Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

ELARA SUIREN

"Hustt, kau jangan katakan jika aku ada di sini." seorang wanita bermata hijau berlarian kemudian dengan cepat memanjat pohon yang ia temukan dengan begitu terburu. Ia memberi intruksi pada temannya yang duduk memegangi buku tepat di bawah pohon apel. 

Wanita berambut pendek  itu langsung meletakkan buku yang dibacanya tadi dan  mendongak sembari menaikkan kacamatanya untuk memperjelas pandangannya. "Tapi bagaimana jika Orla tahu kau ada di sini, bisa-bisa ia akan memarahiku juga. Kau tahu aku masih sayang dengan nyawaku," ucapnya dengan nada takut.

"Asalkan kau diam Orla tidak akan tahu tentang keberadaanku." wanita bermanik hijau itu berucap dengan nada pelan serupa bisikan, matanya masih awas dengan situasi sekitarnya. 

"Apa kau lupa Elara, setiap kali kau bersembunyi Orla akan tahu dan dia akan menghukummu." wanita berambut hitam legam itu mengentakkan kedua kakinya gemas akan tingkah Elara yang selalu kabur tiap kali mendapat pelajaran sihir dari Orla dan tiap kali pula Elara tertangkap basah oleh Orla dan alhasil Elara akan dihukum oleh Orla. 

"Tapi kali ini aku yakin Orla tidak akan tahu." sahut Elara mantap sambil menolehkan kepala ke segala arah, takut jika tiba-tiba Orla muncul dan menangkap dirinya. 

"Pokoknya aku tidak akan tanggung jawab Elara." temannya itu menggerutu dan menaikkan kacamatanya yang agak turun.

"Hustt .. hustt .. dia datang cepat pura-pura saja tidak melihatku sana." Elara menempelkan jari telunjuknya di bibir dan buru-buru menyuruh temannya itu berbalik saat ia melihat Orla datang dari kejauhan menuju tempatnya bersembunyi. 

"Iya bai ..."

"Audrey, dimana Elara?" tanya Orla dengan mata memicing lebih tepatnya bertanya dengan nada penuh curiga, Audrey menggaruk kepalanya yang tidak gatal dan berdehem. 

"Entahlah aku tidak tahu." Audrey mengendikkan bahu sembari terkekeh untuk menutupi kecurigaan Orla pada dirinya. 

"Apa kau tidak melihatnya, dia tadi berlari ke arah sini." ucap Orla sambil berkacak pinggang dan matanya menoleh ke kanan dan ke kiri untuk mencari keberadaan Elara si gadis nakal. Setiap kali ia belajar sihir dengan Orla anak itu akan mencari banyak alasan untuk membolos. 

"Tidak, aku dari tadi duduk di sini, aku tidak melihat siapapun." kilah Audrey mantap.

"Apa kau yakin?" tanya Orla sekali lagi. 

"Te-tentu saja, kenapa tidak." sahut Audrey terbata.

"Baiklah kalau begitu aku akan mencarinya ke tempat lain." Orla kemudian berlalu dari sana.

Audrey mengembuskan napas dan mengelus dadanya dnegan telapak tangan, ia tidak sadar jika dari tadi ia menahan napasnya saking takutnya. "Elara, Orla sudah pergi kau cepatlah turun." Audrey mengibaskan tangannya menyuruh Elara turun dari atas pohon apel.  

Elara tersenyum puas karena Orla tidak mengetahui persembunyiannya dan ia langsung meloncat turun dari atas pohon apel. "Oke aku akan turun sekarang."

Baru saja Elara turun dari pohon apel sesuatu dari belakang menjeratnya, apalagi kalau bukan sihir dari Orla, wanita itu mengikat tubuh Elara dengan tali sihir miliknya agar Elara tidak bisa kabur lagi. "Aku sudah katakan kau tidak akan bisa lari Elara."

"Eh.. eh.. Audrey tolong aku Audrey." Elara merengek pada Audrey yang masih berdiri terpaku. Orla mendelik dari belakang punggung Elara yang membuat Audrey bergidik, Orla terlihat sangat menyeramkan dengan matanya yang hampir melompat keluar. 

Audrey cepat-cepat merapikan bukunya dan memasukkannya ke dalam tas. "Emm, itu Elara, maafkan aku. Aku baru ingat kalau aku harus ke perpustakan sihir hari ini. Aku lupa mengembalikan buku yang aku pinjam kemarin," kemudian Audrey berlari meninggalkan Elara dengan Orla di sana.

"Eh.. eh.. Audrey tunggu dulu." teriak Elara pada punggung Audrey yang sudah menjauh. 

***

"Apa itu benar Elara? Kau kabur dari kelas sihirmu hari ini?" tanya Fayette menatap anak satu-satunya itu dari kursi kebesarannya. Setelah menangkap Elara, Orla membawa Elara ke kastil dan langsung mengadukannya ke Fayette. Ini sudah ke sembilan ratus sembilan puluh sembilan kalinya Elara kabur dari kelas sihir Orla. 

Orla sebenarnya menjadi pengajar untuk  ilmu sihir perlindungan diri di sekolah sihir untuk seluruh anak-anak peri penghuni Chaerhayes Palace. Orla mengajarkan muridnya bagaimana melindungi diri di dalam peperangan. Entah kenapa setiap kali  belajar ilmu sihir perlindungan diri, Elara tidak dapat menguasainya dengan baik. Tiap kali ia mempraktekan ilmu sihir itu saat bertarung dengan lawannya ia selalu kalah dan itu membuat Orla marah. Entah kenapa ilmu sihir Elara berada di level bawah dari teman-temannya yang lain.  

"Tidak kok bu, aku tadi hanya merasa sedikit pusing saja maka dari itu aku tidak mengikuti pelajaran sihir dari Orla." Elara membuat alasan kemudian berakting memegangi perutnya dan pura-pura menampilkan wajah meringis kesakitan.  

"Kau masih mengelak Elara, sangat aneh karena sakit perutmu itu selalu datang pada saat aku mengajar." Orla melirik Elara dari ujung matanya.

"Kau tahu sendiri aku tidak bisa mengontrol sakit perutku, bukankah itu gejala alami yang tidak bisa ditunda-tunda kau tahu sendiri bukan bahayanya menahan sakit perut terlalu lama." Elara mencoba membela diri, Fayette yang melihat Elara hanay bisa megembuskan napas dan meggeleng. Ia terkadanga heran dengan tingkah anaknya itu, Elara termasuk satu-satunya peri yang sangat malas belajar sihir. Elara lebih suka menghabiskan waktunya hanya untuk bermain dengan teman-temannya ketimbang belajar sihir. 

Sebagai kaum peri sihir adalah hal yang sangat penting di kehidupan mereka, selain untuk perlindungan diri sendiri sihir juga mereka gunakan untuk melakukan berbagai aktivitas mereka setiap ahrinya. Mulai dari merawat seluruh tumbuhan di Chaerhayes Palace, bekerja, berburu semua mereka lakukan denagn ilmu sihirnya. Bahkan mereka terbang menggunakan sayapnya juga menggunakan ilmu sihir. 

Bicara soal sayap, Elara juga satu-satunya peri yang belum bisa menampilkan dan menggunakan sayapnya untuk terbang. Fayette menjadi khawatir karena selam ini Elara belum pernah sekalipun menggunakan sayapnya untuk terbang, tiap kali ia bepergian Armoslah yang selalu mengajak Elara terbang, atau teman-teman Elaralah yang terkadang mengajak wanita itu melintasi udara. Dibanding dengan teman-teman lainnya Elara termasuk sangat terlambat menyerap sihir yang diajarkan. 

"Ck, alasan saja." sergah Orla cepat.

"Ada apa ini?" suara bariton itu membuat suasana menjadi hening, Elara menoleh ke arah pintu dan mendapati Armos sedang berjalan memasuki hall. 

Elara berlari dan menghambur ke pelukan Armos kemudian bergelayut manja. "Ayah, kau datang aku merindukanmu."

Tahu Tuannya datang, Orla membungkuk dan menyilangkan kedua tangannya di dada tanda  penghormatan. "Selamat datang kembali Tuan Armos." 

"Aku juga merindukanmu." Armos terkekeh dan membalas pelukan putrinya itu.

"Armos coba bicaralah dengan anakmu itu, ia baru saja membolos dari kelas sihirnya." ucap Fayette mengembuskan napas dan memejamkan kedua matanay sembari memijit batang hidungnya. 

"Apa itu benar Elara?" tanya Armos menaikkan satu alisnya. 

"Ya." 

"Tidak." Orla dan Elara menjawab bersamaan. 

Armos mengembuskan napas dan mengibaskan tangannya pada Elara agar anaknya itu keluar dari hall, sepertinya Elara membuat masalah lagi. "Ayah akan bicara denganmu nanti, sekarang kau pergilah."

"Baiklah ayah, aku mencintaimu." Elara mencium pipi Armos sekali kemudian berlari cepat dari sana. 

"Ayah juga mencintaimu." sahut Armos pada punggung Elara yang sudah menjauh, dasar anak itu, "baiklah Orla sekarang kau boleh pergi, aku ingin bicara dnegan istriku terlebih dahulu," lanjut Armos.

"Baik Tuan, saya mengundurkan diri." Orla membungkuk kembali dan melipat kedua tangannya di dada kemudian berlalu dari sana.

Fayette bangkit dari kursi dan berjalan ke jendela dan menatap seluruh pemukiman warga dari atas kastilnya. "Aku tidak tahu apa lagi yang harus aku lakukan Armos. Ilmu sihir Elara tidak berkembang sama sekali." desah Fayette penuh prustasi memikirkan keadaan anaknya itu mengingat ilmu sihir Elara masih begitu rendah. 

Armos mendekat dan melingkarkan kedua tangannya di perut Fayette, ia menyandarkan dagunya di bahu istri tercintanya itu. "Mungkin saja belum menyerap ilmu sihir dengan baik, kita harus bersabar."

"Sampai kapan Armos, bukankah Elara sudah berusia seribu delapan ratus tahun tetapi kemampuan sihirnya masih jauh dibawah itu. Seperti yang kau tahu ilmu sihir sangat penting bagi kaum kita dan bagaiman jika suatu hari kembali terjadi peperangan antar tiga alam, apakah Elara bisa melindungi dirinya sendiri. Anak itu tidak bisa terus bergantung pada kita berdua bukan."

Armos bergerak mengecup bahu Fayette sekali dan menghirup aroma wanita itu, aroma favoritnya selama ini. "Aku tahu kekhawatiran dirimu sayang, tapi coba kita berikan waktu lagi untuk Elara belajar ilmu sihir di sekolah sihir."

"Bagaimana anak itu bisa belajar sihir jika ia selalu saja kabur saat ada kelas sihir." decak Fayette.

"Nanti aku akan bicara lagi dengannya, dari tadi kau membicarakan Elara, apakah kau tidak merindukanku. Aku baru saja pulang dari perbatasan, kenapa aku merasa hanya aku saja di sini yang merindukanmu." ucap Armos penuh nada manja dan memberikan kecupan seringan bulu pada leher jenjang Fayette hingga membuat wanita itu bergidik merasakan napas Armos di lehernya. 

Fayette membalikkan tubuhnya dan mendaratkan ciuman lembut di bibir Armos dan pria itu menyambutnya. "Merajuk huh, tentu saja aku merindukanmu ngomong-ngomong bagaimana keadaan di perbatasan." Fayette melepaskan tautan bibir mereka dan menatap manik biru milik Armos. 

Suaminya baru saja datang dari perbatasan, Armos pergi ke perbatasan untuk mengecek situasi yang ada di sana. Biasanya ia akan menugaskan parjurit peri untuk menjaga perbatasan di wilayah Chaerhayes Palace. Setelah perang terjadi wilayah perbatasan selalu dijaga oleh para prajurit peri, siapapun yang hendak datang ke Chaerhayes Palace harus melewati perbatasan terlebih dahulu. Sesuai dengan peraturan di tiga alam, tidak ada yang boleh satupun melewati batas wilayah masing-masing kecuali mereka mengirim perwakilan dari tiga alam untuk urusan penting dan bertujuan bertemu dengan para pemimpin tiga alam. 

"Tadi aku bertemu dengan jenderal Louise dan keadaaan di perbatasan masih aman. Aku rasa masih ada satu tugas yang harus aku kerjakan denganmu." ucap Armos ambigu. 

Fayette mengernyitkan kedua alisnya, "tugas apa memangnya?"

"Kau pasti akan menyukainya." sahut Armos mengerlingkan mata dan membawa tubuh Fayette ke dalam gendongannya dengan cepat.

***

"Elara awas itu akan jatuh menimpa kepala Audrey dan... "Leise berteriak memeringatkan Elara ketika wanita itu melepaskan anak panahnya dan terlambat, buah apel itu sudah lebih dulu mendarat di kepala Audrey dan membuat wanita itu mendelik sembari mengusap puncak kepalanya. 

"Upss, Audrey maafkan aku." Elara menyengir melihat wajah kesal Audrey.

"Sudah kuduga hasilnya akan seperti ini." Noah menepuk keningnya dan geleng-geleng kepala.

"Elara apa yang sedang kau lakukan?" protes Audrey, ia bergerak melepaskan anak panah pada buah apel itu dan sengaja menggigit apelnya dengan kesal. 

"Aku sedang malas memanjat pohon maka dari itu aku memanah buah apel itu agar buahnya terjatuh, eh ternyata malah menimpa kepalamu." Elara mengendikkan bahu dan meletakkan busurnya.

"Astaga Elara, kenapa kau tidak menggunakan sihirmu saja." decak Audrey sambil menaikkan letak kaca matanya yang agak turun.

"Kau mengejekku Audrey, bukankah kau tahu aku tidak bisa menggunakan ilmu sihir. Tapi Audrey aku penasaran kenapa kau suka sekali duduk dibawah pohon apel ini sih?" Elara mendekat dan duduk di sebelah Audrey.

"Itu karena di sini tidak berisik dan aku bisa membaca bukuku dengan tenang." Seperti biasa Audrey si kutu buku akan selalu mencari tempat yang menurutnya paling tenang untuk sekedar membaca buku. Book Adiccted.

"Aih, Elara bukankah kemarin kami sudah mengajarimu cara menggunakan sihir yang seperti ini." Noah menggerakkan tangannya ke udara mengeluarkan sebuah cahaya dan mengarahkan jemarinya ke pohon apel kemudian satu buah apel sudah berada di tangannya kemudian memberikannya kepada Elara.

"Terima kasih, tapi aku lupa apa yang sudah kalian ajarkan kemarin." Elara meraih apel dari tangan Noah kemudian menggigitnya.

"Ngomong-ngomong buku apa yang sedang kau baca itu Audrey?" Tanya Leise penasaran melihat buku yang ada di tangan Audrey.

"Oh ini, ini buku tentang pedang naga milik alam surgawi yang katanya masih hilang sampai saat ini."

"Darimana kau mendapatkan buku ini." Elara mengerjap dan ikut penasaran.

"Hustt, aku mengambilnya diam-diam dari si tua Wolsy, kalian tahu bukan pria tua itu menyimpan banyak buku bersejarah yang ia sembunyikan." Audrey menempelkan jemarinya di depan mulut dan berbisik. Mereka berempat sedang duduk melingkar dan memajukan tubuh mereka dengan sedikit menunduk agar tidak ada yang mendengar percakapan mereka.

"Woah Audrey kau sungguh wanita pemberani, apa kau tidak takut ketahuan oleh Tuan Wolsy." Leise berseru dan mengangkat satu jempolnya untuk Audrey.

"Jika kalian tidak buka mulut ia tdak akan tahu."

"Tunggu dulu, darimana kau tahu jika Tuan Wolsy memiliki banyak buku sejarah?" Elara menyempatkan bertanya di sela-sela mengunyah apelnya.

"Dua hari yang lalu aku tidak sengaja bertemu dengannya di taman sekolah sihir, saat itu ia sedang memberi makan para kucing. Sebenarnya aku hendak ikut menemaninya memberi makan kucing tetapi dia terlihat sangat terburu-buru membawa setumpuk buku usang, nah saat itulah aku mengikutinya dan melihat pria tua itu memiliki ruangan khusus di rumahnya untuk menyimpan ratusan buku."

"Woah ternyata kau itu penguntit!" Seru Noah dan sedikit memundurkan tubuhnya.

"Terima kasih atas pujianmu, apa kau mau mendengarkan kelanjutan ceritaku."

"Aku mau, aku mau cepat lanjutkan." sahut Elara.

"Nah, karena rasa penasaranku, aku kembali lagi ke rumahnya dan diam-diam menyelinap ke ruangan khusus itu dan menemukan buku ini."

"Eh tapi apa dia tidak tahu jika ada satu bukunya yang hilang." Leise mengetuk-ngetukkan telunjuknya di dagu seolah berpikir.

"Entahlah, toh juga nanti aku akan mengembalikannya jika sudah selesai membacanya." Audrey mengendikkan bahu acuh.

"Sepertinya buku ini sangat menarik, bagaimana jika kita membacanya bersama-sama." Elara mengambil buku di pangkuan Audrey dan mengelus sampulnya yang terlihat sangat usang, bahkan di tiap sisi sampulnya terlihat sudah robek.

"Ide yang cukup bagus," Noah menimpali.

"Tetapi tunggu dulu, sebaiknya kita membaca buku ini di rumah pohon saja." Audrey kembali mengambil buku di tangan Elara dan memasukkannya dalam tas miliknya.

"Eh Audrey bukankah kau mengatakan jika membaca buku di sini lebih tenang, kenapa kau ingin kita membaca buku ini di rumah pohon." Elara memicingkan mata dan bersedekap.

"Elara apa kau ingin membunuhku, aku tidak menjamin kita tidak akan ketahuan jika berkumpul di dini jadi tempat yang paling aman adalah di rumah pohon alias markas kita berempat."

Elara, Audrey, Leise dan Noah adalah empat sahabat yang selalu bermain bersama, mereka berempat sengaja membuat markas rumah pohon yang hanya di ketahui oleh mereka berempat saja.

"Audrey benar lebih baik kita ke sana saja, ayo teman-teman kita pergi." Leise bersiap mengeluarkan sayapnya untuk terbang.

"Tunggu, kalian jangan meninggalkan aku." rengek Elara dengan bibir mengerucut.

"Tentu saja tidak, ayo pegangan karena kita akan terbang tinggi." Noah mengamit pinggang Elara dan mengeluarkan sayapnya.

"Ayo." mereka berempatpun terbang menuju rumah pohon.








Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro