Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Chapter 3 - Pernyataan

[Alicia’s POV]

Setelah mengganti baju dengan gaun pemberian pangeran aku segera membanting diri ke atas ranjang di kamar yang akan menjadi tempat tinggalku sementara disini--walau karena kesalahpahaman pangeran akan keadaanku. Aku masih tidak percaya bisa bertemu dengan pangeran yang kukagumi sejak awal melihatnya malam itu. Aku juga senang melihat Enju yang sepertinya sudah baikan.

Aku berguling ke samping, membuatku dapat menatap langit-langit kamar. Aku berhasil sampai di sini. Jantungku berdegup kencang mengingat saat dimana pangeran menemukanku di bibir pantai. Setidaknya pengorbananku tidak sia-sia.

Aku menukar suaraku dengan kedua kaki ini agar membuatku bisa bertemu dengan pangeran Shuuzo. Betapa bahagianya diriku setelah melihatnya. Aku ingin berteriak pada dunia dengan keras saking senangnya.

Namun diriku tak diperkenankan untuk kembali ke lautan. Karena sang samudera akan mengutukku menjadi buih laut apabila sampai menyentuh genangan air asin tersebut. Agak miris memang, tapi aku mencoba peruntunganku di dunia baru ini.

Tak terasa, siang berganti malam. Minggu lalu bulan masih penuh namun sekarang kian menipis. Walau demikian, pemandangan diluar amat terang membuatku berniat untuk jalan-jalan ke taman. Aku langsung disambut bunga-bunga yang terawat dengan baik.

Angin sepoi menerbangkan helai demi helai rambutku, membuatnya bagai menari dalam malam. Bulan yang biasanya hanya kulihat menembus lautan, kini bisa kusaksikan dengan jelas ditemani angin sejuk sambil duduk di atas rerumputan.

“Apa yang anda lakukan disini, ojou-sama?” Suara nan lembut itu mengalihkan fokusku. Enju sudah berada di belakang sambil tersenyum. “Cuaca hari ini dingin, tidak baik untuk kesehatanmu.” Dia membawa secarik kain selimut di tangannya.

Aku menundukkan kepala tanda terima kasih atas kekhawatirannya. Pemuda bersurai merah jambu itu kemudian mengambil tempat di sampingku. Dia lebarkan selimut tadi untuk menutupi kami berdua.

“Ano…” Enju mulai memecah keheningan. “Jadi kau tahu soal minggu lalu…?”

Aku tidak ingin berbohong, maka itu aku mengangguk. Tapi identitasku sebagai duyung harus tetap disembunyikan. Doa yang kupanjatkan saat ini adalah semoga saja malam itu dia tak melihat ekorku. Aku membuat gestur untuk menanyakan alasan mengapa dia hendak bunuh diri, tapi apakah dia mengerti?

“Alasan mengapa aku mau bunuh diri…?” Enju langsung menundukkan wajah. Ah, mungkin ini topik yang terlalu sensitif baginya. Aku segera mengibas-ngibas tanganku di depan wajah, memintanya untuk melupakan hal barusan. Namun dia tersenyum padaku. “Tidak apa, memang sepertinya aku harus mengatakannya. Apa lagi kau adalah penyelamatku, anggap saja seperti ungkapan terima kasih.”

Enju menggaruk tengkuknya seperti orang kikuk, mungkin malu dengan alasannya itu. “Sebenarnya… orang yang kusukai bertunangan dengan orang lain. Melihat mereka bersama membuat hatiku sakit. Kupikir aku sudah tidak punya kebahagiaan lagi tersisa. Gadis itu juga tidak mungkin memperjuangkan orang sepertiku. Jadi… karena hatiku yang lemah, aku berniat bunuh diri malam itu.”

Aku menatap nanar sambil mengelus puncak kepalanya dan memberikan senyum terbaikku. ‘Tidak apa-apa, Enju… kau sudah berusaha yang terbaik. Kebahagiaan itu nanti akan datang kepadamu.’ Itulah yang ingin aku tuturkan kepadanya.

“Arigatou.” Akhirnya dia tersenyum. “Kau benar-benar baik. Terima kasih sudah menyelamatkanku malam itu. Aku berhutang padamu.”

Aku menggeleng. Melihat orang yang kuselamatkan masih hidup itu sudah cukup bagiku. Kalau malam itu aku tidak menyelamatkan Enju dan melihat Shuuzo, aku juga tidak mungkin punya alasan kemari.

Sedikit terkejut diriku saat merasakan jemari Enju membelai rambutku. Dia sematkan beberapa helai ke belakang telingaku sembari memerhatikan jepit rambut kerang di sana. Sama seperti saat malam itu…

“Terima kasih sudah menyelamatkanku.” Setelah mengucapkan itu, Enju mendekatkan wajahnya ke arahku. Dan secara otomatis aku segera mengatup netra, penasaran apa yang hendak dia lakukan. Mataku kembali membuka saat merasaakan hangat bibir pemuda itu di keningku.

Perasaan apa ini? Wajahku terasa panas. Wajah kami terbilang hanya beberapa sentimeter jaraknya. Maniknya yang kemerahan itu seolah menghanyutkanku dalam lamunan yang berkepanjangan.

[Shuuzo’s POV]

Beberapa hari berlalu sejak kedatangan Alicia ke istana. Pribadinya yang periang dan suka menolong sedikit menghangatkan suasana kediaman ini. Walau dia kehilangan kemampuan berbicaranya, aku bersyukur dia masih menikmati hidup. Terkadang juga dia menemaniku bekerja dan mengantarkan teh.

Kalau dilihat lagi, aku sama sekali belum bertemu dengan Alicia sepanjang hari ini karena persiapan acara. Terkadang aku ingin mengeluh karena tugasku yang tidak henti-henti.

“Shuuzo-ouji!” Saat aku menoleh, kudapati seorang pria dengan mahkota di kepalanya. Dan melihat ukiran di sana, aku tahu dia adalah raja dari kerajaan di utara kami. “Pesta yang meriah. Senang rasanya mengetahui dua kerajaan ini telah terikat. Atau harus kupanggil kau calon menantuku?”

“Maafkan saya karena tidak sempat menjemput anda.”

Dia tergelak membuatku sedikit lega. “Dari pada mengkhawatirkan itu, kenapa kau tidak menyapa tunanganmu?” Pria paruh baya itu langsung memukul pundakku seolah menyuruh agar aku menghampiri gadis bergaun hitam yang tengah berbincang dengan tamu acara.

“Shuuzo-ouji!” Sepertinya dia sedikit terkejut melihatku tapi tetap memasang senyum di wajah putihnya.

Dibawah lampu berlian di ruangan besar itu kami berbincang dan diiringi tatapan dari para tamu. Beberapa bahkan ada yang mengucapkan selamat atas pertunangan kami.

Namun semua itu hanyalah perasaan yang kosong. Aku tidak pernah benar-benar mencintai wanita bersurai pirang di hadapanku ini. Semua itu hanya tuntutan dari raja Akheilos, ayahku.

Aku terdiam sampai sosok Alicia melambai ke arahku dari bibir pintu, diikuti dengan Enju di belakangnya namun begitu melihat kami--terutama Kagura-hime--dia langsung berjalan ke arah lain.

Sekarang semua mata tertuju padanya. Beberapa bahkan ada yang terpesona dan menatap Alicia sepanjang perjalanannya menuju sosokku. Tak terkecuali diriku saat ini. Bahkan musik yang mengalun tiba-tiba berhenti seiring Alicia yang sampai di lantai dansa.

Dia sampai di hadapanku dan memberi hormat. Kurva indah di bibirnya masih terus tampak membuat mataku terus melihatnya yang kini mengangkat sedikit bagian gaunnya seolah begitu senang akan pilihanku tersebut.

“Syukurlah kau suka gaun itu.” Aku begitu terpana melihatnya dan tidak sadar akan aura tidak mengenakkan di belakangku. “Oh iya, biar kuperkenalkan kau denga—“

Baru saja aku hendak berbalik, gadis yang menyandang gelar tunanganku itu langsung melesat menuju Alicia. Namun tidak untuk menyapanya. Bunyi keras yang menyeruak ke seluruh sudut ruangan itu sukses menarik perhatian para tamu lagi.

“KAGURA!!” hardikku pada gadis yang dengan kejamnya menampar pipi Alicia itu. Dua pasang netra kami tidak bertemu, Kagura masih menatap Alicia geram. Sementara sang korban—Alicia, mematung di sana dengan ekspresi bingung.

Saat kusadari gadis bersurai pirang itu sudah mengangkat tangannya lagi dan siap-siap untuk serangan kedua, aku langsung menahan pergelangannya. “APA YANG KAU LAKUKAN?”

“Aku menamparnya, lalu kenapa?” Kini mata birunya menjurus tajam kearahku. “Gadis ini berani sekali mendekatimu yang berstatus sebagai tunanganku. Dia pasti mengincarmu karena gelar pangeran!”

Matanya menyiratkan kebencian dan amarah padaku maupun Alicia. Sekali lagi, ia tatap gadis bersurai cokelat itu jijik. "Dasar tidak tahu malu."

Manik Alicia membulat sempurna. Terperangah sosoknya akan kata-kata Kagura yang menyayat hati itu. Bulir air mata mulai tampak pada netra Alicia, entah apa yang harus kulakukan untuk meluruskan keadaan ini.

Gadis dengan gaun putih itu langsung berlari keluar ruangan, membuatku semakin marah pada Kagura. “Ketahuilah… aku tidak pernah benar-benar mencintaimu.” Satu kalimat itu kulontarkan sebelum memutuskan untuk mengejar Alicia. Paling tidak aku ingin meraih sosok gadis yang benar-benar tulus di sisiku. Dan gadis itu adalah Alicia.

Sial, aku kehilangan dia. Alhasil kini aku tengah mengitari seluruh penjuru istana demi menemukannya. Di akhir pencarianku di taman belakang seluas ratusan meter membuahkan hasil.

Kudapati sosok bersurai cokelat tengah duduk termenung sambil terisak di balik semak-semak. Gaun indah yang sebelumnya putih kini sudah terdapat banyak noda debu dan tanah.

“Alicia…” panggilku dengan suara pelan dengan sejuta penyesalan dalam batin. “Maafkan aku…”

Tanpa menoleh, dia langsung mengusap matanya dan berdiri hendak meninggalkanku. Namun hal tersebut tak akan pernah terjadi sebab tanganku sudah meraih lengannya dan aku tidak berniat melepasnya.

Dia meronta, mencoba melepas genggamanku bahkan sempat memukulku. “Dengarkan aku, Alicia.” Tapi di tak peduli dan masih berusaha melepaskan diri.

Kutarik dia dan menjatuhkannya ke dalam dekapanku. Aku sempat merasakan kepalan tangan gadis itu memukul-mukul dadaku. Tapi aku masih tidak berniat melepaskannya.

“Dengar… Aku mencintaimu, Alicia…” Bisikkan itu mampu membuatnya tenang dan bahkan terpaku di sana. Kueratkan pelukan ini pada rubuh mungilnya. “Maaf karena tidak pernah mengatakan soal pertunanganku.”

Dapat jelas kurasakan cairan hangat yang mulai membasahi bahuku. Ya, dia masih menangis. “Tapi perasaanku padamu bukanlah kebohongan. Ini nyata dan tidak main-main.”

Kulonggarkan lenganku untuk menatap wajahnya. Pipi yang sudah memerah begitu juga dengan kedua netranya. Namun entah mengapa aku melihat itu tetap indah. Seolah ingin kusimpan dia untuk diriku sendiri.

Tak ada kata-kata lagi diantara kami. Hanya tatap mata yang seolah berbicara menuturkan setiap perasaan dalam dada. Lega hatiku melihat seutas senyuman sudah kembali menghiasi wajah Alicia. Bahkan hanya dengan sarat mata itu dapat kuketahui setiap maksud yang hendak dia tuturkan.

“Aku mencintaimu, Alicia. Apa kau juga mencintaiku?” tanyaku untuk memastikan perasaan ini tidak bertepuk sebelah tangan.

Betapa bahagianya diriku saat melihat satu anggukkan mantap gadis bermanik cokelat itu. Biarlah langit berbintang malam ini menjadi saksi pernyataan cinta kami berdua. Mungkin kedepannya akan lebih banyak rintangan.

Tapi apa dengan pernyataan ini… aku mampu memilikinya?

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro