Devil: Part 3 ⚠️🔞
Diberi 18+ karena adegan menjurus ke kekerasan dan aktivitas anu menganu. diberi warning takutnya kalau ada yang kena trigger atau punya trauma. Tanggung resikonya pas baca ya otor udh ngasi peringatan, dimohon kebijaksanaannya
.
.
.
*
I tried to be so polite
Laugh as much as you can.
This is last warning
*
"Gerald bodoh!" Seorang siswa berseragam LoD High School yang baru saja menepikan vespanya ke pinggir jalan, mengumpat pelan--takut apabila ada yang mendengarnya, sebelum mengeluarkan sebuah ponsel hitam di saku celana. Mengetikkan sebuah nama, menekan tanda telepon dan memasukkan kembali ponsel ke saku, menunggu seseorang mengangkat telepon.
"Gusion, yey di mana?"
"Jemput aku, aku akan mengirimmu koordinatnya."
"Watta happen?! Yey keseruduk pagar?!"
"Vespa bodoh ini mati tengah jalan. Bila misi ini selesai aku akan menghajar Gerald."
"Omamamay gaaad!!! Tunggu akika jemput yey! Five minute okay?!"
"Cepatlah ke sini!"
Sambungan telepon ia putuskan. Gusion mengusap poninya ke belakang frustrasi. Bekerja sama dengan sepupu Lesley yang "bertulang lunak" ini cukup memusingkan. Namun, terpaksa ia lakukan--dia memiliki kuasa untuk membantunya. Dihitung-hitung memang cukup menguntungkan.
Berbanding terbalik dengan karakternya yang mencerminkan lelaki sissy, ia bukan orang biasa. Tidak hanya sekali Ronald membantu penyelidikan kepolisian. Penyelundupan obat terlarang, pembunuhan, prostitusi di bawah umur yang terjadi di hotel keluarganya--yang diturunkan padanya, ia kooperatif dan memudahkan detektif menangkap pelaku. Ketika ditanya alasan, ia hanya menjawab dengan nada kemayu "tak suka hotel keluarganya yang suci dikotori niat jahat".
Begitupun dengan hotel yang dimaksud, adalah hotel warisan turun temurun yang memiliki arsitektur eropa abad pertengahan masih sangat kental. Ayah Ronald--Daniel, sebagai bungsu keluarga Vance mewarisinya semenjak sesepuh Vance meninggal. Hans lebih memilih menjadi jaksa, Jane memilih jadi ibu rumah tangga, tiap hari hanya mengurus rumah kaca dengan ratusan tanaman. Sampai ke tangan Daniel, ia menunjuk Ronald mengurusnya sebagai tempat belajar memanajemen perusahaan sebelum menggantikannya memimpin perusahaan yang ia bangun.
Hotel yang sudah berpuluhan kali mengalami renovasi itu tetap mempertahankan kemegahannya sejak dulu. Tak pernah berubah, bangunan itu seakan menjadi tempat sakral. Begitupun yang menginap, hanya kaum elite dan pejabat pemerintah saja yang biasa bermalam dan mengadakan rapat. Oleh karena itu, Gusion curiga mengapa Claude mengatakan ia menginap di sana setelah pertandingan basket yang memang sekolah lawan tidak jauh dari tempat itu. Kebetulan yang sulit didefinisikan kebetulan biasa. Ditambah melihat catatan Lesley yang diintipnya dengan kacamata, kewaspadaannya memanglah tidak jauh beda. Lesley mengetahui sesuatu, dan itu menyangkut keselamatannya.
Merasa kurang nyaman, ia melepaskan kacamata tebalnya--digantungkan di kerah depan seragam. Menunggu Ronald menjemput, Gusion duduk berjongkok di samping vespa. Mengambil botol air yang digantung di gantungan motor. Menenggak air dengan tidak sabar, sampai butiran air membasahi pakaian. Dahaganya belum juga hilang, sedang minumnya telah habis. Bahunya merendah, mengeluh dalam hati. Tersisa di tangannya botol kosong, ia gantungkan di gantungan vespa.
Benar-benar sial bagi Gusion. Maksud hati selain hendak menguji kemampuannya sebelum masuk sekolah tinggi kejaksaan setelah lulus, ingin berhemat dengan ikut penyelidikan ini berimbalan seluruh perbaikan motor sportnya akan ditanggung Gerald. Sementara memakai vespa milik sang kakak sambil menyamar. Berniat juga mendekatkan diri pada Hans--ayahnya Lesley yang juga ikut dalam penyelidikan ini agar ia memberi restu mendekati anak perempuannya. Sekali dayung, 3 pulau terlampaui, pikirnya. Namun apa daya, belum setengah jalan ia terlampau lelah dan hendak memaki Gerald andai berada di hadapannya. Bisa-bisanya ia memberikan vespa yang bisa tiba-tiba mogok seperti ini. Memang sejak awal harusnya ia tidak percaya pada Gerald yang semaunya saja.
Matanya menyipit ketika sekelebat silau mengganggu penglihatan. Sampai ia membuka mata, dahinya mengernyit ketika sebuah mobil derek penuh lampu warna warni dengan aksesoris bulu-bulu merah muda hampir menyelimuti keseluruhan bodi mobil. Mobil mendekat memelan, kemudian berhenti di depannya.
"Apa-apaan...."
BEEEP!!!BEEEEPPPP!!!
"Heh! Yey masuk sini la!!!" Dari dalam mobil derek, Ronald melambai-lambai menyuruh Gusion yang masih takjub untuk naik ke mobil.
Vespa malang yang diparkir pun ditarik naik oleh derekan mobil, masuk dalam bak yang berlapis kaca luar. Gusion mengamati bagaimana mesin itu bekerja sampai ia berjalan membuka pintu mobil, duduk samping Ronald di kursi kemudi sebelum menutup pintu.
"Mobil derekmu pun seperti ini?"
Belum hilang ketakjubannya, Gusion mengamati dashboard mobil--sampai ke jok berwarna merah muda dengan aksesoris bola berbulu bergantung di spion atas. Melihat ekspresi Gusion yang tercengang, Ronald hanya tertawa sebelum berkata, "Orang kaya kan bebas!"
*
"HEEEEH?!! AMIT-AMIT RONALD BAHENOL!!! HOTEL AY YANG SYUCIH TAK BOLEH DITEMPATIN MANUSYA CEM BABI BEGITU!!! ADUH AYANG LEYLEY HARUS SELAMAT!!!"
Histerisnya Ronald tepat di lampu merah menyala menyebabkan orang-orang di sebelahnya tercengang. Gusion hanya memalingkan muka, memijit dahi. Secepatnya ia ingin sampai ke hotel dan menyelamatkan Lesley--dengan rencana matang--baginya, tak kuat berlama-lama dengan setengah lelaki ini.
Lampu hijau telah menyala, Ronald terkesiap, tergagap memutar setang bundar mobilnya ke kiri, menuju persimpangan selanjutnya. Gusion kembali menjelaskan situasi dan rencana yang akan dilaksanakan.
"Kemungkinan bajingan itu tidak melakukannya sendiri, semoga saja kita tidak kalah jumlah. Kita bagian tkp saja, Gerald Giselle menyusul, selebihnya polisi berjaga di basement dan lobi."
"Ah, akika paham, yeh. My baby Karen jadi layanan kamar setelah mereka berdua masuk."
"Kau punya ide?"
"Makin cepat si babyk bertindak, makin cepat juga kita bergerak. Yey paham maksud ay? Cukup saja afrodisiak 1 mili...."
"Apa kau sudah gila?!!"
"Heh!!! Yey mau mati habis oksigen dalam kamar mandi?!!
Banting setir Ronald ke pinggir jalan, mendebat Gusion yang masih syok.
"Apa tidak ada cara lain selain bersembunyi dalam toilet?! Dan apa-apaan benda itu?!!"
"Lebih ekstrim mana dari yey bergelantungan di jendela lantai 24?!"
"Baiklah, aku akan bergantung di jendela daripada berdua di toilet denganmu!" tegas Gusion, sedikit putus asa dengan pilihannya.
"Yey yang bodoh, yeh. Mau bunuh diri?!" Ronald melotot pada Gusion sebelum kembali fokus ke jalan karena hampir saja terserempet pengendara lain.
"Apa tidak ada jalan lain daripada memakai benda jahanam itu?!"
"Yey serahkan ke Karen. Kita berdua dalam toilet menunggu mereka. Deal?"
"Tidak!! Aku tidak akan--"
Sebuah ponsel merah bergetar di dashboard. Ronald mengangkatnya, menempelkan jari di depan bibir mengisyaratkan Gusion untuk diam.
"Yes baby Karen?! Omonacc!!! Is she met him now?! Go to cafe or what?! Okay okay my baby i'll arrived in five minutes, yey?!"
Telpon dimatikan dari seberang, Ronald bermuka panik.
"Kita harus cepat, heh! Mereka sebentar lagi ke room!"
"Sial!" Gusion mengacak kasar rambutnya, terlihat nanar dan dengan dahi mengernyit. Begitupun Ronald yang beralih ke sisi maskulinnya mengemudi dengan kecepatan tinggi dan wajah serius.
*
"Hai, cantik! Maaf membuatmu menunggu lama."
"E-eh, tidak apa-apa. Sudah selesai?" Lesley merapikan buku-bukunya yang terbuka, gegas memasukkan ke tas. Sangat gugup sampai tangannya sedikit tremor, tetapi ia harus tetap menguasai diri. Waktu menghadapi bahaya telah tiba.
"Wajahmu pucat. Kau sakit?" Claude menyentuh pipinya dengan lembut, dan Lesley tepis. Mereka berjalan beriringan menuju pintu lift yang tidak jauh dari lobi.
"Tidak, a-aku baik. Di room berapa?"
"Room 244. Roommate ku datang jam 9 malam nanti. Tidak apa-apa kan bila kita berdua saja?"
Nafasnya tertahan, tepat ketika sentuhan dirasakan di pinggang kiri, hampir turun ke pinggul.
"Um ... iya, tidak apa-apa. Tolong bisakah tanganmu ...."
"Oh maaf! Ahahahaha, maaf aku tak sadar." Claude menarik tangan kirinya dari belakang tubuh Lesley.
Menaiki lift bersama, beberapa orang masuk bersamaan sampai mereka berdua terimpit ke belakang, dengan posisi Lesley di depan. Di antara para pekerja yang baru datang untuk pergantian shift dan pengunjung berpakaian perlente, hanya mereka berdua yang masih di bawah umur. Lesley ingin menjerit meminta tolong pada mereka, tetapi kalau ia menyerah sebelum mendapatkan bukti, semua yang direncanakan hanya akan berakhir menjadi tuduhan palsu dan kasus pencemaran nama baik. Memejamkan mata, Lesley mengambil napas berat untuk menetralkan detak jantung yang makin kuat berpacu.
Tuhan, tolong aku, selamatkan aku, doa Lesley dalam hati sebelum pintu lift berdenting dan beberapa orang keluar. Ia membuka mata ketika ia dengar derap kaki orang-orang yang keluar tadi.
"Lantai berapa?"
"Lantai 24, Pak," jawab Claude pada seorang bapak berkepala nyaris botak. Lesley bergidik ketika bapak itu memandanginya dari ujung kepala sampai kaki dengan tatapan mesum, seakan siap menerkam. Memalingkan muka, ia berharap bisa keluar dari situasi mengerikan ini secepatnya.
"Kau terlihat gugup. Ada apa?"
"Tidak, aku baik-baik saja. Kau bawa buku-bukunya, kan?"
"Tentu saja aku bawa. Kalau tidak bawa bagaimana aku belajar bersamamu?" Claude tertawa karena pertanyaan Lesley yang terdengar canggung. Ia hanya mengangkat bahu, tak ingin bertanya mengapa.
Dentingan pintu lift terdengar lagi, seakan mengejek Lesley dengan tambahan suara "welcome to the hell". Terasa berat kakinya dilangkahkan, Lesley menepis pikirannya yang aneh, berusaha fokus pada rencana. Bapak-bapak mesum itu pergi lebih dulu, disusul Claude di depan dan ia paling belakang mengekor.
Berjalan di lorong, dari jendela kecil di depan terlihat langit sore dengan warna jingganya. Menggigit bibir--takut, khawatir tercampur aduk dalam hatinya. Ia ingin berlama-lama melihat ke langit, ia pikir ini terakhir kali melihat dunia dengan pandangan yang sama. Karena mungkin saja setelah apa yang terjadi hari ini, ia tak lagi ia yang biasa.
"Ayo, Ley." Claude membuka pintu setelah menempelkan kartu kunci pada display di bagian gagang bawah. Ia sudah bersiap dengan pulpen dengan kamera tersembunyi di saku baju dan stun gun di tas. Tidak ada lagi langkah mundur. Lesley bertekad dalam hati, apapun resikonya, ia harus menyelesaikan ini.
"Taruh saja tasmu di meja." Claude mengucapkannya bersamaan mengunci pintu dengan menaruh kartu kunci di wadah kecil tersemat di dinding. Seketika cahaya lampu menyinari ruangan, Lesley mengamati sekitar kalau-kalau ada hal yang mencurigakan. Namun, tak ada yang lebih mencurigakan dibanding sikap Claude sendiri yang tenang dan bersikap ramah.
"Apa kau haus? Aku ingin menelpon layanan kamar, tidak sempat minum tadi. Kau ingin memesan sesuatu?"
"Ti-dak, terima kasih." Lesley mengeluarkan buku-buku dari dalam tas. Buku matematika pegangan siswa, buku bersampul cokelat dengan tulisan Homework warna putih dan buku catatan kecil. Kemudian menaruh pulpen kamera tersembunyi dari saku ke meja, dengan ujung pulpen menghadap tempat ia dan Claude duduk.
"Jadi, nomor berapa yang masih belum dimengerti?"
"Tunggu sebentar, Ley. Aku mengirim pesan saja ke layanan kamar," sahut Claude sambil mengetikkan sesuatu di ponsel. Tidak lama, Claude melepaskan ponsel dan tersenyum lebar padanya.
"Sebelum lanjut ke matematika, aku ingin bicara padamu sebentar." Lesley mengernyit, tak lama untuk mengubah ekspresinya dan bertanya pada Claude, "Tentang apa?"
"Ah, ternyata di sini ada minuman, ahaha maaf aku baru pertama kali ke hotel jadi tidak tahu ada kulkas mini di sini." Membuka kulkas mini yang dapat diraih, sebelah alisnya menaik melihat botol wine, bir botolan yang cukup mahal dan air soda. Claude mengambil bir botol, kemudian mengambil pembuka botol di samping kulkas. Belum sempat Lesley membuka mulut, ia membuka botol bir dan menenggak isinya sampai sisa setengah.
"Akh, sangat enak!" Claude menggeram menghilangkan rasa tidak enak yang tertinggal di tenggorokan.
"Ka-kau, bukannya ki-kita belum usia legal untuk minum?" Terbata-bata Lesley bertanya pada Claude yang seakan tuli--kembali menenggak bir dengan rakus sampai hampir mendekati dasar botol.
"Haha, siapa peduli? Lagipula, hanya kita berdua di sini, Sayang." Lesley bergidik mendengar panggilan sayang itu ditujukan padanya. Dengan mata menyipit Claude mencondongkan tubuh pada Lesley, dengan Lesley bergerak menjauh mendorong dada Claude. Namun, seakan jantungnya berhenti sekian detik ketika Claude menahan tangan Lesley dan menariknya semakin mendekat sampai wajah antara mereka hanya sekian inci.
"Karena kau ada di sini, artinya kau milikku. Setidaknya sampai malam ini. Kau tak boleh berkata tidak."
"Apa yang kau lakukan?! Menjauh dariku!!!" Tenaganya tidak cukup kuat dari Claude yang tiba-tiba berdiri mengunci pergerakannya di depan meja. Terlebih ketika Claude menarik kerah kirinya secara paksa sampai sebuah kancing bajunya lepas. Lesley menjerit--tetapi tak sempat teriakannya keluar, Claude menutupi mulutnya dengan tangan.
"Diam, berengsek! Kalau kau melawan, kau akan kujual pada bos besar!!!"
Lesley melotot menandakan perlawanan. Ia ingin bergerak memberontak, tetapi tubuhnya seakan mati rasa. Terlebih ketika tubuhnya melayang dibawa Claude sampai terhempas ke ranjang. Mulutnya pun seakan terkunci. Hanya air mata yang mulai mengalir, satu persatu.
"Good girl. Jangan melawan dan ikuti saja alurnya, hmm?" Claude menduduki pahanya dan mengeluarkan kamera kecil yang dijepit di kerah pakaiannya. Pergerakannya terinterupsi oleh ketukan pintu. Claude menoleh, sampai terlihat di balik pintu seorang lelaki tambun menyeringai setelah menutup pintu. Itu pak tua yang menatapnya mesum di lift tadi!
"Aku akan mulai, Pak. Nikmatilah. Jangan lupa transfer ke rekening yang biasa."
Bapak tua itu mengacungkan jempol dan melepaskan sabuk celana. Menanggalkan pakaian dalam, menggosokkan kemaluannya dengan tangan kiri.
"Ja-jangan ... " Hanya kata itu yang bisa terlolosi dari bibirnya sebelum Claude melepas dasi Lesley yang masih terikat berantakan. Tubuhnya menegang, tetapi masih tak bisa bergerak, sedangkan pandangannya mengabur karena air mata memenuhi kelopak.
Akhirnya aku tahu bagaimana perasaan korban, perasaan teman sekelasku. Ayah, maafkan aku karena gagal menghindar, Lesley berkata dalam hati dengan pasrah.
Namun, tak sempat Claude melepaskan rok Lesley, dobrakan dari pintu toilet mengejutkan Claude.
"HEH BIADYAAAAAAAAB!!!"
Lengkingan teriakan Ronald membuat telinga mereka yang ada dalam ruangan berdengung. Untungnya Gusion yang juga keluar dari toilet mampu menguasai diri, langsung menerjang Claude sampai jatuh dari kasur dan menyetrumnya dengan stun gun sampai Claude tak sadarkan diri. Ronald sendiri memukul-mukul lelaki tua itu dengan tongkat baseball sampai pingsan setelah mengaduh-menjerit berkali-kali.
"Kau tidak apa-apa? Ada yang luka?" Gusion bertanya pada Lesley yang masih kaku, hanya menggeleng dengan ketakutan luar biasa masih terlihat dari wajahnya.
"Kau aman denganku sekarang. Ayo keluar." Gusion mengulurkan tangan pada Lesley. Masih gemetar, Lesley mengulurkan tangan menatap Gusion lekat-lekat.
"Kau akan baik-baik saja denganku. Aku bukan komplotan Claude atau semacamnya."
"Te-terima ka-sih." Kakinya masih lemah untuk berdiri, tetapi tetap ia paksakan. Bersamaan dengan Ronald yang melihat jijik pada pak tua yang masih terlihat kemaluannya, dobrakan pada pintu menampakkan beberapa orang berseragam polisi masuk ke kamar.
"Kau lama!" gerutu Gusion pada seorang lelaki yang sangat mirip dengan wajahnya--yang berbeda hanya potongan rambut ikalnya sedikit menutupi dahi.
"Maaf aku terlambat, Adikku. Kerja bagus!" Orang yang memanggil Gusion dengan sebutan adik itupun mengisyaratkan yang lain untuk mengangkut Claude dan Pak Tua yang pingsan.
"Ini kunci motormu. Aku yang membawanya ke sini untukmu!" Seorang perempuan dengan rambut pendek ikal cokelat melemparkan kunci motor pada Gusion.
"Thanks Giselle."
"Anything for you, lil brotha. Antarkan pulang pacarmu, sepertinya dia masih belum siap untuk memberi keterangan."
"Dia bukan pacarku, Kak."
"Tepatnya belum." Giselle mengedip pada Gusion yang wajahnya sedikit memerah kemudian.
"Maaf lama, Lesley. Aku yang akan mengantarkanmu pulang. Aku akan menjelaskan ini pada pak Jaksa Hans." Ia mengeratkan pegangannya pada bahu kiri Lesley ketika dilihatnya perempuan yang ia rangkul kepayahan untuk berjalan--kiranya ia masih lemas dengan kejadian tadi.
"Kau ke-nal ayahku?"
"Ayahmu yang memerintahkanku menjagamu dalam misi ini. Selebihnya nanti kujelaskan."
Beralih pada Gerald, Gusion memberikan kunci vespa. "Vespamu di mobil derek Ronald, dan kau berutang penjelasan padaku! Mengapa kau berikan vespa mogokmu padaku, berengsek?!"
"Oops, sorry. Bukannya kau sendiri yang memilihnya?" Gerald terbahak ketika melihat Gusion yang sebal sendiri karena salah memilih motor.
Tak ingin berlama-lama, Gusion keluar menuntun Lesley dari kamar sebelum petugas memasang garis polisi. Dari kiri lorong, ia melihat Ronald dipeluk seorang perempuan pendek rambut navy sepinggang sebelum dilepaskan. Ketika Gusion menepuk punggungnya, Ronald mengacungkan jempol sebelum kerahnya ditarik wanita bertubuh mungil di depannya dan diberikan kecupan. Gusion tidak ingin melihat kelanjutan dari aksi mereka berdua, sedangkan Lesley sendiri tidak sadar bahwa sepupunya juga membantunya keluar dari marabahaya ini.
*
Senja sudah tergantikan kelam malam saat Gusion membonceng Lesley dengan motor sportnya berwarna hitam melaju dengan kecepatan sedang, segan untuk menambah laju kendaraan kalau yang ia bawa merasa tidak nyaman. Lesley sendiri berpegangan di seragam Gusion, dengan kepala yang masih memakai helm menyenderi punggung belakang lelaki di depannya.
"Mengapa kau nekat sendirian? Itu sangat berbahaya, kau tahu! Dan dia bukan lelaki biasa!" Gusion mengeraskan suara agar Lesley bisa mendengar dari balik helm.
"Ma-maaf." Hanya kata maaf yang Lesley ucapkan, perasaannya maupun pikirannya masih berkecamuk.
"Lelaki berengsek itu anggota kelompok jaringan perdagangan manusia. Aku akan menjelaskannya nanti, kau harus istirahat. Peganganlah, aku akan mengantarmu lebih cepat!"
Lesley mengangguk lemah. Ia mengalihkan pegangannya dari pakaian Gusion ke bagian pinggang. Gusion melepaskan setir kiri untuk mengarahkan tangan Lesley agar lebih erat lagi.
"Tidak apa-apa, peluk saja aku." Lesley kembali mengangguk dan memeluk Gusion sepenuhnya. Gusion tersenyum tipis sebelum menaikkan kecepatan motor.
*
TBC
Maaf otor hiatusnya kelamaan huhuuu padahal target januari udah selese ini fic tapi malah engga kelar2😭
bakal ada 1 chapter lagi kayanya nih melenceng dari perkiraan otor ini fic cuma jadi 3 chapter aja
dikit lg semoga bulan ini udh kelar ya
"tor kok di sini lesleynya ga berdaya ya?"
nah yang itu ada penjelasannya nih
otor ambil dari artikel https://www.google.com/amp/s/gaya.tempo.co/amp/1318001/psikolog-ungkap-sebab-korban-pelecehan-sering-tak-bisa-melawan
ingat ya gais, kalau ada di antara kalian atau orang terdekat kalian mengalami revenge porn, pelecehan seperti Lesley di atas atau apapun yg dah masuk pelecehan, hubungi nomor di bawah ini
langsung laporkan ya gais kalo ada apa-apa! semoga kita dihindarkan dari kejadian tersebut amit2 ya allah😢
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro