Devil: Last Chapter
Di balik tirai jendela, awan sedikit menggelap, mendung dengan ranting-ranting pohon willow yang terlihat dari kamar Lesley bergerak ditiup angin. Lesley sendiri beberapa menit yang lalu membuka mata tiba-tiba karena mimpi buruk dan bangun bersandar di dinding. Tangannya mengalihkan helaian rambut yang menjuntai di depan wajah, menyampirkan ke telinga. Segera mengambil gelas berisi air di nakas, meminum beberapa tegukan, kemudian membuang napas panjang.
Teringat kejadian malam tadi membuatnya meringis. Berhadapan dengan bahaya, hampir kehilangan keperawanan. Sangat menakutkan. Segala taktik, rencana yang ia pikirkan buyar seketika saat tubuhnya mengalami tonic immobility. Selain keajaiban dari Tuhan, ia tak bisa meminta bantuan siapapun. Berteriak saja tidak mampu. Belum lagi ruangan hotel yang kedap suara dengan lorong yang sepi.
Lalu, ia teringat bagaimana siswa baru itu--Gusion menyelamatkan dengan ia yang keluar dari toilet. Sejak kapan ia berada di situ? Bagaimana bisa ia kenal ayahnya? Dan ia pikir Gusion tidak sendiri karena suara teriakan kemayu itu.
"Astaga." Lesley baru menyadari yang bersama Gusion adalah Ronald, sepupunya. Mereka tidak terlalu dekat, hanya bertemu saat jamuan keluarga atau pesta. Hotel tempat kejadian pun adalah tempat prestisius yang dikelola pamannya. Lesley merasa semuanya tidak masuk akal.
Begitu banyak pertanyaan, tetapi yang paling mengganggunya ialah, bagaimana bisa Claude memesan kamar di sana? Ia tak habis pikir. Ia ingat berapa sewa kamar tipe biasa permalam, harganya setara dengan sebulan uang jajannya ke sekolah. Hampir tidak mungkin seorang pelajar biasa dapat memesan kamar di sana.
"Aku harus berterima kasih pada Ronald." Pandangannya diedarkan ke sekeliling untuk mengingat di mana ia meletakkan ponsel. Di dalam tas? Tetapi, tasnya di mana?
"Apakah aku lupa membawanya malam tadi?" Lesley melenguh ketika ingat bahwa ia pulang hanya membawa diri diantarkan Gusion dan langsung tidur setelah membersihkan diri. Takut sendirian, ia meminta Harley untuk menungguinya di depan toilet kamar dan menopangnya untuk berjalan. Begitupun dengan Harley menyelimutinya dan menemani sampai ia terlelap.
"Barangkali ada seseorang yang akan membawakan tasku pulang." Ia pikir ia harus menanyai Harley atau ayahnya sekarang juga.
Pelan ia beringsut dari ranjang, hendak membuka pintu kamar. Namun, belum ia memegang gagang pintu, pintunya diketuk dari luar dan terbuka. Menampakkan Harley yang masih memakai piyama, mengusap mata sebelum berkata, "Sist, ada Gusion."
"Sopanlah pada yang lebih tua, Harl."
"Kecuali pada dia, aku tak mau. Sejak pertama melihatnya, ia menyebalkan!" Harley melipat kedua tangan di dada dengan bibir dimajukan. Lesley tersenyum sambil mengacak-acak rambut Harley yang memang masih berantakan.
"Hei, dont touch the hair!"
Kekesalan Harley membuat Lesley tertawa. Segera ia menjauh dari
Harley sebelum anak itu bertambah kesal.
*
"Maaf membuatmu menunggu lama. Aku harus membereskan kamar sebentar." Lesley datang dengan membawa nampan berisi dua gelas cangkir teh.
"Ah, iya." Gusion mengelus bagian leher belakangnya, sedikit tak enak hati. "Maaf juga karena sepagi ini berkunjung. Ini tasmu, kakakku yang menyuruh untuk mengantar ke sini."
"Kau sudah sarapan? Biar aku buatkan sesuatu. Mau Pancake? Omelette Toast?"
"Tidak apa-apa. Tadi aku sudah sarapan," tolak Gusion dengan halus. Lesley hanya mengangguk dan duduk di sofa, mempersilakan Gusion untuk minum.
"Sebenarnya banyak yang hendak kudiskusikan denganmu, dan keputusan antara aku dan ayahmu juga. Ini mengenai kejadian malam tadi."
Lesley mengembuskan napas yang awalnya sedikit tertahan. Menunggu kelanjutan penjelasan Gusion.
"Ayah--maksudku Pak Jaksa Hans bicara padaku bahwa bukti yang dikumpulkan masih kurang untuk menjerat komplotan itu, semuanya. Pulpen yang kau bawa untuk merekam malam tadi hanya sampai kau berdiri dari meja karena di saat terakhir si berengsek itu mengalihkan kameranya ke dinding."
"Bagaimana dia bisa tahu bahwa pulpen yang kukeluarkan bukan pulpen biasa?!" Lesley mengepalkan tangan penuh amarah. Mempertaruhkan diri sendiri, persiapan sekuat yang ia bisa, ternyata masih juga belum memberikan hasil yang baik.
"Mungkin karena dia sudah biasa memakai benda semacam itu." Gusion memperkirakan, diikuti embusan napas sebelum ia mengumpat, "dia memang bajingan sejati!"
"Akh!" Lesley mendesah dengan kepala tertunduk, tangan memegangi kepala, memikirkan apa lagi hal yang bisa ia lakukan agar Claude dan orang-orang berhubungan dengannya--semuanya, mendapat balasan setimpal. Menggigit bibir bawah, ia berpikir bahwa ada satu hal yang bisa ia lakukan; bernegosiasi dengan seseorang. Dialah saksi kunci suatu peristiwa yang dapat membuat mereka semua binasa di penjara.
"Aku ada ide. Aku akan menemui seseorang. Aku akan membujuknya agar bisa menjadi saksi."
"Siapa?"
"Teman sekelas kita. Apa kau tak ingat? Yang bertato libra .... "
Gusion terhenyak, terpana sesaat. Benar, perempuan itu. Perempuan yang terseret dalam kejadian yang sangat mirip polanya dengan Lesley alami.
*
Ruang sidang
09.25
"Perhatian, hakim sudah memasuki ruangan. Anggota sidang dimohon untuk berdiri."
Seluruh hadirin yang berada dalam ruang sidang pun berdiri, tak terkecuali seorang remaja perempuan berhelaian burgundi yang duduk di samping lelaki tua dengan jubah hitam lebar, memiliki papan penanda "Jaksa Penuntut Umum" di atas meja. Ia, Lesley dan sang jaksa yang tak lain ayahnya sendiri memperhatikan hakim yang berjalan sampai ke kursinya. Wajah hakim yang penuh kerutan itu tak mengaburkan karismanya sebagai seorang penegak keadilan.
"Hadirin dipersilakan duduk kembali."
Mereka semua yang ada di dalam ruang sidang duduk kembali. Jaksa Hans kembali sibuk dengan berkas tuntutan yang ia siapkan. Sekilas Lesley melihat Claude yang menatap lurus ke depan, senyum miring terangkat, seakan tak merasa bersalah sama sekali. "Benar-benar seperti psikopat," umpat Lesley dalam hati.
"Jaksa penuntut umum dimohon untuk membaca sumpah pengadilan."
Jaksa Hans berdiri, dengan tangan kiri mengacung ke atas, tangan kanan memegang buku sumpah pengadilan. Dibaca dengan nada tenang dan penuh wibawa. Lesley yang duduk memandangi ayahnya terpana. Seumur hidup, ini pertama kali ia lihat sang ayah bekerja langsung di pengadilan. Namun, ia seperti menangkap nada gemetar di situ. Gemetar kemarahan.
Tidak lama, Jaksa Penuntut Umum duduk kembali. Ayah Lesley kembali membaca berkas, tak berbicara. Hanya fokus pada kertas-kertas di depan, melingkari hal-hal penting yang menjadi catatan.
"Dalam hal ini, jaksa penuntut umum menuntut tersangka dalam pasal pencabulan dan percobaan pemerkosaan."
"Saudara penuntut, silakan membaca sumpah pengadilan."
Giliran Lesley yang berdiri, mengangkat tangan sebelah tangan, membaca sumpah pengadilan. Berusaha sekuat tenaga agar suaranya tidak terdengar gemetar.
"Saudara penuntut, silakan melanjutkan memberikan kesaksian."
Tangan Lesley tremor. Segugup itu, sampai kertas dakwaan di tangan ikut bergetar. Kedua matanya berkaca-kaca ketika ingatan bagaimana Claude hampir mencabulinya terlewat lagi. Membuang napas berat, ia menatap tajam pada Claude di seberang yang tertawa meremehkan, kemudian berbisik pada si pengacara.
"Yang Mulia Hakim. Saya akan memberikan kesaksian saya mengenai apa yang terjadi pada saya sebelum kejadian selasa malam. Dua minggu yang lalu, dia mendekati saya dan tak lama langsung mengklaim saya sebagai kekasihnya, padahal sama sekali saya tak mengiyakan. Dia meminta saya mengirimkan foto-foto bagian tubuh saya, seperti bibir, mata yang diperban," Lesley menunjukkan foto bukti dari slide, "juga meminta foto kaki. Belakangan ini, saya mengetahui bahwa marak terjadi penjualan foto anggota tubuh kepada pelanggan luar negeri yang memiliki kelainan seksual. Dan saya tidak pernah mau menuruti permintaannya karena belakangan ini saya mengetahui bahwa Pak Jaksa Hans sedang menyelidiki kasus penyebaran video pornografi seorang remaja perempuan yang tersebar di sekolah. Motif dan ancamannya terlihat memiliki pola yang sama, dimulai dengan meminta sejumlah foto anggota tubuh sampai kepada foto tanpa busana. Setelah itulah si korban diminta untuk bertemu di suatu tempat, diancam foto-fotonya akan disebarkan apabila tak dituruti. Beberapa hari kemudian, video seorang perempuan yang diduga adalah korban diperkosa beramai-ramai menyebar di sekolah kami."
Dari seberang, Claude tertawa geli meremehkan Lesley, sampai bahunya terguncang-guncang. Begitupun dengan pengacaranya yang ikut tersenyum sinis. Namun, Lesley tak peduli dan meneruskan kesaksian.
"Malam selasa, di waktu kejadian. Dia meminta saya datang ke hotel dekat tim basket lomba untuk mengajari matematika. Saya mengiyakan ajakannya agar saya bisa membuktikan kejanggalan selama ini. Saat itu saya membawa bukti berupa pulpen pengintai. Salinan rekaman sudah ada di sini." Lesley mengambil kantong berisi pulpen dan kartu memori, memberikan kepada petugas untuk diputar.
Terlihatlah dari layar, Lesley yang membuka buku pelajaran dan Claude yang mencari-cari sesuatu di kulkas. Kemudian, ketika Lesley tak melihat pulpen itu bergeser sampai hanya menampakkan dinding. Terdengar teriakan dan ancaman oleh Claude, begitupun dengan perkataannya pada seseorang yang mengatakan "bayarannya seperti biasa". Hening sebentar, tiba-tiba ada suara lengkingan keras yang tak lain adalah suara Ronald. Menyusul bunyi gebuk dan sengatan listrik. Tak lama, ada dobrakan pintu dan derap banyak kaki, juga seruan polisi menyergap. Terakhir, wajah seorang lelaki berseragam kepolisian terlihat sebelum video itu habis. Hampir seluruh anggota sidang riuh berdesas desus karena video itu. Wajah Claude memerah, buku-buku tangan yang mengepal pun memutih. Pengacaranya memerintahkan Claude untuk tenang.
"Hadirin persidangan diharapkan untuk tenang!" Hakim mengetuk palu tiga kali untuk mendiamkan anggota persidangan.
"Saudara penuntut, silakan dilanjutkan."
"Dia membiarkan pak tua itu masuk dan membuka celana, mengeluarkan alat kelaminnya. Pak Hakim, dia hampir memperkosa saya! Dia menindih saya dan mengancam akan menjual saya apabila memberontak!"
"Pak Hakim, itu semua bohong! Itu rekayasa! Rekaman itu tidak benar dan tidak bisa dipertanggungjawabkan karena tidak ada wajah saya di sana selama ada ancaman itu!"
"Terdakwa diharapkan untuk diam. Kali ini, silakan saksi dari tersangka untuk memberikan kesaksian."
Saksi yang dimaksud adalah seorang remaja laki-laki--yang Lesley pikir adalah teman dari Claude yang tak ia kenal. Mencurigakan, pikir Lesley.
"Yang Mulia Hakim, saya tahu Claude memang sering meminta foto-foto anggota tubuh. Tetapi, dia tak pernah menjual foto-foto itu seperti prasangka penuntut! Ia hanya meminta untuk keperluan menggambar karena dia memiliki komunitas pelukis di luar sekolah. Tuduhan dari saksi tidak berdasar! Saya bisa memberikan bukti yang valid!" Saksi itupun mengeluarkan foto-foto lukisan yang diklaim milik Claude pada pemeriksa bukti.
"Itu benar! Anda tidak bisa menuduh klien saya tanpa bukti konkrit!" tambah si pengacara berapi-api. Claude tersenyum puas, menatap Lesley remeh. Ketika Lesley menghadapnya, ia hanya mengangkat bahu, menahan tawa.
Lesley tak tinggal diam. Ia menggeram dengan napas memburu. Berani-beraninya lelaki itu menyangkal dengan alibi yang terdengar sempurna!
"Pak Hakim, izinkan saya memanggil saksi tambahan untuk masuk dalam sidang."
Hakim pengadilan sedikit terkejut. Ia berbicara pada wakil hakim lain untuk menanggapi. Terlihat mengangguk-angguk, kemudian menjawab,
"Saudara penuntut, anda dipersilakan untuk mengundang saksi tambahan."
Maka, tampaklah seorang perempuan yang awalnya menunduk, lalu menatap lurus ke depan menuju kursi tempat saksi. Teman-teman sekolah Lesley yang turut hadir di sana tercengang ketika mengetahui siapa yang ada di sana. Perempuan yang dulunya berambut rambut hitam pendek, kini terlihat disemir warna abu-abu separuh. Setelah mengangkat kepala menghadap hakim, ia beralih pada Claude yang melihatnya melongo.
"Saya mengajukan saksi tambahan. Lunox, teman sekelas saya. Dia memiliki bukti kuat untuk menangkap tersangka. Dia adalah korban pemerkosaan oleh komplotan lelaki jahat itu!"
*
Tiga hari sebelum persidangan
10.02 pagi
Pencetan bel yang kedua, tetapi tuan rumah belum juga mau membukakan pintu untuknya.
"Ini aku, Lesley. Aku memohon bantuanmu."
Tak ada jawaban. Lesley resah, hampir putus asa. Ia kembali menekan bel, berkata, "Aku harus berhasil membuat lelaki itu masuk penjara. Dia juga lelaki yang membuatmu seperti ini. Kumohon bantu aku. Percayalah padaku, dengan bantuanmu aku pasti bisa!"
Masih tak ada tanda-tanda pintu terbuka. Tak ada suara langkah kaki mendekat. Lesley ingin menyerah. Digigitnya bibir bawah, ia menekan bel lagi. Barangkali ini yang terakhir, pikirnya.
Lesley membuang napas, kiranya sudah cukup hari ini. Bisa saja ia akan datang malam atau besok pagi. Ia hendak menekan aplikasi taksi online, bersiap untuk pulang.
Namun, langkah kepergiannya terhenti ketika ia rasakan derap kaki mendekat dari balik pintu. Ketika menoleh, pintu itu terbuka sedikit, menemukan seorang perempuan berpotongan rambut pendek memakai dress rumah warna persik.
"M-masuklah. Aku sudah menelepon suamiku. Ia akan pulang lebih awal hari ini."
*
"Jadi ... kau sudah menikah?"
"I-iya. Ceritanya panjang. Ka-karena mengetahui kejadian itu, sakit ayahku semakin parah dan harus kembali ke rumah sakit. Dia menitipkanku pada mantan asistennya yang kini menjadi komisaris menggantikan ayahku. Ayahku hanya ingin dia yang satu-satunya menjagaku seumur hidup sebelum ayahku ... ayahku pergi dari dunia ini. Ka-karena itu, aku dijodohkan dan menikah diam-diam." Terbata-bata Lunox mengungkapkan keadaan. Mengangguk, Lesley tidak mau mengomentari apa yang terjadi dari penjelaskan temannya. Keadaan yang dialami Lunox sangat berat, lebih berat darinya. Akhir-akhir ini saja ia sering mimpi buruk, bagaimana dengan Lunox?
"Lalu bagaimana dengan sekolahmu?"
"Aku homeschooling, tiap pagi sabtu guru datang mengajariku."
Lesley mengangguk paham, membiarkan Lunox menjelaskan keadaannya lebih lanjut.
"Aku juga menjalani psikoterapi. Dan syukurnya, suamiku sangat pengertian. Di-dia juga belum pernah menyentuhku," jawab Lunox dengan cicitan di akhir, di wajahnya terlihat ia tersipu. Ia bisa merasa sedikit lega, ternyata masih ada yang menjaga perempuan di sampingnya ini.
"Suamiku orang baik. Setelah dia mengetahui kejadian itu, dialah yang mengurus laporan ke polisi, sendirian. Tetapi, sampai sekarang aku masih belum siap memberi keterangan. Lalu, kudengar kasus sudah dialihkan ke kejaksaan?"
"Benar. Ayahku seorang jaksa yang mengambil alih perkara ini. Aku berusaha menjebaknya untuk menangkapnya sendirian, tetapi keadaan berbalik."
Kedua matanya membulat ketika mendengar pernyataan Lesley. "Be-berbalik seperti apa?"
Lesley menceritakan bagaimana ia menyusun rencana sendirian dengan mengorbankan diri, melaporkan tiap pesan yang diterima sampai hari di mana ia hampir jadi korban selanjutnya. Sepanjang penjelasan, Lunox menutup mulut karena terkejut. Ia menggenggam tangan Lesley dan hampir menangis karena berempati. Ia teringat lagi pemerkosaan beramai yang ia alami. Hampir saja ia kesulitan bernapas andai Lesley tidak menanyainya.
"Apa kau punya bukti mengenai bagaimana pelaku melakukan itu kepadamu? Apakah dia kenal dengan Claude?"
"Tunggu sebentar." Lunox meninggalkan Lesley sebentar, berbelok ke sebelah kiri. Lesley pikir ia mengambil sesuatu. Dan benar saja, Lunox kembali datang bersama ponsel berwarna biru tua.
"Temannya mengancamku dengan mengirimi video itu. Aku menyimpan tangkapan layar dari ponselku sebelum ia menarik semua pesan dan memblokirku." Lunox menyerahkan ponsel pada Lesley. Baru membaca beberapa kalimat dalam chat di tangkapan layar, Lesley menggemeretukkan gigi. Jemarinya bergetar, mulutnya terasa gatal ingin mengumpat. Andai ia tidak merasa segan pada Lunox yang lembut dan sopan, ia akan kehilangan kendali. Beraninya bajingan seperti mereka mengancam perempuan!
"Ini tidak bisa dibiarkan! Akan makin banyak korban apabila mereka tidak ditangkap! Apa aku boleh meminta keteranganmu nanti sebagai saksi?"
"Um ... em, se-sebenarnya aku ragu. Tetapi, bagaimana caranya?"
"Kau bisa mengandalkanku." Lesley mengenggam tangan Lunox kuat-kuat. "Percaya aku, hm? Dengan bantuanmu aku pasti bisa!"
*
What should you do? Excuse, apologies, they all don't work anymore,
You've crossed the line
You'll cry and beg me later, and I won't blink
It doesn't mean anything to me to end you at once
A real cruel devil doesn't know much on the surface
I'm gonna have a lot of fun, just like you wanted
A real bad devil doesn't know much on the surface
*
Persidangan semakin memanas tepat ketika Lunox memberikan seluruh kesaksian. Ia duduk kembali, merasa lemas sekaligus lega. Ia memandang pada Lesley, seakan mengatakan, "Aku berhasil, kan?"
Lesley mengangguk, bangga dengan temannya yang berani mengungkap kebenaran. Kedua matanya berbinar menatap Lunox dari kejauhan.
"Kesaksiannya tidak ada hubungannya dengan kasus ini! Pak Hakim, klien saya sama sekali tidak mengenal lelaki yang ia maksudkan!" sanggah Pengacara dengan berdiri, menunjuk-nunjuk pada Lunox dengan emosi.
"Pengacara, anda diharapkan tenang." Hakim mengetuk palu satu kali.
Jaksa Hans tak tinggal diam. Ia sudah menduga mereka menyangkal. Maka, ia berdiri dan berkata, "Kalau begitu, kami akan mengundang tersangka kasus saudara Lunox."
Claude tak berkutik. Wajahnya memucat, meminta pada sang pengacara agar mencegah itu terjadi.
"Itu tidak bisa dilakukan! Bukankah tidak bisa mengundang tersangka menjadi saksi?!" Si pengacara beralih menunjuk pada Jaksa Hans.
"Dalam hal ini, dia adalah saksi kunci yang saya siapkan. Pak hakim, dimohon kebijaksanaan anda." Jaksa Hans duduk kembali. Lesley berdoa pelan, kiranya kesaksian tersangka bisa memenangkan tuntutannya dan menjerat Claude. Sang Hakim mengizinkan ia orang yang dimaksud masuk ke ruang sidang.
Maka, masuklah seorang pemuda memakai pakaian tahanan nomor 2035 di dada kiri, tangan masih berborgol. Claude terbelalak kaget, begitupun dengan si pengacara.
"Kau! Kau berengsek! Berani-beraninya kau mengkhianati kami! Kau harus masuk penjara bersamaku! Sialan!" Tubuh pemuda itu ditahan petugas pengadilan. Ia memberontak. Keadaan sidang menjadi ribut tepat ketika si tahanan berhasil lepas dari kekangan petugas, memukul kepala Claude dengan borgol yang tergelang di tangan. Si pengacara yang melerai tak luput dengan pukulannya. Sebagian anggota sidang kabur dari persidangan karena ketakutan kalau salah sasaran.
"Pak Hakim! Ia adalah anggota kami yang berkhianat mencari keuntungan sendiri! Dia mencari klien di luar perantara, juga membuat video tanpa mengirimkan ke kami! Tangkap saja dia!"
"Seluruh anggota pengadilan dimohon tenang!" Hakim mengetuk palu tiga kali, tetapi tak mempan juga. Lesley memandang ayahnya, ingin bertanya apa yang harus mereka lakukan karena keadaan memanas. Pengadilan tidak memungkinkan untuk dilanjutkan karena lelaki mengamuk itu tak bisa dikendalikan. Ia mulai menendang, melempar mikrofon dan melempar kursi pada Claude dan pengacara.
"Dengan ini, pengadilan lanjutan akan diadakan setelah keadaan kembali kondusif!" Hakim mengetuk palu tiga kali, dan pergi meninggalkan ruang sidang dengan menutupi kepala.
"Ayah!" panggil Lesley ketika Jaksa Hans memegang tangannya setelah bersiap membereskan dokumen di meja. Ketika Jaksa Hans berdiri, iapun ikut berdiri.
"Kita harus pergi. Setelah Gusion dan Ronald selesai diinterogasi, kita bisa menambahkan bukti lebih kuat lagi."
*
"Bagaimana perasaanmu sekarang?" Di lobi Pengadilan Negeri, Lesley menemui Lunox yang hendak ke luar.
"Cukup ... cu-kup lega. A-aku bisa melakukan ini. Terima kasih, Lesley!"
Lunox memeluk Lesley erat-erat. Lesley membalas pelukan dengan mengelus punggung Lunox. Begitupun dia, perasaannya kini lebih ringan. Prioritasnya kini adalah menyelesaikan persidangan lanjutan dan si cabul itu ditangkap.
"Hei, kau menangis?"
"U-uh, maaf," jawab Lunox sambil mengusap wajahnya. Ia tidak kuasa menahan kelegaan dan kebahagiaan yang dirasakan.
"Kau hebat, Lunox. Kau berhasil melakukannya. Selebihnya serahkan padaku dan kejaksaan."
Lunox mengangguk setuju, masih dengan linangan air mata kelegaan.
"Karenamu juga, kepolisian dapat mengeluarkan surat izin penangkapan dan pelacakan komplotan mereka yang lain. Kuharap tidak ada lagi korban selanjutnya." Lesley melepas pelukan mereka, menggenggam tangan Lunox. Dari matanya, Lesley kagum pada Lunox yang akhirnya berani untuk speak up. Baginya, tidak mudah untuk melakukan itu. Tidak mudah untuk kembali membuka peristiwa besar yang membuat trauma dan luka menganga.
"Lunox." Seorang pria dewasa memakai setelan jas dan berhelaian pirang memanggil Lunox, tersenyum tipis setelahnya.
"Ah, i-iya, Kak." Lunox mendekat pada lelaki itu yang tak lain adalah Leomord, suaminya.
"Terima kasih karena telah membantu kami." Leomord mengangguk sopan pada Lesley.
"Ur welcome, Pak. Jaga temanku, ya."
"Percayakan padaku." Leomord meletakkan tangannya ke dada, memejamkan mata.
"Hati-hati di jalan!" Lesley melambai pada mereka. Lambaian Lesley dibalas oleh Lunox sebelum mereka berdua berbelok ke kanan untuk ke basemen tempat parkir.
"Hei. Sudah hampir senja. Mau minum sesuatu?" Suara lelaki yang ia kenal mengejutkan Lesley.
"Gusion! Sejak kapan kau ada di sini?!"
"Baru saja. Yah, maaf karena aku lama. Ronald masih diinterogasi di kantor polisi karena ia baru saja datang. Maaf karena aku juga belum bisa memberikan keterangan di persidangan." Dari wajahnya, Gusion menunjukkan penyesalan.
"Persidangan lanjutan akan dihelat, mungkin beberapa hari lagi. Tadi ada chaos, dan ternyata dugaanku benar! Mereka memiliki komplotan! Itu benar-benar gila!"
"Kau tidak boleh tak menceritakan itu padaku!" sahut Gusion, ia penasaran dengan kejadian di persidangan hari ini.
"Tentu saja aku akan bercerita padamu. Ah, aku mau caramel frappe!"
"Tentu, aku membawa dua helm, satu untukmu." Gusion tertawa kecil, kemudian tersenyum. Lesley mengangguk sebelum membuang muka. Senyum lelaki itu seakan menjadi penawar kegugupan atas persidangan selanjutnya. Ia berharap ia akan mendapatkannya lagi nanti. Ataukah ia berkhayal ia berhak menerima itu ... selamanya?
Yang pasti, ingatkan Lesley untuk kembali ke dunianya sekarang!
END
AH OTOR TAK MENYANGKA BISA MENAMATKAN INI AAAAAAAA
TERIMA KASIH UNTUK SEMUANYA YANG MENDUKUNG OTOR SELAMA INI HUHUUU MAAF MENGGANTUNGKAN KALIAN SEMUA KARENA KELAMAAN UPDATE AAAAAAA
Dan shout out kepada Aslyne_Na karena membuat art gusley sebagus ini aaaaa terima kasih banyaaak😆😍💕
OTOR INGATKAN SEKALI LAGI, JIKA KALIAN ATAU ORANG TERDEKAT, TEMAN, MENGALAMI PELECEHAN ATAU REVENGE PORN, JANGAN TAKUT UNTUK MENGADU PADA KOMNAS PERLINDUNGAN PEREMPUAN!
Sekian, sampai jumpa di karya otor lainnya
tetap cintai kapal kita yaaaa😘😘
p.s: dikarenakan ada semacam plot hole, otor akan memberikan extra chapter (bila engga mager😂)
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro