke arah belakang tubuhku. Aku mengerjap beberapa kali, karena kukira pisauku tadi telah sempurna menusuk jantungnya hingga mengucurkan darah segar, tapi ternyata pisau itu menusuk dinding yang terbuat dari balok kayu.

"kau pikir kau bisa mengalahkanku, manis!" bisiknya di dekat telingaku.

Kalimat itu seolah membakar semua apa yang ada di tubuhku. Emosi, amarah, dan kekuatanku kembali berkumpul. Namun, nafsu gelap itu kalah oleh kalimat Marcel yang terus berputar di kepalaku. Aku gagal membebaskan tanganku dari cengkeramannya. Sebaliknya, ia malah mendorong dan menempelkan wajahku pada pecahan cermin yang sedang berserakan di meja.

Seketika jantungku berdetak kencang.

Kenapa bisa ada cermin di sini! Mereka tidak boleh tahu bahwa aku phobia cermin. Jika mereka tahu, mereka pasti akan memanfaatlan kelemahanku untuk kabur, atau bahkan menghabisiku.

Tapi semakin aku berusaha tenang, jantungku berdetak semakin cepat dan tak menentu, tubuhku gemetar, dan keluar keringat dingin dari sekujur tubuhku.

Tubuhku lemas, aku tak berdaya. Bahkan untuk memukul mereka saja, mungkin aku tak sanggup lagi sekarang. Mengapa bisa ada cermin di sini, aku memejamkan nata erat-erat untuk mengusir rasa gemetar yang tak kunjung hilang. Aku tahu, di belakang sana para penculik itu sedang membicarakan sesuatu, tapi aku terlalu panik untuk sekedar mengetahui isi percakapan mereka.

Wajahku terasa perih ketika aku berusaha menggeser wajahku dari tekanan tangan besar lelaki ini. Setelah beberapa saat merasa aku tak bergerak, tangan lelaki itu melepaskan kepalaku. Sontak aku tersungkur karena aku tidak bisa lagi menahan berat tubuhku. Rasanya, cermin tadi benar-benar membuat isi kepala dan diriku kacau. Aku masih bisa merasakan getaran yang tersisa karena melihat pantulan diriku sendiri di cermin tadi.

Aku berusaha memikirkan hal lain, namun di depanku hanya ada tubuh Marcel yang sudah kaku. Kedua matanya masih terbuka dan menatap kosong padaku. Dengan sebuah lubang besar di antara alis, serta lebam dan noda merah di beberapa sisi wajahnya, ia menatapku seolah sedang meminta tolong. Namun aku terlambat. Aku terlambat melindungimu. Aku terlambat menyelamatkan satu-satunya orang paling berharga di hidupku di kesempatan keduaku ini. Aku gagal.

"mengapa kau suruh aku berjanji untuk hidup jika akhirnya kau pergi dengan cara seperti ini. mengapa aku tidak bisa berbuat apa-apa ketika kau diperlakukan seperti ini."  teriakku padanya sambil terisak. Aku baru sadar, kalau aku sedang menangis sambil menatap Marcel yang bersandar pada koper di sudut sana.

"Sudah selesai bermain-main gadis kecil?" lelaki itu datang menghampiriku.

Entah apa yang mereka rencanakan, yang pasti, sekarang mereka sedang menyeretku ke sudut ruangan. Setelah memaksaku meminum alkohol, mereka memasukkan sesuatu ke minumanku. Aku belum sempat menolak ketika mereka menuangkan isi gelas itu ke mulutku hingga habis tak bersisa. Awalnya tidak terjadi apapun, tapi lama-kelamaan, tanah yang kupijak rasanya berputar, dan rumah ini pun ikut berputar.

Seseorang menghampiriku. Aku tak bisa melihat wajahnya karena kepalaku masih berputar. Namun setelah kuperhatikan lagi, ternyata dia Marcel.

"Marcel!" panggilku sambil terengah. Marcel tersenyum padaku, dia membelaiku dengan lembut dan mengusap wajahku. Aku tertegun memandangnya. Marcel tidak pernah bersikap begini padaku. Mengapa sekarang...

Namun perasaan bingung itu menghilang dengan cepat, berganti dengan perasaan bahagia dan lega setengah mati, karena Marcel masih hidup. Ternyata mayat yang ada di depanku tadi hanya ilusi. Buktinya, Marcel sekarang masih ada di depanku. Dia membelaiku, mengusap wajahku, dan menciumku berkali-kali. Aku bahkan membantunya melepaskan kancing bajuku dan meloloskannya dari tubuhku.

Aku bisa merasakan sentuhannya, meski merasa aneh dengan ukuran tubuh Marcel yang lebih gemuk dari biasanya, tapi aku mengabaikannya. Tak lama kemudian, Marcel bangkit dan digantikan oleh seseorang yang lain. Anehnya, orang itu juga Marcel, wajahnya sangat mirip dengan Marcel. Bahkan ia sempat tersenyum seperti waktu kita pertama kali bertemu dulu.  Dia melakukan hal yang sama, dan itu dilakukan ketika Marcel kembali untuk keempat kalinya. Setelah itu, dia berdiri menjauh dariku.

Di sudut sana, ada empat Marcel sedang berdiri sambil tertawa puas padaku. Mereka berkata tentang malam yang nikma, menyenangkan, serta kalimat menjijikkan lainnya. Aku mulai bangkit dan mendekati mereka, ketika aku sadar bahwa mereka bukan Marcel. Mereka adalah pembunuh Marcel.

Lalu, apakah  tadi mereka sedang melecehkanku?

Aku baru akan memukul mereka, ketika mereka mendorongku ke sebuah sudut. Kepalaku membentur sesuatu dengan keras hingga aku mengaduh kesakitan. Aku mendongak dan mendapati wajah Marcel yang sedang menatapku. Tatapan itu...

"Lihat ini!" tiba-tiba seseorang di sebelahku memegang pisau dan mendaratkannya di jantung Marcel. Darah segar membasahi wajahku  ketika aku melihat pisau itu menancap dengan keras ke dadanya. Dengan pandangan yang buram, aku menyentuh dadanya yang dipenuhi warna merah. Aku mencabut pisau itu, dan sekali lagi, darah membasahi wajahku. Seketika, aku merasakan cairan lain yang mengaliri pipiku. Aku terisak. Isakku semakin menjadi ketika aku memegang pisau berlumuran darah itu.

"apa kau yang membunuhnya?" seseorang berbisik lagi di telingaku. Kata-kata itu seperti membiusku hingga tubuhku lemas seketika. Aku menatap telapak tangan yang berwarna merah dengan sebilah pisau. Aku membunuhnya? Aku membunuh Marcel? Teriakku dalam hati, tiba-tiba, sekelilingku berubah menjadi lautan darah yang sipa menenggelamkanku. Mayat di depanku seolah memaksaku untuk tenggelam. Aku terjebak dan tak punya pegangan. Merasa panik, aku menjerit sekeras yang kubisa, supaya lautan darah ini tak menenggelamkanku. Namun sia-sia, sepertinya mereka tak sabar untuk melumatku hingga habis.

Aku meraih apapun yang hisa kuraih untuk menyelamatkan diri, namun sia-sia. aku kembali berteriak-terikan karena ketakutan akan tenggelam, hingga kemudia terdengar sebuah ledakan yang memekakkan telinga. Mendadak, kepalaku terasa berat dan bumi kembali berputar, tapi kali ini rasa sakitnya sangat menusuk hingga aku jatuh tersungkur sambil memegang tangan Marcel. Tak lama kemudian, cairan merah memenuhi sekitar kepalaku. Lebih banyak, dan semakin banyak. Pandanganku meredup sampai akhirnya segalanya berubah gelap.

Aku tahu hidupku telah hancur, sehancur dan sekotor diriku yang sekarang, tapi aku tak pernah menyesal bertemu denganmu. Aku bersyukur.

***END OF KEMARIN***

K O L O M N U T R I S I

1. Apa kamu sekolah/kuliah/bekerja? Jika sekolah/kuliah, menurutmu kriteria guru/dosen idaman seperti apa? Jika kamu bekerja, menurutmu direktur idaman itu seperti apa?

2. Apakah menurutmu wanita perlu belajar bela diri?

3. Apa pendapatmu terhadap cerita Kemarin?

***

Mari terapkan budaya baca cermat, memberi masukan dengan santun juga bijak, serta   menghargai keberagaman dalam berkarya dan perbedaan pendapat, seperti yang terdapat dalam aturan dasar RAWS Community. Be wise.

***

Sudahkah kamu vote cerita dan follow penulisnya?

Scroll/Swipe untuk membaca bab selanjutnya dari antologi cerpen Once Upon A Time in STARRAWS

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro